Di
suatu senja aku bertemu dengan mantan kekasihku di sebuah halte tua. Dalam
cahaya yang semakin remang aku mengenalinya dari cara dia duduk dan melamun.
Awalnya aku ragu untuk mendekat dan menyapa tetapi aku mencoba menghadapi masa
lalu. Aku duduk di sampingnya dan menanyakan kabarnya selama bertahun-tahun tak
bertemu. Dia menoleh padaku menatap heran kemudian kembali melamun seakan aku
tak berbicara padanya. Aku terus menanyakan kabarnya dan sedikit menceritakan
tentang diriku selama ini. Aku tahu dia sangat marah padaku karena tiba-tiba
pergi meninggalkannya tanpa memberi alasan. Aku berbicara tanpa memandangnya
karena aku tak sanggup menatap matanya yang diselimuti kesedihan. Sejam berlalu
dan dia tak membalas sepatah kata pun. Kini aku mulai sadar betapa tersiksanya
dia di kala itu.
“Anda
berbicara padaku?” dia bertanya dengan nada heran.
Akhirnya
dia berbicara. Aku senang mendengar suaranya; suara yang selalu melantunkan
lagu-lagu cinta di saat kami bermesraan menikmati setiap senja di masa-masa
lalu. Di senja ini pula aku mendengar kembali suaranya. Aku bahagia. Setidaknya
dia sudah menanggapi kata-kataku selama sejam.
“Aku
kira anda berbicara pada seseorang yang lain.” Dia melanjutkan diikuti dengan
senyuman.
Aku
terdiam sesaat dan memandanginya. Aku terpesona seperti saat pertama kali
melihatnya dulu. Waktu itu dia berjalan di koridor kampus dengan menggunakan
mantel bulu berwarna merah. Hari itu hujan dan dingin menusuk sampai ke tulang.
Sejak saat itu aku ingin memberi kehangatan padanya untuk waktu yang lama.
“Aku
sungguh minta maaf. Aku tahu kau begitu menderita setelah kepergianku…” Aku
berucap sambil terbata-bata.
“Tapi
maaf,” dia memotong, “tapi aku sama sekali tak mengerti apa yang anda
bicarakan. Apakah kita saling kenal? Aku sama sekali belum pernah bertemu
dengan anda sebelumnya.”
Bumi
berhenti berputar, jiwaku terkoyak. Betapa besarnya kesalahan yang aku buat
sehingga dia kini mengingkari mengenal diriku. Ataukah aku memang salah
mengenali orang? Tidak. Ini cintaku yang lama, aku tak mungkin salah mengenali
cinta itu. Bertahun-tahun aku menghabiskan waktu dengannya aku tahu persis
suaranya, postur tubuhnya, lembut kulitnya, dan sama sekali yang tak berubah
adalah sorot matanya. Tak mungkin, aku tak mungkin salah mengenali cintaku.
Tak masalah jika dia menolak untuk berbicara tapi jangan pernah mengatakan kau
tak mengenaliku. Menyangkal mengenaliku adalah pengkhianatan terhadap masa
lalu. Berbicara tentang penyangkalan aku teringat tentang kisah dalam Injil.
Petrus meyakini dirinya adalah pengikut setia Yesus tetapi gurunya itu tahu
bahwa muridnya sementara bereforia dengan keyakinannya. Petrus berjanji bahwa
sekalipun iman murid-muridnya goyah dia tak akan menyangkal gurunya. Tetapi
ketika gurunya ditangkap dan disiksa di depan orang banyak dengan segala
tuduhan akan kejahatan dan penyesatan maka dia menolak mengenal Yesus. Itulah
kisah tentang janji yang diingkari.
Aku
yang berjanji tapi dia yang menyangkal aku. Inilah karmaku. Tapi mungkinkah dia
mengalami amnesia karena kecelakaan sehingga melupakan kisah-kisah tentang aku
dan dia di setiap senja? Di sini di halte tua ini menyimpan kisah cinta aku dan
dia. Setiap senja aku selalu menjemputnya dan membawa dia pulang ke rumahnya.
Mungkinkah dia sedang membuat lelucon untuk mengerjaiku? Sungguh ini tidak
lucu. Aku menceritakan kembali kisah-kisah dengannya di mana kami berbagi suka
dan duka. Aku mengingatkan tentang hadiah boneka sapi dan anjing lucu yang
pernah kami pelihara bersama.
“Jika
semua itu benar, apa bukti masa lalu itu?” dia bertanya sambil membengkokkan
mulutnya.
Aku
berlari menuju masa lalu. Di lorong itu aku dikejar kawanan serigala yang lapar
akan jiwa-jiwa orang patah hati. Aku pergi ke tempat-tempat di mana kami pernah
bersama dan memotret kebahagiaan aku dan dia. Sejenak aku berhenti dan
memandangi aku dan dia begitu mesranya tertawa dan saling memberi ciuman. Aku
menyadari kembali kebahagiaan itu dan menyesal telah meninggalkannya. Aku
memotret semua kebahagiaan itu berharap setelah dia melihatnya dia akan
mengingatku lagi. Aku berlari menuju masa kini. Lorong sunyi. Ke mana
serigala-serigala itu? Mungkin mereka sementara bersembunyi di balik tong
sampah atau di belakang pintu-pintu pintas menuju alam baka. Aku berjalan
perlahan. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Tak ada reaksi dari
serigala-serigala itu. Aku mempercepat langkahku. Tiba-tiba dari belakang
terdengar raungan. Aku takut dan semakin takut. Aku berlari. Ketika menoleh ke
belakang boneka sapi dan anjing peliharaan kami sedang mengejarku. Tetapi
anehnya ukuran mereka begitu besar dan dengan wajah mengerikan mengejarku
seakan aku ini santapan. Mengerikan.
Sesampai
di halte tua aku menunjukkan foto-foto itu kepadanya. Inilah kenangan
kebahagiaan kita di masa lalu. Kau pasti mengingatnya sekarang. Aku
terengah-engah. Dia melihat lembaran-lemabaran foto itu dan berkata betapa
indahnya foto-foto itu. Dia tersenyum melihat lembar demi lembar. Aku senang
kini dia telah mengingat kisah kebahagiaan aku dan dia.
“Mungkin
kita pernah bersama di masa lalu tapi masa lalu adalah ilusi dan itu tak benar-benar
nyata. Kau membawakan aku kebahagiaan masa lalu tentang tawa dan ciuman tapi
maafkan aku tak benar-benar mengingatnya.”
Aku
terperanjat dan ternganga. Dia berdiri dan menghadap ke samping kiri. Seseorang
lelaki datang dari arah itu membawa payung hitam yang lebar. Wajahnya samar.
Gerimis turun. Dia berjalan ke arah lelaki yang membawa payung hitam itu.
Sebelum masuk ke dalam payung dia menoleh padaku dan berkata, “ Katakan pada
masa laluku aku bahagia di masa kini.” Mereka berdua berjalan menjauhiku.
Lelaki itu menoleh padaku sambil tersenyum. Aku kaget. Lelaki itu adalah diriku
sendiri. Dia berpaling dariku, berjalan, dan melingkarkan tangannya di pinggang
wanita itu. Dengan mesra mereka berlalu dari pandanganku. Aku cemburu. Itulah
senja terakhir aku melihat kekasihku. Bukan. Mantan kekasihku.
Jiwaku
rapuh sementara gerimis semakin deras. Aku bertanya pada roh kehidupan kenapa
dia telah melupakan aku. Roh kehidupan muncul dan menceritakan semuanya.
“Senja
ketiga setelah kau meninggalkannya wanita itu datang ke halte ini sambil
menangis. Dia terus bertanya kenapa kau meninggalkannya. Setiap senja dia selalu
datang ke tempat ini menunggu dirimu. Aku terus memperhatikannya. Suatu waktu
dia datang lagi sambil menangis aku melihat jari-jarinya berdarah. Dia mencabut
semua kuku jari tangannya. Dia melampiaskan derita batinnya dalam kesakitan
daging. Karena prihatin terhadap keadaannya aku mendekat dan bertanya apa yang
bisa ku lakukan untuk mengusir kesedihannya. Dia memintaku untuk menghapus
dirimu dari ingatannya. Dengan senang hati aku melakukannya. Hari-hari
berikutnya aku melihat dia tersenyum lagi dan menjalani hidupnya dengan bahagia
hingga suatu senja seseorang datang dalam hidupnya. Senja itu baru saja berlalu
dan kau ada dalam senja itu.”
https://www.facebook.com/groups/100530276655143/
BalasHapus