halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Jumat, 26 Juli 2013

KAWENG



(Pernikahan yang gagal)
Seisi rumah sungguh bahagia bahkan saudara dan kawan-kawannya pun turut bahagia. Engky akan menikah. Lelaki yang hampir mencapai usia 40an itu akhirnya mendapat jodoh juga. Gadis muda baik-baik, rajin, dan setia. Kedua belah pihak keluarga telah sepakat dalam acara tumantu untuk melangsungkan pesta pernikahan dua minggu lagi. Tanggal sudah ditetapkan dengan gembira orang tua dari calon mempelai laki dan perempuan menyiapkan segala sesuatu. Calon mempelai laki dan perempuan tak diizinkan untuk membantu. Mereka akan dilayani sebagaimana seorang raja dan ratu. Mereka harus memperhatikan kesehatan dan tidak sembarang bepergian. Jatuh sakit atau terkena musibah bahaya akan menggagalkan semua rencana.
Sebenarnya di desa menurut adat ada fase-fase yang harus dilalui oleh seorang pemuda dalam pergaulan sebelum menikah. Dimulai dari muey; ini adalah fase awal bagi seorang pemuda untuk menyatakan cintanya pada seorang gadis yang disukainya. Muey bisa diartikan melamar tetapi langsung pada si gadis. Bisa berhadapan langsung, melalui surat – sayangnya dulu belum ada teknologi digital untuk mengirim sms lewat handphone –  atau dengan perantaraan orang lain. Tumindondor-moweh; setelah diterima oleh gadis maka seorang pemuda wajib memberitahukan hubungan mereka kepada orang tuanya untuk meminta restu. Ini juga untuk mencegah jika si gadis bermain serong maka orang tuanya dapat mengingatkan bahwa dia sudah punya hubungan dengan seorang lelaki. Tetapi hari ini orang tua membiarkan anaknya pacaran dengan siapa saja sambil menilai tingkat ekonomi setiap anak lelaki yang datang. Setelah tahu dengan pasti maka mereka akan merekomendasikan lelaki mana yang pantas untuk anaknya itu. Tumantu/tumerang; fase ini adalah bertemunya kedua belah pihak keluarga untuk menyatakan restu terhadap hubungan anak mereka. Pertemuan ini mengarah pada kesepakatan perkawinan. Tumuruk; jika telah ada kesepakatan antar keluarga maka fase selanjutnya adalah membawa harta kepada orang tua si gadis atau juga disebut ‘antar harta’. Desa ini memang menganut budaya partriarki di mana seakan gadis yang dinikahi dibeli dari orang tuanya. Walaupun mereka memperhalusnya dengan berkata bahwa itu ‘bayar toto’. Sedikit demi sedikit budaya ‘antar harta’ hampir menghilang oleh karena persoalan ekonomi. Dengan berkembangnya jumlah individu maka tingkat persediaan menipis dan tingkat pendapatan menurun. Sekarang dengan modal cinta dan nekat kita bisa menikah dan melanggar tradisi.  Sumampet; pesta pernikahan dahulu sangat meriah dan tak pernah terpikir  kekurangan. Tetapi hari ini pesta pernikahan adalah beban berat yang harus ditanggung tapi kerena gengsi orang tetap akan melaksanakannya walau sesudah itu dikejar hutang.
Menikah mungkin adalah soal komitmen tetapi pada umumnya orang menikah karena dorongan biologis untuk bersetubuh setiap hari. Adat atau tradisi menjadi usang bersama berjalannya waktu sehingga dalam pergaulan anak muda tidak lagi memperhatikan hal-hal itu. Tumindondor-moweh misalnya, kita akan mendapati fase ini tidak lagi dianggap penting; dari muey langsung tumantu. Biasanya karena fase ini dilanggar banyak anak gadis menikah dalam keadaan hamil tua. Dalam hal pengaruh ekonomi maka tumuruk pun sudah sering diabaikan karena persoalan lelaki yang datang tumantu tidak punya modal bahkan pekerjaan tetap. Dia juga mungkin tak memiliki budel[1] karena telah dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perkembangan ekonomi menggeser mengubah ruang masyarakat. Dulunya dalam pergaulan seorang lelaki menyukai perempuan yang memiliki kemampuan kerja yang baik, begitu juga sebaliknya. Tetapi ruang pergaulan hari ini telah merubah perspektif anak muda dalam menilai calon pasangan mereka. Standar penilaian mereka telah bergantung pada seruan berulang-ulang yang mereka tonton setiap hari.
Engky kelihatan bahagia. Dia memeluk dan menggenggam tangan kekasihnya. Baru kali ini dia menyentuh wanita yang ingin dia kawini. Sebelumnya memang dia menyentuh beberapa wanita tetapi itu adalah ibu atau saudara perempuannya. Sungguh dia memang lelaki yang kuper atau tak pernah bergaul dengan para gadis. Sentuhannya sangat kaku dan terlalu banyak embel-embel gerakan. Dia tak menyadari bahwa birahi tidak akan peduli dengan aturan moral ketika mencapai puncak. Dia berusaha sopan membelai kekasihnya. Malam ini birahinya mungkin harus ditangguhkan karena tak lama lagi mereka akan menikah. Bersetubuh sebelum menikah akan mengurangi sensasi pada malam pertama sesudah pernikahan. Tetapi memang pada umumnya perkawinan lebih dulu terjadi daripada pernikahan. Perkawinan sah dilakukan atas dasar cinta sementara penikahan sah apabila orang tua, pemerintah, dan pihak agama merestuinya. Intinya perkawinan adalah soal emosional sementara pernikahan adalah soal konstitusional. Tetapi sebenarnya antara kawin dan nikah memiliki perbedaan yang sangat kabur dalam praktek percakapan masyarakat.
Dia kata so mo kaweng; kalimat tersebut adalah taksa karena memiliki dua kemungkinan pengertian. Kaweng[2] dalam artian persetubuhan atau menggelar sebuah pesta setelah mendaftarkan diri sebagai keluarga pada pemerintah dan gereja.  Kadang kalimat itu juga dinegasi dengan pernyataan bukang kaweng kwa mar nikah. Pada kenyataannya masyarakat memahami makna sebenarnya kata kaweng. Itu mungkin adalah perdebatan dalam filsafat bahasa yang tak harusnya diceritakan panjang lebar.
Gadis yang dipeluk dan dibelainya juga sangat kaku dalam merespon belaiannya. Mungkin memang keduanya belum pernah dibelai sebelumnya. Engky adalah lelaki berumur yang belum pernah pacaran sebelumnya sementara gadis ini masih belia dan langsung dijodohkan. Tetapi gadis ini sama sekali tak menolak untuk dijodohkan karena di desa banyak wanita tua memberi nasihat kepada anak gadis untuk tidak percaya pada cinta. “Ngoni kalo mo cari laki cari yang tau kerja. Biar le laki-laki gaga mar nda tau kerja dia re’e mo kse makang gaga pa ngana. Paling ngana makang bungkil.” Wanita tua memang sudah berpengalaman soal perasaan dan akhirnya mereka menyimpulkan pada akhirnya kebutuhan makan, minum, pakaian, rumah, dan hal-hal materialistik menjadi yang utama ketika sudah menikah. Jadi dijodohkan berarti orang tua telah menilai dan memastikan kebahagiaan rumah tangganya. Perjodohan adalah soal hitung-hitungan harta benda dari kedua bela pihak keluarga untuk memastikan anak mereka tidak akan melarat.
Ayam jantan berkokok saling berbalasan dan matahari mulai menampakkan diri. Engky terbangun di pagi hari untuk pertama kalinya ditemani seorang gadis di ranjangnya. Bahagianya dicampur rasa geli menyadari dirinya baru saja tidur dengan seorang gadis semalaman. Tanpa membangunkan kekasihnya dia langsung pergi untuk mandi. Hari ini mereka harus bersama mengambil foto pre-wedding. Ketika sarapan bersama keluarga mereka diberi sejumlah nasehat oleh orang tua tentang poso[3] sebelum menikah dan pada saat seorang istri dalam keadaan hamil. Walaupun masyarakat pada umumnya telah beragama Kristen tetapi banyak hal dari kepercayaan tua mereka yang masih dipraktikan. Tetapi memang ketika anak-anak mereka ingin tahu lebih dalam tentang itu maka mereka melarang dan menyembunyikannya. Engky memiliki karakter laki-laki pendiam sehingga semua nasehat orang tua hanya direspon dengan anggukan kecil.
Selesai smokol[4] mereka bergegas bersiap-siap. Mereka akan menggunakan sepeda motor ke desa lain untuk mengambil foto sebelum acara pernikahan. Engky agak canggung membonceng kekasihnya karena melintasi perkampungan banyak teman-temannya yang suka mengejek. Mereka adalah kumpulan langkoy pemabuk dengan semboyan SKS (siang kalu siang), KRISTAL (krisis tanpa alasan), tiada hari tanpa botol, atau ACIBOL (anak cinta botol). Engky mengedarai sepeda motor penuh beban karena malu akan mendapat ejekan. Tetapi dia tetap harus menghadapi ejekan itu sesakit apapun hatinya nanti.
“ya…kami sambut bapak engky bersama ibu”.
tekene tu pemuda langkoy da badapa jo re’e.”
nda cocok ngoni dua e.”
Engky tak mau memalingkan wajah pada teman-temannya itu dia hanya mendengar ejekan dan gelak tawa yang diarahkan kepadanya. Memang pemuda di desa gemar saling mengejek satu sama lain jadi hal seperti itu sudah biasa. Walaupun terpojok dan terhina hati mereka telah terbiasa dengan hal seperti itu. Tambahan pula ejekan seperti itu juga tak sepenuh hati untuk menjatuhkan kita tetapi sekedar gurauan saja.
                Tiga hari lagi pesta akan segera dilaksanakan jadi kesibukan kedua keluarga semakin nampak dalam mempersiapkan segala sesuatu. Persiapan harus benar-benar matang dan makanan memang harus berlimpah. Oleh karena sekarang ini dalam membuat pesta di desa undangan dua ratus pasti yang akan datang sekitar lima ratus orang. Karena dalam satu keluarga yang diundang rata-rata berjumlah lima orang (papa, mama, dan tiga orang anak). Belum lagi ditambah dengan si rongit-rongit[5] kampung yang adalah kumpulan tamu tak diundang.  Beras berkarung-karung telah dibeli dan bumbu (rampah-rampah) sementra disiapkan. Engky mengurung diri di kamarnya dan menolak untuk makan walaupun berkali-kali diingatkan. Dia terus berpikir tentang masa depan keluarganya nanti. Membayangkan tangisan bayi atau pertengkaran dengan istrinya. Dia tak sabar merasakan situasi-situasi dalam rumah tangga. Tetapi bayang tentang ejekan dari teman-temannya menggangu khayalan masa depannya yang indah.
                Sehari lagi pesta akan dilaksanakan. Orang-orang sibuk membantu mendirikan sabua atau todong. Sementara di bagian belakang rumah para ibu-ibu memasak dan membersihkan rampah-rampah sambil berceloteh. Di bagian samping bapak-bapak ribut dengan memotong daging babi, anjing, dan lainnya. Pada hari itu Engky juga masih mengurung diri di kamarnya dia hanya sekali-kali keluar dan mengurung diri lagi. Sang ibu khawatir dan menyuruh orang untuk memanggil calon istrinya supaya membujuk atau setidaknya menemani calon suaminya itu. Calon istri itu pun datang dan langsung menuju pintu kamar. Dia mengetuk begitu lama namun tak juga pintu dibukakan. Mungkin Engky sedang merajut atau berubah pikiran. Ayah dan ibunya juga membantu membujuknya untuk keluar menemui calon istrinya tetapi taka da juga suara menyahut. Mereka enggan memaksanya karena dia harus mempersiapkan  kebahagiaannya. Orang lain pun mulai terusik dengan sikapnya dan membantu membujuknya tetapi hasilnya juga sama; diam dalam kamar.
                Engky telah membuat lelucon untuk mereka. Setidaknya mereka berpikir begitu karena dia juga gemar dengan lelucon di balik sifat pendiamnya itu. Maka disuruhlah seorang mengintip dari jendela kamarnya dan memberitahu apa yang dilakukannya dalam kamar. Orang itu disuruh mengendap-endap supaya jangan sampai diketahui. Mereka terkekeh kecil sambil menunggu berita tentang apa yang terjadi dalam kamar itu.
                “Oh Tuhan!!!”
Semua orang di sekitar terpaku pada teriakan itu. Kurang dari lima detik orang-orang terkumpul mencari tahu apa yang terjadi. Orang yang mereka suruh untuk mengintip kelihatan gelisah sambil mendorong jendela dan mengisyaratkan orang lain untuk cepat bertindak. Orang-orang di situ kebingungan tentang maksudnya. Tetapi akhirnya mereka juga terdorong untuk melakukan apa yang diisyratkannya. Mereka mendobrak pintu kamar. Engky tergantung. Ayah dan ibunya masuk ke kamar dan menangis histeris disusul oleh calon istrinya. Engky telah mati tergantung seperti ayunan.
                Kemarau yang panjang dihapus oleh hujan sesaat. Semua persiapan dan harapan telah berubah menjadi derai air mata. Kebahagian yang sementara dipersiapkan diganti dengan dukacita yang akan berkepanjangan. Orang selalu berpikir kebahagian akan datang kelak tetapi mungkin masa-masa ini adalah kebahagian sementara derita menanti di hari esok.  Yang mereka persiapkan ternyata bukan pesta perkawinan tetapi acara pemakaman. Semua tema pernikahan diganti dengan pemakaman; bukan lagi puade[6] tetapi peti mati. Calon istrinya menangis terisak di samping jenazah. Kadang dia berteriak histeris sampai pingsan. Tetapi calon suaminya telah pergi dan hanya akan kembali dalam ingatannya. Dalam benaknya Engky bukan lagi calon suami tetapi sudah menjadi suaminya sejak mereka saling membelai. Gadis itu menyesal telah menunda untuk kawin di malam itu. Dia berpikir kalau saja malam itu mereka telah kawin maka setidaknya dia akan melahirkan seorang anak keturunan suaminya. Tetapi malam itu kekakuan menghalangi mereka untuk melakukannya.
                Sementara di luar kumpulan pemuda duduk termenung dalam sedih. Mereka tak berani membuat lelucon dalam suasana duka seperti ini. Mereka mulai menyesali telah mengejek teman mereka. Mungkin ejekan itu merupakan factor yang menyebabkan teman mereka bunuh diri sebelum menikmati kebahagiaannya. Mereka terpaku dalam rasa penyesalan.
***
                Malam ketiga setalah kematian. Engky memandangi rumahnya dan mengamati keluarganya yang masih berduka. Dia menyesal meninggalkan mereka. Dia ingin menangis tetapi bisakah roh menangis?
                Erol memegang pundaknya sambil berkata “Mari jo…so nda guna ngana lia-lia pa dorang. Skarang torang so beda dunia.



[1] Harta warisan
[2] Kawin atau nikah
[3] Sesuatu yang tak boleh dilanggar; pantangan.
[4] Sarapan pagi.
[5] Rongit adalah jenis lalat yang selalu mengikuti seekor sapi di mana pun dan kemana pun walaupun si sapi tak menyukai keberadaan mereka tetapi mereka selalu ada.
[6] Pangggung tempat duduk para mempelai serta orang tuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar