halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Sabtu, 27 Oktober 2012

CINTA DAN BUDAYA PATRIARKI



        I.            DEFINISI
Domba Kecil
Ketika mendengar atau membaca kata ‘cinta’ maka yang menjadi gambaran mental dalam otak kita adalah gambar hati atau sepasang manusia pria dan wanita. Tapi sebenarnya cinta memiliki arti lebih dari itu karena cinta bukan hanya tentang pria dan wanita. Agape, storge, phile, dan eros sepadan dengan kata cinta dalam bahasa Indonesia tetapi penggunaan kata-kata tersebut sangatlah kontekstual; cinta yang ditujukan pada sesuatu yang supranatural, keluarga/kerabat, benda, dan lawan jenis. Pada saat ini definisi cinta yang akan kita bahasa khusus hanya pada cinta dalam pengertian eros.
Cinta (eros) adalah kondisi perasaan yang melibatkan hasrat seksual sebagai kebutuhan biologis dan psikologis manusia. Tetapi konsep ini dikaburkan dengan ungkapan bahwa cinta jenis ini tak terjelaskan ketika dia muncul. Sebenarnya itu hanya untuk menghindari tuduhan bahwa perasaannya itu asusila atau bertentangan dengan moralitas. Seksualitas tidak seharusnya kita identikkan dengan kegiatan bersenggama atau penetrasi. Menurut bapak psikoanalisis (Sigmund Freud) seksualitas tidak hanya dimulai pada umur belasan atau pada tahap genital manusia tetapi telah dimulai sejak masih bayi.
Ketika orang jatuh cinta ada sekumpulan hasrat dan perasaan tak terjelaskan sehingga mereka hanya bisa berkata bahwa mereka sangat mencintai seseorang itu. Hasrat ini yang mendorong seseorang untuk mengorbankan apa saja demi cinta.
      II.            PATRIARKI DAN PENINDASAN PEREMPUAN
Sebagian besar budaya dunia didominasi oleh patriarki; bukan hanya garis keturunan yang ditentukan oleh pria (patrilineal) tetapi konsep keagamaan dan kenegaraan ditentukan oleh kaum pria. Misalnya tuhan diidentikkan dengan maskulinitas dan pemimpin-pemimpin didominasi oleh kaum pria.
Budaya patriariki menciptakan berbagai mitos tentang perempuan dan yang paling umum perempuan adalah makhluk lemah, emosional, dan ditakdirkan kerja di dapur mengurusi rumah tangga dan anak. Memang umumnya perempuan sekarang terlihat seperti itu tetapi kondisi perempuan sekarang ini ditentukan oleh evolusi sosial yang sangat dipengaruhi oleh munculnya budaya patriarki. Seakan-akan kondisi perempuan sekarang adalah takdir kolektif mereka dan tidak bisa diubah. Padahal kondisi sekarang ini telah melalui proses srukturasi sosial yang begitu panjang.
Panter
Pada awalnya pria dan wanita memiliki kekuatan sama dan bekerja menggunakan alat-alat produksi yang sama pula. Ketika wanita mengalami menstruasi, hamil, dan menyusui maka produktivitas kerja mereka terhenti. Ketika ini pula kaum pria mengusai alat-alat produksi dan menempatkan wanita pada kerja-kerja ringan. Secara biologis wanita lemah bukan karena takdir tetapi oleh karena kesempatan kerjanya berkurang. Hal ini terbukti ketika kita membandingkan masyarakat desa dan perkotaan. Masyarakat desa terbiasa dengan kerja-kerja berat sementara masyarakat kota tidak. Orang-orang yang terbiasa dengan kerja-kerja ringan akan sangat sulit ketika tiba-tiba dihadapkan pada kerja yang tingkat beratnya di luar kebiasaan. Wanita mengalami hal yang sama, ketika mereka terbiasa dengan kerja-kerja ringan maka otot-otot mereka menyusut. Jadi sebenarnya wanita lemah bukan berarti mereka tidak akan bisa mengerjakan kerja-kerja yang dilakukan oleh pria tetapi karena tidak terbiasa melakukannya.
Mitos kedua adalah wanita adalah makhluk emosional sementara pria adalah makhluk logikal atau rasional sehingga yang harus mengatur masyarakat haruslah pria. Tetapi sebenarnya yang pertama kali mengunakan akalnya dalam peradaban manusia adalah wanita. Ketika melahirkan wanita yang pertama kali berpikir untuk melindungi bayinya dengan sesuatu yang hangat, menemukan obat-obatan, dan api. Ini didorong oleh prinsip ‘survival of the fittest’ atau ‘struggle of existence’ untuk melindungi keturunan dan kontinuitas spesies. Mitos bahwa wanita adalah makhluk emosional telah terbukti tidak benar dengan lahirnya pemimpin-pemimpin wanita yang tangguh seperti Jean d’Arc, Margareth Thatcher, Golda Meir dan perjuangan hak-hak kaum gay/ homosesks yang mengaku diri mereka secara psikologis adalah perempuan; mereka sangat emosional.
    III.            ROMANTISME
Abad romantisme membuat banyak konsepsi tentang cinta yang sangat abstrak dan idealistis bagi manusia. Sastra-satra didominasi oleh kisah heroik tentang cinta yang menyangkut perjuangan dan pendobrakan tatanan sosial yang didorong oleh semangat cinta. Cinta telah menjadi identik dengan pengorbanan, kesetiaan, dan mampu mengalahkan segalanya sehingga manusia telah percaya bahwa cinta sejati seperti dalam karya sastra dan film benar-benar ada.
Tetapi ada juga sebagian sastrawan yang beraliran realis yang menggambarkan bahwa konsepsi cinta sejati pada kenyataannya tidaklah ada. Saya ingin mengutib beberapa lirik lagu seperti “love is one big illusion” (MLTR), “love hurts…love is just a lie” (Nazareth), “cause nothing last forever and we both know heart can change” (Guns and Roses). Semua lagu itu memberikan penyadaran bahwa cinta hanya akan berakhir pada pengkhianatan dan penyesalan. Mungkin konsepsi ini juga sejalan dengan ungkapan dalam The Holy Bible yang berkata “tidak ada yang sempurna, seorang pun tidak”. Setiap janji dan komitmen tidak seorang pun yang menjalankannya secara sempurna.
Memang pada kenyataannya masyarakat telah dininanbobokan dengan konsepsi cinta yang begitu idealistis. Kampanye-kampanye cinta memang dibantu oleh media massa dan media elektronik sehingga masyarakat kita yang cenderung konsumeris telah menelan mentah-mentah konsepsi cinta seperti itu. Umumnya manusia usia belasan yang menjadi korban cinta karena mereka telah diindoktrinasi oleh lagu-lagu dan film-film drama romantik yang membuat mereka mengidentifikasikan diri dalam kepolosan.
    IV.            CINTA DAN LEGITIMASI
Dengan konsepsi cinta manusia rela berkorban oleh karena satu keyakinan bahwa cinta sejati memang ada. Mereka sanggup menerima segala konsekuensi oleh karena cinta yang mereka anggap tulus. Ayat-ayat cinta adalah mantra-mantra yang bisa menghipnosis siapa saja dan itu dianggap sangat normal. Kita memang sedang hidup di zaman gombalisasi dan masyarakat kita terhipnosis oleh media sehingga cara berpikir, berperilaku, gaya pakaian, dan pola makan kita disesuaikan dengan apa yang lagi tren.
Tak heran sekarang ini cinta telah melegitimasi seks di usia dini, seks di luar nikah, dan praktik aborsi. Kata-kata cinta telah menjadi standar ketulusan untuk melakukan hal-hal yang sangat menyimpang dari norma-norma sosial dan agama. Terlalu banyak orang yang beriman tetapi tak mampu menahan nafsu mereka. Atas nama cinta manusia rela mengkhianati kepercayaan mereka dan meninggalkan keluarga, sahabat, dan bangsa mereka sendiri.
Cinta juga telah menjadi alat legitimasi yang sangat kuat dalam menunjang produk-produk kapitalisme. Seperti iklan-iklan parfum, bedak, mobil, motor, dan yang lain sehingga cinta telah menjadi mediasi dalam melakukan misi pembodohan masyarakat. Masyarakat kita yang masih kurang dewasa telah menjadi korban pembodohan yang tersistematis dari para kaum kapitalis. Kita perlu kesadaran dalam hidup karena memang banyak manusia yang hidup dengan naluri dan mengabaikan identitasnya sebagai homo sapiens.
      V.            KE ARAH PERUBAHAN
Emansipasi untuk kaum perempuan belum terlalu kentara khususnya di dunia timur oleh karena praktik poligami, KDRT, dan trafficking masih berlaku. Memang pada dasarnya kesadaran akan eksploitasi terhadap kaum perempuan masih kurang di masyarakat kita dan lebih banyak wanita telah menyenangi keadaan yang telah terkondisikan bagi mereka. Pergerakan penyadaran tentang ekploitasi kaum perempuan seharusnya bukan hanya oleh kaum perempuan saja tetapi oleh lelaki juga dan menggabungkan diri dalam perjuangan feminisme.
Perempuan harus berani tampil sebagai pemimpin dan menghancurkan segala mitos tentang dirinya. Mereka harus berani menyatakan bahwa mereka bukan objek seksualitas atau derajatnya lebih rendah dari kaum laki-laki. Perempuan harus mengisi fungsi sosial dalam semua bidang sehingga mitis tentang kekhususan kerja yang telah ditakdirkan menjadi terbantahkan. Perempuan tidak seharusnya menerima hal yang telah terkondisikan pada diri mereka tetapi juga harus lebih aktif dalam upaya menyamakan hak-hak kemanusiaan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar