KETIKA AKU HARUS MEMBUANG JIWA, HATI, DAN PIKIRANKU
|
Sebuah Catatan Bening
|
[ Berbahagialah orang yang tidak mengenal aku sebab sesungguhnya mereka jauh dari penyesatan dan luka.]
|
Iswadi Sual
|
PROLOG
Langit mendung dan angin bertiup kencang menyambar segala
sesuatu. Tak peduli siapa, yang terpenting baginya adalah bergerak; berpindah
dari selatan ke utara. Meninggalkan tempatnya dan menerobos segala penghalang
di depannya. Para perempuan desa berlari-lari mengangkat jemuran yang disapu
oleh angin. Sementara pria mengejar anak-anak
mereka yang sedang bermain-main di tengah tiupan angin. Seketika semua bergegas
masuk ke dalam rumah masing-masing.
Ketika
air menetes dari langit aku dan kakakku mulai membaca catatan
harian dari seorang yang telah tiada.Catatan harian ini kami terima dari seorang
janda yang mengaku sebagai ibu dari pemilik catatan tersebut.Katanya
catatan-catatan ini mungkin berharga bagi mereka yang cukup mengerti. Sebelum
anaknya meninggal dia pernah berkata bahwa dia menulis tentang dunia yang
sebenarnya.
Tak
tahu apa alasan mengapa catatan-catatan ini diserahkan pada kami. Aku hanyalah
seorang mahasiswa yang sedang berada dalam kebimbangan di akhir studi Sementara
kakakku adalah mantan aktivis kampus yang sedang bergulat untuk memilih
idealism atau kehidupan yang ‘normal’. Tapi satu hal yang pasti bahwa kami ingin merubah desa ini. Mencoba
mengangkat martabat desa yang mulai digerogoti oleh modernism ala eropa.
Mengembalikan nilai-nilai dan semangat mapalus yang sudah terbenam dalam-dalam
di setiap jiwa masyarakat desa. Membiasakan kembali bahasa ibu yang kini
dianggap sebagai bahasa yang sungguh memalukan untuk digunakan dalam situasi
apapun. Aku rindu dengan kata-kata seperti ta’terong, kaliye’, plinggir, yang
sungguh berkesan kedesaan.
Sekarang semua itu telah
dirampas oleh modernism. Kata-kata tersebut telah diganti dengan bahasa baku,
gaul, dan lebih bergengsi lagi adalah bahasa Inggris. Tapi itulah dunia; selalu
berubah mengikuti kemauannya sendiri. Mungkin terlalu egois ketika kita
memaksakan dunia kita pada generasi yang akan datang.
Kakakku berhenti membaca
ketika hujan semakin deras dan udara mulai terasa dingin menusuk sampai ke
dalam tulang. Dia pergi ke dapur sebentar dan kembali dengan minuman hangat.
Aku berhenti membaca dan kami sepakat dalam hati untuk mencicipi minuman yang
sudah tersedia itu. Setelah itu kami mulai membaca kembali catatan-catatan
tersebut sampai selesai.
Sebagai orang yang berlatar
belakang akademis ada sedikit gengsi apabila tidak memberikan komentar terhadap
sesuatu hal. Mengenai tulisan ini aku sendiri menganggap penulisnya kurang
konsisten dalam pemikiran dan kurangnya pemahaman terhadap sastra sehingga
membawa kerancuan dalam tulisannya sendiri. Tapi bila dipikir-pikir kembali
mungkin saja penulisan ini sengaja dibuat begitu. Ada pemikiran bahwa seni
mencerminkan keadaan jiwa dari penciptanya. Apakah mungkin kepribadian penulis
sama kacaunya dengan tulisan yang dia buat?Belum bisa dipastikan tapi itu
mungkin menjadi kesimpulan sementara untukku. Kakakku biasanya selalu antusias
untuk mengawali diskusi tapi saat ini dia masih terlihat mencari-cari pemahaman
dalam pikirannya sendiri.
Catatan-catatan ini memang
bukan semuanya dimaksudkan untuk tujuan sastra tetapi lebih pada ungkapan jiwa,
hati, dan pikiran dari penulis. Penulisannya campur aduk antara pengalaman
hidup, pemikiran, dan puisi-puisi. Catatan-catatan ini diserahkan pada kami
tanpa adanya harapan. Hanya diserahkan begitu saja oleh orang yang mengaku
sebagai ibu penulis. Perlu untuk diakui tulisan ini membawa kebingungan ketika harus
dimaknai secara total.
Walaupun sedikit
membingungkan tetapi kakakku mencoba membagi tahap pemikiran penulis dilihat
dari gaya dan waktu penulisannya. Perkembangan pemikiran penulis nampak dalam
tulisannya. Tetapi tetap berkesan semeraut oleh karena tema dari catatan ini
agak sulit ditentukan. Untuk lebih jelasnya kami menyusun catatan tersebut
seperti di bawah ini.
EPILOG
Ada senyum tipis dan
kebingungan dalam pikiran; sekali-kali kami juga mendesah oleh karena
catatan-catatan ini. Kami berpikir semua catatan ini hanya bisa dipahami oleh
penulisnya sendiri. Membaca semua itu terasa masuk dalam dunia mental yang
semeraut dan tanpa arah. Ayam jantan berkokok. Kami menyadari bahwa hari
sebentar lagi akan terang. Tak terasa waktu cepat berlalu sementara kami
membaca dan mendiskusikan catatan-catatan tersebut. Kicauan burung terdengar
dari seekor sampai sekawanan. Kulit terasa dingin, mata tetap terjaga, dan
kepala terasa berat. Inilah dampak dari tidak tidur semalaman.
Aku merasa menyadari
sesuatu. Mengapa kami berusaha membaca dan mendiskusikan catatan-catatan ini?
Orang yang menyerahkannya pada kami tidak jelas. Lalu mengapa pula kami harus
berkonsentrasi dengan catatan-catatan ini? Apa mungkin kami dihipnosis oleh
perempuan itu sehingga kami dengan ringan hati dan tanpa bertele-tele langsung
menerima catatan-catatan ini. Kami bersepakat untuk mencari perempuan itu
ketika hari telah terang.
Jam 8 pagi. Ketika kami
bergegas keluar rumah untuk mencari perempuan yang menyerahkan catatan-catatan
itu, lonceng gereja berbunyi. Kami berhenti. Lonceng gereja adalah tanda
panggilan beribadah dan dimulainya kebaktian. Tapi ini hari jumat. Apa maksud
lonceng dibunyikan? Sudah pasti ada yang meninggal! Orang-orang desa mulai
keluar dan ba karlsota mencari tahu siapa yang sudah meninggal. Sesuai tradisi
biasanya ketika ada orang yang meninggal maka aktivitas mencangkul atau pergi
ke kobong akan dihentikan dan membantu keluarga yang berdukacita; menghibur
mereka. Sekarang ini tradisi seperti itu sudah dikikis. Ketika ada orang
meninggal sebagian orang desa merasa resah kalau penguburannya terlalu lama.
Katanya itu akan menghambat aktivitas kerja mereka. Katanya waktu adalah uang.
Kebersamaan masyarakat desa telah digerogoti oleh desakan ekonomi.
Orang-orang desa mulai
bergerak berjalan menuju selatan daerah perkebunan. Anak-anak berlari dan
saling mendorong. Mereka juga ingin mengetahui siapa yang meninggal. Itulah
anak-anak ingin tahu saja. Aku bertanya pada anak kecil yang berlari berlawanan
arah dengan orang banyak tetang apa sebenarnya yang terjadi. Anak-anak biasanya
adalah sumber informasi yang paling baik. Karena tak menyembunyikan sesuatu
pun. Mereka manyampaikan apa yang mereka lihat.
Rupanya ada orang yang bunuh
diri di dekat sungai. Kami juga bergegas ke sana. Ternyata seorang perempuan
bunuh diri dengan memotong lehernya sendiri. Aku dan kakaku kaget ketika
memperhatikan wajah perempuan itu. Wajahnya mirip dengan orang yang menyerahkan
catatan-catatan itu. Ketika membalikkan mayat itu ada luka cabik-cabik di
belakangnya. Aku memperhatikan luka-luka akibat cabikan itu. Ada tulisan samar!
Inilah akibatnya mewartakan
perasaan orang lain
Oh sungguh mengerikan. Polisi datang dan menarik kesimpulan sementara bahwa
ini adalah korban pembunuhan. Korban dianiaya terlebih dahulu kemudian digorok.
Sumber infomasi hidup kami tentang penulis catatan-catatan itu sudah hilang.
Jadi, catatan-catatan itu tinggal dimaknai sendiri saja.