Suatu tempat di Bolaang Mongondow,
1950-an
Lexy Sual |
Hari
hampir gelap dan hujan turun begitu derasnya. Salah seorang perwira TNI memberi
kode (gesture) kepada eksekutor untuk
mempercepat kerjanya. Puluhan orang diikat di pangkal pohon kelapa dalam
keadaan telanjang; mata mereka ditutup dengan kain hitam. Mereka adalah para
pejuang yang menuntut desentralisasi ekonomi pada pemerintahan pusat.
Menawarkan pemerintahan federalistik dengan tindakan subversif. Mereka disebut
pengkhianat NKRI.
Junus
Sual, salah seorang yang diikat di pohon kelapa itu sambil menunggu ajal
memikirkan kembali dirinya sebelum bergabung dengan Permesta. Postur tubuhnya
tidak cocok untuk menjadi seorang pejuang bahkan pada saat itupun dia masih
usia sekolah. Umurnya sekitar 13 tahun. Tetapi untuk menambah pejuang maka
tentara Permesta merekrut setiap anak lelaki yang sudah cukup mampu menggunakan
senjata untuk bergabung. Dalam keadaan perang pemaksaan, penjarahan, dan
pemerkosaan menjadi halal. Harga nyawa turun drastis sehingga masalah kecil saja
bisa mengakibatkan pembunuhan.
Dia
pun teringat pesan seorang kakek tua bernama Hero Timporok. Seorang kakek tua
yang terkenal dengan ‘pengetahuan’-nya
yang tinggal di desa Tondei. Bukan hanya Permesta yang mengambil wentel padanya tetapi juga TNI.
“Kalo di perang jang ja ba tengo ka blakang
ato tiarap.”
“kyapa reen tete?”
“Itu pantangan for tu pegangan qta da kase
pa ngana.”
Mengingat
akan hal itu membuatnya bimbang dan penuh rasa keraguan akan khasiat dari pegangan (wentel) yang diberikan oleh
kakek itu. Dia teringat lagi sebelum pergi orang tua itu mengusap tubuh bagian
belakangnya sebanyak tiga kali dan berpesan ketika menghadapi kesulitan
hentakan kaki di tanah tiga kali dan bergumam ‘‘kacuali Hero badusta’’.
“Berdoalah!
Kau akan menyusul teman-temanmu.”
Dia
tersentak. Eksekutor memberi kesempatan untuk berdoa sebelum ditembak mati.
Perwira itu mengenakan setelan baju TNI sambil memegang senjata 12,7.
Senjata itu diarahkan kepadanya sebagai
orang terakhir yang akan dieksekusi. Dia tak perlu menutup mata lagi karena
yang dilihatnya sudah hitam. Terlintas di benaknya untuk mencoba pesan orang
tua itu. Dia menghentakan kaki ke tanah dan menyebut nama orang tua itu.
Pikirnya dia sedang membuat lelucon untuk dirinya sendiri di ambang kematian.
Tetapi tiba-tiba dia merasakan ikatan tali menjadi kendur. Dengan cepat dia
mengeluarkan tangannya dari lilitan tali itu membuka tutup mata dan perlahan-lahan
bergerak meninggalkan tempat itu. Setelah memastikan perwira ABRI itu tak bisa
mendengarnya lagi maka dia berlari ke arah hutan.
Perwira
TNI itu merasa bahwa calon orang mati itu masih terikat di pohon kelapa tepat
di depannya. Tanpa mempertimbangkan apakah orang itu sudah selesai berdoa atau
tidak sang perwira itu menghitung sampai hitungan ketiga sebelum menarik
pelatuk sejatanya. Hari sudah gelap, hujan, dan tugas sudah terlaksana. Tentara
itu kemudian pergi bergabung dengan kesatuannya.
Sementara
itu Junus Sual menggigil di tengah hutan tanpa pakaian dan juga kelaparan. Dia
teringat ketika mereka ditelanjangi baju mereka dibuang di dekat tempat mereka
dieksekusi. Dalam keadaan gelap gulita dia kembali ke tempat itu. Dia berjalan
sambil meraba-raba. Tiba-tiba dia terperosok dan masuk dalam lubang yang luas.
Dia meraba-raba. Ternyata lubang itu tempat menampung mayat teman-temannya.
Salah satu dari mayat itu masih terasa panas. Baru saja meninggal. Junus
menangis di tengah hutan dalam gelap malam dan hujan deras.
“Qta mo cari bantal. Biar cuma satu qta musti
dapa.”
Junus
berusaha keluar dari kuburan teman-temannya. Ada dendam dalam hatinya. Masih
teringat kenangan bersama teman-temannya di kesatuan. Canda, tawa, tangis dan
jeritan ketika menghadapi musuh di medan perang. Di dekat tempat itu tumbuh
pohon mangga yang besar. Firasatnya ada orang di bawah pohon itu. Dia mendekat
dan mendapati seorang tentara ABRI yang sedang tidur sambil mendengkur keras.
Tentara itu membungkus dirinya dengan kain seperti pada jas hujan. Junus
mengangkat benda yang menutupinya. Tangannya mencari-cari sebilah pisau di
pinggang tentara itu. Supaya tentara itu tidak terbangun dia pertama kali
mengiris tali senjata laras panjang yang melingkar di badan tentara itu.
Setelah mengambil senjata itu dia mencari sesuatu yang lain. Ransel. Perlahan
dia menarik ransel dari kepala tentara itu yang digunakan menjadi sandaran
kepalanya.
Lino, Iswan, Iswadi, Queen, dan Glorya |
Pejuang
Permesta ini merasa aman sekarang. Menakar berat ransel dia memastikan pasti
ada pakaian dan makanan di dalamnya. Sesuai janjinya kepada mayat
teman-temannya bahwa dia akan membalaskan dendam walau hanya pada seorang saja
maka dia langsung menusukkan pisau di gengamannya ke tenggorokan tentara NKRI
itu. Tubuh tentara itu tergunjang ke sana kemari di tanah. Suara dengkurannya
keluar dari cela yang dibuat oleh pisau itu. Kali ini suaranya berbeda seperti
suara rengekan babi ketika digorok. Junus kembali ke mayat teman-temannya
mengatakan pada mereka telah membalaskan dendam dan mengajak arwahnya untuk
ikut bersamanya.
Burung
berkicau. Panas matahari membangunkan tidurnya. Junus bangun dan bergegas
memeriksa ransel yang dibawanya. Dia mendapati sepasang baju tentara dan
beberapa ikan kaleng. Ada kebingungan dalam pikirannya hari itu. Tak tahu arah
perjalannnya ke mana. Tetapi dia berharap bisa bertemu dan bisa bergabung
dengan tentara Permesta di dekat gunung Soputan. Dia memutuskan untuk mengambil
rute hutan karena di bagian pesisir pantai telah dikuasai oleh ABRI. Dengan
melintasi hutan akhirnya dia sampai di sebuah pemukiman orang Minahasa.
Tompaso Baru, 1950-an
Desa
sunyi. Tak ada anak-anak terlihat bermain di pekarangan atau di jalanan. Tak
ada wanita yang berdandan. Tidak. Itu sangat berbahaya di masa perang seperti
ini. Junus berjalan di tengah perkampungan dan orang-orang melihat dia dengan
penuh rasa cemas. Para orang tua memanggil anak-anaknya untuk masuk ke rumah
karena takut sesuatu terjadi. Bisa saja tiba-tiba terjadi aksi bakutembak atau
pemboman ketika salah satu pihak yang berseteru baik dari TNI atau Permesta
datang. Dalam aksi seperti itu pasti ada peluru nyasar yang mengarah ke
orang-orang desa. Sudah banyak orang desa yang menjadi korban dalam peristiwa
seperti itu. Maka dari itu mereka sangat
was-was jika ada tentara pusat atau tentara permesta datang di perkampungan
mereka.
Ukung Tua di kampung itu keluar untuk menyambutnya. Dia diajak ke rumah
dan dijamu layaknya tamu besar. Junus bercerita tentang kisah yang dialaminya
beberapa hari ini kepada Ukung Tua itu. Dengan begitu masyarakat mengetahui
juga bahwa dia bukan TNI tetapi seorang pejuang Permesta. Orang kampung memang
menganggap dia TNI karena mengenakan seragam tentara pusat yang bercorak loreng. Karena sudah beberapa hari makan
seadanya maka kali ini Junus makan begitu lahap sampai beberapa kali menambah
makanan di piringnya. Selesai makan minum dan beristirahat untuk beberapa jam
dia berpamitan pada Ukung Tua dan melanjutkan perjalanan mencari
kesatuan baru.
Ketika
menyusuri perkebunan dia bertemu dengan beberapa anak laki-laki yang disuruh
orang tua mereka mencari sayor bulu. Dia bertanya apakah mereka tahu
ada persembunyian permesta di dekat situ. Anak-anak ini ragu untuk menjawab.
Mereka sudah peka terhadap suasana perang. Situasi perang bukanlah tempat
bersandiwara tetapi menuntut kejujuran. Berkata ada tapi pada akhirnya tidak
ada atau juga sebaliknya itu tandanya memanggil malaikat kematian. Salah satu
anak itu memberanikan diri untuk bicara. Dia mendekat sambil melihat sekitar
dia kemudian membisikkan sesuatu dan begegas pergi bersama teman-temannya.
Junus
berjalan mencari tempat persembunyian yang dikatakan anak itu. Sesaat dia
berhenti dan duduk di atas batu dan mencoba menenangkan hatinya yang gundah.
Dia menangis lagi. Teringat akan keluarga. Harapan supaya dapat berkumpul
bersama lagi melewati hari-hari normal dan bahagia. Dia juga berharap dapat
menemukan seorang gadis untuk diperistri dan hidup bersama keluarga yang
dibentuknya sendiri. Tapi dalam situasi seperti ini dia bisa saja mati seketika
terkena peluru atau bom dan harapan-harapannya menjadi sia-sia. Junus terbeban
akan tanggungjawabnya sebagai seorang anak untuk merawat kedua orang tuanya.
Tetapi apa daya perang berkata lain. Dalam situasi seperti ini kita harus
menggantungkan segala harapan kita dan terus hidup dalam rasa takut dan teror
berkepanjangan. Kita bukan lagi menjadi makhluk bebas tetapi menjadi makhluk
tak berharga yang bisa saja mati seperti katak digilas oleh kendaraan bermotor
di jalan raya.
Junus
beranjak dari tempat itu. Sambil mengusap air matanya dia berusaha
mengendalikan dirinya dan bersikap seperti seorang perwira kembali. Dia
berjalan tanpa peduli lagi apakah dia akan mati atau akan terus hidup. Pikirnya
kalaupun dia mati harus mati secara terhormat layaknya seorang pejuang.
Kira-kira
lima puluh meter tepat dihadapannya suara senjata bar, bren, medsen dan 12,7 berbunyi. Ratusan peluru menuju tubuhnya. Dia mengangkat
tangan dan senjatanya. Tanda menyerah dan tak ada perlawanan. Ribuan peluru menembus
bajunya sehingga terkoyak tak karuan. Dia merasakan kesakitan di tubuhnya. Tapi
tak setetes darah pun keluar. Dia terus berjalan maju sambil tersenyum. Kini
dia yakin bahwa orang tua itu benar dan tidak main-main. Ternyata Hero Timporok
tak pernah berdusta dan meninggalkannya dalam keadaan seperti itu.
Tentara
Permesta itu agak heran. Karena merasa usaha mereka percuma dan membuang-buang
amunisi maka mereka menghentikan tembakan. Junus Sual mendekat dan berbicara
kepada mereka bahwa dia bukan TNI. Awalnya mereka tetap menaru curiga tetapi
setelah mendengar keseluruhan ceritanya mereka menjadi percaya dan menerima dia
bergabung dengan mereka.
Tondei, 24 Desember 2012
Setelah
selesai mengenang heroisme saudaranya, Lexy Sual tersenyum puas mengakhiri
ceritanya. Cerita ini sudah berkali-kali ku dengar darinya tetapi entah kenapa
kali ini cerita itu mempunyai sensasi yang lain. Seakan cerita itu menjadi
hadiah Natal untuk keluarga ketika kami berkumpul bersama. Ada spirit baru
dalam cerita ini yang mewarnai suasana Natal tahun ini. Semangat untuk tetap
bersama menjalani hari-hari yang penuh ancaman dan teror kehidupan yang
berkepanjangan.
“Orang skarang banya
kata yang suka mo baperang. Oh coba dulu…dorang pe kira kong nda siksa. Mo
kerja so nimbole. Apalagi malam-malam jang skali-kali ngna pasang lampu; dorang
mo bom!”
Para
saksi sejarah sangat traumatis dengan perang sehingga mereka tak ingin hal itu
terjadi lagi. Mereka hanya berusaha mengenang situasi-situasi itu dan
memberikan gambaran akan penderitaan mereka di masa lalu. Sementara penikmat
sejarah perang terobsesi dengan heroisme sehingga mendambakan perang itu
sendiri. Apalagi para politisi dan politikus revolusioner yang hanya rajin
menginterpretasi wacana mereka menganggap perang adalah solusi.
Pejuang
Permesta telah membuktikan semangat waraney
mereka yang bisa dijadikan preseden setelah leluhur Tou Minahasa berperang
sampai pada masa penjajahan Belanda.
[1]
Cerita ini adalah kesaksian dari seorang mantan tentara Permesta bernama Junus
Sual yang diceritakan kepada Lexy Sual. Penulis merasa terbeban untuk
menuliskan kisah ini karena ini mengandung nilai historis, pengalaman,
heroisme, dan tragedi. Umumnya para pelaku dan saksi sejarah sangat berapi-api
ketika menuturkan apa yang dialami dan disaksikan mereka. Sehingga dalam setiap
pertemuan dengan orang-orang (apalagi anak-anak muda) mereka menuturkannya
secara berulang-ulang. Tak jarang banyak anak-anak muda yang bosan mendengar
cerita-cerita itu dan mengabaikannya begitu saja. Sebenarnya itu adalah tradisi
lisan orang Minahasa sebagai metode untuk mewariskan sejarah dan kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar