halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Rabu, 05 Juni 2013

LANGKOY

(Tuama tanpa rusuk sebelah)
Hidup sendiri di tengah banyak orang; itulah dia. Dia bukan seorang duda yang ditinggal mati, diceraikan atau ditinggalkan oleh wanita yang kawin lari dengan orang lain. Dia juga bukan hermaphrodite yang berkelamin ganda. Dia bukan seorang misoginis. Dia telah memilih jalan untuk dirinya sendiri; jalan yang hanya bisa ditapaki oleh dua kaki. Jalan yang langsung menghilang ketika telah ditapaki; itulah jalannya, jalang langkoy. Apakah jalan ini juga yang dipilih oleh Yesus?
                Ketika berjalan di sebuah lorong tiba-tiba dia dikagetkan dengan suara yang berasal dari sebuah rumah tepat di sampingnya. “woi so bole e … so lebe sore!” suara itu disertai gelak tawa yang terdengar kira-kira ada beberapa orang. Lelaki ini mengacuhkan saja pernyataan itu karena memang pernyataan itu bukan baru sekali dia dengar. Sudah ribuan kali sejak dia berumur 29 tahun. Sekarang dia berumur 38 tahun. Umumnya masa kejayaan dalam pergaulan sampai pada umur 23 tahun dan digantikan oleh generasi-generasi baru. Jadi, pernyataan itu bisa bermakna sindiran, ajakan, atau dorongan. Pernyataan itu berarti dia harus secepatnya menikah karena pria yang makin tua akan kehilangan stamina dalam hal seksualitas. Kemungkinan besar penis tidak akan ereksi secara normal lagi. Tetapi kenapa orang-orang ini mengkhawatirkan hal itu? Dia berjalan terus sambil membalas dengan senyum tipis.
                Tiba di rumah dia mendapati ayahnya sedang duduk bersandar dengan mata tertutup sambil mengelus-elus kepala seekor anjing. Ibunya berada di dapur sedang mencuci baju dan terlihat api sedang menyala di dodika. Orang tuanya pernah mengeluhkan tentang jalan yang dipilihnya ini dan membujuknya untuk menikah dengan seorang gadis belia korban perkosaan dua lima tahun lalu. Walau umur mereka beda jauh tetapi dari segi kualitas sosial mereka bisa dianggap sama. Yang satu segelnya rusak sebelum terjual dan yang satu rusak karena disegel sampai kadaluarsa. Ibunya berpikir seandainya dia menikah maka beban kerja di rumah akan terkurangi. Istrinya juga akan senantiasa mencuci baju, membuat masakan, dan mencari kayu bakar. Setidaknya juga akan ada yang mengurusi mereka di hari-hari tua.
                Dia masuk ke kamar tanpa menyapa ayah dan ibunya. Kamar ini yang sejak kecil adalah kamar pribadinya. Dia membaringkan diri dan berpikir tentang jalan yang telah dipilhnya. Apakah aku sanggup menapaki jalan ini? Dia berpikir. Sudah sekian tahun aku menemanimu dan berharap aku dihuni oleh dua orang yang akan bercinta setiap malam tapi sampai saat ini kau masih menyendiri jua. Apa kau ini homoseks? Kamar itu seakan berbicara kepadanya dan menambah beban pikiran saja. Para langkoy di desa menurut orang-orang adalah mereka yang tidak memiliki kemampuan bergaul yang baik. Mereka juga cenderung introvert perbincangan soal hubungan percintaan. Mereka kebanyakan adalah para pemuda petani yang tak mendapat pendidikan selayaknya. Di desa ada kecenderungan anak-anak lebih suka ke kebun daripada ke sekolah. Sekolah bagi mereka adalah institusi penindasan karena setiap terlambat masuk mereka di hantam guru piket. Belum lagi ketika mereka tak mengerjakan PR atau tak mencatat. Ada juga kesalahan-kesalahan yang ditimpakan kepada mereka hanya karena pelampiasan amarah guru yang tak tersalur di rumah atau ada percekcokan antar sesama guru. Tetapi di kebun mereka belajar banyak hal. Belajar berburu dan juga berkebun. Di kebun mereka merasa sangat bebas daripada di sekolah yang seperti di penjara.
                Tetapi ada juga kecurigaan lain bagi para pemuda langkoy ini yaitu mereka dikira benar-benar homoseks. Karena banyak yang kedapatan mereka lebih suka kongko-kongkow dengan rombongan lelaki dan tidur bersama. Suatu kali ada yang pernah menuturkan bahwa teman lelakinya ternyata homoseks karena ketika mereka tidur bersama dalam keadaan mabuk temannya itu pernah mencoba mempermaikan penisnya. Untung dia cepat tersadar. Pengalaman-pengalaman orang-orang desa akan memunculkan pandangan yang beragam terhadap pemuda yang di usia makin senja namun belum juga menikah. Apakah mungkin juga dia punya wentel yang merupakan pantangan menyentuh seorang gadis apalagi menikahinya. Tetapi ada juga ‘pemuda-pemuda’ langkoy yang broken (broken heart) karena mereka percaya bahwa cinta mereka hanya untuk satu gadis saja. Jika dia pergi, menikah dengan orang lain, atau mati maka mereka memilih untuk hidup sendiri. Di lain sisi ada banyak pemuda-pemuda langkoy yang tak kebagian stok perempuan karena jumlah perempuan di desa lebih kecil daripada lelaki. Anehnya juga walaupun stok perempuan sesuai dengan permintaan tetapi lebih banyak stok ini terjual di kampung tetangga atau di daerah perkotaan. Perempuan memang tidak seperti barang dagangan lain karena komoditi ini memiliki kemampuan untuk memilih konsumennya. Mereka lebih memilih konsumen yang berpendidikan – yang pasti pekerjaannya bukan ma’gula ato ma’kopra – atau bisa saja tukang ojek atau supir yag bisa mengajak mereka berkeliling. Yang paling malang adalah pemuda-pemuda yang akhirnya tak menikah karena waktunya habis dengan pacaran. Katanya dia selalu melakukan koleksi perempuan (playboy) untuk diseleksi tetapi akhirnya suatu saat dia tak lagi dipercaya oleh gadis-gadis. Mereka dapat dikategorikan sebagai pemuda-pemuda langkoy tetapi bukan karena pilihan.
                Faktor pelarangan terhadap eksogami pun merupakan penyebab para pria di desa menjadi langkoy. Masyarakat yang berdiam di suatu tempat dan yang memiliki penduduk kurang dari 3000 jiwa mempunyai ikatan kekeluargaaan yang cukup kuat. Relasi kekeluargaan antar klan (marga) saling menyilang sehingga membuat bagi para pria di desa sulit menemukan gadis yang tidak memiliki ikatan darah. Menikahi gadis yang masih memiliki ikatan darah (incest) dianggap tindakan yang tidak baik (taboo) bagi para orang tua.  Di satu sisi ada pelarangan walaupun secara konvensional untuk menikah dengan gadis di luar suku apalagi dengan yang memiliki agama berbeda. Tetapi ada banyak juga pria di desa yang melanggar hal semacam itu dan menikah dengan gadis di luar suku bahkan sampai berpindah agama. Mereka lebih memilih melanggar aturan daripada hidup menjadi seorang langkoy. Walaupun sanksi sosialnya mereka terkucil dari masyarakat di mana mereka berasal.
                Tetapi memilih jalan langkoy sungguh berat. Dapatkah kau hidup tanpa seks? Libido; keinginan yang dirangsang secara biologis dan harus segera dipuaskan. Sunat tidak bisa menghentikan kebutuhan ini karena hanya mengeluarkan kulit katannya saja. Mungkin lebih baik dikebiri, dengan membuang buah zakar kau akan terbebas dari rangsangan ini karena buah zakar adalah tempat diproduksinya sperma. Tetapi adakah orang yang pernah dikebiri seperti hewan untuk menghentikan tindakan reproduksinya karena telah menciptakan jumlah spesies yang berlebihan. Menjadi langkoy secara sukarela membutuhkan komitmen yang matang karena setiap komitmen pasti akan diperhadapkan dengan tantangan. Bisa saja suatu saat kau mencabuli anak kecil untuk memuaskan libidomu atau juga kau memilih menikah dengan seorang janda karena lelah dan tak tahan menjalani hidup sebagai orang langkoy. Saat itu kau akan disebut murtad. Ada banyak orang yang dipenjara karena mencabuli anak-anak gadis dan banyak juga orang yang bersungut-sungut tak mendapat keturunan karena menikah di usia ketika istrinya tak produktif lagi (menopause).
                Dia menatap langit-langit di kamarnya dan ribuan suara bercampur aduk di telinga berusaha melunturkan jalan yang dia pilih. Semua saudara lelakinya telah menikah bahkan anak dari saudara-saudaranya kini sedang belajar bergaul dengan anak-anak gadis. Lalu aku ini apa? Dia bertanya pada dirinya. Bagiku pernikahan adalah institusi penindasan. Bersetubuh bukanlah ukuran kebahagiaan manusia. Persetubuhan hanyalah sensasi-sensasi sesaat. Itulah yang paling banyak diidam-idamkan oleh banyak lelaki untuk menikah. Bukankah onani juga bisa memberi sensasi-sensasi semacam itu? Setiap malam kau bisa bersetubuh dengan istrimu tetapi ketika ayam berkokok kau harus bangun untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk mempertahankan kecantikan istrimu. Jika kau punya anak awalnya kau merasa bahagia tetapi sesudahnya kau harus bekerja keras untuk membesarkannya. Kau harus memenuhi kebutuhan pokok sampai kebutuhan-kebutuhan ilusif. Dengan begitu kau akan disebut bertanggung jawab dan keluargamu bahagia.
                Menjadi seorang langkoy adalah menjadi orang yang bebas tetapi tidak semua orang langkoy sama. Pria ini menyebut dirinya sebagai seorang langkoy filosofis. Dia memilih hidup tanpa wanita bukan karena ketidakmampuannya menaklukkan wanita, atau dirinya homoseks, tak berpendidikan, tak berharta, atau tak mendapat bagian stok wanita. Dia hanya ingin hidup bebas dari keinginan. Tak seperti langkoy-langkoy yang menghabiskan waktu di warung-warung dengan minuman keras dia justru bekerja keras dan menghasilkan uang yang cukup untuk orang tua, diri sendiri, dan pesta kecil-kecilan dengan komunitas pergaulannya. Dia sungguh orang yang produktif tetapi ketika dia berkeluarga belum tentu hasil kerjanya bisa memenuhi semua kebutuhan.

                Memilih jalan langkoy sama dengan melanggar kodrat biologis. Lalu untuk apa penis diciptakan kalau tak difungsikan? Bentuk penis yang menyerupai silinder bukanlah sekedar sebagai pipa saluran kencing tetapi lebih daripada itu  memiliki sparring partner. Kaum homoseks memahami bahwa jiwa mereka beroposisi dengan kenyataan fisiknya sendiri dan pria ini bukan seperti itu. Jadi jelas bahwa tak ada kesalahan genetis di sini. Mungkin pilihan ini semacam pemberontakan terhadap konvensi-konvensi sosial. Atau mungkin dia telah belajar dari para pejuang yang jatuh karena perempuan? Apakah dia berhasrat menjadi seorang pejuang tanpa perempuan? Entalah.

3 komentar:

  1. bagaimana dengan statement yang mengatakan bahwa orang yang langkoy dikarenakan wanitanya yang jodoh dengannya sudah mati duluan sebelum bertemu.

    Yanli

    BalasHapus
  2. itu namanya jomblo ditinggal mati alias jodi

    hehe

    :)

    BalasHapus