(sebuah
kritik)
Tim tari Sanggar Tumondei |
Setelah membaca tulisan Fredi S Wowor[2] berjudul Mencari Jati Diri yang
dimuat Harian Media Sulut edisi Rabu 24 Oktober 2012 aku teringat di tahun yang
lalu aku dan seorang teman (Junaidi Rawis) juga mendapati buku yang berjudul Asal
Usul/Arti Nama-nama Kampung di Tanah Toar Lumimuut[3]. Kami juga bergegas mencari
arti dari nama kampung kami masing-masing. “Tondei ~ diambil dari nama jenis tamate atau tomat
yang buahnya berbentuk tondei (lonjong) / tidak bulat (cardiopteris moluccana).
Ini merupakan jenis tomat yang dibawa
Spanyol dari Maluku ; Pontak ~ (pentak, lepo, depo = lumpur). Tempat
basah berair yang dipilih Spanyol abad – 17 untuk menanam padi sawah. Jenis
padinya dari Filipina, karena Minahasa belum mengenal padi sawah. Lisung
menumbuk padi periode pendudukan spanyol masih ada di negeri pontak.” Dalam pikiran kami ada kejanggalan dan ‘rasa
tersinggung’ ketika membaca arti dari kedua nama kampung tersebut. Oleh karena
sebenarnya kami mengetahui arti nama kampung kami masing-masing dari cerita
atau tradisi lisan dari orang tua maupun tua-tua desa.
Oleh karena peristiwa kami secara tak langsung
termotivasi untuk mencari kebenaran dan arti nama kampung kami masing-masing.
Sehingga yang menjadi topik pembicaraan dan kegiatan kami selalu berkaitan
dengan budaya Minahasa dan desa kami khususnya. Hampir semua orang yang kami
temui waktu itu kami mintai keterangan tentang apa yang mereka ketahui mengenai
sejarah desa atau tempat-tempat yang berhubungan dengan kebudayaan
Minahasa. Akhirnya setelah melakukan
ekspedisi kami menjumpai beberapa tua-tua kampung dan juga mendapat buku-buku
tentang sejarah desa.
Sejarah desa Pontak yang dibuat dalam bentuk ukiran gambar |
Dalam buku Sejarah Desa Tondei[4] yang ditulis oleh Ny. A. J.
Bujung- Moningka diterangkan bahwa awalnya desa Tondei disebut orang tinondeian
yang artinya dicari kembali. Oleh karena di abad – 17 ketika terjadi
perang antara Tontemboan dengan Mongondow daerah ini sudah pernah
didirikan perkampungan yang bernama mawale dan akhirnya ditinggalkan.
Begitu juga dengan buku yang disusun oleh Arnold J. Masinambow yang berjudul
Apo’ Masinambow dan Keturunannya[5] yang sedikit menyentil
tentang arti nama Pontak; pontak berasal dari kata ‘’ PONTAR ’’ ASE KAYU ‘‘
NIETAKAN ‘’ TINAMI I APO MASINAMBOW ‘‘ NIONTAKAN ‘’ diangkat/digabung menjadi
satu kata yang asalnya dari kata-kata : PINONTAR –ETAK – ONTAK menjadi
‘’PINONTAKAN’’ lalu menjadi ‘’PONTAK’’ artinya ‘’TANDA’’.
Dalam buku yang ditulis oleh Jessy Wenas dan Djery
Warokka juga dijabarkan arti nama kampung Picuan, Wuwuk, dan Poigar. “Picuan ~
jerat penangkap tikus di hutan berupa tali dan kayu pegas (woran), di letakkan di jalur tempat tikus hutan
mondar-mandir… Wuwuk ~ (wu’uk = rambut) negeri ini diambil dari pohon
cemara rambut (canarium casuarina) yang daunnya seperti bulu burung kasuari…
Poigar ~ (poikan, pocan = tuturuga, penyu)…” Karena rasa penasaran
aku juga sempat menanyakan dan mendapat sedikit informasi mengenai arti
nama-nama kampung ini. Menurut keterangan warga
sendiri Picuan asal katanya dari pinekuan yang artinya da patah
akang atau ditandai. Wuwuk (wuwukeng) atau fufu artinya
pengasapan. Semasa terjadi perang dengan Mongondow desa Wuwuk adalah
tempat pertahanan. Para apo melakukan kegiatan mengasa pengetahuan (wentel)
untuk menghalau orang Mongondow yang telah sampai di Pinamorongan[6]. Poigar berasal dari kata poyar
yang artinya pagar atau batas[7]. Poigar adalah wilayah
perbatasan dengan Mongondow makanya ada Poigar Minahasa dan Poigar Mongondow.
Iswan Sual dan batu lisung di Raanan Baru |
Dalam hal ini tidak diketahui pendekatan apa yang
digunakan oleh J. Wenas & Dj. Warokka dalam menjabarkan pengertian
nama-nama kampung tersebut. Tetapi arti nama-nama kampung yang sudah saya
jelaskan di atas tampaknya lebih ke pendekatan etimologi[8]. Etimologi adalah
penyelidikan mengenai asal usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna[9]. Memang dalam nama-nama
kampung yang ada di Minahasa bisa diartikan secara denotatif tetapi tidak
seharusnya digeneralisir untuk nama-nama kampung lainnya. Saya juga pernah
terlibat diskusi dengan Arie Tulus[10] dan saya menyampaikan
keberatan saya tentang arti nama Tondei yang dimuat dalam buku Asal
Usul/Arti Nama-nama Kampung di Tanah Toar Lumimuut dan saya menjelaskan
arti sebenarnya menurut versi orang Tondei sendiri. Arie Tulus mengatakan pada
saya waktu itu bahwa saya harus menolerir penulisan buku itu karena maklum
penulisnya berasal dari Tombulu sehingga ditulis berdasarkan versi Tombulu.
Diskursus ilmiah sebenarnya tidak mengenal toleransi
oleh karena ilmu pengetahuan selalu diupayakan agar bebas nilai. Ilmu
pengetahuan selalu dialektis dan harus dibebaskan dari persoalan sentimen
status sosial. Saya pikir usaha yang harus kita lakukan adalah rekoleksi dan
rekonstruksi sejarah dan kebudayaan Minahasa. Bahkan pun kita perlu
dekonstruksi agar kita tidak terjebak pada chauvinisme. Upaya yang sudah
dilakukan oleh para pendahulu dalam dalam menulis dan mempertahankan budaya Minahasa
patut diapresisasi tetapi kemudian kita tidak seharusnya mengesampingkan kaidah
ilmiah.
Saya berharap jika suatu waktu tulisan tentang
sejarah dan kebudayaan Minahasa dimasukkan dalam pendidikan formal negara pada
saat itu proses rekoleksi, rekonstruksi, dan dekonstruksi telah berjalan sebagaimana mestinya. Agar
informasi tentang jati diri kita sangat akurat dan objektif sehingga tidak ada
pembohongan sejarah yang diwariskan untuk generasi selanjutnya. Sebab pembohongan
sejarah adalah keji dan sangat tidak berperikemanusiaan.
[1] Tumondei dalam bahasa tontemboan
artinya mencari kembali.
[2]
Sastrawan dan dosen di Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi.
[3] Jessy Wenas & Djerry
Warokka. Asal usul/arti Nama-nama Kampung di Tanah Toar lumimuut. Jakarta.
Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. 2010.
[4] Ny. A. J. Bujung-Moningka.
Sejarah Desa Tondei, Keadaan Sampai Tahun 1989. Ditulis kembali oleh Cyrtje A.
C. Bujung dan diterbitkan oleh KSMT dan STMS pada tahun 2012.
[5] Arnold J. Masinambow. Apo’
Lukas Masinambow dan Keturunannya. Jakarta. PT Dahan Elok. 1987.
[6] Pinamorongan berasal dari
kata porong. Porong adalah topi yang digunakan oleh orang-orang Mongondow waktu
itu.
[7]
Informasi ini diperoleh dari Dilan Rumajar mahasiswa asal Poigar Minahasa.
[8] Menurut saya ada kontradiksi
antara judul buku dan penjabaran menganai nama-nama kampung yang sudah saya
jelaskan. Judul buku dimulai dengan kata ‘asal usul’ jadi seharusnya ada
penelitiannya harus bersentuhan langsung dengan masyarakat yang mendiami
kampung tersebut dan tidak hanya menjabarkan secara denotatif.
[9] Harimurti Kridalaksana. Kamus
Linguistik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 1993
[10] Dosen di Fakultas Bahasa dan
Seni Universitas Negeri Manado.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar