(sebuah tesis)
I.
PENGANTAR
Candu adalah
sesuatu yang menyebabkan manusia memiliki kesadaran tidak secara utuh dan terus
hanyut dalam kesenangan pikiran. Seperti efek dari opium dan alkohol manusia
kehilangan separuh kesadarannya. Sudah beberapa abad dikalangan ideolog mengenal
agama sebagai candu masyarakat yang diutarakan oleh Karl Marx sebagai pelopor ‘komunisme
ilmiah’. Marx menganggap agama memiliki cara kerja yang sama seperti opium
yaitu menghilangkan sebagian kesadaran manusia dan mendamaikan manusia dengan
kemelaratannya. Tetapi lebih jauh daripada itu sebenarnya seni mempunyai peran
yang sangat signifikan.
Dalam masyarakat
kontemporer peran kapitalisme dalam memanfaatkan seni juga sangat menentukan. Sehingga
benturan ideologi dalam memandang relaitas social menjadi oposisi antara kaum ‘kiri’
dan kaum ‘kanan’. Seni bukanlah barang hidup yang mempunyai kesadaran otonom tetapi merupakan pemicu paling efektif untuk
membentuk kondisi social sesuai dengan kemauan penggunanya. Bisa diarahkan
untuk revolusi social untuk kaum kiri dan juga bisa digunakan untuk tujuan
ekonomis bagi kaum kanan. Itu bergantung pada siapa yang berkepentingan. Memang
tak bisa dibayangkan bagaimana seandainya dunia ini tanpa seni. Kemungkinan manusia
hidup dalam tekanan psikologis yang sangat berat. Bagi para penganut seni murni
daya estetis hanya untuk memuaskan kebutuhan psikologis manusia dan terlepas
dari fungsi social kaum kiri dan fungsi ekonomis kaum kanan.
Kita bisa
mengevaluasi penyakit sosial dari diri kita sendiri dan bertanya seberapa
banyak konsep dalam film dan lagu pop (misalnya) yang mempengaruhi cara pandang
kita. Walaupun film dan lagu bukanlah sesuatu yang memaksa kita tetapi
hakikatnya persuasif. Efek estetis dari karya seni akan melegitimasi hal-hal lain
yang juga melekat padanya. Kualitas estetis dari suatu grup music (misalnya)
akan membenarkan cara mereka berpkaian dalam masyarakat – cara hidup mereka
akan menjadi tren social. Bahkan cara pandang mereka akan menjadi panutan bagi
para penggemar seburuk apapun itu.
II.
PERSPEKTIF
MARXIS TENTANG AGAMA
Dalam teori
marxis agama adalah candu masyarakat sehingga ini menjadi salah satu kutipan
dari kampanye yang kontra marxis untuk melakukan justifikasi bahwa marxisme
adalah ideologi anti agama. Dengan begitu ateisme dilekatkan dengan terminologi
marxisme dan sosialisme hingga sekarang ini. Menurut kaum marxis agama adalah
alat yang mendamaikan seorang proletariat dengan kondisi hidupnya. Agama
meyakinkan kaum proletar bahwa kemiskinan adalah nasib atau takdir yang telah
ditentukan oleh tuhan. Dengan begitu mereka menerima keadaan itu secara pasif.
Agama menjadi
alat legitimasi paling banter terhadap praktik ekonomi kapitalisme sehingga
secara tidak langsung mereka pun memainkan kampanye kontra marxisme. Ini
sebenarnya berkaitan dengan misi menekan bahkan meredusir potensi bangkitnya
solidaritas buruh melawan kapitalisme. Karena dalam pandangan marxis
solidaritas kaum buruh akan menentukan kehancuran kapitalisme. Dalam sistem
kapitalisme akan terjadi ketergantungan antara dua pihak. Di satu sisi buruh
bergantung kepada kaum kapitalis yaitu upah untuk kehidupan mereka di lain sisi
si kapitalis membutuhkan tenaga buruh untuk melakukan akumulasi modal (nilai
lebih – omset). Ketika kaum buruh bersatu untuk tidak kerja (mogok kerja)
secara otomatis itu akan berpengaruh pada omset si kapitalis.
Dalam pandangan
Teologi pembebasan peran agama juga menentukan terwujudnya revolusi social. Sehingga
para penganutnya membuat pembenaran bahwa agama bertugas untuk membebaskan
masyarakat dari kekakangan kapitalisme. Ini memang tertolak belakang dengan
peran agama pada umumnya yang selalu membela kepentingan kapitalisme karena
kaum borjuis merupakan sumber pendapatannya. Agama pada umumnya dituduh oleh
kaum marxis sebagai sarang kaum borjuasi yang mengkhianati nilai esensial agama
itu sendiri.
Tetapi doktrin
agama mengikat manusia untuk tetap menerima takdirnya dan terus pasrah dengan
berdoa serta memimpikan munculnya malaikat atau santa claus pembagi hadiah atau
kekayaan. Agama menggunakan otoritas ‘tuhan’ untuk mengeksploitasi pengikutnya
sehingga perbedaan kelas menjadi sangat lumrah.
III.
KAPITALISME
DAN KRISIS SOSIAL
Seni memainkan
peran yang sangat vital dalam mengatasi krisis sosial. Komedi pantomime Charlie
Chaplin di zaman Perang Dunia II mampu mereduksi kekhawatiran masyarakat waktu
itu dan sebagai alat propaganda untuk memojokkan Hitler. Sebagaimana kaum ‘kiri’
memandang seni maka kaum ‘kanan’ pun demikian. Seni menjadi alat untuk
menunjang sebuah sistem ekonomi atau revolusi sosial. Ketika masyarakat dunia
mulai menyadari akan sisi buruk dari sistem ekonomi kapitalisme maka para
pemikir ‘kanan’ dan para praktisinya memainkan perannya. Agama memang adalah
salah satu faktor pendamai masyarakat dengan kemelaratannya. Tetapi seni memainkan
lebih dari itu semua; seni melebur dengan seksualitas dan menjadi ornamen produk
kapitalisme. Seni juga menjadi pembentuk pola berpikir dan perilaku masyarakat
lewat film, sinetron, telenovela, dan lagu. Semua konsep yang bertentangan
dengan kapitalisme direkonstruksi lewat seni dengan efek-efek estetis dan
emosionalnya.
Dalam klip grup band
Evanescence berjudul Everybody’s fool yang dibintangi oleh Amy Lee - sang vokalis band itu sendiri
- bercerita tentang seorang artis/model
iklan yang frustasi. Sebuah kondisi di mana sang artis merasa hampa akan
ketenaran dan popularitasnya. Di samping itu dia merasa menjadi bagian dalam
pembohongan publik ketika menjadi alat kampanye produk-produk seperti minuman,
makanan, dan pakaian dan sebagainya. Posisinya sebagai artis ‘membenarkan’
kualitas produk-produk itu. Gejala serupa pun kita bisa dapati dalam
iklan-iklan di Indonesia di mana terjadi persaingan antara perusahan produk
tertentu yang melibatkan artis-artis tenar untuk melegitimasi produk mereka
masing-masing. Dengan menggunakan kata-kata ‘lebih enak’, ‘lebih mengkilap’, ‘lebih
irit’, ‘lebih gaul’ dan sebagainya; mereka menghipnosis konsumen supaya membeli
produk-produk itu.
Kapitalisme yang
adalah sebuah pandangan yang didasari atas kebebasan individu, natural, dan
naluriah. Maka dengan itu untuk mempertahankan sistem yang dibentuknya arketipe
yang bersifat naluriah seperti seks, ketamakan, kehendak bebas; menjadi
penangkal terhadap revolusi sosial. Dengan menyajikan produk-produk instan yang
memuaskan berahi dan sifat dasar manusia maka gerakan anti-kapitalisme bisa
diredusir. Jangankan masyarakat awam para politisi, aktivis, dan agamawan
dilunturkan idealism mereka dengan sogokan seks atau hal yang mampu memuaskan
nafsu dan keinginan psikologis mereka.
IV.
SENI
DAN PSIKOSOSIAL
Seni dalam
pandangan kaum ‘kiri’ harus mengabdi pada revolusi social menjadi alat
propaganda politik. Kaum kanan juga memandang seni harus mengabdi pada pemodal
sebagai alat legitimasi komoditas. Dan dalam realitas social seni memang
memainkan dua peran yang saling tumpang tindi. Seni telah dilacurkan untuk
kepentingan golongan tertentu demi mencapai tujuan mereka masing-masing. Oleh karena
karya seni mempunyai tiga efek yaitu efek esetetis, etis, dan psikologis; dan
dari ketiga efek ini dia akan menghasilkan nilai ekonomis. Tetapi bertolak
belakang dengan kaum ‘kiri’ bahwa seni tak harus menjadi komoditas dan seniman
bukanlah profesi tapi hanya sebagai penunjang revolusi sosial.
Efek dari karya
seni bisa membuat manusia mengalahkan pergulatan absurditasnya dengan
mengkonsumsi lagu atau film yang membangkitkan gairah hidup atau memuat
deskripsi akan betapa hidup ini menyenangkan bila kita berusaha hidup tanpa
banyak pikiran. Ada juga syair atau puisi tentang kehidupan yang memberi efek
estetis dan etis untuk merubah pola pikir manusia yang terjebak pada
absurditas. Tetapi, sebaliknya seni dapat merubah pola pikir manusia yang mapan,
konservatif, dan etis menjadi brutal dan anti kemapanan. Contohnya dalam
kalangan anak muda budaya pop, rock, punk, dan death metal memberi mereka persepktif baru
dalam berpikir dan berperilaku. Seni bukan hanya mendamaikan manusia dengan
nasibnya tetapi juga merusak harmoni kehidupan manusia. Dengan bantuan jejaring
sosial untuk menyebarkan karya seni maka tren gay dan lesbian pun tumbuh
subur dalam kalangan masyarakat.
Seni yang paling
berpengaruh dan mempunyai efek yang segera adalah seni musik (termasuk lirik), seni
perfilman (termasuk drama, sinetron, telenovela) dan periklanan audio-visual. Musik
mempunyai efek estetis, etis, anti-etis, dan psikologis; begitu juga dengan
film. Itu merupakan efek ‘kesegeraan’ yang didapat dari karya seni tersebut. Iklan
audio-visual memberi efek yang sama dengan tambahan ekspektasi ekonomis. Iklan untuk
sebuah komoditas dirangkai dengan halus dan artistik untuk meninggalkan
kesan-kesan kualitas sehingga menciptakan gairah konsumen untuk mempertunjukkan
kemampuan membelinya - dalam istilah Jean Baudrillard adalah simulacrum. Seni menentukan pola berpikir dan perilaku social
yang mengalahkan posisi agama yang mungkin kehilangan estetika dalam lagu dan
homiletika.
Realitas sosial telah
menunjukkan bukti bahwa konstruksi masyarakat modern dipengaruhi oleh media
massa dan elektronik yang memuat berbagai macam bentuk artistik. Seni memainkan
peran yang halus dan tak dapat disadari telah mampu mengkontruksi masyarakat
dalam kesemerautan arah. Bisa dikategorikan masyarakat (post) modern berada
dalam kondisi ‘ketidaksadaran kolektif’. Sebuah kondisi yang terwariskan dan
diterima begitu saja sepanjang waktu dari generasi ke generasi. Seni telah
menjadi candu dalam masyarakat dan seperti candu-candu lainnya sangat kurang
disadari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar