FILSAFAT MINAHASA[1]
(sebuah sumbangan untuk rekonstruksi kebudayaan)
I.
MASALAH JUDUL
Filsafat[2]
adalah istilah yang akan memunculkan gambaran mental, bagi orang yang telah
mengenalnya, pada pemikiran Yunani dan Eropa. Sejumlah tokoh dengan deret
nama-nama seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Descartes, Kant, Hegel akan
menjadi rujukan dalam benak kita. Oleh karena kata filsafat itu sendiri
diadopsi bukan milik kebudayaan kita. Filsafat identic dengan Yunani dan Eropa
karena perkembangannya di dua wilayah itu. Filsafat kontemporer telah direduksi
sehingga filsafat hanya berbicara soal metafisika dan dalam pengertian umum
filsafat adalah tentang sesuatu yang bermakna lebih dalam. Filsafat menjadi
sesuatu yang berkaitan dengan interpretasi terhadap suatu hal yang dapat
dijabarkan lebih luas. Lalu, bagaimana dengan ‘Filsafat Minahasa’? Minahasa
adalah etnis yang terletak jauh dari wilayah di mana filsafat tumbuh subur.
Dalam konteks pengertian filsafat yang bisa kita terjemahakan sebagai usaha
(yang didorong oleh keinginan) untuk mencari tahu segala sesuatu sampai ke akar
(radikal), logis, dan sistemis apakah hal itu bisa ditemukan dalam masyarakat (Tou)
Minahasa di masa lalu merupakan hal yang masih harus dicari dan diperdebatkan.
Tetapi dalam wacana secara umum ada
perbedaan signifikan antara filsafat timur dan filsafat barat. Ciri filsafat
barat adalah temanya yang makrokosmos sementara filsafat timur mikrokosmos.
Kita bisa melihat bahwa filsafat yang
muncul di barat memiliki empat elemen pembentuk kosmos yaitu api (fire), air (water), udara (air),
dan tanah (earth) sementara di timur ada air, kayu, api, tanah, dan logam.
Wilayah dan keadaan alam adalah faktor mempengaruhi cara berpikir manusia dan
itulah yang membedakan antara filsafat timur dan barat. Misalnya dalam
kepercayaan masyarakat politeisme itu disebabkan oleh factor lingkungan yang
memaksa mereka untuk mengidentifikasi kekuatan supranatural dalam berbagai
wujud seperti pohon besar, gunung, petir, laut, langit, hujan, dan sebagainya.
Tampaknya wilayah Filsafat Minahasa
yang akan kita bahas akan dipersempit ke wilayah timur. Dalam perspektif umum
masyrakat di wilayah timur dunia memiliki kesamaan dalam kebudayaannya. Kemudian
kita tidak akan mempermasalahkan lagi tentang istilah ‘filsafat’ tetapi kita
akan menyepakati bahwa istilah itu akan dimaknai dari perspektif kita sendiri.
Setidaknya, terlepas dari identifikasi filsafat sebagai logika barat dengan
metodenya. Mari kita melihat filsafat dari perspektif bahwa hal itu adalah
tentang paradigma yang membangun etos masyarakat dalam mempertahankan dirinya.
Sebuah cara pandang yang terus direkonstruksi sehingga membuat masyarakat dapat
hidup dengan kekhasannya.
II.
FILSAFAT MINAHASA
Minahasa adalah kumpulan etnik yang
memiliki kebudayaan yang sama tetapi istilah minahasa sebenarnya muncul kemudian. Sebelum Minahasa dikenal
istilah Malesung yang terdiri dari tiga subetnis besar yaitu Tontemboan,
Tolour,
Tombulu.
Orang Belanda menggunakan istilah bergboeren kepada masyarakat ini
karena wilayah hidupnya di pegunungan dan bertani. Istilah minahasa muncul karena
kebiasaan masyarakatnya yang selalu melakukan musyawarah untuk menentukan
sesuatu. Misalnya untuk membuat perjanjian dengan Belanda atau menghadapi
serangan dari musuh. Keunikan masyarkat ini adalah sistem pemerintahannya hanya
berakhir pada ukung/tonaas yang memerintah sebuah walak
(wilayah) atau roong/wanua (kampung). Setiap walak/roong
akan diwakili oleh para ukung/tonaas untuk melakukan musyawarah karena tidak
ada pemerintah di atas walak/roong. Para pemimpinnya pun diangkat
berdasarkan tiga syarat yaitu ngaasan, niatean, dan mawai.
Masyarakatnya tidak tunduk secara buta kepada pemimpinannya tetapi mereka
mendelegasikan diri mereka pada seseorang yang dianggap mampu melakukan hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan bersama.
Tou Minahasa adalah masyarakat
komunal yang melahirkan sebuah pandangan bagi etniknya karena keterdesakan
dalam lingkungannya baik faktor alam sekitar maupun ancaman serangan dari
masyarakat luar. Etos Tou Minahasa dideklarasikan dalam Nuwu in tua yang berisi: “…Sapakem
si kayo’ba’an anio, tana’ ta im baya! Asi endo makasa, sa me’em si ma’api,
wetengan e pa’tuusan, wetengan eng kayo’ba’an! Tumani e kumeter, mapar e waraney,
akad se tu’us, tumou on tumou tou!...” (secara bebas diterjemahkan, “…Dengan ini kami nyatakan, dunia in
adalah tanah air kita semua! Bila pada suatu saat, burung telah memberi tanda
yang pasti, bagilah tanah ini hai kamu pemuka masyarakat pemberi contoh!
Bukalah wilayah pertanian baru, hai kamu pemimpin pekerjaan! Kuasailah wilayah,
hai prajurit perkasa, agar keturunan kita dapat hidup dan memberi hidup!”…)[3]
Masyarakat ini menyadari bahwa kebersamaan adalah cara hidup yang paling baik
untuk mempertahankan kehidupan etniknya. Kesadaran akan kebersamaan memimpin
masyarakat ini untuk terus maju walaupun tanpa penaklukan sistem pemerintahan
seperti dalam masyarakat kerajaan.
Ada ungkapan yang masih terkenal
hingga saat ini di kalangan masyarakat Minahasa yaitu Si
tou timou tumou tou
(seorang manusia menjadi manusia dalam perannya menghidupkan orang lain).
Ruh komunal dalam ungkapan itu pada nuwu
in tua. Ciri komunalitas dalam masyarakat ini juga
kita temukan dalam tradisi mapalus di mana masyarakat bekerja
bersama demi kepentingan bersama. Dalam beberapa ungkapan berikut digambarkan
betapa solidaritas masyarakt Minahasa begitu kuat.
maesa esaan (saling bersatu seia sekata)
maleo leosan (saling mengasihi dan menyayangi)
magenang genangan (saling mengingatkan)
malinga lingaan (saling mendengar)
masawang sawangan (saling menolong)
matombo tomboloan (saling menopang)
maleo leosan (saling mengasihi dan menyayangi)
magenang genangan (saling mengingatkan)
malinga lingaan (saling mendengar)
masawang sawangan (saling menolong)
matombo tomboloan (saling menopang)
Banyak ungkapan atau peribahasa dalam
masyarakat Minahasa yang berdasar pada kesadaran kolektif. Misalnya dalam
pekerjaan membangun rumah ada ungkapan sumiwi wale weru ma
sule silengan
(membangun rumah baru harus saling topang menopang). Selanjutnya
ada ungkapan paesaan rorak, porak,
tio-tionan ung kanaramen (pekerjaan berat bila dikerjakan bersama-sama
akan ringan, dan lakukanlah sebagaimana mestinya) dan esa ate u mawangun banua (satu hati
membangun desa). Tou Minahasa berpikir dalam perspektif kolektif tetapi
bukan berarti taka da prinsip individual. Individualitas bagi Tou Minahasa
adalah membangun diri sendiri menjadi baik, terampil, intelek dan untuk
diabdikan pada kebersamaan masyarakatnya. Masyarakat ini telah mengakui bahwa
manusia adalah makhluk yang tak dapat hidup sendiri. Jadi senantiasa manusia
harus hidup bersama, bekerja bersama untuk kepentingan bersama.
Masyarakat
Minahasa juga sangat disiplin dalam hal kerja sebagaimana dalam prinsip-prinsip
mapalus. Ketika melakukan kerja
bersama-sama setiap orang yang terlambat, bermalas-malasan, atau memaki akan
mendapat sanksi dari marantong
(pimpinan mapalus) yang telah
dipilih. Marantong akan memberi
cambukan bagi mereka yang melanggar prinsip-prinsip mapalus. Dalam hal memberi sanksi pimpinan mapalus juga harus adil
dan tidak terbawa emosi atau sentiment tertentu. Kalau tidak maka anggota mapalus semuanya akan memberi sanksi
berupa cambukan. Kejujuran juga adalah hal yang penting dalam masyarakat
Minahasa di mana jika pemimpinnya tidak jujur maka masyarakat pasti tidak akan
mendengar perintahnya. Hal ini kita bisa temukan dalam sejarah ketika para tonaas/Ukung berkolusi dengan orang
Belanda maka masyarakat tidak akan menjalankan kesepakatan yang telah dibuat
itu.
Tradisi
berpikir Minahasa secara esensial didasarkan pada prinsip komunalisme di mana
individu hidup menempa diri dan untuk mengabdi pada kebersamaan masyarakat. Ini
adalah kesadaran yang dibangun berdasarkan keadaan objektif kehidupan di mana
masyarakat harus bersatu untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Etos kerja
masayarakat Minahasa berdasar pada prinsip komunal dan telah disadari sepenuhnya
bahwa kebersamaan bukan hanya dalam arti bersama-sama. Masyarakat Minahasa
telah mengenal sistem pembagian tugas untuk mewujudkan cita-citanya. sa cita esa, telu cita - sa cita telu, esa cita (Kita bersatu,
karena kita bertiga – Kita bertiga, karena kita bersatu). Dari ungkapan tadi kita bisa melihat bahwa ketika bersatu harus
dipahami bahwa kita bertiga artinya taka da penyeragaman kehendak tetapi juga
harus ada pembagian fungsi; jika kita ada tiga maka kita harus bersatu untuk
mewujudkan cita-cita kita karena jika kita tercerai berai maka akan mudah
dihancurkan.
III.
KONTEKS MASYARAKAT KONTEMPORER
Hari ini kita akan bertanya apakah
nilai-nilai filosofis yang telah dirumuskan oleh para leluhur kita dan telah
menjadi etos masyarakat Minahasa masih tetap dipertahankan atau hari ini hanya
sekedar slogan hafalan. Apakah si tou
timou tumou tou benar-benar menjadi landasan berpikir dan berperilaku
masyarakat Minahasa kontemporer atau hanya tulisan yang dipajang tanpa makna;
atau justru telah disalahpahami?
Setelah Tou Minahasa bersentuhan
dengan nasionalisme Indonesia dan globalisasi maka terjadi dekadensi dan
degradasi. Struktur masyrakat berubah serta pola berpikir dan gaya hidupnya
ikut berubah pula. Di mulai dari kompromi dengan kekristenan, demokrasi
pancasila, dan rasionalitas barat. Kemungkinan besar nilai-nilai yang telah
diformulasikan oleh leluhur Minahasa tidak lagi mewujud secara holistik.
Masyarakat pedesaan yang paling huk pun telah tercemar dalam
pengertian tidak murni dengan kebudayaannya. Bahkan yang lebih para adalah
terjadi amnesia kolektif dalam masyarakat itu sendiri. Ada beberapa generasi
yang tidak lagi mengetahui jati diri etniknya.
Arah dari pendidikan kontemporer
memang mengabdi pada system global sehingga memaksa mengeleminir kearifan local
sampai ke nilai-nilainya. Kebudayaan lokal dalam posisi kontemporer telah
digeser ke posisi yang kurang penting. Kebudayaan Minahasa mengalami nasib yang
demikian dan hampir tak tertolong. Lalu, siapakah yang bersalah? se
tua mahali, se oki makiit (orang tua membawa anak mengikuti). Sebenarnya
ini bukanlah usaha untuk melempar kesalahan tetapi ada ungkapan masyarakat
Minahasa yang seharusnya dijadikan tumpuan untuk mempertahankan eksistensinya.
Tou Minahasa
sesuai dengan agenda-agenda globalisasi telah menjadi masyarakat konsumeris.
Mungkin ini jauh dari harapan seorang tokoh yang sampai saat ini masih dikenal
yaitu Sam Ratulangie. Dia adalah seorang intelektual yang barasal dari
Minahasa, walaupun mendapat pendidikan di barat, yang memiliki visi mengangkat
kembali Bangsa Minahasa. Mengembalikan semangat yang telah diformulasikan oleh
leluhur atau berangkat dari kejayaan masa lalu untuk menciptakan generasi
Minahasa yang baru dan lebih produktif.
Nilai-nilai
kebudayaan Minahasa telah terpecah-pecah sehingga hari ini juga muncul
gerakan-gerakan kebudayaan yang berusaha menyatukan nilai-nilai itu dan
memodifikasinya. Mengangkat kembali citra baru dengan sedikit bayangan akan
keaslian budayanya. Sentiment kebudayaan hari ini bangkit kembali walaupun
dalam bentuk yang berbeda dari perjuangan-perjuangan fasis. Ini dipengaruhi
oleh pola ilmu pengetahuan yang berkembang di mana rasionalitas barat berada
pada titik kejenuhan (juga dipengaruhi oleh penemuan teknologi dan eksperimen
dalam bidang fisika, biologi, dan kimia) dan ingin mengangkat kembali tema
kebudayaan. Atau juga pola perkembangan masyarakat yang pada akhirnya akan
kembali pada sesuatu yang lama. Kearifan local dahulu ditinggalkan tetapi
akhirnya digali kembali karena dalam perkembangan ilmu pengetahuan ternyata
memiliki kebenaran universal. Fritjof Capra dalam bukunya yang berjudul Titik
Balik Peradaban menggambarkan bagaimana kebudayaan kuno bangkit kembali sebagai
sebuah solusi akan kerusakan hari ini. Filsafat Tao dengan prinsip yin dan yang
yang mengutamakan keseimbangan dapat menjadi solusi sebagai kajian holistic
dalam melihat persoalan social, ekonomi, dan lingkungan.
Kita hari ini
harus menggali kembali nilai-nilai budaya kita untuk melihat
kebenaran-kebenaran di dalamnya. Mungkin masalah-masalah yang kita hadapi
sekarang ini disebabkan oleh tidak diterapkannya prinsip-prinsip kuno
masyarakat kita dewasa ini.
[1]
Tulisan ini adalah sebuah sketsa (outline)
tentang Filsafat Minahasa yang disampaikan di Pendidikan Dasar X S. S.
Toar-Lumimuut FBS Unima pada Selasa, 27 Agustus 2013.
[2]
Secara etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua
kata yaitu philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebenaran. Filsafat dipersempit dalam wilayah
metafisika yang kemudian hanya berkaitan dengan tiga hal yaitu makna,
kebenaran, dan hubungan logis.
[3]
Minahasa.
Dari amanat Watu Pinawetengan sampai gelora Minawanua karya Bert Supit. Jakarta. Sinar Harapan. 1986.
Tulisan yg bermanfaat. Terima kasih tlh berbagi ilmu.
BalasHapus