Ketika menulis saya
mencoba untuk membandingkan masa di mana Soe Hok Gie[1]
hidup dengan apa yang terjadi sekarang
ini. Dia menulis dalam sebuah koran waktu itu dengan judul Wajah Mahasiswa UI Bopeng
Sebelah; Gie menggambarkan kondisi
mahasiswa dan juga dosen yang telah menjadi apatis terhadap kedisiplinan, telah
menjadi hedonis, dan tak peduli lagi dengan persoalan sosial. Katanya juga para
wanita pada saat itu hanya pintar bersolek dan yang diurus hanya baju dan
kecantikan. Saya merasa kondisi sosial pada waktu itu mirip dengan apa yang
terjadi di UNIMA sekarang ini. Tetapi tulisan ini adalah upaya generalisasi
dari keadaan yang dominan terjadi di universitas kita.
Pentas Teater Ungu di Stadion Maesa Tondano (dalam rangka HUT Minahasa) |
Seperti dalam agama ketika ibadah telah menjadi
rutinitas, doa menjadi mekanistik, perbuatan baik yang pamrih; begitu juga
dalam dunia pendidikan. Saat ini kuliah adalah rutinitas yang sangat
membosankan bagi mahasiswa maka tak jarang praktik ‘titip absen’ telah menjadi lumrah. Pengetahuan mereka hanya seperti mesin yang hanya bisa digunakan
dalam kondisi ujian semester dan sesudah itu tersimpan kembali dalam otak.
Pengetahuan mereka cenderung tidak aplikatif dan hanya sekedar kebutuhan dalam
ujian-ujian perkuliahan. Adapun ketika mereka mencoba menerapkan pengetahuan
dan keterampilan mereka dalam masyarakat, tujuannya jelas adalah mencari
keuntungan yang alias melakukan pembodohan. Saya pernah mendengar keterangan
dari seorang teman saya ketika dia disuruh memperbaiki alat elektronik. Katanya
dia mendapat untung yang besar karena sebenarnya kerusakan alat tersebut tidak
separah apa yang dia terangkan pada pemilik. Menurutnya itu adalah strategi
membuat ongkos kerjanya meningkat.
Menurut saya ini adalah jenis pengkhianatan terhadap
cita-cita pendidikan itu sendiri. Kita dididik untuk bicara benar, berlaku
adil, dan hidup untuk menghidupkan orang lain. Tetapi hari ini kenyataan
menunjukan hal yang lain. Para akademisi pandai berbohong, tidak adil, dan cenderung
mengeksploitasi kehidupan orang lain. Unima telah memproduksi ribuan sarjana
yang sebenarnya belum matang dan masih jauh daripada apa yang kita harapkan.
Ibarat konstruksi bangunan jika campurannya tidak baik maka akan sangat
membahayakan. Begitu juga ketika produk sarjana unima yang tidak matang akan
menimbulkan masalah baru di masyarakat nanti karena tidak kompeten.
Ada
tiga hal krusial yang perlu kita bahas karena ini menurut saya adalah hal urgen
yang sedang terjadi di universitas kita. Yang pertama adalah ketidakjelasan
proses berpikir mahasiswa karena dibenturkan dengan paham konservatisme agama.
Kedua, modernitas menjadi langkah mundur karena kita terjebak pada praktik
konsumerisme. Ketiga, praktik imitasi pemahaman dan keterampilan.
A. NALAR YANG DILEMATIS
Ilmu pengetahuan menuntut
keterbukaan dan kebebasan untuk bereksperimen dalam dialektika pengembangan
ilmu pengetahuan itu sendiri. Dia harus diberi ruang untuk mengembangkan
dirinya sendiri dan harusnya bebas nilai. Karena pengekangan terhadap ilmu
pengetahuan akan menjadikannya sesuatu yang statis.
Ketika kekristenan menguasai Eropa maka
terjadi birokratisasi agama sehingga muncullah konvensi bahwa ilmu pengetahuan
harus mengabdi pada agama. Artinya segala pemikiran dan penemuan tidak boleh bertentangan
dengan kitab suci. Di akkhir abab pertengahan eropa memandang bahwa mereka
telah terjebak pada konservatisme agama yang anti kemapanan (puritanisme). Mereka memandang bahwa
agama telah menjadi penghalang kemajuan. Maka dengan diprakarsai oleh reformasi
gereja muncullah gerakan lain (renaissance,
aufklarung, enlightment) yang menentang otoritas gereja yang mengekang
kebebasan berpikir dan bereksperimen. Dengan begitu Eropa mampu bangkit dan
menjadi terdepan hampir di segala bidang.
Hal yang sama terjadi di Timur
Tengah ketika Perang Salib usai maka terjadi birokratisasi agama dan fenomena
yang sama dengan kekristenan terjadi pengekangan terhadap kebebasan berpikir
dan bereksperimen[2].
Segala sesuatu tidak boleh bertentangan dengan kitab suci. Masyarakat islam pun
menganggap ini akan mengakibatkan dekadensi karena mereka juga telah berkaca
dari masyarakat Eropa tentang kemajuan pesat dalam bidang teknologi dan
militer. Maka terjadi usaha-usaha reformasi untuk melepas otoritas keagamaan
dalam ilmu pengetahuan di abad-18. Di Jepang dikenal dengan restorasi meiji
sebagai upaya untuk terlepas dari konservtisme budaya dan keinginan untuk
bersaing dengan bangsa lain.
Saya kira semua hal yang telah
dikemukakan di atas telah diketahui dan ada dalam buku-buku teks di Sekolah
Menengah Atas dan Perguruan Tinggi. Artinya, sejarah tentang perubahan dunia
telah diketahui dan setidaknya itu menjadi preseden bagi kita untuk
mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Tetapi pada kenyataannya
memang ada kontradiksi dalam pendidikan kita yang memberi ambiguitas dalam alam
berpikir mahasiswa.
Di Universitas Negeri Manado
khususnya nalar mahasiswa dibatasi dengan segala macam suguhan dogma untuk
menjauhi ilmu pengetahuan secara aktif. Karena menurut golongan tertentu
(termasuk para dosen) terlalu jauh tenggelam dalam ilmu pengetahuan akan
mengarahkan kita pada pengingkaran terhadap iman percaya. Makanya hal-hal
seperti filsafat dan logika adalah hal yang perlu dijauhi. Berpikir kritis
menjadi hal yang tabu di universitas kita karena berargumen juga dianggap
sebagai sikap ‘tidak sopan’. Menurut mereka menghormati yang
lebih tua adalah budaya yang harus tetap dijalankan walaupun mungkin yang lebih
tua itu telah melakukan kesalahan. Saya juga melihat ketidakmampuan para dosen
sering disembunyikan dalam kedisplinan semu untuk menciptakan suasana kelas
yang kaku sehingga mahasiswa tak menjadi aktif. Itu karena ketika mahasiswa
menjadi aktif dalam kelas maka itu akan menunjukkan ketidakmampuannya mengelola
kelas dan membuktikan rendahnya
penguasaan materi.
Kita hanya sampai pada persoalan
epistemologis tanpa ada perdebatan dan usaha memperbaharui ilmu pengetahuan
yang sudah ada. Kita adalah masyarakat ilmiah yang sangat pasif karena segala
penemuan selalu dari luar bangsa kita. Kita telah menjadi konsumen pasif yang
telah terjebak dalam lingkaran setan. Sampai hari ini pendidikan kita masih
terjebak pada konservatisnme agama dan budaya. Menurut saya semua hal ini
adalah ironi, di satu sisi kita mengejar ilmu pengetahuan dan di satu sisi kita
membatasinya.
B. MODERNISME SEBAGAI LANGKAH MUNDUR
Modernisme yang kita anut sekarang
ini adalah sebuah imitasi dengan kualitas yang sangat rendah karena kita telah
diobok-obok oleh kebudayaan modern. Kita menerima modernisme karena kita yakin
bahwa itu adalah sebuah langkah maju atau gerak peradaban dunia dan kita harus
beradaptasi dengannya. Tetapi yang perlu kita sadari adalah gerak peradaban
dunia bukan dikendalikan oleh kita; kita hanyalah korban dari arus modernisme
dan kebanyakan dari kita hanya terjebak dalam gaya.
Masyarakat kita adalah masyarakat
konsumeris yang pasif; mengkonsumsi semua produk modern tanpa mengetahui cara
pembuatannya atau bagaimana mengembangkannya. Maka yang perlu disadari saat ini
bahwa masyarakat kita telah mengalami ketergantungan terhadap produk-produk
modern. Generasi kita tak bisa lagi hidup tanpa listrik, hanphone, laptop,
internet, tv, motor, mobil, perhiasan, dan hal-hal lain yang telah melekat pada
kehidupan kita. Saya tak bisa bayangkan bagaimana jadinya kalau negara kita
diembargo dalam bidang teknologi. Mungkin masyarakat kita akan mengalami stress berat tanpa adanya teknologi.
Ketergantungan kita terhadap produk modernism barat dimainkan pertama dalam
pembentukan paradigma lewat media elektronik. Hipnosis media telah membentuk
standarisasi-standarisasi mulai dari kecantikan sampai dengan apa yang
seharusnya kita pakai. - (Saya teringat
dengan sebuah lagu yang berjudul Crazy dari band yang bernama Simple Plan,
dalam lagu tersebut mereka menggambarkan kondisi sosial yang diakibatkan oleh
kapitalisme)-.
Kalau seandainya kita adalah
produsen teknologi maka kita bisa menghindar dari tekanan yang diakibatkan oleh
embargo teknologi dan setidaknya mempunyai posisi tawar secara ekonomi maupun
politik. Kebijakan politik di Indonesia
selalu dipengaruhi oleh persoalan ekonomi internasional. Maka pemimpin
kita selalu mengalami dilema untuk menegaskan pandangan politik yang
berkarakteristik nusantara. Ancaman internasional selalu membayang-bayangi
kebijakan politik negara kita. Tanpa adanya pengembangan ilmu pengetahuan maka
kita terus akan menjadi konsumen modernisme.
Universitas Negeri Manado memiliki
banyak mahasiwa yang pintar – pintar bergaya maksud saya. Hampir seluruhnya
mengikuti budaya pop, punk, underground, dan tren lainnya yang menurut mereka
bisa mengangkat derajat sosialnya supaya bisa diterima dalam pergaulan. Di Fakultas
Bahasa dan Seni, sebagian besar mahasiswa jurusan Bahasa Inggris berusaha
mengidentikan diri dengan orang Inggris, mahasiswa jurusan bahasa Prancis mengidentikan
diri dengan orang Prancis, mahasiswa jurusan bahasa Jerman berusaha
mengidentikan diri dengan orang Jerman, dan mahasiswa jurusan bahasa Jepang berusaha
mengidentikan diri dengan orang Jepang, dan selebihnya mengikuti gaya Korea. Saya pikir ini adalah tindakan pengkhianatan
terhadap identitas kita yang sebenarnya. Secara tak langsung kita telah
mengatakan bahwa identitas kita sebagai orang Minahasa, Talaud, Siaw, Ambon, Batak,
Mongodouw, Bugis, dan Dayak tidak lagi relevan dan ketinggalan zaman. Padahal
negara-negara maju mengangkat identitas mereka dari sebuah perjuangan
kebudayaan; suatu usaha memperkenalkan budaya mereka di mata dunia. Dan kita
hari ini telah memuja kebudayaan bangsa lain dan menginjak-injak budaya bangsa
kita sendiri.
C. EPIGONISME
Ada terminologi yang secara
konvensional muncul dalam pikiran di kalangan kaum awam bahwa Barat adalah
superior dan Timur adalah inferior. Segala sesuatu harus mengikuti pola dari
Barat karena mereka adalah penggerak peradaban dunia. Kita orang Timur telah
ditakdirkan menjadi manusia pasif, bodoh, dan selalu menunggu suapan dari
Barat. Saya kira telah terbentuk paradigma berpikir dalam masyarakat kita bahwa
kita adalah orang-orang yang ketinggalan dan harus senantiasa menyesuaikan dengan
produk modernisme barat.
Hari ini Indonesia
membangga-banggakan beberapa hal yang dianggap suatu kemajuan yang dicapai.
Dalam perfilman, animasi telah digunakan untuk mewujudkan hal-hal yang tak
masuk di akal seperti ular raksasa atau monster. Tetapi animasi yang digunakan
ketinggalan 20 tahun dari yang ada di Barat. Acara-acara TV seperti Kick Andy,
Indonesian Idol, dan seleksi wanita tercantik merupakan jiplakan dari barat dan
sangat berkesan bodoh. Saya pikir sampai hari ini kita terus maju tetapi selalu
berada sepuluh langkah di belakang superioritas barat.
Di lembaga pendidikan kita tak ada
hal baru yang berusaha diciptakan; kita hanya dipaksa belajar pada sesuatu yang
mutlak. Teori-teori dari barat menjadi patokan ilmu pengetahuan dan jika ada
upaya untuk mengembangkan maka kita akan dianggap sok pintar oleh
dosen-dosen tertentu. Kita selalu akan menyesuaikan ketika teori-teori itu
telah diperbaharui dari barat. Pemahaman kita terhadap segala sesuatu tetap
saja tak lebih dari pemikiran-pemikiran yang ada di Eropa. Yang lebih parah
ketika para mahasiswa UNIMA membuat tugas seperti makalah atau tugas lainnya
yang menuntut untuk berpikir mandiri yang mereka lakukan adalah browsing data sebanyak mungkin di
internet kemudian di copy lalu paste; tinggal diedit sedikit dan
jadilah makalah yang katanya buatan mereka sendiri. Hari ini membuat tugas
menjadi mudah tetapi kualitas berpikir makin menurun karena segala sesuatu
hampir tersedia. Dan anehnya banyak dosen yang mengiyakan saja model pembuatan
makalah semacam itu.
Sampai hari ini saya berpikir bahwa kita
sementara bersandiwara di UNIMA. Skripsi mahasiswa yang ‘dibantu’ oleh dosen,
skripsi pesanan, nilai-nilai mata kuliah yang disulap dengan uang, dan
amplop-amplop tutup mulut di ujian komprehensif; semua ini adalah akibat dari
nepotisme. Yang bisa jadi dosen dan pegawai adalah yang punya ikatan keluarga
atau teman dari yang incumbent. Akibatnya
banyak orang yang terlibat di dunia pendidikan tapi tak memiliki panggilan jiwa
dan tanggung jawab sosial. Tak ada yang benar-benar sesuai prosedur atau
setidaknya suatu penyelenggaraan yang ideal untuk menghasilkan kualitas
pendidikan yang kita cita-citakan secara kolektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar