29 Juli 2008
“Cinta
muncul dari ikatan atau hubungan yang cukup lama.” Gloria membalas pernyataan
kekasihnya ketika mengatakan ‘aku cinta padamu’.
“Bukankah
cinta hadir setiap saat ketika pria dan wanita bertemu?”
“Waktu
itu cinta hadir secara verbal bukan tindakan dan perasaan sesunguhnya. Kata
cinta selalu hadir atas dorongan seks. Sang kekasih selalu mengatakan dan
melakukan apa saja karena dorongan ini. Kata-kata indah dan tindakan-tindakan
nekat terjadi untuk mengejar dan memuaskan nafsu. Anak-anak pun dilahirkan tanpa
proyeki dan hanya karena dorongan seks.”
21 Juli 2008
Gloria
memandang mata pria itu dan menjelajahi perasaannya. Pria itu sementara
menyadari kebenaran yang dikatakan kekasihnya. Dia kemudian memalingkan wajah
san menatap ke langit.
“Tapi
mengapa mereka menikah, punya anak, dan hidup bahagia? Dan mengatakan bahwa
hubungan mereka itu atas nama cinta?”
“Itu
karena pergeseran hakikat. Awalnya seks kemudian menjadi cinta. Jika tak ada
moralitas, cinta tak pernah ada. Pernikahan adalah masalah moral untuk
menentukan sahnya hubungan atau tidak. Manusia membiasakan diri dalam ikatan
ini dan mau tak mau harus! Karena sanki moral adalah perasaan. Sementara
manusia selalu menghindari penindasan perasaan yang selalu mendorong jiwanya
keluar.” Pria ini tak mengerti mengenai penjelasan kekasihnya. Dahinya mengerut serta matanya menjadi focus.
“Mungkin
kau kurang mengerti soal pergeseran hakikat. Tak pernahkah kau menyadari
pergeseran institusi pelayanan menjadi institusi penindas? Yang sebenarnya
harus melayani tapi malah menindas. Dalam penikahan, manusia menggeser hakikat.
Mereka berusaha membatasi nafsu mereka kepada yang lain. Tapi semata-mata hanya
persoalan moralitas.”
“Tapi
tak semuanya berhasil membatasi nafsu mereka.” Pria itu berkomentar merasa dia
juga udah sedikit memahami.
“Betul.
Ketika moralitas melemah maka naluri seks mendominasi.”
“Apakah
menurutmu semua pria mengejar wanita atas asr dorongan seks? Bukankah
kenyataannya tak semua seperti itu?”
Gloria
mendekatkan wajahnya berhadapan dengan wajah kekasihnya oleh karena dari tadi
dia merasa kekasihnya belum juga mengerti betul apa yang dia maksud.
“Memang
pada kenyataannya pria mengejar wanita karena beberapa kualitas. Ada yang
mengejar kualitas erotis, ada yang mengejar kualitas estetis, ada yang mengejar
kualitas etis, dan ada yang mengejar kualitas logis. Kualitas-kualitas itu bisa
dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama erotis dan estetis; di mana pria
mengejar nafsu dan keindahan tubuh dan wajah wanita. Yang kedua etis dan logis;
di mana pria mengejar kualitas moral dan intelektual wanita. Tapi sebenarnya
kelompok yang kedua ini adalah peraihan dari kelompk pertama. Ketika pria
ditolak dan dikecewakan oleh kelompok pertama maka mereka beralih pada kelompok
kedua. Tak jarang pula nperalihan pengejaran terjadi karena pria menyadari
keadaannya sendiri da memutuskan utnuk beralih mengejar kelompok kedua. Tapi
sebenarnya dalam realitas praktis tak ada pengelompokkan kualitas. Mereka itu
berdiri sendiri-sendiri. Ada yang dari kualitas erotis beralih ke kualitas
etis. Ada yang dari kualitas estetis beralih ke kualitas logis. Semuanya
bergantung kualitas mana dari kelompok pertama yang mengecewakan mereka dan
sasaran mana yang akan dipilih pada kelompok kedua. Intinya semua beralih dari
kelompok pertama.”
“Apakah
itu cuma berlaku pada pria sementara wanita tidak?”
“Wanita
dan pria sama saja, cuma perbedaan motivasi…naluri atau moralitas. Manusia
digerakkan oleh naluri seks. Tidakkah kau mengamati cinta orang-orang muda yang terkikis oleh waktu. Ketika mereka telah
memuaskan nafsu kebenaran menjadi kebohongan. Dorongan yang kedua adalah
moralitas. Moralitas mendorng sekaligus membatasi manusia. Manusia harus
menyembunyikan naluri seksnya manusia harus menikah pada usia ideal dan..”
“Kau
hanya mengaburkan masalah dengan penjelasan panjang. Aku hanya bertanya apakah
hanya pria yang mengejar sementara wanita tidak. Kau seperti orang-orang yang
mengajak berdialog tapi membelokkan wancana dan cepat-cepat mengambil keputusan
dengan legitimasi kehadiran orang banyak.”
“Intinya
pria dan wanita melakukannya.” Gloria menyadari dominasinya.
25 Juli 2008
“Apakah
kau pernah mengmbil kesimpulan bahwa pria dan wanita saling bertentangan
sekaligus saling membutuhkan?”
“Pria
dan wanita memiliki beberapa perbedaan – yang mungkin kau maksud pertentangan –
yang esensial. Perbedaan alat kelamin, perbedaan
control (logis dan emosional), perbedaan orientasi (abstrak dan religious) dan
seterusnya. Namun dengan perbedaan itulah pria dan wanita saling membutuhkan
demi keseimbangan. Tidakkah kau berpikir bahwa tuhan dan setan – yang satu
simboisasi dari kebaikan dan yang satu lagi simbalisasi dari kejahatan – saling
bertentangan sekaligus saling membutuhkan? Buktinya ketika dia menguji
kesalehan Ayub dia menggunakan setan. Nah inilah fenomena ganjil yang kita
temukan dalam realitas.”
“Mengapa harus ganjil? Bukankah segala
sesuatu itu berpasangan (genap) menurut prinsip dialektika?”
“Mungkin aku salah menggunakan kata.
Tapi tidak pernakah kau mempelajari bahwa sesudah tesis dan antithesis ada
sintesis? Pernakah kau berpikir bahwa
Di antara proton dan electron ada neuton
Di antara tuhan dan setan ada manusia
Di antara pria dan wanita ada banci
Di antara manusia dan hewan ada tumbuhan
Di antara matahari dan bumi ada bulan?
Bukankah ini semua adalah
keganjilan? Keganjilan adalah perantara.”
Gloria
tersenyum dan kekasihnya mengerutkan dahi. Pria itu berdiri cepat-cepat kemudian bersuara “Ah! Ini
diskusi bodoh! Baiklah, kita putuskan saja hubungan kita.” Pria itu kemudian
pergi.
“Hubungan
cinta kita putus tapi hubungan antara pria dan wanita kita tidak putus karena
kita memang bertentangan tapi saling membutuhkan.”
28 Juli 2008
Sang
kekasih telah pergi tapi Gloria tidak menahan dan merengek-rengek di lututnya.
Ini di luar kebiasaan sepasang kekasih ketika hubungan mereka hancur. Tapi
apakah yang membuat kebiasaan itu terjadi? Ini adalah ketergantungan dan tak
lain adalah moralitas! Seorang wanita yang merengek-rengek, putus asa, dan
nekat ketika dicampakan kekasih adalah wanita yang sudah pernah bersetubuh dan
pokoknya pernah berbuat mesum dengan kekasihnya. Dia tahu bahwa ini mengancam
moralnya.
***
Gerak
bibir tanpa suara serta mata yang mengadah ke atas, tapi fokusnya mengarah pada
pikiran, membuatnya seperti orang yang terganggu pikirannya. Gloria sedang memahami Sesutu dari bukunya. Apakah
Cuma orang gila yang terganggu pikirannya? Bukankah filsuf juga? Gloria sudah
terbiasa membaca berhari-hari tanpa mengingat lagi kebiasaan manusia. Dia lupa
makan, minum, mandi, tidur, sikat gigi, dan lain-lain. Lebih para lagi dia
melupakaan kodrat keperempuannya untuk menikah.
“Hai,
wanita korban buku! Tak tahukah kau telah sesat dengan meninggalkan kebiasaan
manusia.” Seorang pendeta berkotbah dengan angkuhnya.
Memang
para pendeta selalu angkuh karena menganggap tuhan selalu di samping menemani.
Bukankah kenytaan mereka selalu meninggalkan tuhan di belakang dan berkotbah
seakan-akan tuhan ada di depan mereka?
Merasa
terganggu Gloria menutup bukunya.
“Bukankah
segala sesuatu adalah korban? Alam semesta adalah korban tuhan. Para aktivis
adalah korban pemikiran mereka sendiri. Para revolusioner adalah korban
ideology. Seniman adalah korban kegilaan mereka sendiri. Masyarakat pasif
adalah korban tradisi. Anak adalah korban orang tua. Lebih para lagi jemaat
adalah korban eksploitasi para pendeta. Siapakah yang tidak merasa sebagai
korban? Segala sesuatu yang ada saat ini adalah ujung rantai sebab-akibat yang
akan terus berlanjut. Namun, pertanyaan mendasar apakah penyebab pertama itu?
Singularitas. Tak hanya itu, jawabannya bervariasi.”
Pendeta
ini geram. Matanya menyipit dan dahi serta alis matanya berkumpul seperti kue
cucur.
“Dasar
atheis! Kau ingin melawan ke-mahakuasa-an tuhan.”
“Kalau
tuhan mahakuasa berarti dialah yang mentakdirkan perkataanku tadi dan tak
mungkinlah aku melawannya. Aku melawan agama bukan tuhan. Tingkah laku para
pendeta dan jemaat semuanya di luar hakikat agama. Semua orang pergi beribadah
berdasarkan hari kudus yang ditetapkan. Tapi, sesudah itu mereka kembali pada keduniawiaan.
Dunia lebih menarik daripada surga. Manusia lebih suka sesuatu yang ada di
depan mata daripada sesuatu yang belum pasti dan jelas. Mereka mewarisi tradisi tapi melupakan
hakikatnya. Ritual hanyalah warisan sementara maknanya tidak dipahami. Bagi
pendeta, penginjilan adalah retorika. Pendeta seperti pegawai negeri. Punya
gaji, tunjangan hari raya, dan jaminan hidup tua. Aku harus menyatkan semua ini
supaya semua orang mengerti hakikat. Siapakah yang akan berontak di antara dua
orang yang dirantai; yang satu orang baik dan yang satu orang jahat?”
“Tentu
saja orang yang jahat.”
“Inilah
letak kesalahan manusia, tidak mau melihat kemungkinan. Ketika mereka ditawarkan
untuk memilih, mereka selalu memilih satu. Contohnya, pendeta menawarkan surga
dan neraka. Mereka selalu memilih satu yaitu surga. Tak terpikirkah oleh mereka
bahwa kebosanan akan datng ketika mereka selalu senang. Apakah mereka tidak
menginginkan tantangan demi keseimbangan. Dari kedua orang yang dirantai tadi,
keduanya pasti berontak. Tetapi alasannya berbeda. Orang jahat berontak karena
nafsunya dikekang. Sementara orang baik berontak karena merasa tak berbuat
salah. Orang jahat dirantai oleh konvensi dan konstitusi. Sementara orang baik
dirantai oleh penipuan Negara dan agama.”
Pendeta
ini tidak senang karena baru kali ini dia mendapat khotbah. Memang orang yang terbiasa memberi khotbah
tidak mau menerima khotbah.
Gloria senang dan lega telah
mengeluarkan unek-unek dalam hati dan pikirannya. Tapi apakah semua ini? Para filsuf
pun tenang dan lega ketika mewartakan pendapat mereka. Tapi apa yang mereka terima selain dikucilkan
dari masyarakat, dianggap atheis, kerasukan setan, dan dicurigai menderita
kegilaan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar