…, 13 Agustus
2008
Untuk dia yang menerima…
Ketika
menulis surat ini pikiranku berkecamuk. Banyak hal yang perlu ku sampaikan.
Karena terlalu banyak aku tak tahu harus mulai dari mana.
Tampaknya
banyak hal yang perlu dipertegas dalam keluarga kita. Mengenai impian-impian
dan harapan-harapan. Semua orang mempunyai harapan dan impian tapi
kadang-kadang harapan dan impian itu mereka korbankan demi harapan dan impian
orang lain. Aku ingin menjelaskan…ah bukan! Aku hanya ingin menegaskan hal-hal
yang perlu kita renungkan dalam persoalan keluarga kita. Ini tentunya
menyangkut harapan-harapan orang tua.juga impian mereka. Aku mengira kau pun mengetahuinya.
Kau bisa melihatnya. Tapi ada titik-titik yang perlu dipertegas. Aku tak mau
menyebutkannya. Aku yakin kau juga memahaminya. Cukup dengan merenung dan kau
akan menemukan sesuatu yang kau ketahui namun tak kau sadari.
Seperti
halnya dalam umat beragama, mereka sudah mengetahui apa itu baik dan buruk;
singkatnya apa itu dosa. Tapi mereka tak pernah menyadari dosa-dosa yang mereka
lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah yang membuatnya begitu? Seharusnya
ada yang perlu dipertegas lagi dalam khotbah-khotbah dalam ibadah mereka.
Begitu
juga dalam hal berbangsa dan bernegara.Warga negara perlu mendapat pengetahuan
untuk membangkitkan kesadaran mengenai hakikat dari negara itu.
Semuanya
perlu dipertegas untuk memperoleh kesadaran. Oleh karena itu, aku mengajakmu
untuk merenung sebentar dan mencoba memahami situasi keluarga kita.
Bersama
surat ini aku sertakan sebuah cerita yang mungkin dapat mempertegas titik-titik
itu.
Di
bawah terang bulan seorang lelaki tua berjalan. Badannya membungkuk oleh karena
beban di pundaknya. Tapi rupanya dia memang sudah bungkuk walau tanpa beban.
Maklum umurnya sudah 50-an lebih. Jalannya tidak seperti orang kebiasaan. Lebih
pelan. Mungkin karena tubuhnya yang tua dan kurus serta ditambah beban di
pundaknya yang membuat orang tua itu berjalan pelan. Namun, tampaknya dia
berusaha lebih cepat.
“
Ini untuk anakku, masa depannya.” Orang tua itu mengguman dalam hati.
Ironis,
ternyata orang tua ini mengorbankan jiwa raganya demi masa depan anaknya. Dia mengorbankan masa di mana seharusnya dia
beristirahat dari pekerjaannya.
Dia
berjalan menuju rumahnya.
“Apa
yang kau bawa?” istrinya bertanya ketika dia melepaskan beban dan duduk di
sebuah kursi plastic merah. Dia mendesah penuh kemenangan. Berhasil mengalahkan
berat langkah-langkahnya. Sebenarnya motivasinya bukan sekedar mengalahkan
berat langkah-langkahnya tapi dia
dikejar tanggung jawab.
“Kelapa,
pisang, dan sedikit sayuran.” Orang tua itu menjawab lemah.
“Aku
akan membuat dua jenis kue malam ini. Anak-anak sekolah pasti suka. Kita makan
sayur dan nasi saja mala mini. Harus menghemat. Anak kita pasti membutuhkan
uang lebih banyak.”
Sepasang
suami-istri ini bekerja siang dan malam. Begitu terus tiap harinya. Tapi apa
motivasi mereka? Anak mereka adalah mahasiswa berprestasi yang menjadi
kebanggaan mereka. Selluruh warga desa tahu tentang hal itu. Kebanggaan itulah
yang memotivasi mereka. Tapi apakah orang hidup bahagia hanya dengan
kebanggaan? Ini dunia materi!
Orang
tua ini masih duduk di kursinya sementara istrinya sedang mengerjakan kue. Dia
merenung. Tiba-tiba renungannya terganggu karena sebuah firasat. ‘ada orang di
depan rumah’. Dia mencoba membuktikan
firasat itu. Pintu ditariknya dan cahaya lampu dalam rumah keluar. Betul! Ada
orang di situ. Lebih dari satu. Mereka kelihatan gelisah dan agak kaku
gerakannya. Orang tua itu belum bisa memastikan siapa mereka. Tidak jelas.
“Yang
di situ, siapa kalian?” pekiknya.
Karena
merasa sudah diperhatikan maka orang-orang itu bergegas maju menerobos masuk ke
dalam rumah.
Orang tua itu tercengang tak percaya
apa yang dilihatnya. Dia hanya bisa secara reflex bergeser ketika dua orang itu
masuk. Yang satu anaknya, tapi yang satu siapa? Orang tua itu menguasai dirinya.
Dia pergi memberitahukan istrinya tentang kedatangan anak mereka. Mereka
berkumpul seperti reuni keluarga.
“Kau
kembali tanpa kabar lebih dulu.” Sang istri memulai.
“Kau
sudah berhasil? Apa yang kau bawa?” sang suami melanjutkan.
Sang
anak terjepit dengan pernyataan dan pertanyaan itu. Tak tahu mana lebih dulu
yang harus ditanggapi.
“Sebelumnya
saya minta maaf atas kedatangan yang tiba-tiba ini. Ayah… ibu… saya kembali
membawa kebenaran dan kesadaran. Hampir saya lupa… saya juga membawa serta
istriku. Maaf karena tanpa sepengetahuan ayah dan ibu. Saya sebenarnya…” Anak
itu melanjutkan ceritanya seperti memberi kuliah kepada kedua orang tuanya.
Penjelasannya ilmiah. Orang tuanya mengangguk-angguk. Maklum, tidak cukup
pengetahuan memahaminya; orang tuanya tak ulus SD.
Mendengar
penjelasan itu kedua orang tua itu sadar bahwa anak merek hanya membawa dirinya
sendiri dan beban baru untuk keluarga; istrinya. Gadis kota yang tak tahu
keja-kerja praktis di desa. Ibunya menangis sedangkan ayahnya merenung. Kedua
orang tua itu kecewa pada anak mereka.
Merka
kembali merenungkan usaha mereka selama ini. Ternyata semuanya sia-sia. Harapan
mereka bahwa anak mereka ketika berhasil nanti dapat membawa perubahan ekonomi
dalam keluarga. Tapi ternyata dia sudah membangun ekonominya sendiri. Selama
ini mereka hanya hidup dengan kebanggaan prestasi anaknya. Tidak lebih.
Orang
tua itu sadar bahwa tak ada gunanya dia berusaha supaya anaknya mendapat
pendidikan tinggi karena nasib ternyata tak berubah. Dia kemudian membandingkan
dengan keluarga lain yang anak mereka tidak bersekolah tinggi. Hidup mereka
lebih sejahtera.
“Apa
gunanya semua usahaku…sia-sia. Anakku sendiri tak mengerti harapanku. Aku
hanyalah korban keberhasilannya. Dia tak mau jadi kaya yang dia inginkan
hanyalah hidup sederhana dengan keluarganya yang baru. Aku sial. Dia tak
membawa kekayaan tapi hanya kebenaran dan kesadaran.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar