(Sebuah stimulus dialog kritis)
Friedrich Nietzsche |
Metode dekonstruksi yang digunakan di sini lebih
dekat dengan filsafat nihilism[1]
(baca : F. Nietzcshe) yang mendestruksi nilai-nilai tertinggi. Dengan meragukan
dan mengkritik habis-habisan akan mendorong orang lain untuk melawan lebih
kristis sehingga dilaketika ini akan melahirkan karya yang semestinya
mengandung nilai-nilai kebenaran yang telah dikaji secara komprehensif.
1. DEKONSTRUKSI MITOS MANUSIA PERTAMA DI
MINAHASA
Ketika menelusuri asal usul orang Minahasa (native society) maka kita akan diperhadapkan dengan sejumlah mitologi dan
perspektif historis. Semua menceritakan manusia pertama (Lumimuut dan Toar)
dengan versinya masing-masing. Dari perspektif mitologi asal usul orang Minahasa
katanya dari Wullur Mahatus. Lumimuut lahir dari batu dengan mediasi karema dan
setelah dihadapkan ke beberapa penjuru mata angin akhirnya Lumimuut hamil; mengandung Toar. Kemungkinan mitos ini
diciptakan untuk mengklaim batas tanah minahasa ada di sana. Oleh karena
terjadi sengketa antara Tontemboan dan Mongondow dan akhirnya menjadi perang
kolosal yang melibatkan etnis lainnya. Sementara dari perspektif historis
(namun aksiomatis) orang minahasa berasal dari bangsa Mongol yang melakukan
eksplorasi atau pun gerombolan orang yang secara kebetulan berlabu di tanah
Sulawesi Utara. Ini mengindikasikan bahwa orang Minahasa yang disebut sekarang
ini bukanlah penduduk asli (imigran).
Mitologi bahwa orang Minahasa berasal dari Wullur
Mahatus (daerah Modoinding sekarang) mungkin sengaja diciptakan untuk
membenarkan perang perebutan tanah adat. Di daerah Motoling khususnya banyak
nama-nama perkebunan dan tempat yang berasal dari bahasa mongondow. Oleh karena
memang sebagian tanah Minahasa Selatan dulunya didiami oleh orang Mongondow.
2. DEKONSTRUKSI BANGSA (ETNIK) MINAHASA
Bangsa dalam pengertian kaum fasis[2]
adalah masyarakat yang memiliki ras dan bahasa yang sama. Bersatunya sub etnik tountemboan, toulour, dan tombulu yang
kemudian melahirkan istilah Minahasa tak lebih dari kesepakan politik. Oleh
karena arti Minahasa itu sendiri cenderung mengandung arti politis; dari kata ma dan esa yang diberi infiks in
menjadi minahasa[3]
yang artinya bersatu; disatukan; menyatu, sudah bersatu. Minahasa adalah
preskripsi untuk mendamaikan konflik antar suku dan kemudian sebagai penentang
imperialisme. Ini sama halnya dengan konsep Indonesia yang tak lebih dari
kesepakatan politis akibat tekanan kolonialisme.
Minahasa
termasuk ras mongoloid dalam lingkar Asia Tenggara ciri-ciri orang
Minahasa lebih mirip orang Filipin dan Thailan dan memiliki kemiripan
kebudayaan[4].
Jadi bisa saja orang Minahasa sebenarnya adalah orang Filipin atau Thailan yang
beremigrasi. Oleh karena dari segi ras dan kebudayaan memiliki banyak
persamaan. Tetapi hari ini orang minahasa kebanyakan adalah hasil persilangan
dari berbagai ras lainnya.
3. DEKONSTRUKSI KEBUDAYAAN MINAHASA
Hereditas kebudayaan Minahasa patut dipertanyakan
orisinalitasnya oleh karena ada beberapa kesenian orang minahasa yang dengan
jelas adalah hasil adopsi. Tarian Katrili jelas diadopsi dari bangsa Portugis yang
pernah datang ke minahasa. Tarian ini dijadikan sebagai tarian dalam pesta
untuk menghibur kaum bangsawan atau acara penyambutan. Tarian Kabasaran
(kawasaran) tidak hanya ada di Minahasa tetapi di daerah lain juga ada yang
disebut cakalele. Dalam kurun Asia Tenggara tarian ini pun lazim dipertunjukkan
sebagai hiburan di kalangan masyarakat[5].
Kain Bentenan dan ukirannya juga mirip dengan yang ada di Sumatera. Sementara
etos masyarakat Minahasa juga patut dipertanyakan karena telah terkontaminasi
dengan kekristenan. Kita tak dapat mendeteksi tentang keaslian ungkapan dan
prinsip masyarakat yang asli karena sebagian besar sejarah Minahasa diperoleh
dari buku yang ditulis misionaris belanda dan orang Minahasa yang telah menjadi
Kristen. Penuturan mereka pasti dipengaruhi oleh identitas baru mereka[6].
Budaya mapalus
juga bukan khas Minahasa tetapi merupakan kebudayaan nusantara makanya dalam
perumusan Pancasila gotong royong yang sama dengan mapalus adalah budaya kerja masyarakat Indonesia. Suatu bentuk
kerjasama yang melibatkan banyak orang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
4. MINAHASA ADALAH MASYARAKAT FEODAL
Masyarakat Minahasa telah mengenal sistem kasta dan
bentuk pemerintahan sendiri. Masyarakat dibagi menjadi tiga kelas :
1. Golongan
MAKARUA SIOW (Tombulu) : untuk
mengatur pengajaran, ibadah dan adat.
2. Golongan
MAKATELU PITU (Toulour) : mengatur
jalannya pemerintahan dan keamanan.
3. Golongan
PASIOWAN TELU (Tountemboan) : menjadi
pekerja, sebagai rakyat biasa.
dengan pemerintahan
1. Yang
disapah WALIAN : merupakan pemimpin adat, kepercayaan/agama.
2. Yang
jadi TONAAS : merupakan kepala walak, wanua, ahli pertanian.
3. Disebut
TETERUSAN : pimpinan perang.
4. Diangkat
POTUASAN : sebagai penasihat.
5. Dan
WARANEY : prajurit perang
Sejarah perkembangan masyarakat dimulai dari
masyarakat komunal primitive – perbudakan – feodal – kapitalis[7].
Tetapi dalam hal ini peradaban masyarakat Minahasa tampaknya baru lepas dari masyarakat
komunal primitive dan mengarah ke masyarakat feodal. Tampaknya perang antar
suku belum bisa menghasilkan perbudakan[8].
5. MINAHASA MASA KINI
Minahasa hari ini adalah masyarakat yang tak jelas dan
kehilangan tumpuan etos dan budaya. Kehilangan jati diri dan kemudian melebur
dalam arus modernisasi sehingga mengidentifikasikan diri dengan bangsa-bangsa
yang telah maju. Masyarakat minahasa telah mengalami kawin campur sedemikian
rupa sehingga tak ada lagi yang bisa mengklaim diri sebagai pure society.
Minahasa sampai hari ini terkenal dengan para pelacur yang diperdagangkan di
nusantara bahkan ada yang diekspor ke luar negeri dan sekaligus menjadi budak di
sana.
Minahasa yang mengklaim diri mempunyai semangat perang dan
tak mau diperbudak akhirnya harus tunduk pada persoalan tuntutan ekonomi dan
merelakan dirinya dieksploitasi dan dikomersialisasi. Orang-orang minahasa yang
naik ke panggung politik nasional kini mempermalukan diri karena terjebak kasus
korupsi.
[1]
Filsafat nihilism tidak ingin terjebak pada kebenaran tertentu karena persoalan
kebenaran sangat relative dan tidak mutlak. Kondisi nihilis tidak ingin
mempercayai dan terjebak pada suatu kebenaran yang mutlak.
[2]
Hitler sendiri dalam bukunya Mein Kamft menulis bahwa jerman dan Austria
sebenarnya satu dalam konteks bangsa tetapi dipisahkan secara politis - begitu
juga dengan Taiwan yang sebenarnya adalah bagian dari Cina. Inilah yang
memunculkan konsep negara bangsa; bahwa negara harus didirikan dari satu
bangsa.
[3]
Grafland. Minahasa masa lalu dan masa kini.
[4]
Anthony Reid dalam buku Asia Tenggara dalam
Kurun Niaga menjelaskan bahwa ada masyarakat
Asia Tenggara suka sekali bergaya. Bagi mereka pakaian sangat penting dalam
pergaulan dibanding tempat tinggal oleh karena pakaian adalah sesuatu yang
langsung dipandang orang. Orang Minahasa (Manado) terkenal dengan sebutan biar
kala nasi asal jangan kala aksi atau orang Jawa membuat plesetan Menado yaitu
menang tampang doang.
[5] Ibidem.
[6]
Kekristenan membuat jembatan antara ajaran kristen dan kebudayaan Minahasa
sehingga Minahasa modern adalah masyarakat sintetik.
[7]
Dalam perspektif marxisme akhir dari perkembangan masyarakat adalah masyarakat
sosialis dan komunis.
[8]
Ada argumentasi masyarakat Minahasa tak pernah diperbudak walaupun dalam
konteks kolonialisme Belanda karena orang minahasa diperlakukan sama dan
menjadi mitra kolonialis. Makanya orang Minahasa (Manado) juga disebut anjing
Belanda karena membantu Belanda menaklukkan daerah-daerah lain.