halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Kamis, 04 Juli 2013

PERSELINGKUHAN DI SUATU SENJA



Di suatu senja aku bertemu dengan mantan kekasihku di sebuah halte tua. Dalam cahaya yang semakin remang aku mengenalinya dari cara dia duduk dan melamun. Awalnya aku ragu untuk mendekat dan menyapa tetapi aku mencoba menghadapi masa lalu. Aku duduk di sampingnya dan menanyakan kabarnya selama bertahun-tahun tak bertemu. Dia menoleh padaku menatap heran kemudian kembali melamun seakan aku tak berbicara padanya. Aku terus menanyakan kabarnya dan sedikit menceritakan tentang diriku selama ini. Aku tahu dia sangat marah padaku karena tiba-tiba pergi meninggalkannya tanpa memberi alasan. Aku berbicara tanpa memandangnya karena aku tak sanggup menatap matanya yang diselimuti kesedihan. Sejam berlalu dan dia tak membalas sepatah kata pun. Kini aku mulai sadar betapa tersiksanya dia di kala itu.

“Anda berbicara padaku?” dia bertanya dengan nada heran.

Akhirnya dia berbicara. Aku senang mendengar suaranya; suara yang selalu melantunkan lagu-lagu cinta di saat kami bermesraan menikmati setiap senja di masa-masa lalu. Di senja ini pula aku mendengar kembali suaranya. Aku bahagia. Setidaknya dia sudah menanggapi kata-kataku selama sejam.
“Aku kira anda berbicara pada seseorang yang lain.” Dia melanjutkan diikuti dengan senyuman.

Aku terdiam sesaat dan memandanginya. Aku terpesona seperti saat pertama kali melihatnya dulu. Waktu itu dia berjalan di koridor kampus dengan menggunakan mantel bulu berwarna merah. Hari itu hujan dan dingin menusuk sampai ke tulang. Sejak saat itu aku ingin memberi kehangatan padanya untuk waktu yang lama.

“Aku sungguh minta maaf. Aku tahu kau begitu menderita setelah kepergianku…” Aku berucap sambil terbata-bata.
“Tapi maaf,” dia memotong, “tapi aku sama sekali tak mengerti apa yang anda bicarakan. Apakah kita saling kenal? Aku sama sekali belum pernah bertemu dengan anda sebelumnya.”

Bumi berhenti berputar, jiwaku terkoyak. Betapa besarnya kesalahan yang aku buat sehingga dia kini mengingkari mengenal diriku. Ataukah aku memang salah mengenali orang? Tidak. Ini cintaku yang lama, aku tak mungkin salah mengenali cinta itu. Bertahun-tahun aku menghabiskan waktu dengannya aku tahu persis suaranya, postur tubuhnya, lembut kulitnya, dan sama sekali yang tak berubah adalah sorot matanya. Tak mungkin, aku tak mungkin salah mengenali cintaku. Tak masalah jika dia menolak untuk berbicara tapi jangan pernah mengatakan kau tak mengenaliku. Menyangkal mengenaliku adalah pengkhianatan terhadap masa lalu. Berbicara tentang penyangkalan aku teringat tentang kisah dalam Injil. Petrus meyakini dirinya adalah pengikut setia Yesus tetapi gurunya itu tahu bahwa muridnya sementara bereforia dengan keyakinannya. Petrus berjanji bahwa sekalipun iman murid-muridnya goyah dia tak akan menyangkal gurunya. Tetapi ketika gurunya ditangkap dan disiksa di depan orang banyak dengan segala tuduhan akan kejahatan dan penyesatan maka dia menolak mengenal Yesus. Itulah kisah tentang janji yang diingkari.
Aku yang berjanji tapi dia yang menyangkal aku. Inilah karmaku. Tapi mungkinkah dia mengalami amnesia karena kecelakaan sehingga melupakan kisah-kisah tentang aku dan dia di setiap senja? Di sini di halte tua ini menyimpan kisah cinta aku dan dia. Setiap senja aku selalu menjemputnya dan membawa dia pulang ke rumahnya. Mungkinkah dia sedang membuat lelucon untuk mengerjaiku? Sungguh ini tidak lucu. Aku menceritakan kembali kisah-kisah dengannya di mana kami berbagi suka dan duka. Aku mengingatkan tentang hadiah boneka sapi dan anjing lucu yang pernah kami pelihara bersama.

“Jika semua itu benar, apa bukti masa lalu itu?” dia bertanya sambil membengkokkan mulutnya.

Aku berlari menuju masa lalu. Di lorong itu aku dikejar kawanan serigala yang lapar akan jiwa-jiwa orang patah hati. Aku pergi ke tempat-tempat di mana kami pernah bersama dan memotret kebahagiaan aku dan dia. Sejenak aku berhenti dan memandangi aku dan dia begitu mesranya tertawa dan saling memberi ciuman. Aku menyadari kembali kebahagiaan itu dan menyesal telah meninggalkannya. Aku memotret semua kebahagiaan itu berharap setelah dia melihatnya dia akan mengingatku lagi. Aku berlari menuju masa kini. Lorong sunyi. Ke mana serigala-serigala itu? Mungkin mereka sementara bersembunyi di balik tong sampah atau di belakang pintu-pintu pintas menuju alam baka. Aku berjalan perlahan. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Tak ada reaksi dari serigala-serigala itu. Aku mempercepat langkahku. Tiba-tiba dari belakang terdengar raungan. Aku takut dan semakin takut. Aku berlari. Ketika menoleh ke belakang boneka sapi dan anjing peliharaan kami sedang mengejarku. Tetapi anehnya ukuran mereka begitu besar dan dengan wajah mengerikan mengejarku seakan aku ini santapan. Mengerikan.
Sesampai di halte tua aku menunjukkan foto-foto itu kepadanya. Inilah kenangan kebahagiaan kita di masa lalu. Kau pasti mengingatnya sekarang. Aku terengah-engah. Dia melihat lembaran-lemabaran foto itu dan berkata betapa indahnya foto-foto itu. Dia tersenyum melihat lembar demi lembar. Aku senang kini dia telah mengingat kisah kebahagiaan aku dan dia.

“Mungkin kita pernah bersama di masa lalu tapi masa lalu adalah ilusi dan itu tak benar-benar nyata. Kau membawakan aku kebahagiaan masa lalu tentang tawa dan ciuman tapi maafkan aku tak benar-benar mengingatnya.”

Aku terperanjat dan ternganga. Dia berdiri dan menghadap ke samping kiri. Seseorang lelaki datang dari arah itu membawa payung hitam yang lebar. Wajahnya samar. Gerimis turun. Dia berjalan ke arah lelaki yang membawa payung hitam itu. Sebelum masuk ke dalam payung dia menoleh padaku dan berkata, “ Katakan pada masa laluku aku bahagia di masa kini.” Mereka berdua berjalan menjauhiku. Lelaki itu menoleh padaku sambil tersenyum. Aku kaget. Lelaki itu adalah diriku sendiri. Dia berpaling dariku, berjalan, dan melingkarkan tangannya di pinggang wanita itu. Dengan mesra mereka berlalu dari pandanganku. Aku cemburu. Itulah senja terakhir aku melihat kekasihku. Bukan. Mantan kekasihku.
Jiwaku rapuh sementara gerimis semakin deras. Aku bertanya pada roh kehidupan kenapa dia telah melupakan aku. Roh kehidupan muncul dan menceritakan semuanya.

“Senja ketiga setelah kau meninggalkannya wanita itu datang ke halte ini sambil menangis. Dia terus bertanya kenapa kau meninggalkannya. Setiap senja dia selalu datang ke tempat ini menunggu dirimu. Aku terus memperhatikannya. Suatu waktu dia datang lagi sambil menangis aku melihat jari-jarinya berdarah. Dia mencabut semua kuku jari tangannya. Dia melampiaskan derita batinnya dalam kesakitan daging. Karena prihatin terhadap keadaannya aku mendekat dan bertanya apa yang bisa ku lakukan untuk mengusir kesedihannya. Dia memintaku untuk menghapus dirimu dari ingatannya. Dengan senang hati aku melakukannya. Hari-hari berikutnya aku melihat dia tersenyum lagi dan menjalani hidupnya dengan bahagia hingga suatu senja seseorang datang dalam hidupnya. Senja itu baru saja berlalu dan kau ada dalam senja itu.”

Roh kehidupan pergi seperti uap di udara. Aku terpaku dan bertanya-tanya. Haruskah juga aku meminta roh kehidupan menghapus dirinya dalam ingatanku? Kegelapan datang menyelimuti diriku dan halte tua itu.

1 komentar:

  1. https://www.facebook.com/groups/100530276655143/

    BalasHapus