(Bapontar)
Kabut dan mendung. Gunung dengan berbagai
mitos tentang kegaiban. Lolombulan.
Tempat di mana pernikahan Toar dan Lumimuut dilangsungkan. Mungkin berbagai
mitos dan cerita tentang gunung ini membuatnya ngeri dan juga memiliki daya
tarik tersendiri sehingga orang ingin menjelajahinya.
Sekitar
pukul 14.00 pada 09 Mei 2013 aku bersama kakakku dan beberapa teman berjalan (dari roong Tondei)
dengan bekal seadanya menuju puncak Lolombulan. Tak jelas apa arti lolombulan.
Ada yang mengatakan bahwa lolombulan
artinya seperti bola emas. Ada yang mengatakan rembulan karena di tempat ini
masyarakat sekitar melihat bulan penuh (purnama). Tapi aku pikir itu hanya spekulasi sejenis mitos untuk
memuaskan rasa ingin tahu. Semangat adalah modal dasar untuk mendaki gunung.
Berapa pun tingginya pasti tak jadi soal. Naik, naik, dan naik. Perlu energi
untuk mendaki gunung ini. Air tak kalah penting. Mendaki gunung tanpa air minum
adalah kecerobohan. Bisa-bisa mati karena dehidrasi. Kita tak bisa mengandalkan
potensi alam seperti air dari rotan atau sungai karena jarak tempuh untuk
menjangkaunya tak pasti. Jadi perlu membawa bekal air seperlunya. Berjalan
melintasi perkebunan punti dan juga perkebunan rarem.
Rarem memiliki sungai kecil dengan
air sedingin es. Melintasi daerah ini kami merasakan udara yang begitu dingin.
Nafas
ditarik dan dihembuskan dengan cepat. Respirasi yang tak biasanya karena ini
seperti bukan berjalan. Mungkin ini sesuatu yang disisipkan antara berjalan dan
memanjat. Kondisi jalan begitu miring. Kami melewati kawasan talung
im bolai[1].
Ada beberapa kawanan yaki yang menggantung di pepohonan.
Spesies ini hampir punah karena masyarakat di sekitar gemar berburu. Juga
hampir tak ada tempat lagi untuk spesies ini karena tekanan ekonomi menyebabkan
masyarakat memperluas daerah perkebunan dan pertanian mereka sampai ke area
hutan lindung. Gunung menjadi daerah berburu, berkebun, dan bertani sehingga
banyak makhluk kehilangan rumah. Ada juga penebangan kayu di daerah-daerah mata
air sehingga berakibat menurunnya jumlah air untuk pasokan masyarakat. Tetapi
kebutuhan mengalahkan etika alam. Illegal logging
dan penebangan pohon untuk kebutuhan pembuatan rumah pribadi jelas memiliki
dampak yang sama terhadap kehancuran lingkungan. Ekonomi modern memang
mengabaikan ekosistem dan membuat manusia ‘merusak demi pertumbuhan’.
Tak tahu apa mereka (kawanan yaki) takut melihat manusia atau justru
gembira bertemu dengan makhluk yang berkerabat secara evolusi. Sempat terbesit
di benakku bahwa keinginan manusia menjelajahi alam karena ada kerinduan pada
mahkluk-makhluk yang berkerabat dengannya. Mungkinkah kami juga seperti itu?
Berharap agar segera tiba di puncak membuat kami memaksa diri untuk tetap
bergerak terus tetapi senja memaksa agar kami segera berhenti dan mendirikan
tenda. Hewan-hewan siang saling memberi tanda untuk berhenti beraktivitas
seolah juga itu adalah tanda buat kami. Setelah gelap hewan malam kini sibuk
beraktivitas sehingga aku berpikir mereka telah membagi tugas sebagai penjaga
siang dan penjaga malam. Hewan-hewan ini telah menyadari sepenuhnya bahwa alam
harus dijaga karena itu rumah mereka. Tenda kami didirikan di atas tanah yang
miring sehingga dalam perjalanan tidur kami sesekali terbangun dan mendapati
diri bergerak terluncur perlahan. Malam ini harus ada pergantian jaga malam.
Harus! Kalau tidak berarti kami siap dengan risiko dimangsa binatang buas atau
binatang berbisa lainnya. Lantera menyinari malam di tengah hutan dan mungkin
hewan-hewan di sekitar merasa terusik dengan kehadiran kami. Mungkin kami tamu
tak diundang atau dianggap makhluk perusak tempat tinggal mereka. Sesekali aku
berkomunikasi dengan alam dan menyatakan maksud kami berada di hutan ini.
Setelah beberapa teguk cap tikus aku
memutuskan untuk tidur. Kami tidur dan tak jelas apakah kami dekat dengan
puncak atau masih jauh.
Subuh,
10 Mei 2013 terjadi keributan. Burung berkicau saling membangunkan hewan-hewan
siang. Itu tanda mereka harus gantian menjaga alam. Kami bangun. Membongkar
tenda dan kembali mendaki menapakkan kaki. Apakah puncak sudah dekat? Tak
pasti. Kali ini beberapa di antara kami, termasuk aku, sering menjerit karena
tertusuk duri. Kawasan ini penuh duri. Seakan ini adalah penolakkan alam
terhadap kehadiran kami. Mungkin mereka terlanjur menganggap manusia adalah
perusak alam. Seseorang di antara kami ditugaskan untuk berjalan di depan untuk
membuka jalan. Maklum, kami melintasi kakayung
dan jorame. Kira-kira sejam keadaan
tanah mulai datar. Ini sudah di puncak! Hore! Perasaanku begitu riang. Kami
mengamati sekitar dan berspekulasi bahwa ada babi dan ayam hutan yang selalu
bermain di sini. Aku ingin berteriak. Jangan! Berbahaya! Gunung ini anti suara
bising. “jang brani bakuku kalo mo nae
lolombulan. Langsung weta mo gelap ya. Ta sala ilang ngoni di atas”. Itu
pesan masyarakat jika berada di puncak lolombulan.
Ingat ini etika lolombulan.
Kami
berhenti di tanah yang datar dan membuat api untuk membuat makanan. Seorang
temanku memperhatikan kakinya dipenuhi bintik-bintik hitam. Ada yang kecil ada
juga yang besar. Aku teringat bahwa lolombulan juga terkenal dengan lintah. Ini
gunung lintah. Temanku berusaha membersihkan kakinya tetapi ternyata yang
menempel di kakinya bukan becek tetapi lintah yang sedang lahap menghisap darah
dan semakin membesar. Kami semua memeriksa sekujur tubuh kami dan mendapati
masing-masing ada linta yang hampir kenyang dengan darah kami sendiri. Uniknya,
makhluk ini tak bisa dilepaskan dari tubuh kita dengan cara menariknya dengan
kasar. Kita harus mengelus dan menariknya perlahan agar bisa terlepas. Jika
ditarik dengan paksa maka itu akan membuat tubuh kita terluka dan mengucurkan
darah yang banyak. Jadi kami mulai waspada dengan makhluk ini. Kini kami harus
bergulat dengan dua makhluk penghisap darah. Nyamuk dan lintah.
Setelah
selesai makan dan memandang sekitar aku mulai tersadar bahwa di depan mataku
berdiri dengan kokoh gunung yang tinggi. Ternyata kami belum berada di puncak
yang sebenarnya. Ada rasa tidak enak dalam hati. Ternyata akan ada kelelahan
lagi. Tetapi tujuan kami memang harus menaklukkan lolombulan. Kami harus berjalan lagi tetapi akan diawali dengan
menurun dan menanjak lagi. Lolombulan memiliki tiga puncak dan yang di tengah
adalah puncak yang paling tinggi. Sementara kami bersiap-siap perlahan kabut
menyelimuti gunung itu. Apakah itu tanda larangan? Ada desas-desas di desa
bahwa ada beberapa orang yang hilang di gunung ini karena melanggar etika alam. Ada juga cerita tentang penggalian harta karun di puncak gunung ini. Dulu, katanya, di puncak gunung ini ada tuguh yang didirikan tetapi ada sekelompok orang merusaknya dan mencoba menemukan harta karun tepat di bawah tuguh ini. Menurut cerita masyarakat sekitar orang-orang ini meninggal selang tiga hari setelah merusak tuguh itu. Ada juga cerita bahwa di puncak ada peninggalan leluhur Malesung.
Aku berpikir mungkin ada di antara kami yang akan menjadi korban di pendakian
ini. Langkah pertama mengawali kelelahan. Kini jalanan lebih rumit. Ada nyamuk,
duri, dan lintah. Satu lagi! Lintah kini bertambah banyak dan ada yang berwarna. Aku
bisa melihat makhluk-mahkluk itu berpindah-pindah. Sangat geli dan kami harus
lebih was-was. Setiap sepuluh langkah kami memeriksa tubuh kami dan mendapati
begitu banyak lintah menempel.
Tanah
datar. Oh syukurlah. Lolombulan, aku menaklukkanmu! Aku mempercepat langkahku
tetapi tiba-tiba menanjak lagi. Aku mulai marah. Ada juga rasa putus asa.
Mungkinkah aku harus melupakan puncak gunung ini dan kembali pulang saja? Aku
mencoba membangkitkan semangat dan berjalan terus. Akhirnya puncak pun ku
gapai. Harapanku sebelum mendaki gunung ini adalah melihat pemandangan dan
beristirahat di puncaknya. Tetapi tak ada pemandangan. Kabut tebal menyelimuti
gunung ini. Beristirahat semalaman juga tak mungkin. Banyak lintah. Teman-teman
takut membuat tenda dan tidur semalaman di puncak gunung ini kemudian mendapati
diri di pagi hari kehilangan banyak darah. Walau pun kemudian kami diberi tahu bahwa lintah hanya menghisap darah kotor saja. Aku kecewa. Kekecewaan itu pun tak
bisa dilampiaskan. Ingat etika lolombulan;
dilarang berteriak. Kami berjalan menurun dengan rasa kecewa. Aku baru tersadar
bahwa selama perjalanan ada satu hal yang banyak menyita penglihatanku di
tengah hutan, banyak dodeso. Ada lompit, torak,
kapiring,
litau,
lolombeng
dan berbagai jenis perangkap lainnya. Hutan ini memang tempat berburu.
Aku
berjalan terhuyung-huyung kelelahan menuruni gunung. Awalnya aku kecewa tetapi
ada bisikan kemenangan yang membuat aku merasa puas dengan perjalanan ini.
Benar. Lolombulan, aku menaklukanmu!
mencicipi nikmatnya aer kuala rarem |
menuju talung im bolai |
for makang malam |
cap tikus dan shag pengantar tidur |
kaki-kaki korban lintah |
tangan korban lintah |
kaki korban lintah |
menurun menuju wanua Malola |
[1]
Frase ini dari talung i wolai tetapi mengalami perubahan dalam pengucapan
sehingga menjadi talung im bolai. Talung artinya hutan; i (yang menjadi im) artinya kepunyaan; wolai (yang menjadi bolai) artinya yaki atau monyet.
mantap bro,,,sukses sllu n salam kenal
BalasHapusBro ikutan lomba blog aja nih
BalasHapushttp://content.rajakamar.com/ikuti-blog-competition-rajakamar-berhadiah-total-rp-12-juta/?utm_source=blogger&utm_medium=banner-adis&utm_campaign=blog+competition+rk
terimah kasih
BalasHapuswah, saya baru baca komentarnya
nanti saya coba ikutkan ke lomba blog
tapi saya minta segala kritikannya ya....
bro boleh tau rencana mo nae ulang lolombulan..,
BalasHapusada banya yang tanya" jalur pendakian cma samua nda jelas, kita sandiri org yg tinggal d kaki gung lolobulan (Dsa. Tenga) dekat kampung boyong atas..,
mohon petujuk bro.,
#DJS :
- https://www.facebook.com/red.exs
- @ExsRed (twitter)
- phone : 085340050838
rencananya dalam waktu dekat akan mendaki bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) SULUT...Gunung Lolombulan memiliki nilai budaya bagi Tou Minahasa karena dalam cerita tentang Minahasa Lolombulan adalah tempat Toar dan Lumimuut menikah.
BalasHapus