Mereka
bukan manusia dan hidup hingga ribuan tahun; tubuh mereka pendek dan berambut
merah, orang tountemboan menyebutnya lo’lok. Rambut mereka panjangnya
bisa ratusan meter dan wajah mereka seperti wajah bayi; mereka tak pernah tua.
Mungkin saja mereka adalah kumpulan anak-anak yang tak ingin menjadi dewasa
atau dikutuk menjadi anak-anak selamanya. Lo’lok adalah makhluk misterius.
Para orang tua selalu mengingatkan anak-anaknya untuk tidak bermain di koso’[1]
atau di kuala[2]
karena itu merupakan tempat mereka biasanya. Anak manusia akan dianggap bagian
dari bangsa mereka karena memilki ukuran tubuh yang sama. Banyak orang yang
bertutur tentang kisah-kisah anak yang hilang dibawa oleh lo’lok. Kadang mereka membawa anak-anak masuk ke dalam batu atau ke
dunia mereka dan anak itu hanya akan ditemukan oleh orang yang bisa
berkomunikasi dengan makhluk itu. Hal seperti ini bisa dikonsultasikan dengan
para ma’tengo
dan ma’wentel[3].
Suatu
senja seorang anak kecil menyendiri di pojok rumah. Dia ketakutan dan tak
berani bergerak atau menimbulkan suara. Jika keberadaannya diketahui maka orang
di dalam rumah itu akan datang menghantamnya. Erol adalah anak seorang petani. Dia
masih berumur 8 tahun. Ayah dan ibunya setiap hari pergi ke kebun yang lumayan
jauhnya. Jika ayah dan ibunya tinggal di kebun selama beberapa hari maka anak
itu akan dititipkan pada seorang saudara di kampung. Erol sebenarnya adalah
anak angkat yang masih memilki ikatan darah. Di desa biasanya anak yang dilahirkan tanpa adanya ikatan
pernikahan ketika mereka terlantar maka saudara dari ibu atau ayah dari anak
itu akan memungut atau mengangkatnya menjadi anak. Anak angkat ada yang
bernasib baik tetapi ada juga yang sial. Ada dari mereka yang dianggap sebagai
anak kandung tetapi ada juga yang hanya diangkat anak dan diperlakukan seperti
pembantu rumah tangga.
Seperti
anak-anak pada umumnya, Erol suka bermain dan bapontar[4].
Dia juga gemar menantang anak-anak laki-laki lainnya untuk berkelahi. Kebiasaannya
berjalan ke segala penjuru kampung untuk mencari anak nakal lainnya supaya bisa
diajak berkelahi. Atau juga seringkali mereka berkomplotan mencari buah-buahan
di kebun orang. Barombit[5]
dilarang keras oleh para orang tua bagi anak-anaknya tetapi mencuri buah-buahan
itu lumrah. Yang diaggap paling fatal adalah mencuri uang, kalung, gelang,
cincin emas dalam rumah orang; atau juga masuk warung dan menjarah barang
dagangannya. Mencuri buah untuk dimakan dianggap tidak terlalu akan membawa
masalah. Biasanya pemilik kebun akan memaklumi hal tersebut. Memaklumi
pencurian dalam jumlah kecil adalah ciri komunalitas masyarakat desa yang masih
tersisa.
Anak-anak
juga suka mempertunjukan keahlian mereka. Mereka suka pamer dan mendapat
pujian. Obsesi mendapatkan pujian membuat anak-anak sering keluyuran sepulang
sekolah dan mencari kawan-kawannya. Erol tahu konsekuensi dari hal ini tetapi
dia terbiasa dengan omelan dan cambukan. Demi mendapatkan pujian, omelan dan
cambukan tak lagi memiliki arti apa-apa. Dia telah beberapa kali berjanji tak
akan mengulang kesalahannya. Seperti banyaknya perjanjian yang dia buat begitu
juga pelanggaran yang dilakukan. Dia telah mengambil keputusan untuk tidak
pulang. Om dan tante tempat dia dititipkan menanti-nanti dan kelihatan garang di
depan rumah sambil memegang cambuk. Erol melafalkan apa yang diajarkan oleh
gurunya di sekolah. ‘Di ujung cemeti ada
emas’. Cambuk bagi mereka adalah simbol pendidikan tetapi Erol sebenarnya
tak begitu mengerti hal itu. Yang dia terima dari cemeti adalah kesakitan yang
didorong oleh luapan-luapan emosi.
Hari
semakin gelap dan rintik hujan berjatuhan dari senja langit. Anak-anak
berlarian bermain di tengah rintik hujan itu. Anak-anak memang tak pernah lelah
untuk bermain seakan hidup hanya untuk bermain. Erol ingin bermain
tetapi bayang-bayang cambukan mengiang di kepalanya. Dia telah memutuskan untuk
tidak pulang. Pikirnya dia akan memuaskan dirinya bermain terus menerus. Dia
mulai bergabung dengan kawanan anak-anak kecil itu mereka bermain, salaing
mengejar, mendorong, dan tertawa terpingkal-pingkal. Dia sebenarnya tak
mengenal teman bermainnya ini tetapi bermain tak mengenal kawan; yang
terpenting adalah bermain. Hari semakin gelap. Erol terengah-engah karena
kelelahan bermain. Teman-temannya masih asyik bermain. Mereka mulai menjauhi
kampung dan kejar mengejar sambil tertawa. Erol berjalan mengikuti mereka dari
belakang. Semua anak itu berambut panjang. Tak tahu di antara mereka manakah
yang laki dan perempuan.
Semakin
jauh mereka dari perkampungan dan anak-anak itu bermain di bawah terang bintang
dan rintik hujan. Erol menyadari kini dia berada dekat dengan kawasan ranotelu[6].
Ini adalah jalan yang selalu dilalui olehnya ketika pergi ke kebun bersama ayah
dan ibunya. Dia tahu bahwa ada tiga sungai yang harus dilewati. Aliran
sungainya deras. Dia teringat ayahnya selalu menggendong apabila melewati
sungai-sungai itu. Dia mulai takut sekarang. Kemungkinan dia akan hanyut dibawa
arus sungai. Tubuhnya yang kecil tak akan mampu melawan derasnya sungai itu.
Sesampai di tepi sungai dia melihat kawanan anak itu berjalan di atas batu
melintasi sungai. Mereka terus tertawa. Erol terus mengikuti jalan mereka.
Cahaya. Ada cahaya di depannya. Mungkinkah anak-anak itu sekarang akan bermain
api? Erol berpikir harus menghentikan mereka karena ayahnya selalu mengingatkan
untuk tidak bermain api. Banyak hutan dan kebun terbakar hanya karena ulah
anak-anak. Dia melaju menyusul anak-anak itu. Tak di sangkanya cahaya itu ada
dalam sabua[7].
Orang
yang berada di dalam mendengar langkah-langkah di luar. Sang suami meraih
parang yang diletakkannya di dekat tempat berbaring. Kebun yang terletak di
dekat hutan seperti ini rawan bahaya baik dari pencurian bahkan ancaman binaang
buas. Lelaki bertubuh kekar itu meraih pintu yang terbuat dari bambu. Tangan
kanannya mengangkat parang siap untuk diayunkan pada sesuatu tepat di
hadapannya. Perlahan-lahan dia menarik pintu. Ketika pintu terbuka lebar lelaki
itu berteriak sambil mengayunkan parang. Tiba-tiba tangisan meledak. Hampir
saja sang ayah membunuh anak itu. Untung dia cepat mengenali anak di depannya
itu. Tangisan anak itu membangunkan sang ibu. Mereka heran mengapa anak ini tiba-tiba
dating di malam yang begitu larut.
“Sapa reen da antar ngana kamari?” sang
ayah bertanya.
“Qt pe tamang-tamang.” Erol menjawab
sambil terisak.
“Kong mana dorang?”
Erol
terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba teman-temannya menghilang tanpa
pamit. Baru saja dia ingin memperingatkan mereka tetapi ternyata dia telah
sampai di tempat ayah dan ibunya. Dia sangat bingung. Orang tuannya memahami
fenomena ini. Tak mungkin dia diantar oleh manusia. Pasti roh-roh dari alam
gaib yang menuntunnya ke sini. Jarak dari kampung ke perkebunan itu sekitar 9
km. Para tetua sering mengatakan bahwa bukan hanya kita yang hidup di dunia
ini; ada yang lain. Kadang mereka suka untuk bergaul dengan kita tetapi kadang
juga sering ingin mengerjai kita.
***
Lima belas tahun
berlalu. Erol sungguh tak mengingat persis apa yang dialaminya dengan sekawanan
lo’lok. Kini dia telah tumbuh dan
mulai bergaul. Pergaulannya tak begitu baik karena dalam komunitasnya semua
orang suka minum dan bapeknek[8].
Setiap hari hanya seperti itu seakan tak ada masa depan. Orang muda memang
selalu ingin menghabiskan waktu dengan bersantai dan tak terlalu peduli dengan
masa depan. Suatu ketika mereka sadar bahwa tidak selamanya menjadi muda maka
mereka satu per satu menghentikan akvitas yang hanya buang-buang waktu.Dalam
komunitasnya terdiri dari orang-orang yang memiliki latar belakang tingkat
ekonomi yang berbeda. Biasanya ada bos dalam komunitas itu. Anak orang kaya
yang selalu membelikan minum untuk mabuk-mabukan dan keperluan waktu mereka
piknik. Ada juga yang bertindak sebagai tukang pukul. Jadi apabila komunitas
mereka diganggu atau ada yang mereka tak senangi maka si tukang pukul yang akan
mengurusnya. Erol hanya okoy[9]
dalam komunitas itu. Apapun yang akan dikerjakan mereka selalu menyuruhnya. Walaupun
itu sesuatu yang hina dia juga akan melakukannya kalau tidak dia pasti
dikeluarkan dari komunitas itu.
Bagi orang yang memiliki latar belangkang ekonomi
rendah adalah sangat menguntungkan bisa bergabung dengan komunitas ini. Dia
bisa menikmati makan dan minum yang lezat, menggunakan fasilitas si orang kaya,
dan bergaul dengan cewek dan cowok yang menarik. Tak ada yang mau dikeluarkan
dari komunitas ini. Mereka selalu berjanji dalam kemabukan akan menjadi sahabat
yang setia sampai mati. Janji-janji itu begitu polos karena memang mereka belum
mengenal hakikat hidup. Walaupun di hari-hari berikutnya mereka sering
berselisih soal perempuan atau sikap yang menganggap rendah satu sama lain.
Mereka meniru konsepsi persahabatan dalam sebuah puisi atau lirik lagu yang
mereka dengar. Tetapi sebenarnya mereka tak mengerti betul tentang
persahabatan.
Erol telah jenuh dengan komunitas itu. Dia mulai
mengalami krisis dalam hidupnya, mempertanyakan alasan hidup dan penderitaan
batin terlahir di tengah keluarga yang kekurangan. Setiap malam dia bermimpi
tentang kawanan anak-anak yang terus mengajaknya bermain. Saling mengejar,
bercanda, dan tertawa. Dia teringat masa kanak-kanaknya di mana dia tak perlu
memikirkan banyak hal tentang kehidupan. Bermain dan bermain, ya, itulah masa
yang sangat menyenangkan. Pikirnya bisakah dia kembali ke masa silam dan tetap
menjadi anak-anak.
“Ayo, ikutlah bersama kami.”
“Di sini setiap hari kami bermain.”
“Tak ada kedewasaan di sini.”
“Selamanya kita akan bermain.”
“Ayo bunuh diri!”
Ahhh. Erol dihantui mimpi buruk setiap malam. Setiap
mimpinya selalu ada kawanan anak-anak yang terus mengajak dia bermain. Di luar
kamar dia mendengar ibunya menyuruh dia untuk segera bangun dari tidur dan
menimba air. Dia terus memikirkan mimpinya. Selesai menimba air dia pergi ke
warung. Dia membeli seikat tali plastik berwarna biru. Ketika keluar dari
warung dia berpapasan dengan temannya. Seorang pemuda lansia (langkoy[10])
yang selalu bercanda dengan dia soal jodoh. Katanya Erol juga adalah calon
pemuda langkoy.
“Apa reen itu?”
“So lia-lia kamari
tali.”
“Mo beking apa e?”
“Mo pake
bagantong…”
Erol berlalu sambil tertawa sesudah mengucapkan
kata-kata itu. Kawannya pun ikut tertawa walau ketinggalan. Ada sedikit rasa
terkejut tetapi kemudian dia menyadari Erol hanya membuat lelucon seperti yang
mereka lakukan setiap kali bertemu. Pemuda-pemuda desa selalu membuat lelucon
mereka sendiri. Sering ada persaingan membuat lelucon untuk dipakai saat mereka
berkumpul di warung-warung. Sambil meminum cap tikus[11]
mereka mulai mengeluarkan lelucon; sambung menyambung. Ada yang menyindir ada
juga yang cabul. Mereka tertawa terbahak-bahak setelah mendengar lelucon yang
diceritakan. Cerita yang tidak lucu pun akan mengundang tawa karena
ketidaklucuannya.
Tiba di rumah Erol langsung masuk ke kamar. Dia
melihat ke dalam ayunan bayi dan adik kecilnya bermain-main dengan jarinya.
Erol tersenyum. Ibunya sedang memasak di dapur. Orang tua ketika bekerja
biasanya menghibur diri dengan bernyanyi lagu kesukaannya. Lagu makatana,
kalelon, atau lagu-lagu yang top di usia mudanya. Bagi yang memiliki tape atau VCD playerpasti akan segera menyelakannya ketika mereka bekerja.
Tetapi untuk memiliki barang-barang semacam itu harus memiliki penghasilan yang
cukup. Ibu dan ayahnya tak berminat memiliki barang elektronik karena itu akan
menambah biaya hidup. Biaya listrik pasti akan naik dengan adanya barang-barang
itu jadi menghibur diri dengan bernyanyi sendiri adalah juga bagian dari
penghematan.
Orok tiba-tiba menangis. Sang ibu berbicara ke arah
kamar menyuruh mengayunkan bayi. Bayi itu terus menangis dan semakin menjadi.
Ibunya kesal. Erol mungkin tertidur. Berbaring sambil menatap ayunan bayi sama
seperti dihipnosis. Perlahan kita akan jatuh tertidur. Ketika bayi menangis
kita akan tersadar dan kembali mengayunkan bayi sampai tertidur dan seterusnya
kita pun ikut tertidur. Sang ibu tak tega mendengar bayinya terus menangis. Dia
masuk ke dalam kamar dan meraih bayinya. Dia membersihkan wajah bayi yang penuh
keringat dan air mata setelah itu dia menyusui bayi itu. Dia ingin kembali ke
dapur menyelesaikan perkerjaannya. Dua langkah menuju pintu dia pun mulai
tersadar ada yang tergantung selain ayunan bayi. Erol tercekik dalam tali
plastik yang dibelinya tadi pagi. Ibunya berteriak histeris dan serentak
rumahnya dikerumuni tetangga. Orang-orang berdesakan ingin melihat apa yang
terjadi dan mulut ke mulut peristiwa itu diketahui oleh seantero kampung.
Orang-orang kampung mulai berspekulasi dalam
menginterpretasi motif bunuh diri itu. Ada yang beranggapan mungkin persoalan
harta. Yang lain menganggap itu semacam sensasi. Kawan-kawannya berpikir
mungkin ini karena seorang gadis. Hampir dua minggu Erol menjadi topik
pembicaraan dan setelah itu dilupakan. Tetapi teman-temannya masih traumatik
dan takut berjalan malam atau tidur sendiri apalagi pada malam ketiga setelah
kematiannya. Mereka percaya kematian yang tak wajar akan membuat jiwa orang itu
merana dan terus akan menjadi hantu. Hantu yang baru biasanya akan mengunjungi
semua tempat yang berkesan selama hidupnya dan mendatangi orang-orang yang
dekat dengan dia. Kawan-kawannya selalu merinding ketika mengingat tentang dia.
Tetapi waktu terus berlalu; siang berganti malam dan seterusnya.
Hari hampir gelap, rintik hujan berjatuhan, dan
kawanan anak-anak saling mengejar. Mereka saling mendorong satu sama lain dan
tertawa terpingkal-pingkal. Mereka bahagia dalam kekanakan mereka.
[1]
Jurang
[2]
Sungai
[3]
Memilki kemampuan melihat di masa lalu atau memilki jimat
[4]
Keluyuran
[5]
Mencuri
[6]Ranotelu dalam bahasa tountemboan
terdiri dari kata rano artinya air dan telu artinya tiga; tetapi secara
harafiah artinya adalah tiga sungai karena di tempat ini ada tiga sungai
berdekatan.
[7]
Tempat berteduh di kebun yang biasanya berdinding bulu (bambu) dan beratap
dari daun woka atau katu.
[8]
Berpiknik .
[9]
Orang yang selalu patuh pada perintah dalam keadaan apapun.
[10]
Lelaki tua yang belum memilki pacar
[11]
Minuman beralkohol khas orang Minahasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar