Sebuah laporan perjalanan
Agustus 2011, untuk pertama kalinya aku menginjakkan
kaki di desa Picuan[1]. Memang
sebagai orang Minahasa aku mempunyai kerinduan untuk menjelajahi semua
perkampungan yang ada di tanah Minahasa. Kebetulan juga pada waktu itu aku
sementara menyusun sejarah singkat desa Lalumpe yang notabene adalah lokasi Kuliah
Kerja Nyata (KKN) UNIMA gelombang ke 2 tahun 2011. Jadi dengan ajakan Junaidi
Rawis[2]
maka aku akhirnya bisa ke desa ini.
Junaidi Rawis berpose di depan Batu Budaya Picuan |
Kami disambut oleh keluarga Lendo – Mamusung dengan
secangkir teh. Sementara menikmati teh panas ini aku terlibat pembicaraan
tentang sejarah desa ini dengan opa Lendo[3].
Diceritakan bahwa desa picuan didirikan dengan upacara adat (tumani)[4]
oleh Rumondor dan Tompodung. Picuan asal
katanya adalah pinekuan[5]
yang berarti tanda atau batas[6].
Tanda atau batas ini untuk memisahkan antara Picuan dan Wanga. Dalam upacara
ini pula ada semacam mantera yang diucapkan agar supaya setiap orang yang
datang ke desa ini sangat menyesal bila akan meninggalkannya. Orang akan merasa
susah untuk beranjak dari desa ini. Makanya di gapura masuk desa tertulis ‘Elur
ma te up’. Desa Picuan Baru dan Powalutan katanya juga didirikan dengan
upacara adat oleh orang Picuan.
Batu Budaya |
Tempat upacara tumani
biasanya diberi tanda dengan bebatuan. Sampai hari ini masyarakat sekitar masih
menghargai peninggalan leluhur mereka dan kadang mereka melakukan ibadah
(tradisi Kristen) di batu ini. Tempat upacara tumani ini oleh warga desa sering
disebut Batu Budaya atau Batu dasar desa. Ini mungkin karena
kurangnya wawasan sejarah dari orang-orang kampung atau juga pengaruh agama
modern sehingga tidak mengetahui sejarah
desa mereka sendiri. Tetapi yang terpenting masih ada kesadaran warga desa
untuk menjaga situs budaya itu.
[1] Untuk
sebagaian besar orang menyebut desa ini Picuan Lama oleh karena ada juga desa
yang bernama Picuan Baru.
[2] koordinator
lapangan di lokasi KKN
[3] Nicolas
(nico) Marten Lendo.
[4]Biasanya
upacara tumani menggunakan patahan lidi yang di masukan dalam kendi atau kure’ dan di kuburkan di tanah. Tetapi menurut
keterangan opa Lendo upacara tumani
di desa ini menggunakan bayi (orok) yang tak bernapas ketika lahir dan ayam
berbulu putih.
[5] Sebagian
nama kampung di tanah Minahasa terjadi
perubahan bentuk dan pelafalan (alomorf dan alofon). Contoh seperti Tondei dari
tinondeian,
Pontak dari pinontaran, Raanan dari raang, dll.
[6] Menurut
keterangan Marto Kumakau (meweteng) pinekuan
artinya dalam bahasa melayu manado da patah akang tuis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar