halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Sabtu, 02 Februari 2013

SENI ADALAH CANDU MASYARAKAT


(sebuah tesis)
        I.            PENGANTAR
Candu adalah sesuatu yang menyebabkan manusia memiliki kesadaran tidak secara utuh dan terus hanyut dalam kesenangan pikiran. Seperti efek dari opium dan alkohol manusia kehilangan separuh kesadarannya. Sudah beberapa abad dikalangan ideolog mengenal agama sebagai candu masyarakat yang diutarakan oleh Karl Marx sebagai pelopor ‘komunisme ilmiah’. Marx menganggap agama memiliki cara kerja yang sama seperti opium yaitu menghilangkan sebagian kesadaran manusia dan mendamaikan manusia dengan kemelaratannya. Tetapi lebih jauh daripada itu sebenarnya seni mempunyai peran yang sangat signifikan.
Dalam masyarakat kontemporer peran kapitalisme dalam memanfaatkan seni juga sangat menentukan. Sehingga benturan ideologi dalam memandang relaitas social menjadi oposisi antara kaum ‘kiri’ dan kaum ‘kanan’. Seni bukanlah barang hidup yang mempunyai kesadaran otonom  tetapi merupakan pemicu paling efektif untuk membentuk kondisi social sesuai dengan kemauan penggunanya. Bisa diarahkan untuk revolusi social untuk kaum kiri dan juga bisa digunakan untuk tujuan ekonomis bagi kaum kanan. Itu bergantung pada siapa yang berkepentingan. Memang tak bisa dibayangkan bagaimana seandainya dunia ini tanpa seni. Kemungkinan manusia hidup dalam tekanan psikologis yang sangat berat. Bagi para penganut seni murni daya estetis hanya untuk memuaskan kebutuhan psikologis manusia dan terlepas dari fungsi social kaum kiri dan fungsi ekonomis kaum kanan.
Kita bisa mengevaluasi penyakit sosial dari diri kita sendiri dan bertanya seberapa banyak konsep dalam film dan lagu pop (misalnya) yang mempengaruhi cara pandang kita. Walaupun film dan lagu bukanlah sesuatu yang memaksa kita tetapi hakikatnya persuasif. Efek estetis dari karya seni akan melegitimasi hal-hal lain yang juga melekat padanya. Kualitas estetis dari suatu grup music (misalnya) akan membenarkan cara mereka berpkaian dalam masyarakat – cara hidup mereka akan menjadi tren social. Bahkan cara pandang mereka akan menjadi panutan bagi para penggemar seburuk apapun itu.
      II.            PERSPEKTIF MARXIS TENTANG AGAMA
Dalam teori marxis agama adalah candu masyarakat sehingga ini menjadi salah satu kutipan dari kampanye yang kontra marxis untuk melakukan justifikasi bahwa marxisme adalah ideologi anti agama. Dengan begitu ateisme dilekatkan dengan terminologi marxisme dan sosialisme hingga sekarang ini. Menurut kaum marxis agama adalah alat yang mendamaikan seorang proletariat dengan kondisi hidupnya. Agama meyakinkan kaum proletar bahwa kemiskinan adalah nasib atau takdir yang telah ditentukan oleh tuhan. Dengan begitu mereka menerima keadaan itu secara pasif.
Agama menjadi alat legitimasi paling banter terhadap praktik ekonomi kapitalisme sehingga secara tidak langsung mereka pun memainkan kampanye kontra marxisme. Ini sebenarnya berkaitan dengan misi menekan bahkan meredusir potensi bangkitnya solidaritas buruh melawan kapitalisme. Karena dalam pandangan marxis solidaritas kaum buruh akan menentukan kehancuran kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme akan terjadi ketergantungan antara dua pihak. Di satu sisi buruh bergantung kepada kaum kapitalis yaitu upah untuk kehidupan mereka di lain sisi si kapitalis membutuhkan tenaga buruh untuk melakukan akumulasi modal (nilai lebih – omset). Ketika kaum buruh bersatu untuk tidak kerja (mogok kerja) secara otomatis itu akan berpengaruh pada omset si kapitalis.
Dalam pandangan Teologi pembebasan peran agama juga menentukan terwujudnya revolusi social. Sehingga para penganutnya membuat pembenaran bahwa agama bertugas untuk membebaskan masyarakat dari kekakangan kapitalisme. Ini memang tertolak belakang dengan peran agama pada umumnya yang selalu membela kepentingan kapitalisme karena kaum borjuis merupakan sumber pendapatannya. Agama pada umumnya dituduh oleh kaum marxis sebagai sarang kaum borjuasi yang mengkhianati nilai esensial agama itu sendiri.
Tetapi doktrin agama mengikat manusia untuk tetap menerima takdirnya dan terus pasrah dengan berdoa serta memimpikan munculnya malaikat atau santa claus pembagi hadiah atau kekayaan. Agama menggunakan otoritas ‘tuhan’ untuk mengeksploitasi pengikutnya sehingga perbedaan kelas menjadi sangat lumrah.
    III.            KAPITALISME DAN KRISIS SOSIAL
Seni memainkan peran yang sangat vital dalam mengatasi krisis sosial. Komedi pantomime Charlie Chaplin di zaman Perang Dunia II mampu mereduksi kekhawatiran masyarakat waktu itu dan sebagai alat propaganda untuk memojokkan Hitler. Sebagaimana kaum ‘kiri’ memandang seni maka kaum ‘kanan’ pun demikian. Seni menjadi alat untuk menunjang sebuah sistem ekonomi atau revolusi sosial. Ketika masyarakat dunia mulai menyadari akan sisi buruk dari sistem ekonomi kapitalisme maka para pemikir ‘kanan’ dan para praktisinya memainkan perannya. Agama memang adalah salah satu faktor pendamai masyarakat dengan kemelaratannya. Tetapi seni memainkan lebih dari itu semua; seni melebur dengan seksualitas dan menjadi ornamen produk kapitalisme. Seni juga menjadi pembentuk pola berpikir dan perilaku masyarakat lewat film, sinetron, telenovela, dan lagu. Semua konsep yang bertentangan dengan kapitalisme direkonstruksi lewat seni dengan efek-efek estetis dan emosionalnya.
Dalam klip grup band Evanescence berjudul Everybody’s fool yang dibintangi oleh Amy Lee - sang vokalis band itu sendiri -   bercerita tentang seorang artis/model iklan yang frustasi. Sebuah kondisi di mana sang artis merasa hampa akan ketenaran dan popularitasnya. Di samping itu dia merasa menjadi bagian dalam pembohongan publik ketika menjadi alat kampanye produk-produk seperti minuman, makanan, dan pakaian dan sebagainya. Posisinya sebagai artis ‘membenarkan’ kualitas produk-produk itu. Gejala serupa pun kita bisa dapati dalam iklan-iklan di Indonesia di mana terjadi persaingan antara perusahan produk tertentu yang melibatkan artis-artis tenar untuk melegitimasi produk mereka masing-masing. Dengan menggunakan kata-kata ‘lebih enak’, ‘lebih mengkilap’, ‘lebih irit’, ‘lebih gaul’ dan sebagainya; mereka menghipnosis konsumen supaya membeli produk-produk itu.
Kapitalisme yang adalah sebuah pandangan yang didasari atas kebebasan individu, natural, dan naluriah. Maka dengan itu untuk mempertahankan sistem yang dibentuknya arketipe yang bersifat naluriah seperti seks, ketamakan, kehendak bebas; menjadi penangkal terhadap revolusi sosial. Dengan menyajikan produk-produk instan yang memuaskan berahi dan sifat dasar manusia maka gerakan anti-kapitalisme bisa diredusir. Jangankan masyarakat awam para politisi, aktivis, dan agamawan dilunturkan idealism mereka dengan sogokan seks atau hal yang mampu memuaskan nafsu dan keinginan psikologis mereka.
    IV.            SENI DAN PSIKOSOSIAL
Seni dalam pandangan kaum ‘kiri’ harus mengabdi pada revolusi social menjadi alat propaganda politik. Kaum kanan juga memandang seni harus mengabdi pada pemodal sebagai alat legitimasi komoditas. Dan dalam realitas social seni memang memainkan dua peran yang saling tumpang tindi. Seni telah dilacurkan untuk kepentingan golongan tertentu demi mencapai tujuan mereka masing-masing. Oleh karena karya seni mempunyai tiga efek yaitu efek esetetis, etis, dan psikologis; dan dari ketiga efek ini dia akan menghasilkan nilai ekonomis. Tetapi bertolak belakang dengan kaum ‘kiri’ bahwa seni tak harus menjadi komoditas dan seniman bukanlah profesi tapi hanya sebagai penunjang revolusi sosial.
Efek dari karya seni bisa membuat manusia mengalahkan pergulatan absurditasnya dengan mengkonsumsi lagu atau film yang membangkitkan gairah hidup atau memuat deskripsi akan betapa hidup ini menyenangkan bila kita berusaha hidup tanpa banyak pikiran. Ada juga syair atau puisi tentang kehidupan yang memberi efek estetis dan etis untuk merubah pola pikir manusia yang terjebak pada absurditas. Tetapi, sebaliknya seni dapat merubah pola pikir manusia yang mapan, konservatif, dan etis menjadi brutal dan anti kemapanan. Contohnya dalam kalangan anak muda budaya pop, rock, punk, dan death metal memberi mereka persepktif baru dalam berpikir dan berperilaku. Seni bukan hanya mendamaikan manusia dengan nasibnya tetapi juga merusak harmoni kehidupan manusia. Dengan bantuan jejaring sosial untuk menyebarkan karya seni maka tren gay dan lesbian pun tumbuh subur dalam kalangan masyarakat.
Seni yang paling berpengaruh dan mempunyai efek yang segera adalah seni musik (termasuk lirik), seni perfilman (termasuk drama, sinetron, telenovela) dan periklanan audio-visual. Musik mempunyai efek estetis, etis, anti-etis, dan psikologis; begitu juga dengan film. Itu merupakan efek ‘kesegeraan’ yang didapat dari karya seni tersebut. Iklan audio-visual memberi efek yang sama dengan tambahan ekspektasi ekonomis. Iklan untuk sebuah komoditas dirangkai dengan halus dan artistik untuk meninggalkan kesan-kesan kualitas sehingga menciptakan gairah konsumen untuk mempertunjukkan kemampuan membelinya - dalam istilah Jean Baudrillard adalah simulacrum.  Seni menentukan pola berpikir dan perilaku social yang mengalahkan posisi agama yang mungkin kehilangan estetika dalam lagu dan homiletika.
Realitas sosial telah menunjukkan bukti bahwa konstruksi masyarakat modern dipengaruhi oleh media massa dan elektronik yang memuat berbagai macam bentuk artistik. Seni memainkan peran yang halus dan tak dapat disadari telah mampu mengkontruksi masyarakat dalam kesemerautan arah. Bisa dikategorikan masyarakat (post) modern berada dalam kondisi ‘ketidaksadaran kolektif’. Sebuah kondisi yang terwariskan dan diterima begitu saja sepanjang waktu dari generasi ke generasi. Seni telah menjadi candu dalam masyarakat dan seperti candu-candu lainnya sangat kurang disadari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar