(Sebuah laporan kegiatan)
26
Desember dalam tradisi Kristen Minahasa
adalah Natal Kedua untuk merayakan hari kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Desa Tondei
dalam memperingati hari besar seperti Pengucapan Syukur, Natal, dan Tahun Baru mempersiapkan
segala sesuatu untuk hari-hari ini. Boleh dikata hari-hari itu adalah hari
pemborosan. Makanan dan minuman yang berlimpah, pakaian serba baru dan mahal,
ratusan kendaraan modar-mandir, polusi suara akibat petasan, dan kembang api di
malam hari. Masyarakat modern pada umumnya memang tergiur dengan kesenangan
berpesta dari pada esensi hari besar itu sendiri.
Malam
26 Desember 2012 dengan diprakarsai oleh Iswan Sual maka Sanggar Tumondei Minahasa
Selatan menggelar acara baca puisi berantai (estafet) di Batu Lutau Tondei.
Walaupun hanya dihadiri oleh tujuh orang saja tapi kegiatan ini berhasil
membacakan puisi sebanyak 99. Menurut Iswan Sual yang juga pionir Gerakan
Tumondei
bahwa kegiatan ini bermaksud untuk menciptakan suasana baru di hari raya. “Daripada torang cuma sibuk pasiar deng motor
ato mabo-mabo lebe bae torang beking acara berkesan baru deng positif’. Dia
juga menambahkan bahwa puisi berjumlah 99 yang dibacakan itu sesuai dengan usia
desa Tondei. “Nanti ki’i klo so sratus
taon brarti sratus puisi yang torang mobaca” tuturnya dengan bersemangat.
Proses pembacaan puisi di batu lutau ini hanya diterangi oleh lilin saja yang
dipasang melingkar di sekitarnya dan di atas batu itu. Jumlah lilin yang
dipasang juga berjumlah Sembilan sesuai dengan angka mistis suku Minahasa.
Kegiatan
ini dimulai sekitar pukul 06.30 sore sampai 10.30 malam dengan pembacaan puisi
secara bergantian. Suara-suara yang menghentak sebagai wujud ekspresi dari
puisi yang dibacakan sempat mengundang perhatian warga desa di sekitar tempat
itu. Kemungkinan mereka berpikir kami sedang melaksanakan ritual dengan
membacakan mantra-mantra yang tak henti-hentinya. Prasangka ini wajar karena
masyarakat di desa ini telah memeluk agama Kristen dan menjadi fanatik walaupun
praktik iman mereka kurang. Memang agama modern cenderung mekanistik,
rutinistik, dan kehilangan ruh yang sangat signifikan dalam ajaran moralnya.
Agama modern adalah peleburan dari tradisi kepercayaan tua dari berbagai budaya
kepercayaan. Tetapi ketika dia bergandengan dengan imperialisme maka agama
modern menjadi pemangsa kepercayaan kuno yang merupakan protipe dirinya
sendiri.
Dua
hari setelahnya yaitu pada 28 Desember 2012 diadakan pertemuan di balai desa
(BPU) Tondei Dua untuk membahas kelanjutan Sanggar Tumondei yang telah
dideklarasikan pada 20 Oktober lalu. Iswan Sual memulai kegiatan itu dengan
ceramah panjang mengenai kebudayaan Minahasa dan kondisinya saat ini.
Sesudahnya yang dibahas adalah dasar organisasi beserta strukturnya. Setelah
melalui proses diskusi maka semua yang hadir sepakat untuk menjadikan nuwu
in tua[1]
sebagai asas organisasi. Dengan pertimbangan organisasi ini memang bergerak
khususnya dalam usaha menggali, meneliti, mengkaji, dan melestarikan kebudayaan
tua Minahasa. Walaupun memang tak lupa
juga mengkaji budaya secara umum.
Dalam
kegiatan ini pula semua yang hadir sepakat untuk menggunakan istilah-istiah
yang khas Minahasa dalam organisasi. Misalnya istilah seperti konferensi,
kongres, rapat umum anggota, atau musyawarah besar diganti dengan istilah Remuut
Wangko. Bahkan dalam struktur organisasi menggunakan istilah yang
sesuai dengan sistem pemerintah minahasa dahulu. Ini didasarkan pada pemikiran
bahwa usaha yang terbatas hanya dengan menulis tidak terlalu efektif. Oleh
karena sejarah dan kebudayaan hanya akan diketahui oleh orang-orang yang gemar
mencari tahu dan membaca saja. Jadi seharunya budaya tua minahasa harus
dibiasakan kemabali untuk mengingatkan masyarakat secara holistik atau menyeluruh.
Ini sinkron dengan pendapat umum bahwa budaya menyangkut kebiasaan masyarakat.
Tonaas
Wangko
Tonaas
Si ma’patic
Tua in lukar
Meweteng
Struktur
organisasi diganti dengan istilah dalam bahasa minahasa untuk membiasakan
kembali istilah-istilah pemerintahan di minahasa yang hamper punah dan
kehilangan esensinya. Diyakini bahwa sistem pemerintahan Minahasa mempunyai ruh
kultural yang sangat berbeda dengan sistem pemerintahan organisasi dewasa ini
yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ini akan mengingatkan kembali
bahwa sebuah jabatan adalah amanat sosial yang harus dijalankan. Dalam
organisasi modern tonaas wangko sama dengan ketua umum, tonaas sama dengan ketua, si ma’patic
sama dengan sekretaris yang merangkap bendahara, tua in lukar sama dengan ketua departemen, meweteng sama dengan kordinator bidang.
Sebenarnya
ada keinginan mengunjungi Batu Lutau pada Pergantian Taon[2]
, menggelar Festival Kaliye, dan juga
ada rencana di Tahun Baru 2013 akan diadakan kegiatan untuk memeriahkan hari
besar itu dengan arak-arakan badot[3]
atau wolai[4].
Yang terakhir ini adalah kebiasaan semacam figura di desa yang telah hilang
ketika memasuki abad-21. Tetapi oleh karena sang pionir gerakan ini mengalami
halangan maka kegiatan itu tidak dapat dilaksanakan. Sejak tanggal 30 Desember 2012
sampai tanggal 2 Januari 2013 Iswan Sual harus menemani ayahnya yang terkena
strok ringan yang dibawa ke rumah sakit Malalayang.
Gunung Sinonsayang |
[1]
“…Sapakem si kayo’ba’an anio, tana’ ta im
baya! Asi endo makasa, sa me’em si ma’api, wetengan e pa’tuusan, wetengan eng
kayo’ba’an! Tumani e kumeter, mapar e waraney, akad se tu’us, tumow on tumow
tow!...” (secara bebas diterjemahkan, “…Dengan ini kami nyatakan, dunia in
adalah tanah air kita semua! Bila pada suatu saat, burung telah memberi tanda
yang pasti, bagilah tanah ini hai kamu pemuka masyarakat pemb eri contoh! Bukalah wilayah pertanian baru,
hai kamu pemimpin pekerjaan! Kuasailah wilayah, hai prajurit perkasa, agar
keturunan kita dapat hidup dan memberi hidup!”…) diambil dari buku Minahasa. Dari amanat Watu Pinawetengan
sampai gelora Minawanua karya Bert Supit. Jakarta. Sinar Harapan. 1986.
[2]
Pergantian Taon adalah masa transisi habisnya hitungan kalender tahun berjalan
dan akan berganti ke hitungan kalender yang baru. Orang Tondei akan mengunjungi
tempat pekuburan untuk menyelakan lilin bagi keluarga mereka yang telah mati.
Ini adalah ziarah ke tempat orang-orang mati untuk mengenang kehidupan mereka
oleh karena tahun sudah berganti lagi. Situasi di pekuburan akan sangat ramai
sekali sampai menjelang fajar oleh karena seluruh penduduk desa selalu berusaha
untuk mengunjungi keluarga mereka yang telah tiada. Sebagai suatu penghormatan
dan wujud rasa bahwa mereka terus dikenang. Dan juga ada desas desus yang
beredar di kalangan masyarakat bahwa jika tidak ada orang atau keluarga yang
membersihkan kubur atau memasang lilin maka arwah orang yang sudah mati itu
akan bergentayangan di rumah keluarganya.
[3]
Sejumlah orang menggunakan topeng yang terbuat dari mafafa kelapa ataupun tewasen dan berjalan sepanjang kampung serta
menyelami warga desa.
[4]
Sama seperti badot tapi sejumlah orang ini melakukan semacam skenario berburu
monyet (wolai). Ada beberapa orang yang
berpakaian seperti pemburu; menggunakan lars
(sepatu yang dipakai di hutan) dan membawa senapan angin. Sementara orang
lainnya yang lebih banyak jumlahnya badan mereka dibungkus dengan gomutu sementara wajah, tangan, dan kaki
mereka digosok dengan arang. Mereka bertingkah layaknya seperti monyet.
Memanjat setiap pohon yang mereka lihat dan tak lupa juga menyalami orang-orang
desa. Ada yang tertawa terhibur tapi ada juga yang ketakutan khususnya
anak-anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar