halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Selasa, 18 Januari 2011

KONFIGURASI POLITIK KONTEMPORER

 
Tak ada kawan dan lawan abadi; yang abadi hanyalah kepentingan…’ kata-kata itu telah menjadi slogan yang selalu menjiwai para politisi dalam politik praktisnya. Sehingga untuk mewujudkan suatu kesadaran masyarakat Indonesia dalam satu identitas sebagai bangsa dan negara yang majemuk menjadi ciut. Selalu saja kecurigaan akan kepentingan mendominasi dari golongan lain menggelisahkan setiap politisi dan ini menyebabkan persaingan politik menjadi memanas. Usaha melakukan kudeta dan saling menjatuhkan menjadi marak di negeri ini. Ini mengakibatkan politik menjadi jauh dari hakekat dasar dalam pengertian etimologisnya. Orientasi para politisi adalah kekuasaan dan bukan berpikir tentang apa yang akan menjadi kontribusinya  dalam memanfaatkan suatu jabatan untuk kepentingan masyarakat tanpa mendahulukan kepentingan kelompok atau pribadi tertentu. Ini mengindikasikan seorang yang berorientasi pada kekuasaan/jabatan akan cenderung berpikir bagaimana mempertahankan kekuasaan/jabatannya itu daripada membuat program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Di mana ada penyelenggaraan demokrasi di situ pula praktik politik tidak sehat bercokol. Politik memainkan perannya hampir di segala bidang. Menurut seorang pengamat politik bahwa di Indonesia ada dua politik yang paling dominan: politik islam dan politik jawa (high level politic).  Isu yang paling propagandis, persuasif, dan agitatif bergantung pada isu agama dan etnis  –pada tahun 60-an indonesia mengalami keadaan politik yang sarat isu dan yang sangat dominan pada waktu itu adalah isu ideologi; komunisme dan kapitalisme-  yang dipandang sebagai identitas yang sakral. Sementara dalam low level politic isu yang sering dipakai adalah klen (marga), tingkat ekonomi, tingkat intelektual, golongan, dan watak pribadi seseorang. Tapi pada kenyataannya semua isu itu selalu ada dalam permainan politik baik high level politic dan low level politik.
Dalam dua isu sentral (agama dan etnis) berbagai upaya invasi dilakukan yang tujuannya adalah untuk mendominasi. Imigrasi ke suatu daerah tertentu dengan alasan dagang adalah hal nyata yang dilakukan saat ini. Suatu tiruan dari strategi kolonialisme barat yang mulai dipraktikan dalam negara yang masyarakat dulunya sama-sama menjadi korban strategi ini; mulanya emporium kemudian menjadi imperium. Tampaknya masyarakat indonesia tidak merasa senasib lagi dan upaya-upaya mengungguli satu sama lain semakin kentara. Apakah persatuan negara ini akan berujung pada kehancuran yang diakibatkan oleh fanatisme agama dan etnosentrisme? Seharusnya pertanyaan ini akan dijawab oleh para politisi di negeri ini. Jika fanatisme agama dan etnosentisme masih akan tetap dipertahankan maka dapat diprediksi umur dari bangsa dan negara ini.
Partai politik hanyalah kedok, karena kepentingan agama dan etnislah yang dikedepankan dari pada pandangan yang mencita-citakan kesejahteraan kolektif bagi seluruh masyarakat tanpa memandang suku, golongan, agama, ras, dan bahasa. Partai politik digunakan untuk menciptakan satu identitas tunggal dengan kepentingan yang disamarkan. Masyarakat akan bersatu pada partai tertentu dan melupakan identitas lainnya seperti agama, etnis, ras dll. Tapi tanpa disadari mereka telah ikut ambil bagian dalam memenangkan kepentingan agama dan etnis tertentu. Oleh karena pimpinan-pimpinan partai politik tak lepas daripada lobi-lobi untuk memenangkan agama dan etnis mereka sendiri.
       Praktik politik dalam high level politic juga dibawa dalam lingkungan kampus dimana mahasiswa juga para dosen dan pegawai terkotak-kotak dalam agama, etnis, dan ideologi. Suatu kontradiksi di mana lembaga pendidikan yang berisi masyarakat ilmiah yang seharusnya memberikan solusi terkait masalah praktik politik tidak etis dan tidak nasionalistis malah ikut-ikutan terjebak dalam tradisi politik demikian. Argumen yang sering muncul adalah katanya mereka sedang mencoba belajar dan memahami politik. Tapi persoalannya praktik ini akan terjadi secara berkesinambungan baik sekarang maupun yang akan datang. Oleh karena telah terbiasa dengan tradisi strategi dan taktik (stratak) politik yang tidak seharusnya.
                Ada pertanyaan mendasar ketika melihat kenyataan kondisi negara ini, mungkinkah semua konflik social yang terjadi disebabkan oleh heterogenitas masyarakatnya? Kalau demikian dapat dibenarkan pandangan bahwa konsepsi persatuan bangsa dan negara ini yang terdiri dari berbagai macam ras, bahasa, golongan dan agama hanyalah ide semata. Sementara ciri khas bangsa ini yang toleran, ramah, berbudi pekerti tinggi,tolong-menolong, saling menghargai, dan menjunjung tinggi sopan santun serta moralitas juga mengakui perbedaan hanyalah bersemayam pada buku-buku teks di sekolah dan jauh daripada kenyataan dalam tindakan social.
                Sudah seperlunya untuk membangkitkan kesadaran akan hakekat sebuah negara dan pandangan politik yang berpihak pada kepentingan seluruh masyarakat untuk meminimalisir konflik dalam negara ini. Sekiranya untuk menjawab pertanyaan apa yang harus dilakukan dalam rangka membentuk kesadaran itu adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat secara menyeluruh agar masyarakat tak menjadi korban politik dan dapat memahami konstalasi politik. Prancis menyadari akan pentingnya pendidikan dan setelah Perang 1870 membuat kebijakan untuk menggratiskan dan mengharuskan pendidkan. Tetapi di Indonesia yang terjadi adalah pemerintah menyadari akan ketertinggalan dalam segala bidang -kecuali dalam praktik politik tidak sehat dan KKN- disebabkan oleh rendahnya kualitas dan kesadaran masyarakat akan pendidikan kemudian membuat usaha kebijakan menggratiskan sekolah dari SD,SMP, sampai SMA dan menaikkan biaya pendidikan di Perguruan Tinggi. Hal ini terbukti ketika ada resistensi terhadap undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang membuka kemungkinan semua Perguruan Tinggi Negeri beralih status menjadi swasta (sebagaimana kita ketahui dengan begitu akan terjadi kenaikkan biaya pendidikan), pemerintah malah terus berusaha memaksakannya.
                Krisis kepercayaan telah melanda masyarakat oleh karena kenyataan politik di Indonesia dan menjadi tugas para politisi yang sekiranya masih murni dalam pandangan dan tindakannya untuk memperlihatkan suatu kinerja yang  tidak memihak sama sekali pada golongan masyarakat tertentu dan usaha para pengamat politik untuk membangkitkan kesadaran berpolitik yang konstuktif. Sehingga dasar negara ini tidak menjadi ayat-ayat hafalan belaka namun dapat direalisasikan demi kemanusiaan itu sendiri.
                Kecurigaan terhadap satu sama lain meruntuhkan solidaritas social dan mendorong kompetisi untuk saling mendominasi.


Minggu, 16 Januari 2011

MEDIA SEBAGAI LEGITIMASI BUDAYA



          
Pembodohan media
Terbentuknya pola hidup masyarakat modern tak lepas dari peran media oleh karena pada kenyataannya masyarakat modern ‘tak bisa hidup’ tanpanya. Ketergantungan masyarakat pada media disebabkan oleh kebiasaan yang dibangun secara perlahan. Di mana secara berangsur-angsur masyarakat modern mulai dipolakan olehnya. Sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat mulai dari gaya pikir, laku, makan, pakaian, dan hal-hal lain dibentuk secara ‘tak sadar’ oleh media. Media – apakah itu media massa atau media elektronik – menjadi standarisasi masyarakat modern; di mana segala ukuran tentang kehidupan mengacu pada media. Menurut pandangan kaum marxis, media adalah salah satu pilar sistem kapitalisme dalam upaya mempertahankan eksistensinya yang diramalkan oleh Marx sebagai sistem yang akan menghancurkan dirinya sendiri. Media menjadi penghalang bagi masyarakat modern untuk membentuk kesadaran kolektifnya melawan penindasan sistem. Di mana kapitalisme mengeksploitasi seni dan erotisme dalam setiap kampanye-kampanye yang sangat bersinggungngan langsung dengan perasaan dan birahi manusia seperti yang digambarkan oleh Anthony Giddens dalam bukunya The Transformation of Intimacy :
Love, Sexuality and Eroticism in Modern Societies. Media yang tak pernah bebas dari erotisme sebagai daya tarik konsumen. Hal yang sama pun berlaku untuk produk-produk yang diperjual-belikan. Ornamen-ornamen yang berbau seks menghiasi produk-produk kapitalis. Dalam dunia kapitalis umumnya persoalan moral dikesampingkan dan keuntungan yang diutamakan.
            Politik budaya pun ikut bermain dalam media. Ketika listrik dan televisi masuk hampir ke segala pelosok desa maka terjadi perubahan drastis dalam masyarakat. Di mana standar untuk hal-hal yang harus diterima adalah yang ada dalam chanel-chanel TV. Media menjadi penentu mengenai benar salah bahasa yang harus dipakai, gaya rambut dan pakaian yang cocok. Pada kenyataannya terjadi pelecehan terhadap budaya local yang dianggap kuno dan tak relevan lagi. Lebih parahnya lagi gaya hidup yang ditampilkan oleh media menggerogoti etos kerja masyarakat desa. Masyarakat desa kehilangan keterampilan mengenai kearifan-kearifan local dan berbondong-bondong ke kota yang dianggap tempat yang paling tepat untuk hidup.
            Di Minahasa persoalan pergeseran budaya sangat kentara. Di mana muda-mudinya sering sulit untuk diidentifikasi apakah berkebangsaan jepang, korea, inggris, dan sebagainya. Di satu sisi hadirnya mall, discotic, dan tempat hiburan lainnya dianggap sebagai suatu kemajuan. Ini disebabkan oleh pengaruh media yang menampilkan hal-hal tersebut sehingga masyarakat menganggap itu adalah hal yang lumrah dan harus begitu adanya. Sementara, hadirnya hal-hal tersebut  merupakan ancaman bagi pudarnya budaya local. Isu-isu mengenai kecintaan budaya bangsa hanyalah kampanye-kampanye belaka sementara dalam kebijakan politik dan ekonomi pemerintah tidak mampu menekan produk-produk atau tayangan media yang menggerogoti kebudayaan bangsa.
SUAL BROTHER
           

Jumat, 14 Januari 2011

KONDISI MASYARAKAT MINAHASA

Mungkin terlalu separatis kedengarannya ketika kita menyebut Minahasa sebagai suatu bangsa dan untuk mengklaim hal tersebut masih ada ketakutan karena akan dituduh sebagai upaya membangkitkan gerakan separatis. Tetapi ketika kita mencoba melihat dari perspektif sosiologis-antropologis maka kebenaran bahwa Minahasa adalah suatu bangsa akan mungkin diterima secara logis. Pada kenyataannya pandangan seperti ini tetap saja akan direduksi oleh tekanaan politis.
Konsep negara kita sebenarnya juga tak lebih dari pemaksaan doktrinal yang sudah diwariskan kepada beberapa generasi. Konsepnya dibuat rasional dan sakral sehingga hanya bisa didiskusikan dan tak bisa diotak-atik kemutlakannya. Kita bisa mengklaim dan patut disetujui bahwa kita satu sebagai negara tapi mungkin tidak untuk mengklaim sebagai satu bangsa. Oleh karena kesadaran akan kebangsaan kita dibentuk dalam lembaga-lembaga formal sementara dalam praktik politik isu kental yang sering diangkat adalah isu rasial; apakah itu bangsa jawa, Minahasa, bugis, batak dan sebagainya. Dialektika politik dalam negara kita memang berkesan pluralistik yang menyangkut isu agama, golongan, dan ideologi. Tetapi pada kenyataannya isu rasial menduduki tingkat paling atas.
Mari kita kembali membuka lembaran sejarah di negara kita, ternyata gerakan-gerakan separatis yang ada telah menyadari akan diskriminasi rasial ini melalui sentralisasi pembangunan yang ada dan penempatan orang pada jabata-jabatan strategis dalam struktur kepemerintahan. Kalau memang negara ini menyadari sepenuhnya bahwa kita adalah satu bangsa mengapa pemerataan pembangunan harus diperjuangkan dengan mengangkat senjata. Artinya, seharusnya sedari awal kemerdekaan sudah menjadi tanggung jawab moriil bagi pemerintah dalam menjaga integritas negara -ataupun bangsa dalam istilah merek- dengan memperhatikan nasib dari nusantara ini.
Minahasa memiliki budaya, bahasa dan rasnya sendiri dan itu adalah kenyataan yang harus diterima. Akan tetapi kesadaran akan hal ini telah sedang ditepis oleh kondisi sosialnya yang dipengaruhi oleh doktrin agama dan keterbukaan relasi sosial untuk kawin campur (endogami dan indogami).
1. Kekristenan sebagai legitimasi Bangsa Minahasa
Dalam pandangan orang minahasa kontemporer umumnya bahwa orang yang mengakui atau telah menjadi kristen mereka adalah saudara kita. Walaupun kenyataannya kita berbeda budaya, bahasa dan ras. kekristenan telah mengarahkan perspektif kebangsaan masayarakat dalam identitas agama. tetapi perlu diketahui bahwa ini adalah siasat untuk mempertahankan kekristenan dari serangan agama lain. Tetapi memang kesadaran ini telah mendarah daging oleh kareana sejarah Minahasa yang tak lepas dari pengaruh kekristenan dengan bantuan konstruksi oleh misionari Kolonial Belanda.
Agama telah mengerogoti sejarah kita sampai pada mitologinya dengan mempersamakan cerita Karema, Toar dan Lumimuut dengan peristiwa di Taman Eden. membuat argumen dengan mempersamakan Opo Empung, Opo Wananatas dengan YHWH. Pemikiran masyarakat Minahasa telah terpola sedemikian rupa melalui khotbah-khotbah dengan retorika yang telah mereka pelajari dan lupa akan identitas sejati mereka. Mereka mengorbankan segala sesuatu untuk para pemimpin agama dan ’gereja’ sementara itu melupakan sesama bangsa mereka yang melarat. ini merupakan kenyataan yang jauh dari hakikat agama itu sendiri.
2. Kawin campur sebagai legitimasi Bangsa Minahasa
Untuk mengklaim diri sebagai orang Minahasa sekarang ini bukan lagi berdasarkan kesamaan budaya, bahasa dan ras. Pengaruh perkawinan campur membuka peluang besar terjadinya imigrasi dan menciptakan manusia sintetik; yang setenganhnya Minahasa dan setengahnya lagi dari pihak ibu atau ayah dari bangsa lain. Terjadinya endogami bagi kaum laki-laki orang Minahasa kebanyakan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk bergaul dengan perempuan sebangsanya sendiri sehingga berupaya mencari di luar bangsanya. Sementara bagi kaum perempuan kebanyakan disebabkan oleh faktor tekanan ekonomi dan untuk mewujudkan impiannya sebagai seorang puteri yang cantik jelita mereka bersedia untuk kawin dengan bangsa lain. lebih parahnya lagi banyak sekali perempuan Minahasa yang melacurkan diri dengan bangsa lain demi mendapatkan uang untuk memenuhi semua kebutuhan dan keinginannya. Ketika telah terjadi kawin campur maka bangsa sebagai saudara dari laki-laki dan perempuan yang telah kawin dengan orang Minahasa akan datang dengan alasan silahturahmi dan kemudian menetap. Lama-kelamaan mereka mulai beranak cucu.
Anak dan cucu mereka ini akan mengklaim diri sebagai orang Minahasa karena lahir di tanah Minahasa dan tumbuh dalam kebudayaan Minahasa.Dengan begitu legitimasi sebagai orang Minahasa sebagai bangsa yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, dan ras telah dikesampingkan.
3. Kesamaan ideologi sebagai legitimasi
Dalam hal pandangan politik juga telah menciptakan perspektif ilusi tentang konsep identitas kebangsaan. sehingga dalam dialektika sosial masyarakat yang berideologi sama saling kawin campur atau bisa melakukan migrasi. dengan membentuk partai politik dengan embel-embel kemanusiaan, agama, nasional, dan keberpihakan kepada kaum tertindas memecah-belah bangsa kita dan mengkotak-kotakkannya. mungkin politik seperti ini persis seperti yang dterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda dulu(devide et impera).

Dari ketiga hal yang dikemukakan di atas ada satu pandangan implisit bahwa ini adalah jalan infiltrasi bangsa lain untuk membunuh kareakter bangsa kita. Selain manuver lewat agama, perkawinan, dan ideologi masih ada juga jalur lain yang digunakan dalam upaya infiltrasi. konsep mutasi PNS dan pengisian posisi strategis kepemerintahan menjadi alasan mereka untuk masuk dlam wilayah kita. penyusupan juga dilakukan lewat perdagangan yang mungkin tidak disadari hampir semua daerah-daerah strategis di wilayah Minahasa diduduki oleh pedagang kaki lima dengan pelayanan prima sebagai strategi untuk diterima oleh masyarakat sekitar. harga murah dan pelayanan prima cukup untuk menghipnotis orang dan masyarakat Minahasa.
Semua hal yang dikemukakan ini boleh dikata paradoksal tetapi ini adalah upaya untuk membangkitkan masyarakat Minahasa dari ketidaksadaran kolektiv bahwa kita sedang disusupi. Ketakutan penulis sendiri akan adanya proyek pembunuhan kareakter dan upaya asimilasi budaya dengan tujuan mendominasi serta menaklukkan bangsa Minahasa. Kondisinya mungkin akan mirip dengan kerusuhan yang terjadi di Ambon, Poso dan di Sampit sebagai ledakan dari gerak masyarakat yang berpola seperti hal-hal yang sudah dikemukakan. Awal mula terjadinya kerusuhan tersebut berkaitan dengan ketiga hal ynag sudah dikemukakan di atas. Pada dasarnya pasti ada argumen bahwa hakikat agama, parpol dan negara tidak mengarah seperti apa yang ditakutkan penulis tetapi yang perlu disadari adalah dalam semua organisasi terjadi pergeseran hakikat atau keadaan yang sebenarnya. Organisasi yang dibuat untuk melayani masyarakat bergeser menjadi organisasi penindas masyarakat.
Dari sini kita harus melakukan langkah-langkah konkrit sebagai upaya defence (pertahanan) untuk bangsa Minahasa agar kita akhirnya tidak memudar perlahan-lahan sebagai suatu bangsa. Upaya yang kita lakukan bukan upaya chauvinis, fasis, atau apalah yang berkesan sebagai etnosentrisme sempit tetapi suatu upaya kewajaran untuk bertahan apabila diserang. I YAYAT U SANTI!

Kamis, 13 Januari 2011

HARAPAN YANG MUNGKIN TELAH MENJADI KENANGAN

Aku merindukan hari-hari yang penuh dengan perdebatan. Hari-hari di mana romantisme dikikis habis oleh idealisme. Sebuah pembentukan pandangan akan hakekat hidup yang sosialistis. Kerinduan ini muncul dari situasi di mana teman-temanku sibuk menentukan siapa yang tercantik di antara wanita-wanita dan suara kader-kader politik instan dalam teriakkan yang penuh kepalsuan. Saat ini hati nurani adalah simbol dari manusia yang punya hati namun pikirannya mati. Kadang kita mendesak matahari untuk terbit dan terbenam lebih awal demi memenangkan kepentingan kita.,.