|
Rua waraney |
Sebuah laporan kegiatan
20 0ktober 2012 adalah hari bersejarah bagi desa
Tondei di mana diselenggarakannya sebuah event
yang menampilkan Budaya Minahasa. Dalam acara ini ditampilkan Tarian Perang (Kabasaran) baik versi
anak-anak dan versi dewasa, Tarian
Maengket, Tarian Patokaan, dan Tradisi Mapalus Marantong. Kegiatan yang dikepalai oleh Iswan Sual,
S.s ini disambut dengan antusias oleh masyarakat desa Tondei dengan jumlah massa yang memadati
Balai Pertemuan Umum Desa Tondei. Kegiatan yang juga didukung oleh Liga
Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Sanggar Seni Toar Lumimuut, Teater
Ungu, dan Kerukunan Siswa Mahasiswa (KSMT) dihadiri oleh Masyarakat Adat
Tontemboan, Mawale Mouvement, Tonaas Rinto Tarore dan Tim Tari dusun jauh
Pelita.
|
dari kiri : hukum tua Tondei Dua (Frangky Sual), hukum tua Tondei (John Kawengian), camat Motoling Barat (Drs. Alex Rindorindo), dan hukum tua Tondei Satu (Johnny Sumanti) |
Menurut saya kegiatan ini memiliki nilai mistis dalam konteks budaya Minahasa. Oleh
karena angka 9 sangat berkaitan erat dengan budaya Minahasa dalam
upacara
adat tumani. Sehingga dalam kegiatan ini dibuat sebagai acara yang
berkarakteristik budaya Minahasa
an sic. Kegiatan yang juga dirangkaikan
dengan Deklarasi Sanggar Tumondei Minahasa Selatan dan Peluncuran Buku Sejarah
Desa Tondei ini mendapat sambutan baik dari camat Motoling Barat Drs. Alex
Rindorindo,
“Saya bangga karena mahasiswa
Tondei menggelar acara seperti ini. Di kecamatan baru Desa Tondei yang mengelar
acara yang berbau budaya apalagi mengangkat budaya desa yang sampai hari ini
telah digerogoti oleh globalisasi. Maju terus…”. Youce Pondaag sebagai
perwakilan Masyarakat Adat Tontemboan juga menambahkan bahwa kegiatan ini
memotivasi para tua-tua dan juga generasi muda untuk sadar dan mempertahankan
budaya Minahasa.
Dalam acara khusus peluncuran buku Sejarah Desa
Tondei, Fredi Wowor, S.s menegaskan bahwa pentingnya sebuah tulisan adalah
mengingatkan kita tentang suatu masa. Cyrtje A. C Bujung juga mengungkapkan
kenapa dia menulis kembali Sejarah Desa Tondei yang telah lama ditulis oleh
ibunya. Itu dikarenakan sudah banyak orang Tondei sendiri tidak mengetahui
sejarah desa baik para orang tua apalagi generasi muda di Desa Tondei. Tradisi mapalus
marantong juga memeriahkan kegiatan ini; tradisi ini sebenarnya disebut
mareng i lele yang artinya kembalikan
pukulan lidi. Dalam kerja mapalus di Desa Tondei diterapkan hukum cambuk kepada
anggota mapalus demi disiplin kerja oleh yang disebut
marantong atau
ma’dantong
dan
ma’bali wali. Setelah selesai kerja mereka melakukan aksi saling cambuk di
depan orang banyak sebagai pelampiasan rasa marah ataupun dendam karena
mendapat cambukan dari
marantong atau
ma’bali wali sehingga rasa itu akan berakhir di situ saja.
Perayaan hari ulang tahun desa yang dirangkaikan
dengan deklarasi Sanggar Tumondei dan peluncuran buku ini dilaksanakan atas
dorongan bahwa kesadaran akan Budaya dan Adat Minahasa yang telah hampir
ditinggalkan dan sebagai wujud kepedulian terhadap peninggalan leluhur. “Minahasa dan Desa Tondei khususnya
memiliki banyak situs budaya dan
potensi-potensi wisata yang belum diketahui banyak orang. Jadi kami menggelar
kegiatan ini untuk mengangkat budaya Minahasa sekaligus mendeklarasikan Sanggar
Tumondei Minahasa Selatan yang akan menjadi lokomotif dan katalis dalam perjuangan kebudayaan
Minahasa. Kami juga melihat bahwa generasi muda saat ini cenderung destruktif
dan apatis. Jadi sudah waktunya kita mempelopori sebuah gerakan mencari kembali
atau tumondei terhadap jati diri bangsa kita. “ tegas Yanli Sengkey yang
adalah ketua Sanggar Tumondei Minahasa Selatan.
|
H. B Sondakh dan Iswadi Sual bersama rua waraney Tondei |
Akhir kegiatan sebelum santap kasih bersama makanan
khas Minahasa; dibacakan puisi
motivasi
terhadap generasi muda untuk membangun Desa Tondei tercinta oleh H. B Sondakh
sebagai tokoh masyarakat.
ekh dapa lia rame noh wadi
BalasHapusini acara perayaan hut desa yang berkarakter budaya lokal
BalasHapus