halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Rabu, 23 November 2011

BUKAN PEREMPUAN BIASA

29 Juli 2008
          “Cinta muncul dari ikatan atau hubungan yang cukup lama.” Gloria membalas pernyataan kekasihnya ketika mengatakan ‘aku cinta padamu’.
          “Bukankah cinta hadir setiap saat ketika pria dan wanita bertemu?”
          “Waktu itu cinta hadir secara verbal bukan tindakan dan perasaan sesunguhnya. Kata cinta selalu hadir atas dorongan seks. Sang kekasih selalu mengatakan dan melakukan apa saja karena dorongan ini. Kata-kata indah dan tindakan-tindakan nekat terjadi untuk mengejar dan memuaskan nafsu. Anak-anak pun dilahirkan tanpa proyeki dan hanya karena dorongan seks.”
21 Juli 2008
          Gloria memandang mata pria itu dan menjelajahi perasaannya. Pria itu sementara menyadari kebenaran yang dikatakan kekasihnya. Dia kemudian memalingkan wajah san menatap ke langit.
          “Tapi mengapa mereka menikah, punya anak, dan hidup bahagia? Dan mengatakan bahwa hubungan mereka itu atas nama cinta?”
          “Itu karena pergeseran hakikat. Awalnya seks kemudian menjadi cinta. Jika tak ada moralitas, cinta tak pernah ada. Pernikahan adalah masalah moral untuk menentukan sahnya hubungan atau tidak. Manusia membiasakan diri dalam ikatan ini dan mau tak mau harus! Karena sanki moral adalah perasaan. Sementara manusia selalu menghindari penindasan perasaan yang selalu mendorong jiwanya keluar.” Pria ini tak mengerti mengenai penjelasan kekasihnya.  Dahinya mengerut serta matanya menjadi focus.
          “Mungkin kau kurang mengerti soal pergeseran hakikat. Tak pernahkah kau menyadari pergeseran institusi pelayanan menjadi institusi penindas? Yang sebenarnya harus melayani tapi malah menindas. Dalam penikahan, manusia menggeser hakikat. Mereka berusaha membatasi nafsu mereka kepada yang lain. Tapi semata-mata hanya persoalan moralitas.”
          “Tapi tak semuanya berhasil membatasi nafsu mereka.” Pria itu berkomentar merasa dia juga udah sedikit memahami.
          “Betul. Ketika moralitas melemah maka naluri seks mendominasi.”
          “Apakah menurutmu semua pria mengejar wanita atas asr dorongan seks? Bukankah kenyataannya tak semua seperti itu?”
          Gloria mendekatkan wajahnya berhadapan dengan wajah kekasihnya oleh karena dari tadi dia merasa kekasihnya belum juga mengerti betul apa yang dia maksud.
          “Memang pada kenyataannya pria mengejar wanita karena beberapa kualitas. Ada yang mengejar kualitas erotis, ada yang mengejar kualitas estetis, ada yang mengejar kualitas etis, dan ada yang mengejar kualitas logis. Kualitas-kualitas itu bisa dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama erotis dan estetis; di mana pria mengejar nafsu dan keindahan tubuh dan wajah wanita. Yang kedua etis dan logis; di mana pria mengejar kualitas moral dan intelektual wanita. Tapi sebenarnya kelompok yang kedua ini adalah peraihan dari kelompk pertama. Ketika pria ditolak dan dikecewakan oleh kelompok pertama maka mereka beralih pada kelompok kedua. Tak jarang pula nperalihan pengejaran terjadi karena pria menyadari keadaannya sendiri da memutuskan utnuk beralih mengejar kelompok kedua. Tapi sebenarnya dalam realitas praktis tak ada pengelompokkan kualitas. Mereka itu berdiri sendiri-sendiri. Ada yang dari kualitas erotis beralih ke kualitas etis. Ada yang dari kualitas estetis beralih ke kualitas logis. Semuanya bergantung kualitas mana dari kelompok pertama yang mengecewakan mereka dan sasaran mana yang akan dipilih pada kelompok kedua. Intinya semua beralih dari kelompok pertama.”
          “Apakah itu cuma berlaku pada pria sementara wanita tidak?”
          “Wanita dan pria sama saja, cuma perbedaan motivasi…naluri atau moralitas. Manusia digerakkan oleh naluri seks. Tidakkah kau mengamati cinta orang-orang muda  yang terkikis oleh waktu. Ketika mereka telah memuaskan nafsu kebenaran menjadi kebohongan. Dorongan yang kedua adalah moralitas. Moralitas mendorng sekaligus membatasi manusia. Manusia harus menyembunyikan naluri seksnya manusia harus menikah pada usia ideal dan..”
          “Kau hanya mengaburkan masalah dengan penjelasan panjang. Aku hanya bertanya apakah hanya pria yang mengejar sementara wanita tidak. Kau seperti orang-orang yang mengajak berdialog tapi membelokkan wancana dan cepat-cepat mengambil keputusan dengan legitimasi kehadiran orang banyak.”
          “Intinya pria dan wanita melakukannya.” Gloria menyadari dominasinya.
25 Juli 2008
          “Apakah kau pernah mengmbil kesimpulan bahwa pria dan wanita saling bertentangan sekaligus saling membutuhkan?”
          “Pria dan wanita memiliki beberapa perbedaan – yang mungkin kau maksud pertentangan – yang esensial.  Perbedaan alat kelamin, perbedaan control (logis dan emosional), perbedaan orientasi (abstrak dan religious) dan seterusnya. Namun dengan perbedaan itulah pria dan wanita saling membutuhkan demi keseimbangan. Tidakkah kau berpikir bahwa tuhan dan setan – yang satu simboisasi dari kebaikan dan yang satu lagi simbalisasi dari kejahatan – saling bertentangan sekaligus saling membutuhkan? Buktinya ketika dia menguji kesalehan Ayub dia menggunakan setan. Nah inilah fenomena ganjil yang kita temukan dalam realitas.”
          “Mengapa harus ganjil? Bukankah segala sesuatu itu berpasangan (genap) menurut prinsip dialektika?”
          “Mungkin aku salah menggunakan kata. Tapi tidak pernakah kau mempelajari bahwa sesudah tesis dan antithesis ada sintesis? Pernakah kau berpikir bahwa
Di antara proton dan electron ada neuton
Di antara tuhan dan setan ada manusia
Di antara pria dan wanita ada banci
Di antara manusia dan hewan ada tumbuhan
Di antara matahari dan bumi ada bulan?
Bukankah ini semua adalah keganjilan? Keganjilan adalah perantara.”
          Gloria tersenyum dan kekasihnya mengerutkan dahi. Pria itu berdiri cepat-cepat kemudian bersuara “Ah! Ini diskusi bodoh! Baiklah, kita putuskan saja hubungan kita.” Pria itu kemudian pergi.
          “Hubungan cinta kita putus tapi hubungan antara pria dan wanita kita tidak putus karena kita memang bertentangan tapi saling membutuhkan.”
28 Juli 2008
          Sang kekasih telah pergi tapi Gloria tidak menahan dan merengek-rengek di lututnya. Ini di luar kebiasaan sepasang kekasih ketika hubungan mereka hancur. Tapi apakah yang membuat kebiasaan itu terjadi? Ini adalah ketergantungan dan tak lain adalah moralitas! Seorang wanita yang merengek-rengek, putus asa, dan nekat ketika dicampakan kekasih adalah wanita yang sudah pernah bersetubuh dan pokoknya pernah berbuat mesum dengan kekasihnya. Dia tahu bahwa ini mengancam moralnya.
***
          Gerak bibir tanpa suara serta mata yang mengadah ke atas, tapi fokusnya mengarah pada pikiran, membuatnya seperti orang yang terganggu pikirannya. Gloria  sedang memahami Sesutu dari bukunya. Apakah Cuma orang gila yang terganggu pikirannya? Bukankah filsuf juga? Gloria sudah terbiasa membaca berhari-hari tanpa mengingat lagi kebiasaan manusia. Dia lupa makan, minum, mandi, tidur, sikat gigi, dan lain-lain. Lebih para lagi dia melupakaan kodrat keperempuannya untuk menikah.
          “Hai, wanita korban buku! Tak tahukah kau telah sesat dengan meninggalkan kebiasaan manusia.” Seorang pendeta berkotbah dengan angkuhnya.
          Memang para pendeta selalu angkuh karena menganggap tuhan selalu di samping menemani. Bukankah kenytaan mereka selalu meninggalkan tuhan di belakang dan berkotbah seakan-akan tuhan ada di depan mereka?
          Merasa terganggu Gloria menutup bukunya.
          “Bukankah segala sesuatu adalah korban? Alam semesta adalah korban tuhan. Para aktivis adalah korban pemikiran mereka sendiri. Para revolusioner adalah korban ideology. Seniman adalah korban kegilaan mereka sendiri. Masyarakat pasif adalah korban tradisi. Anak adalah korban orang tua. Lebih para lagi jemaat adalah korban eksploitasi para pendeta. Siapakah yang tidak merasa sebagai korban? Segala sesuatu yang ada saat ini adalah ujung rantai sebab-akibat yang akan terus berlanjut. Namun, pertanyaan mendasar apakah penyebab pertama itu? Singularitas. Tak hanya itu, jawabannya bervariasi.”
          Pendeta ini geram. Matanya menyipit dan dahi serta alis matanya berkumpul seperti kue cucur.
          “Dasar atheis! Kau ingin melawan ke-mahakuasa-an tuhan.”
          “Kalau tuhan mahakuasa berarti dialah yang mentakdirkan perkataanku tadi dan tak mungkinlah aku melawannya. Aku melawan agama bukan tuhan. Tingkah laku para pendeta dan jemaat semuanya di luar hakikat agama. Semua orang pergi beribadah berdasarkan hari kudus yang ditetapkan. Tapi, sesudah itu mereka kembali pada keduniawiaan. Dunia lebih menarik daripada surga. Manusia lebih suka sesuatu yang ada di depan mata daripada sesuatu yang belum pasti dan jelas.  Mereka mewarisi tradisi tapi melupakan hakikatnya. Ritual hanyalah warisan sementara maknanya tidak dipahami. Bagi pendeta, penginjilan adalah retorika. Pendeta seperti pegawai negeri. Punya gaji, tunjangan hari raya, dan jaminan hidup tua. Aku harus menyatkan semua ini supaya semua orang mengerti hakikat. Siapakah yang akan berontak di antara dua orang yang dirantai; yang satu orang baik dan yang satu orang jahat?”
          “Tentu saja orang yang jahat.”
          “Inilah letak kesalahan manusia, tidak mau melihat kemungkinan. Ketika mereka ditawarkan untuk memilih, mereka selalu memilih satu. Contohnya, pendeta menawarkan surga dan neraka. Mereka selalu memilih satu yaitu surga. Tak terpikirkah oleh mereka bahwa kebosanan akan datng ketika mereka selalu senang. Apakah mereka tidak menginginkan tantangan demi keseimbangan. Dari kedua orang yang dirantai tadi, keduanya pasti berontak. Tetapi alasannya berbeda. Orang jahat berontak karena nafsunya dikekang. Sementara orang baik berontak karena merasa tak berbuat salah. Orang jahat dirantai oleh konvensi dan konstitusi. Sementara orang baik dirantai oleh penipuan Negara dan agama.”
          Pendeta ini tidak senang karena baru kali ini dia mendapat khotbah. Memang orang yang terbiasa memberi khotbah tidak mau menerima khotbah.
          Gloria senang dan lega telah mengeluarkan unek-unek dalam hati dan pikirannya. Tapi apakah semua ini? Para filsuf pun tenang dan lega ketika mewartakan pendapat mereka.  Tapi apa yang mereka terima selain dikucilkan dari masyarakat, dianggap atheis, kerasukan setan, dan dicurigai menderita kegilaan.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar