halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Rabu, 16 Januari 2013

DARI 99 PUISI SAMPAI REMUUT WANGKO


(Sebuah laporan kegiatan)
26 Desember  dalam tradisi Kristen Minahasa adalah Natal Kedua untuk merayakan hari kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Desa Tondei dalam memperingati hari besar seperti Pengucapan Syukur, Natal, dan Tahun Baru mempersiapkan segala sesuatu untuk hari-hari ini. Boleh dikata hari-hari itu adalah hari pemborosan. Makanan dan minuman yang berlimpah, pakaian serba baru dan mahal, ratusan kendaraan modar-mandir, polusi suara akibat petasan, dan kembang api di malam hari. Masyarakat modern pada umumnya memang tergiur dengan kesenangan berpesta dari pada esensi hari besar itu sendiri.
Malam 26 Desember 2012 dengan diprakarsai oleh Iswan Sual maka Sanggar Tumondei Minahasa Selatan menggelar acara baca puisi berantai (estafet) di Batu Lutau Tondei. Walaupun hanya dihadiri oleh tujuh orang saja tapi kegiatan ini berhasil membacakan puisi sebanyak 99. Menurut Iswan Sual yang juga pionir Gerakan Tumondei bahwa kegiatan ini bermaksud untuk menciptakan suasana baru di hari raya. “Daripada torang cuma sibuk pasiar deng motor ato mabo-mabo lebe bae torang beking acara berkesan baru deng positif’. Dia juga menambahkan bahwa puisi berjumlah 99 yang dibacakan itu sesuai dengan usia desa Tondei. “Nanti ki’i klo so sratus taon brarti sratus puisi yang torang mobaca” tuturnya dengan bersemangat. Proses pembacaan puisi di batu lutau ini hanya diterangi oleh lilin saja yang dipasang melingkar di sekitarnya dan di atas batu itu. Jumlah lilin yang dipasang juga berjumlah Sembilan sesuai dengan angka mistis suku Minahasa.
Kegiatan ini dimulai sekitar pukul 06.30 sore sampai 10.30 malam dengan pembacaan puisi secara bergantian. Suara-suara yang menghentak sebagai wujud ekspresi dari puisi yang dibacakan sempat mengundang perhatian warga desa di sekitar tempat itu. Kemungkinan mereka berpikir kami sedang melaksanakan ritual dengan membacakan mantra-mantra yang tak henti-hentinya. Prasangka ini wajar karena masyarakat di desa ini telah memeluk agama Kristen dan menjadi fanatik walaupun praktik iman mereka kurang. Memang agama modern cenderung mekanistik, rutinistik, dan kehilangan ruh yang sangat signifikan dalam ajaran moralnya. Agama modern adalah peleburan dari tradisi kepercayaan tua dari berbagai budaya kepercayaan. Tetapi ketika dia bergandengan dengan imperialisme maka agama modern menjadi pemangsa kepercayaan kuno yang merupakan protipe dirinya sendiri.
Dua hari setelahnya yaitu pada 28 Desember 2012 diadakan pertemuan di balai desa (BPU) Tondei Dua untuk membahas kelanjutan Sanggar Tumondei yang telah dideklarasikan pada 20 Oktober lalu. Iswan Sual memulai kegiatan itu dengan ceramah panjang mengenai kebudayaan Minahasa dan kondisinya saat ini. Sesudahnya yang dibahas adalah dasar organisasi beserta strukturnya. Setelah melalui proses diskusi maka semua yang hadir sepakat untuk menjadikan nuwu in tua[1] sebagai asas organisasi. Dengan pertimbangan organisasi ini memang bergerak khususnya dalam usaha menggali, meneliti, mengkaji, dan melestarikan kebudayaan tua Minahasa. Walaupun memang  tak lupa juga mengkaji budaya secara umum.


Dalam kegiatan ini pula semua yang hadir sepakat untuk menggunakan istilah-istiah yang khas Minahasa dalam organisasi. Misalnya istilah seperti konferensi, kongres, rapat umum anggota, atau musyawarah besar diganti dengan istilah Remuut Wangko. Bahkan dalam struktur organisasi menggunakan istilah yang sesuai dengan sistem pemerintah minahasa dahulu. Ini didasarkan pada pemikiran bahwa usaha yang terbatas hanya dengan menulis tidak terlalu efektif. Oleh karena sejarah dan kebudayaan hanya akan diketahui oleh orang-orang yang gemar mencari tahu dan membaca saja. Jadi seharunya budaya tua minahasa harus dibiasakan kemabali untuk mengingatkan masyarakat secara holistik atau menyeluruh. Ini sinkron dengan pendapat umum bahwa budaya menyangkut kebiasaan masyarakat.
Tonaas Wangko

Tonaas

Si ma’patic
 

Tua in lukar
 

Meweteng
Struktur organisasi diganti dengan istilah dalam bahasa minahasa untuk membiasakan kembali istilah-istilah pemerintahan di minahasa yang hamper punah dan kehilangan esensinya. Diyakini bahwa sistem pemerintahan Minahasa mempunyai ruh kultural yang sangat berbeda dengan sistem pemerintahan organisasi dewasa ini yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ini akan mengingatkan kembali bahwa sebuah jabatan adalah amanat sosial yang harus dijalankan. Dalam organisasi modern tonaas wangko sama dengan ketua umum, tonaas sama dengan ketua, si ma’patic sama dengan sekretaris yang merangkap bendahara, tua in lukar sama dengan ketua departemen, meweteng sama dengan kordinator bidang.
Sebenarnya ada keinginan mengunjungi Batu Lutau pada Pergantian Taon[2] , menggelar Festival Kaliye, dan juga ada rencana di Tahun Baru 2013 akan diadakan kegiatan untuk memeriahkan hari besar itu dengan arak-arakan badot[3] atau wolai[4].  Yang terakhir ini adalah kebiasaan  semacam figura di desa yang telah hilang ketika memasuki abad-21. Tetapi oleh karena sang pionir gerakan ini mengalami halangan maka kegiatan itu tidak dapat dilaksanakan. Sejak tanggal 30 Desember 2012 sampai tanggal 2 Januari 2013 Iswan Sual harus menemani ayahnya yang terkena strok ringan yang dibawa ke rumah sakit Malalayang.
Gunung Sinonsayang



[1] “…Sapakem si kayo’ba’an anio, tana’ ta im baya! Asi endo makasa, sa me’em si ma’api, wetengan e pa’tuusan, wetengan eng kayo’ba’an! Tumani e kumeter, mapar e waraney, akad se tu’us, tumow on tumow tow!...” (secara bebas diterjemahkan, “…Dengan ini kami nyatakan, dunia in adalah tanah air kita semua! Bila pada suatu saat, burung telah memberi tanda yang pasti, bagilah tanah ini hai kamu pemuka masyarakat pemb  eri contoh! Bukalah wilayah pertanian baru, hai kamu pemimpin pekerjaan! Kuasailah wilayah, hai prajurit perkasa, agar keturunan kita dapat hidup dan memberi hidup!”…) diambil dari buku Minahasa. Dari amanat Watu Pinawetengan sampai gelora Minawanua karya Bert Supit. Jakarta. Sinar Harapan. 1986.
[2] Pergantian Taon adalah masa transisi habisnya hitungan kalender tahun berjalan dan akan berganti ke hitungan kalender yang baru. Orang Tondei akan mengunjungi tempat pekuburan untuk menyelakan lilin bagi keluarga mereka yang telah mati. Ini adalah ziarah ke tempat orang-orang mati untuk mengenang kehidupan mereka oleh karena tahun sudah berganti lagi. Situasi di pekuburan akan sangat ramai sekali sampai menjelang fajar oleh karena seluruh penduduk desa selalu berusaha untuk mengunjungi keluarga mereka yang telah tiada. Sebagai suatu penghormatan dan wujud rasa bahwa mereka terus dikenang. Dan juga ada desas desus yang beredar di kalangan masyarakat bahwa jika tidak ada orang atau keluarga yang membersihkan kubur atau memasang lilin maka arwah orang yang sudah mati itu akan bergentayangan di rumah keluarganya.
[3] Sejumlah orang menggunakan topeng yang terbuat dari mafafa kelapa ataupun tewasen dan berjalan sepanjang kampung serta menyelami warga desa.
[4] Sama seperti badot tapi sejumlah orang ini melakukan semacam skenario berburu monyet (wolai). Ada beberapa orang yang berpakaian seperti pemburu; menggunakan lars (sepatu yang dipakai di hutan) dan membawa senapan angin. Sementara orang lainnya yang lebih banyak jumlahnya badan mereka dibungkus dengan gomutu sementara wajah, tangan, dan kaki mereka digosok dengan arang. Mereka bertingkah layaknya seperti monyet. Memanjat setiap pohon yang mereka lihat dan tak lupa juga menyalami orang-orang desa. Ada yang tertawa terhibur tapi ada juga yang ketakutan khususnya anak-anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar