halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Sabtu, 18 Mei 2013

LOLOMBULAN, AKU MENAKLUKANMU



(Bapontar)

Kabut dan mendung. Gunung dengan berbagai mitos tentang kegaiban. Lolombulan. Tempat di mana pernikahan Toar dan Lumimuut dilangsungkan. Mungkin berbagai mitos dan cerita tentang gunung ini membuatnya ngeri dan juga memiliki daya tarik tersendiri sehingga orang ingin menjelajahinya.
Sekitar pukul 14.00 pada 09 Mei 2013 aku bersama kakakku dan beberapa teman berjalan (dari roong Tondei) dengan bekal seadanya menuju puncak Lolombulan. Tak jelas apa arti lolombulan. Ada yang mengatakan bahwa lolombulan artinya seperti bola emas. Ada yang mengatakan rembulan karena di tempat ini masyarakat sekitar melihat bulan penuh (purnama). Tapi aku pikir  itu hanya spekulasi sejenis mitos untuk memuaskan rasa ingin tahu. Semangat adalah modal dasar untuk mendaki gunung. Berapa pun tingginya pasti tak jadi soal. Naik, naik, dan naik. Perlu energi untuk mendaki gunung ini. Air tak kalah penting. Mendaki gunung tanpa air minum adalah kecerobohan. Bisa-bisa mati karena dehidrasi. Kita tak bisa mengandalkan potensi alam seperti air dari rotan atau sungai karena jarak tempuh untuk menjangkaunya tak pasti. Jadi perlu membawa bekal air seperlunya. Berjalan melintasi perkebunan punti dan juga perkebunan rarem. Rarem memiliki sungai kecil dengan air sedingin es. Melintasi daerah ini kami merasakan udara yang begitu dingin.
Nafas ditarik dan dihembuskan dengan cepat. Respirasi yang tak biasanya karena ini seperti bukan berjalan. Mungkin ini sesuatu yang disisipkan antara berjalan dan memanjat. Kondisi jalan begitu miring. Kami melewati kawasan talung im bolai[1]. Ada beberapa kawanan yaki yang menggantung di pepohonan. Spesies ini hampir punah karena masyarakat di sekitar gemar berburu. Juga hampir tak ada tempat lagi untuk spesies ini karena tekanan ekonomi menyebabkan masyarakat memperluas daerah perkebunan dan pertanian mereka sampai ke area hutan lindung. Gunung menjadi daerah berburu, berkebun, dan bertani sehingga banyak makhluk kehilangan rumah. Ada juga penebangan kayu di daerah-daerah mata air sehingga berakibat menurunnya jumlah air untuk pasokan masyarakat. Tetapi kebutuhan mengalahkan etika alam. Illegal logging dan penebangan pohon untuk kebutuhan pembuatan rumah pribadi jelas memiliki dampak yang sama terhadap kehancuran lingkungan. Ekonomi modern memang mengabaikan ekosistem dan membuat manusia ‘merusak demi pertumbuhan’.
 Tak tahu apa mereka (kawanan yaki) takut melihat manusia atau justru gembira bertemu dengan makhluk yang berkerabat secara evolusi. Sempat terbesit di benakku bahwa keinginan manusia menjelajahi alam karena ada kerinduan pada mahkluk-makhluk yang berkerabat dengannya. Mungkinkah kami juga seperti itu? Berharap agar segera tiba di puncak membuat kami memaksa diri untuk tetap bergerak terus tetapi senja memaksa agar kami segera berhenti dan mendirikan tenda. Hewan-hewan siang saling memberi tanda untuk berhenti beraktivitas seolah juga itu adalah tanda buat kami. Setelah gelap hewan malam kini sibuk beraktivitas sehingga aku berpikir mereka telah membagi tugas sebagai penjaga siang dan penjaga malam. Hewan-hewan ini telah menyadari sepenuhnya bahwa alam harus dijaga karena itu rumah mereka. Tenda kami didirikan di atas tanah yang miring sehingga dalam perjalanan tidur kami sesekali terbangun dan mendapati diri bergerak terluncur perlahan. Malam ini harus ada pergantian jaga malam. Harus! Kalau tidak berarti kami siap dengan risiko dimangsa binatang buas atau binatang berbisa lainnya. Lantera menyinari malam di tengah hutan dan mungkin hewan-hewan di sekitar merasa terusik dengan kehadiran kami. Mungkin kami tamu tak diundang atau dianggap makhluk perusak tempat tinggal mereka. Sesekali aku berkomunikasi dengan alam dan menyatakan maksud kami berada di hutan ini. Setelah beberapa teguk cap tikus aku memutuskan untuk tidur. Kami tidur dan tak jelas apakah kami dekat dengan puncak atau masih jauh.
Subuh, 10 Mei 2013 terjadi keributan. Burung berkicau saling membangunkan hewan-hewan siang. Itu tanda mereka harus gantian menjaga alam. Kami bangun. Membongkar tenda dan kembali mendaki menapakkan kaki. Apakah puncak sudah dekat? Tak pasti. Kali ini beberapa di antara kami, termasuk aku, sering menjerit karena tertusuk duri. Kawasan ini penuh duri. Seakan ini adalah penolakkan alam terhadap kehadiran kami. Mungkin mereka terlanjur menganggap manusia adalah perusak alam. Seseorang di antara kami ditugaskan untuk berjalan di depan untuk membuka jalan. Maklum, kami melintasi kakayung dan jorame. Kira-kira sejam keadaan tanah mulai datar. Ini sudah di puncak! Hore! Perasaanku begitu riang. Kami mengamati sekitar dan berspekulasi bahwa ada babi dan ayam hutan yang selalu bermain di sini. Aku ingin berteriak. Jangan! Berbahaya! Gunung ini anti suara bising. “jang brani bakuku kalo mo nae lolombulan. Langsung weta mo gelap ya. Ta sala ilang ngoni di atas”. Itu pesan masyarakat jika berada di puncak lolombulan. Ingat ini etika lolombulan.
Kami berhenti di tanah yang datar dan membuat api untuk membuat makanan. Seorang temanku memperhatikan kakinya dipenuhi bintik-bintik hitam. Ada yang kecil ada juga yang besar. Aku teringat bahwa lolombulan juga terkenal dengan lintah. Ini gunung lintah. Temanku berusaha membersihkan kakinya tetapi ternyata yang menempel di kakinya bukan becek tetapi lintah yang sedang lahap menghisap darah dan semakin membesar. Kami semua memeriksa sekujur tubuh kami dan mendapati masing-masing ada linta yang hampir kenyang dengan darah kami sendiri. Uniknya, makhluk ini tak bisa dilepaskan dari tubuh kita dengan cara menariknya dengan kasar. Kita harus mengelus dan menariknya perlahan agar bisa terlepas. Jika ditarik dengan paksa maka itu akan membuat tubuh kita terluka dan mengucurkan darah yang banyak. Jadi kami mulai waspada dengan makhluk ini. Kini kami harus bergulat dengan dua makhluk penghisap darah. Nyamuk dan lintah.
Setelah selesai makan dan memandang sekitar aku mulai tersadar bahwa di depan mataku berdiri dengan kokoh gunung yang tinggi. Ternyata kami belum berada di puncak yang sebenarnya. Ada rasa tidak enak dalam hati. Ternyata akan ada kelelahan lagi. Tetapi tujuan kami memang harus menaklukkan lolombulan. Kami harus berjalan lagi tetapi akan diawali dengan menurun dan menanjak lagi. Lolombulan memiliki tiga puncak dan yang di tengah adalah puncak yang paling tinggi. Sementara kami bersiap-siap perlahan kabut menyelimuti gunung itu. Apakah itu tanda larangan? Ada desas-desas di desa bahwa ada beberapa orang yang hilang di gunung ini karena melanggar etika alam. Ada juga cerita tentang penggalian harta karun di puncak gunung ini. Dulu, katanya, di puncak gunung ini ada tuguh yang didirikan tetapi ada sekelompok orang merusaknya dan mencoba menemukan harta karun tepat di bawah tuguh ini. Menurut cerita masyarakat sekitar orang-orang ini meninggal selang tiga hari setelah merusak tuguh itu. Ada juga cerita bahwa di puncak ada peninggalan leluhur Malesung. Aku berpikir mungkin ada di antara kami yang akan menjadi korban di pendakian ini. Langkah pertama mengawali kelelahan. Kini jalanan lebih rumit. Ada nyamuk, duri, dan lintah. Satu lagi! Lintah kini bertambah banyak dan ada yang berwarna. Aku bisa melihat makhluk-mahkluk itu berpindah-pindah. Sangat geli dan kami harus lebih was-was. Setiap sepuluh langkah kami memeriksa tubuh kami dan mendapati begitu banyak lintah menempel.
Tanah datar. Oh syukurlah. Lolombulan, aku menaklukkanmu! Aku mempercepat langkahku tetapi tiba-tiba menanjak lagi. Aku mulai marah. Ada juga rasa putus asa. Mungkinkah aku harus melupakan puncak gunung ini dan kembali pulang saja? Aku mencoba membangkitkan semangat dan berjalan terus. Akhirnya puncak pun ku gapai. Harapanku sebelum mendaki gunung ini adalah melihat pemandangan dan beristirahat di puncaknya. Tetapi tak ada pemandangan. Kabut tebal menyelimuti gunung ini. Beristirahat semalaman juga tak mungkin. Banyak lintah. Teman-teman takut membuat tenda dan tidur semalaman di puncak gunung ini kemudian mendapati diri di pagi hari kehilangan banyak darah. Walau pun kemudian kami diberi tahu bahwa lintah hanya menghisap darah kotor saja. Aku kecewa. Kekecewaan itu pun tak bisa dilampiaskan. Ingat etika lolombulan; dilarang berteriak. Kami berjalan menurun dengan rasa kecewa. Aku baru tersadar bahwa selama perjalanan ada satu hal yang banyak menyita penglihatanku di tengah hutan, banyak dodeso. Ada lompit, torak, kapiring, litau, lolombeng dan berbagai jenis perangkap lainnya. Hutan ini memang tempat berburu.
Aku berjalan terhuyung-huyung kelelahan menuruni gunung. Awalnya aku kecewa tetapi ada bisikan kemenangan yang membuat aku merasa puas dengan perjalanan ini. Benar. Lolombulan, aku menaklukanmu!
mencicipi nikmatnya aer kuala rarem
menuju talung im bolai


for makang malam

cap tikus dan shag pengantar tidur

kaki-kaki korban lintah

tangan korban lintah

kaki korban lintah

menurun menuju wanua Malola


[1] Frase ini dari talung i wolai tetapi mengalami perubahan dalam pengucapan sehingga menjadi talung im bolai. Talung artinya hutan; i (yang menjadi im) artinya kepunyaan; wolai (yang menjadi bolai) artinya yaki atau monyet.

5 komentar:

  1. mantap bro,,,sukses sllu n salam kenal

    BalasHapus
  2. Bro ikutan lomba blog aja nih

    http://content.rajakamar.com/ikuti-blog-competition-rajakamar-berhadiah-total-rp-12-juta/?utm_source=blogger&utm_medium=banner-adis&utm_campaign=blog+competition+rk

    BalasHapus
  3. terimah kasih
    wah, saya baru baca komentarnya
    nanti saya coba ikutkan ke lomba blog
    tapi saya minta segala kritikannya ya....

    BalasHapus
  4. bro boleh tau rencana mo nae ulang lolombulan..,

    ada banya yang tanya" jalur pendakian cma samua nda jelas, kita sandiri org yg tinggal d kaki gung lolobulan (Dsa. Tenga) dekat kampung boyong atas..,

    mohon petujuk bro.,

    #DJS :
    - https://www.facebook.com/red.exs
    - @ExsRed (twitter)
    - phone : 085340050838

    BalasHapus
  5. rencananya dalam waktu dekat akan mendaki bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) SULUT...Gunung Lolombulan memiliki nilai budaya bagi Tou Minahasa karena dalam cerita tentang Minahasa Lolombulan adalah tempat Toar dan Lumimuut menikah.

    BalasHapus