halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Jumat, 25 November 2011

RENCANA PENERBITAN BUKU SAYA


KETIKA AKU HARUS MEMBUANG JIWA, HATI, DAN PIKIRANKU
Sebuah Catatan Bening

[ Berbahagialah orang yang tidak mengenal aku sebab sesungguhnya mereka jauh dari penyesatan dan luka.]

Iswadi Sual


PROLOG
Langit mendung dan angin bertiup kencang menyambar segala sesuatu. Tak peduli siapa, yang terpenting baginya adalah bergerak; berpindah dari selatan ke utara. Meninggalkan tempatnya dan menerobos segala penghalang di depannya. Para perempuan desa berlari-lari mengangkat jemuran yang disapu oleh angin. Sementara pria mengejar anak-anak mereka yang sedang bermain-main di tengah tiupan angin. Seketika semua bergegas masuk ke dalam rumah masing-masing.
Ketika air menetes dari langit aku dan kakakku mulai membaca catatan harian dari seorang yang telah tiada.Catatan harian ini kami terima dari seorang janda yang mengaku sebagai ibu dari pemilik catatan tersebut.Katanya catatan-catatan ini mungkin berharga bagi mereka yang cukup mengerti. Sebelum anaknya meninggal dia pernah berkata bahwa dia menulis tentang dunia yang sebenarnya.
          Tak tahu apa alasan mengapa catatan-catatan ini diserahkan pada kami. Aku hanyalah seorang mahasiswa yang sedang berada dalam kebimbangan di akhir studi Sementara kakakku adalah mantan aktivis kampus yang sedang bergulat untuk memilih idealism atau kehidupan yang ‘normal’. Tapi satu hal yang pasti bahwa kami ingin merubah desa ini. Mencoba mengangkat martabat desa yang mulai digerogoti oleh modernism ala eropa. Mengembalikan nilai-nilai dan semangat mapalus yang sudah terbenam dalam-dalam di setiap jiwa masyarakat desa. Membiasakan kembali bahasa ibu yang kini dianggap sebagai bahasa yang sungguh memalukan untuk digunakan dalam situasi apapun. Aku rindu dengan kata-kata seperti ta’terong, kaliye’, plinggir, yang sungguh berkesan kedesaan.
          Sekarang semua itu telah dirampas oleh modernism. Kata-kata tersebut telah diganti dengan bahasa baku, gaul, dan lebih bergengsi lagi adalah bahasa Inggris. Tapi itulah dunia; selalu berubah mengikuti kemauannya sendiri. Mungkin terlalu egois ketika kita memaksakan dunia kita pada generasi yang akan datang.
          Kakakku berhenti membaca ketika hujan semakin deras dan udara mulai terasa dingin menusuk sampai ke dalam tulang. Dia pergi ke dapur sebentar dan kembali dengan minuman hangat. Aku berhenti membaca dan kami sepakat dalam hati untuk mencicipi minuman yang sudah tersedia itu. Setelah itu kami mulai membaca kembali catatan-catatan tersebut sampai selesai.
          Sebagai orang yang berlatar belakang akademis ada sedikit gengsi apabila tidak memberikan komentar terhadap sesuatu hal. Mengenai tulisan ini aku sendiri menganggap penulisnya kurang konsisten dalam pemikiran dan kurangnya pemahaman terhadap sastra sehingga membawa kerancuan dalam tulisannya sendiri. Tapi bila dipikir-pikir kembali mungkin saja penulisan ini sengaja dibuat begitu. Ada pemikiran bahwa seni mencerminkan keadaan jiwa dari penciptanya. Apakah mungkin kepribadian penulis sama kacaunya dengan tulisan yang dia buat?Belum bisa dipastikan tapi itu mungkin menjadi kesimpulan sementara untukku. Kakakku biasanya selalu antusias untuk mengawali diskusi tapi saat ini dia masih terlihat mencari-cari pemahaman dalam pikirannya sendiri.
          Catatan-catatan ini memang bukan semuanya dimaksudkan untuk tujuan sastra tetapi lebih pada ungkapan jiwa, hati, dan pikiran dari penulis. Penulisannya campur aduk antara pengalaman hidup, pemikiran, dan puisi-puisi. Catatan-catatan ini diserahkan pada kami tanpa adanya harapan. Hanya diserahkan begitu saja oleh orang yang mengaku sebagai ibu penulis. Perlu untuk diakui tulisan ini membawa kebingungan ketika harus dimaknai secara total.
          Walaupun sedikit membingungkan tetapi kakakku mencoba membagi tahap pemikiran penulis dilihat dari gaya dan waktu penulisannya. Perkembangan pemikiran penulis nampak dalam tulisannya. Tetapi tetap berkesan semeraut oleh karena tema dari catatan ini agak sulit ditentukan. Untuk lebih jelasnya kami menyusun catatan tersebut seperti di bawah ini.

 CONTENT COVERED
EPILOG
          Ada senyum tipis dan kebingungan dalam pikiran; sekali-kali kami juga mendesah oleh karena catatan-catatan ini. Kami berpikir semua catatan ini hanya bisa dipahami oleh penulisnya sendiri. Membaca semua itu terasa masuk dalam dunia mental yang semeraut dan tanpa arah. Ayam jantan berkokok. Kami menyadari bahwa hari sebentar lagi akan terang. Tak terasa waktu cepat berlalu sementara kami membaca dan mendiskusikan catatan-catatan tersebut. Kicauan burung terdengar dari seekor sampai sekawanan. Kulit terasa dingin, mata tetap terjaga, dan kepala terasa berat. Inilah dampak dari tidak tidur semalaman.
          Aku merasa menyadari sesuatu. Mengapa kami berusaha membaca dan mendiskusikan catatan-catatan ini? Orang yang menyerahkannya pada kami tidak jelas. Lalu mengapa pula kami harus berkonsentrasi dengan catatan-catatan ini? Apa mungkin kami dihipnosis oleh perempuan itu sehingga kami dengan ringan hati dan tanpa bertele-tele langsung menerima catatan-catatan ini. Kami bersepakat untuk mencari perempuan itu ketika hari telah terang.
          Jam 8 pagi. Ketika kami bergegas keluar rumah untuk mencari perempuan yang menyerahkan catatan-catatan itu, lonceng gereja berbunyi. Kami berhenti. Lonceng gereja adalah tanda panggilan beribadah dan dimulainya kebaktian. Tapi ini hari jumat. Apa maksud lonceng dibunyikan? Sudah pasti ada yang meninggal! Orang-orang desa mulai keluar dan ba karlsota mencari tahu siapa yang sudah meninggal. Sesuai tradisi biasanya ketika ada orang yang meninggal maka aktivitas mencangkul atau pergi ke kobong akan dihentikan dan membantu keluarga yang berdukacita; menghibur mereka. Sekarang ini tradisi seperti itu sudah dikikis. Ketika ada orang meninggal sebagian orang desa merasa resah kalau penguburannya terlalu lama. Katanya itu akan menghambat aktivitas kerja mereka. Katanya waktu adalah uang. Kebersamaan masyarakat desa telah digerogoti oleh desakan ekonomi.
          Orang-orang desa mulai bergerak berjalan menuju selatan daerah perkebunan. Anak-anak berlari dan saling mendorong. Mereka juga ingin mengetahui siapa yang meninggal. Itulah anak-anak ingin tahu saja. Aku bertanya pada anak kecil yang berlari berlawanan arah dengan orang banyak tetang apa sebenarnya yang terjadi. Anak-anak biasanya adalah sumber informasi yang paling baik. Karena tak menyembunyikan sesuatu pun. Mereka manyampaikan apa yang mereka lihat.
          Rupanya ada orang yang bunuh diri di dekat sungai. Kami juga bergegas ke sana. Ternyata seorang perempuan bunuh diri dengan memotong lehernya sendiri. Aku dan kakaku kaget ketika memperhatikan wajah perempuan itu. Wajahnya mirip dengan orang yang menyerahkan catatan-catatan itu. Ketika membalikkan mayat itu ada luka cabik-cabik di belakangnya. Aku memperhatikan luka-luka akibat cabikan itu. Ada tulisan samar!
         
          Inilah akibatnya mewartakan perasaan orang lain

Oh sungguh mengerikan. Polisi datang dan menarik kesimpulan sementara bahwa ini adalah korban pembunuhan. Korban dianiaya terlebih dahulu kemudian digorok. Sumber infomasi hidup kami tentang penulis catatan-catatan itu sudah hilang. Jadi, catatan-catatan itu tinggal dimaknai sendiri saja.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar