halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Jumat, 25 November 2011

SURAT


…, 13 Agustus 2008
Untuk dia yang menerima…

        Ketika menulis surat ini pikiranku berkecamuk. Banyak hal yang perlu ku sampaikan. Karena terlalu banyak aku tak tahu harus mulai dari mana.
        Tampaknya banyak hal yang perlu dipertegas dalam keluarga kita. Mengenai impian-impian dan harapan-harapan. Semua orang mempunyai harapan dan impian tapi kadang-kadang harapan dan impian itu mereka korbankan demi harapan dan impian orang lain. Aku ingin menjelaskan…ah bukan! Aku hanya ingin menegaskan hal-hal yang perlu kita renungkan dalam persoalan keluarga kita. Ini tentunya menyangkut harapan-harapan orang tua.juga impian mereka. Aku mengira kau pun mengetahuinya. Kau bisa melihatnya. Tapi ada titik-titik yang perlu dipertegas. Aku tak mau menyebutkannya. Aku yakin kau juga memahaminya. Cukup dengan merenung dan kau akan menemukan sesuatu yang kau ketahui namun tak kau sadari.
        Seperti halnya dalam umat beragama, mereka sudah mengetahui apa itu baik dan buruk; singkatnya apa itu dosa. Tapi mereka tak pernah menyadari dosa-dosa yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah yang membuatnya begitu? Seharusnya ada yang perlu dipertegas lagi dalam khotbah-khotbah dalam ibadah mereka.
        Begitu juga dalam hal berbangsa dan bernegara.Warga negara perlu mendapat pengetahuan untuk membangkitkan kesadaran mengenai hakikat dari negara itu.
        Semuanya perlu dipertegas untuk memperoleh kesadaran. Oleh karena itu, aku mengajakmu untuk merenung sebentar dan mencoba memahami situasi keluarga kita.
        Bersama surat ini aku sertakan sebuah cerita yang mungkin dapat mempertegas titik-titik itu.

          Di bawah terang bulan seorang lelaki tua berjalan. Badannya membungkuk oleh karena beban di pundaknya. Tapi rupanya dia memang sudah bungkuk walau tanpa beban. Maklum umurnya sudah 50-an lebih. Jalannya tidak seperti orang kebiasaan. Lebih pelan. Mungkin karena tubuhnya yang tua dan kurus serta ditambah beban di pundaknya yang membuat orang tua itu berjalan pelan. Namun, tampaknya dia berusaha lebih cepat.
          “ Ini untuk anakku, masa depannya.” Orang tua itu mengguman dalam hati.
          Ironis, ternyata orang tua ini mengorbankan jiwa raganya demi masa depan anaknya.  Dia mengorbankan masa di mana seharusnya dia beristirahat dari pekerjaannya.
          Dia berjalan menuju rumahnya.
          “Apa yang kau bawa?” istrinya bertanya ketika dia melepaskan beban dan duduk di sebuah kursi plastic merah. Dia mendesah penuh kemenangan. Berhasil mengalahkan berat langkah-langkahnya. Sebenarnya motivasinya bukan sekedar mengalahkan berat langkah-langkahnya  tapi dia dikejar tanggung jawab.
          “Kelapa, pisang, dan sedikit sayuran.” Orang tua itu menjawab lemah.
          “Aku akan membuat dua jenis kue malam ini. Anak-anak sekolah pasti suka. Kita makan sayur dan nasi saja mala mini. Harus menghemat. Anak kita pasti membutuhkan uang lebih banyak.”
          Sepasang suami-istri ini bekerja siang dan malam. Begitu terus tiap harinya. Tapi apa motivasi mereka? Anak mereka adalah mahasiswa berprestasi yang menjadi kebanggaan mereka. Selluruh warga desa tahu tentang hal itu. Kebanggaan itulah yang memotivasi mereka. Tapi apakah orang hidup bahagia hanya dengan kebanggaan? Ini dunia materi!
          Orang tua ini masih duduk di kursinya sementara istrinya sedang mengerjakan kue. Dia merenung. Tiba-tiba renungannya terganggu karena sebuah firasat. ‘ada orang di depan rumah’.  Dia mencoba membuktikan firasat itu. Pintu ditariknya dan cahaya lampu dalam rumah keluar. Betul! Ada orang di situ. Lebih dari satu. Mereka kelihatan gelisah dan agak kaku gerakannya. Orang tua itu belum bisa memastikan siapa mereka. Tidak jelas.
          “Yang di situ, siapa kalian?” pekiknya.
          Karena merasa sudah diperhatikan maka orang-orang itu bergegas maju menerobos masuk ke dalam rumah.
          Orang tua itu tercengang tak percaya apa yang dilihatnya. Dia hanya bisa secara reflex bergeser ketika dua orang itu masuk. Yang satu anaknya, tapi yang satu siapa? Orang tua itu menguasai dirinya. Dia pergi memberitahukan istrinya tentang kedatangan anak mereka. Mereka berkumpul seperti reuni keluarga.
          “Kau kembali tanpa kabar lebih dulu.” Sang istri memulai.
          “Kau sudah berhasil? Apa yang kau bawa?” sang suami melanjutkan.
          Sang anak terjepit dengan pernyataan dan pertanyaan itu. Tak tahu mana lebih dulu yang harus ditanggapi.
          “Sebelumnya saya minta maaf atas kedatangan yang tiba-tiba ini. Ayah… ibu… saya kembali membawa kebenaran dan kesadaran. Hampir saya lupa… saya juga membawa serta istriku. Maaf karena tanpa sepengetahuan ayah dan ibu. Saya sebenarnya…” Anak itu melanjutkan ceritanya seperti memberi kuliah kepada kedua orang tuanya. Penjelasannya ilmiah. Orang tuanya mengangguk-angguk. Maklum, tidak cukup pengetahuan memahaminya; orang tuanya tak ulus SD.
          Mendengar penjelasan itu kedua orang tua itu sadar bahwa anak merek hanya membawa dirinya sendiri dan beban baru untuk keluarga; istrinya. Gadis kota yang tak tahu keja-kerja praktis di desa. Ibunya menangis sedangkan ayahnya merenung. Kedua orang tua itu kecewa pada anak mereka.
          Merka kembali merenungkan usaha mereka selama ini. Ternyata semuanya sia-sia. Harapan mereka bahwa anak mereka ketika berhasil nanti dapat membawa perubahan ekonomi dalam keluarga. Tapi ternyata dia sudah membangun ekonominya sendiri. Selama ini mereka hanya hidup dengan kebanggaan prestasi anaknya. Tidak lebih.
          Orang tua itu sadar bahwa tak ada gunanya dia berusaha supaya anaknya mendapat pendidikan tinggi karena nasib ternyata tak berubah. Dia kemudian membandingkan dengan keluarga lain yang anak mereka tidak bersekolah tinggi. Hidup mereka lebih sejahtera.
          “Apa gunanya semua usahaku…sia-sia. Anakku sendiri tak mengerti harapanku. Aku hanyalah korban keberhasilannya. Dia tak mau jadi kaya yang dia inginkan hanyalah hidup sederhana dengan keluarganya yang baru. Aku sial. Dia tak membawa kekayaan tapi hanya kebenaran dan kesadaran.”
          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar