TUMONDEI
DAN WACANA SESAT
(Dipersembahkan untuk Sanggar Tumondei pada
HUT ke-2)
Swadi Sual
I
SESAT,
TERSESAT, DAN PENYESAT
Lexy Sual waktu mencari makam Hero Timporok |
Jika kita mendengar kata ‘sesat’
maka tentunya itu berindikasi pada hal yang negatif dan memang respon mental
kita demikian. Tetapi walaupun begitu banyak orang yang bahkan tidak memahami
benar mengenai kata itu sendiri. Makanya perlu kemudian kita mengkaji
pengertian dasar dari kata sesat itu. Kata sesat bisa diartikan sebagai tidak
melalui jalan yang benar; salah jalan;
keliru; menyimpang dari ajaran. Semua pengertian itu mengacu pada persoalan
‘prosedur’, jalan, dan patokan; misalnya
pada pengertian pertama dan kedua, sesat adalah ketika kita tidak mengikuti
jalan yang sebenarnya maka kita akan tersesat karena tentunya jalan yang salah
sudah pasti tidak akan mengantarkan kita pada tujuan. Pengertian ketiga dan
keempat, sesat adalah soal ketika kita tidak sesuai dengan standar nilai
tertentu terkait ilmu (science) atau
ajaran. Ketika orang ingin bepergian ke
suatu tempat dan melalui jalan yang salah maka dia akan tersesat. Jika orang
yang tadi diberikan petunjuk yang salah oleh seseorang kemudian dia tersesat
maka pemberi petunjuk itu adalah penyesat. Begitu juga mengenai sesat terkait
standar nilai tertentu; jika kita mengajarkan bahwa √16 adalah 2 atau 3 x 3 = 6
maka kita adalah penyesat dan yang menerima ajaran kita tersesat karena yang
kita ajarkan adalah sesat karena kebenaran matematisnya √16 adalah 4 dan 3x 3 =
9. Jika dalam agama Kristen kita mengajarkan ketika pipi kirimu ditampar maka
balas pula dengan menampar pipi kiri atau membalas kejahatan dengan kejahatan
maka pengajar itu adalah penyesat dan orang yang menurutinya tersesat. Jadi
sesat bisa ditinjau dari segi tidak sesuainya pikiran dan tindakan dengan
aturan/jalan atau kebenaran.
Tapi tentunya soal sesat dan
tidak sesat yang berkaitan dengan aturan/jalan atau kebenaran itu bisa menjadi
relatif dalam hal-hal tertentu menyangkut perbedaan budaya, kepercayaan,
wilayah, dan waktu. Walaupun memang selalu ada usaha untuk menciptakan
aturan/jalan dan kebenaran universal. Setiap negara memiliki aturan hukum yang
berbeda, walaupun ada kesamaan di hal-hal tertentu, karena aturan yang
dihasilkan disesuaikan dengan kondisi negara itu sendiri. Misalnya, di
negara-negara tertentu ada pelegalan aborsi dan eutanasia sementara di
negara-negara lain tidak. Atau ada negara yang bebas mengembangkan nuklir sementara
di negara-negara lain tidak dan bahkan tidak diizinkan. Tetapi dengan
contoh-contoh ini kita tidak kemudian menjadikan kebenaran dan kesesatan itu
menjadi sangat kabur dan terjebak pada relativisme.
Oleh karena ada juga aturan/jalan dan kebenaran yang dirumuskan berdasarkan
prinsip universal; misalnya pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) untuk membuat aturan
universal yang akan dijalankan oleh semua negara yang menjadi anggota.
Sesat prosedural. Jika kita ingin mengadakan
sebuah perjalanan menuju suatu tempat dan kita menempuh jalan yang salah maka
kemungkinan kita akan menuju hutan luas dan bahkan tak tahu jalan pulang. Atau
ketika kita mau masuk universitas dengan serangkaian syarat dan langkah-langkah
kemudian kita tidak mengikutinya maka kemungkinan kita tidak akan diterima
masuk di universitas. Jika sudah ada semacam prosedur yang ditetapkan dan tidak
ada kemungkinan lain, atau jalan lain, maka kita tentunya akan menghadapi jalan
buntu dan tak sampai pada tujuan. Jika tujuan kita ke selatan dan kita mengambil jalan ke timur
sudah tentu kita tidak akan pernah sampai pada tujuan. Dalam hal ini untuk
mencapai tujuan kita harus mengikuti serangkaian alur dan langkah-langkah yang
ditetapkan ataupun suatu keharusan mutlak.
Ada hal yang cukup menarik, dan
bebeda dari yang sebelumya, bahwa dalam lingkup birokrasi yang sangat
prosedural maka perilaku yang menyimpang dari prosedur akan dianggap sebagai
dosa birokratis. Dalam hal ini walaupun kita tidak mengikuti prosedur
(jalan/aturan), yang disepakati dan memliki kekuatan hukum, kita justru
mendapat keuntungan dan mencapai tujuan. Misalnya dalam upaya mendapat gelar
yang harus melewati prosedur akademik atau untuk menjadi pegawai negeri yang
harus melewati uji berkas, dan serangkaian tes; pada kenyataannya banyak orang
yang tidak melewati prosedur itu tetapi sampai pada tujuannya. Ini sering
terjadi dalam masyarakat de facto
menganut plutokrasi sehingga uang dan orang tertentu (parvenu) dapat menyangkal kebenaran prosedural.
Sesat dogmatis. Jika sebelumnya kita membahas
soal pelanggaran terhadap kebenaran prosedural maka sekarang kita akan membahas
soal kebenaran dogmatis. Ini sangat berkaitan dengan standar nilai yang
ditetapkan dilandaskan pada ruang dan waktu sehingga mempengaruhi landasan
kebudayaaan masyarakat. Agama, etika, dan adat-istiadat masyarakat yang
berbeda-beda semuanya dibentuk oleh situasi dan kondisi terkait ruang dan
waktu. Setiap masyarakat atau bangsa yang memiliki kebudayaan sendiri mengklaim
kebudayaan mereka yang paling benar sehingga kebanyakan dari mereka memaksakan
standar nilai budayanya pada bangsa atau masyarakat lain. Ketika suatu bangsa
atau golongan masyarakat percaya bahwa agamanya yang paling benar maka ada
kecenderungan dipaksakan pada bangsa atau masyarakat lain. Itu sama halnya dengan etika dan
adat-istiadat. Tetapi hal-hal itu merupakan kebenaran dogmatis yang dibuat
untuk suatu bangsa atau golongan masyarakat tertentu dan bagi siapa yang
terikat atau anggota maka akan dianggap sesat ketika menyimpang dari dogma.
Bunuh diri dalam masyarakat
tertentu tidak diperbolehkan dalam alasan apapun tetapi pada masyarakat Jepang
bunuh diri dibenarkan dan dianggap sebagai sifat ksatria. Ketika mereka
bernazar dan tak ditepati, gagal dan lalai dalam menjalankan tugas maka bunuh
diri[1]
menjadi benar. Dalam hal etika pergaulan ada masyarakat yang membenarkan
sentuhan pada orang lain berupa berjabat tangan, mencium pipi, dan sebagainya.
Tetapi ada juga yang tabu dengan sentuhan seperti itu di depan publik apalagi
dengan orang yang berada di luar ‘lingkaran’nya. Hubungan seks diluar nikah
sangat dilarang dalam agama dan masyarakat tradisional tertentu tetapi dalam
masyarakat modern hari ini hal semacam itu lumrah dan bahkan disediakan alat
kontrasepsi sebagai bentuk legitimasi tak langsung.
Kebenaran dogmatis juga berkaitan
dengan ideologi yang dibuat oleh orang atau kelompok tertentu dan menetapkan
sistem kebenarannya sendiri. Kita bisa melihat bagaimana persaingan ideologi
yang saling mengklaim diri sebagai kebenaran seperti liberalisme (termasuk
dalam pengertian ekonomi), sosialisme, fasisme, dan –isme-isme[2]
yang lain. Standar nilai atau sistem kebenaran yang telah dibangun adalah
keharusan bagi mereka yang termasuk di dalamnya dan jika menyimpang maka bisa
disebut pengkhianat, sesat, atau murtad.
Sesat substansial. Jika pada awalnya kebenaran
yang dibahas beragam maka kita akan mencoba membicarakan kebenaran substansial
yang merupakan jenis kebenaran bisa diakui oleh seluruh umat manusia dan
tindakan yang menyimpang dari itu akan disebut sebagai sesat substansial. Saya
pikir kebenaran universal sudah coba dirumuskan dalam sejak ribuan tahun lalu
misalnya Sepuluh Hukum dalam kitab taurat walaupun memang harus dimaklumi ada
unsur etnosentrisme. Tetapi dalam kekristenan dengan semangat universalnya
sesuai dengan ajaran Kristus telah menyimpulkannya dalam hukum kasih. Bila kita
mencoba untuk memahaminya, tanpa prasangka berkaitan dengan identitas
kepercayaan kita yang berbeda, maka kita akan menemukan ada hal yang dirumuskan
yang memiliki prinsip universal. Pada abad ke-19 muncul kampanye anti imperialisme
yang disusul anti perang karena perang yang kejam sehingga banyak manusia harus
mati entah karena kelaparan atau terkena peluru dan bom; terjadi pembunuhan
massal (genocide) yang melibatkan
wanita dan anak-anak. Akhirnya muncul kampanye anti exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation. Hampir semua masyarakat yang
telah menjadi korban di abad itu mengutuk perbudakan, penjarahan, pemerkosaaan,
pembunuhan massal yang diakibatkan oleh perang dengan semangat imperialismenya
walaupun berbeda ras dan agama. Pengalaman terhadap kekejian perang mengarahkan
umat manusia pada perumusan kebenaran substansial untuk menciptakan perdamaian
dunia; dunia tanpa perang untuk menghindari
perbudakan, penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Usaha pada
abad-abad sebelumnya mengenai hak asasi manusia dan kebebesan makin diperkukuh.
Semuanya itu pun disusul dengan
semarak emansipasi terhadap kaum perempuan yang dikungkung budaya patriarki.
Feminisme kemudian berkembang sebagai gerakan pembebasan perempuan yang
mendorong kesamaan hak yang disertai undang-undang perlindungan terhadap kaum
wanita[3].
Begitu pun menyangkut anak-anak yang mendapat perlindungan agar tidak diperlakukan
semena-mena oleh orang tua atau siapa pun. Selanjutnya, kesadaran akan dampak
ekologis menciptakan kampanye mengenai konservasi alam terkait pengelolaan sampah
plastik, penggunaan bahan kimia, bahan bakar kendaraan yang menyebabkan polusi,
serta menghentikan aktivitas pertambangan. Penyimpangan terhadap semua ini bisa
kita istilahkan sebagai sesat substansial.
Akhirnya, kita harus sampai pada
perumusan bahwa sesat adalah sesuatu yang berkaitan dengan penyimpangan dari sistem
kebenaran (norma, ajaran, agama, ideologi, adat-istiadat) tertentu ataupun
universal; tersesat adalah tindakan yang menyimpang dari sistem kebenaran
tertentu ataupun universal; dan penyesat adalah orang yang
mengajarkan/menunjukkan sesuatu yang menyimpang dari sistem kebenaran tertentu
ataupun universal. Tetapi bagaimana pun kita juga harus mempertimbangkan sesat
yang direncanakan; dilakukan secara sengaja atau diproyeksikan. Hal semacam ini
adalah upaya penyesatan yang berorientasi untuk mendapatkan keuntungan
pribadi atau kelompok baik untuk kepentingan poitif maupun yang negatif.
Penyesatan akan sangat berkaitan dengan informasi yang diberikan. Dalam hal
positif, misalnya, ada pembatasan dalam pemberian informasi mengenai ilmu
pengetahuan yang benar tetapi bertentangan dengan norma maral dan agama.
Tujuannya untuk mencegah masyarakat berbuat sesukanya karena keruntuhan
kepercayaan yang selama ini dianggap sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
Atau misalnya kampanye anti free sex dengan
dalih HIV/AIDS tidak memiliki obat penyembuh. Banyak kali pula penyesatan
terjadi dalam politik untuk menjaga
stabilitas negara melalui penyebaran isu lewat media elektronik atau
cetak. Dalam hal negatif, kita banyak menyaksikan atau membaca sejarah soal
penipuan-penipuan untuk merugikan pihak lawan. Misalnya, konflik antar negara,
suku, agama, parpol yang saling menciptakan informasi yang buruk terhadap lawan
demi keuntungan sendiri dan kerugian bagi yang lain.
Saya kira uraian singkat pada
bagian pertama ini menjadi landasan bagi kita pertama untuk mendudukan
persoalan pada makna dasar ‘sesat’ serta variasinya. Dengan begitu kita akan
melanjutkan pada wacana yang menjadi dasar soal tuduhan dari orang ataupun
kelompok tertentu kepada suatu gerakan atau tindakan yang dituduh sesat. Ini
untuk memulai dialog kritis terkait masalah yang berkembang dalam masyarakat
untuk memahami siapa yang tersesat dan siapa yang penyesat.
II
PAGANISME
MINAHASA DAN KRISTEN
Minahasa dan kekristenan telah lama
saling mengikat sehingga untuk mencoba melepaskan dua unsur ini dari suatu
entitas harus memerlukan kesiapan mental untuk menerima kenyataan bahwa
keduanya memang dulunya terpisah dan disatukan kemudian. Oleh karena ada
orang-orang yang menerima sebuah keberadaan identitasnya secara a historis. Identitas orang (tou) Minahasa yang telah bercampur
dengan kristen seakan menjadi mutlak tak dapat dipertanyakan lagi dan usaha
untuk men-‘dekonstruksi’ identitas ini akan dianggap sesat[4].
Walaupun pada kenyataan agama kristen adalah agama impor yang dibawa oleh para
misionaris Belanda yang diterima oleh penduduk lokal. Sejarah adalah landasan
kita untuk mengerti soal Minahasa dan kristen. Jadi, sudah seharusnya kita
memisahkan kedua hal itu dan menyelisik sedikit sejarahnya.
Kristen. Secara harafiah kita bisa
mengartikan kristen sebagai pengikut
kristus atau orang yang menganut ajaran kristus. Dalam bahasa Inggris disebut christian atau dalam bahasa Prancis
disebut chrétien(ne); walaupun dalam
kategori agama ada juga yang menyebut
dirinya katolik yang juga merujuk kepercaannya pada Yesus Kristus. Yesus (yang
juga disebut Tuhan) adalah seorang Yahudi (Israel yang terletak di Timur Tengah)
yang ditolak ditanah dan oleh bangsanya sendiri yang kemudian disalib
berdasarkan hukuman Romawi. Yesus di masa hidupnya adalah seorang guru
spiritual yang juga memiliki kekuatan penyembuh. Dia banyak membuat mujizat
dengan menyembuhkan orang buta, lumpuh, kusta, tuli, penyakit ayan, dan bahkan
membangkitkan orang mati. Dia berkuasa atas alam karena mampu menghentikan
badai, mengusir roh jahat, dan memberi makan ribuan orang hanya dengan lima
roti dan dua ikan. Di masa itu Israel adalah wilayah jajahan Romawi sehingga
orang Israel sedang menantikan seorang raja pembebas sesuai yang telah
dinubuatkan oleh nabi sebelumnya. Raja Israel, Herodes, pada masa itu hanyalah
pemerintahan boneka dan tak memiliki kekuatan politik. Perjuangan untuk
membebaskan diri dari penjajahan ini terbagi-bagi dalam beberapa aliran di antaranya
adalah perjuangan keagamaan dan perjuangan politik. Yang satu dilandaskan pada
nubuat dan yang satu pada usaha pemberontakan.
Aktivitas Yesus awalnya adalah
mengajar tentang kebenaran firman Tuhan sesuai dengan kepercayaan Israel.
Walaupun dia sendiri buknlah imam atau orang yang bertanggung jawab untuk
bidang itu. Oleh karena Yesus adalah anak Yusuf dan Maria yang ayahnya adalah
seorang tukang kayu dan dalam strata masyarakat feodal mereka adalah masyarakat
biasa. Tetapi ketika Yesus mengajar maka banyak orang yang kagum bahkan sampai
anak-anak ingin mendengarkannya. Mereka selalu menanti-nanti kehadirannya untuk
mendengarkan kabar baik. Tetapi ketika Yesus mulai mengkritik masyarakatnya dan
para imam dan pemuka-pemuka agama yang munafik maka mereka mulai membencinya.
Ditambah lagi pengikut Yesus yang semakin banyak mengancam kekuasaan para imam
dalam hal spiritual. Yesus mengkritik praktik agama yang hanya mengabdi pada
dogmatisme daripada manusia; Bait Suci yang dijadikan pasar tempat berbisnis; dan
segala kekakuan agama pada waktu itu. Dia kemudian dianggap sesat karena tidak pro status quo dan melakukan penyesatan
terhadap umat Israel. Mujizatnya dituduh berasal dari roh kegelapan karena dia
bukanlah orang yang harus melakukan tugas spiritual; otoritasnya dipertanyakan.
Aktivitas Yesus dianggap tidak mendasar dan tidak memiliki wewenang yang
ditunjang oleh pembenaran status sosial dan secara agama. Tambahan pula
aktivitas Yesus yang dekat dengan orang-orang berdosa; pelacur, pemungut cukai
(dianggap pengkhianat), dan juga orang-orang miskin. Dan juga pernah didapati
dia bergaul dengan prajurit Romawi serta membuat mujizat terhadapnya. Itu semua
dianggap perbuatan tidak senonoh bagi para elite dan pemuka-pemuka agama.
Yesus mengkritik ekslusivisme ‘spiritual’,
rutinitas agama, dan tradisi masyarakatnya di masa itu yang jauh dari esensi
ajaran agama. Dia ingin memperbaiki perilaku bangsanya yang telah sedemikian
hancur oleh karena tradisi dan kekuasaan yang korup dan belum lagi ditambah
dengan kesewenangan imperium Romawi. Para elite yang tak tahan kritik pada
waktu itu akhirnya melakukan konspirasi untuk menjebak Yesus. Dengan segala
tuduhan yang menghujaninya dan diperkuat dengan motif pemberontakan terhadap
imperium maka dia pun diadili dan dijatuhi hukuman mati. Setelah kematian
Yesus, kurang lebih tiga ratus tahun lamanya pengikut Yesus atau yang kemudian
disebut kristen diburuh, dianiaya, dan dibunuh oleh penganut agama Yahudi
fanatik. Ketika kaisar Konstantine memeluk agama kristen dan selanjutnya
menjadi agama resmi negara maka mulailah sejarah baru dunia atas dominasi
kristen. Karena luas wilayah imperium Romawi maka agama Kristen kemudian dengan
mudah menyebar di Eropa. Walaupun kristen adalah agama yang bersumber dari
monoteisme Yahudi tetapi ketika berkembang di eropa maka terjadi akulturasi
dengan paganisme eropa itu sendiri.
Minahasa. Sekumpulan manusia yang tinggal
di daerah Sulawesi Utara (Nusantara) dengan warna kulit yang berbeda dengan
suku-suku di sekitarnya yang juga disebut masyarakat Malesung dulunya. Etnis yang memiliki sub-etnis dan bahasa yang
berbeda-beda. Ada tiga sub-etnis besar di zaman Malesung yaitu Toulour, Toumbulu, dan Tountemboan. Masyarakat ini memiliki kebudayaannya sendiri karena
telah memiliki sistem kepercayaan/religi, pemerintahan, bahasa, mata
pencaharian, astrologi atau ilmu perbintangan, dll. Kepercayaan Tou Minahasa walaupun dalam bentuk agama
tua (terkait animisme, dinamisme, dan totemisme) tetapi sudah ada pemimpin
ritual yang disebut walian; ini juga
disebut agama pagan atau kepercayaan asli masyrakat lokal . Dalam pemerintahan
ada yang disebut tonaas, ukung tua, tua in lukar, dan meweteng di
setiap walak atau distik; dalam
urusan perang panglima disebut teterusan
dan prajurit disebut waraney.
Masyarakat ini juga sudah memiliki sistem bahasa dan juga telah terpecah dalam
beberapa bahasa dan dialek yang berbeda; misalnya bahasa tountemboan terpecah
menjadi dua yang disebut Tountemboan sumonder dan tumompaso atau makelai’
dan matanai’. Mata pencaharian
masyarakat ini adalah hasil perburuan di hutan atau juga pertanian. Untuk
keperluan pertanian masyarakat ini juga sudah mengenal ilmu perbintangan untuk
menetapkan musim menanam yang baik serta perawatannya. Selanjutnya masyarakat
ini terpecah lagi dalam beberapa sub-etnis yang memiliki bahasa dan dialek yang
berbeda. Masyarakat ini tidak mengenal sistem kerajaan atau feodalisme tetapi
lebih dekat dengan masyarakat komunal primitif. Sering terjadi perang antar
sub-etnis atau juga antar distrik di dalamnya.
Tetapi ketika mendapat ancaman
dari suku-suku sekitar dan para bajak laut dari Mangindanau maka masyarakat ini
kemudian bersatu. Itulah cikal bakal masyarakat ini menyebut dirinya Minahasa yang berarti bersatu. Untuk
mengahadang ancaman eksternal ini maka persatuan adalah syarat mutlak untuk
mempertahankan eksistensi. Tou Minahasa juga selanjutnya terlibat perang
melawan Portugis, Spanyol, dan Belanda yang datang dari eropa sejak abad ke-16
dengan alasan emporium yang akhirnya juga ingin mendirikan imperium. Tou Minahasa dikenal dengan
kegarangannya serta memiliki kebiasaan berburu kepala atau mengayau untuk
keperluan ritual. Dalam agama pagan pengorbanan (rages) manusia adalah hal yang lumrah. Jadi dalam hal berperang
tradisi mengayau juga adalah hal yang biasa bagi masyarakat ini.
Minahasa dan Kristen. Lalu bagaimana bisa Minahasa
dan Kekristenan menyatu? Ketika orang Minahasa bersekutu dengan Belanda untuk
menghalau ancaman eksternal maka terjalinlah persahabatan antara keduanya. Ini
juga memudahkan para misionaris kristen dari Belanda mudah masuk ke wilayah ini
apalagi ketika kekuasaan kolonialnya ditegaskan di Nusantara yang waktu itu
juga disebut Hindia Belanda. Tetapi sejak awal orang Minahasa memandang dirinya
setara dengan Belanda karena sebuah perjanjian yang pernah diikat. Para
misionaris seperti Riedel dan Swarscz yang datang menginjil pada awalnya tidak
serta merta diterima oleh penduduk lokal karena standar nialai dan kebenarannya
tentu berbeda. Tetapi kemudian diterima oleh penduduk lokal mungkin dengan
bujukan atau dengan syarat. Kita bisa melihat terjadi akulturasi kebudayaan
antara paganisme Minahasa dan Kristen; kristen sendiri adalah budaya hasil
campuran antara budaya Yahudi dan Romawi (eropa). Mirip dengan kristenisasi yang
terjadi di tempat-tempat lain maka di Minahasa pun terjadi upaya
pengidentifiasian kebudayaan Minahasa dengan Kristen. Upaya itu dengan
meyakinkan bahwa Tuhan yang disembah oleh masyarakat lokal mengarah pada Tuhan
orang Kristen. Lalu diciptakan wacana-wacana yang membuktikan kesamaan itu.
Para misionaris mulai menulis sejarah kebudayaan lokal dengan menambahkan
unsur-unsur kekristenan di dalamnya. Maka tak heran jika penuturan sejarah dan
kebudayaan orang Minahasa di genarasi selanjutnya tetap memiliki unsur
kekristenan.
Dalam paganisme Minahasa yang
menyembah apo-apo[5]
(animisme), mempercayai tanda-tanda binatang tertentu, dan menggunakan wentel (totemisme) sebagai kebudayaan
aslinya memiliki semangat seperti dalam
Hukum Kasih Kristen. Seseorang yang disebut tonaas, walian, atau pemimpin
masyarakat adalah orang yang memiliki kualitas berpikir (nga’asan), berpengalaman (mawai’),
dan memiliki hati nurani (niatean).
Pemimpin masyarakat haruslah tou lo’or
atau orang yang baik yang mementingkan kepentingan bersama. Para tabib
tradisional yang menolong orang sakit memiliki pantangan menerima upah, sama
juga dengan para ‘visioner’ atau ma’tengo
yang menolong orang untuk menemukan barang yang hilang akibat dicuri orang.
Seperti dalam kekristenan yang diajarkan bahwa sesuatu yang diterima secara
cuma-cuma maka harus diberikan juga secara cuma-cuma. Jadi karunia yang
diberikan Tuhan pada manusia secara gratis maka harus digunakan untuk menolong
orang tanpa pamrih. Dalam hal mewariskan ilmu orang tua harus mempertimbangkan
dengan teliti siapa anak atau orang yang akan mewarisinya. Biasanya yang
dipilih adalah anak atau orang yang tidak pelak
(sombong) dan penes (pendiam) agar
supaya ilmu itu tidak disalahgunakan. Oleh karena ilmu yang diwariskan pada
orang yang salah akan mengubah talenta (karunia) itu digunakan untuk hal-hal
yang jahat. Jika orang jahat menggunakan
ilmu itu maka ilmu itu juga akan berubah menjadi jahat sehingga digunakan untuk
mencelaki orang (mariara atau ma’diara).
Tou
Minahasa
menerima kristen karena kesamaan dalam hal positif dalam injil mengenai yang lo’or. Tetapi praktik paganismenya masih
dipertahankan dan ada juga yang dimodifikasi. Misalnya Gereja Masehi Injili di
Minahasa menggunakan Manguni dalam lambangnya karena burung
ini adalah pembawa kabar bagi orang Minahasa. Ini tentunya adalah kepercayaan
lokal yang tidak sinkron dengan apa yang ada dalam alkitab atau kristen eropa. Sementara
ada juga praktik yang ditinggalkan secara perlahan misalnya jenis hukuman
mencicang orang yang bersalah dan kebiasaan berburu kepala untuk keperluan
ritual. Sejarah dan kebudayaan Minahasa ditulis dan diarsipkan oleh orang
Belanda karena Tou Minahasa waktu itu
belum bisa menulis seperti orang eropa. Dengan politik etisnya orang Belanda kemudian mulai
mengajari penduduk lokal untuk belajar ilmu pengetahuan dari Eropa an tentunya
diawali dengan membac dan menulis. Generasi orang Minahasa yang sudah bisa
membaca kemudian mewarisi sejarah dan
kebudayaannya lewat dokumen-dokumen yang ditulis oleh para misionaris. Tradisi
belajar lisan dari orang tua menjadi kurang karena pusat pendidikan diarahkan
ke sekolah-sekolah modern. Dokumen sebagai budaya tulis dianggap sebagai hal
yang paling valid sehingga sejarah dan kebudayaan Minahasa mengacu padanya.
Sampai di sini kita juga harus
menyadari bahwa kristen di Minahasa selanjutnya berkembang dengan masuknya
penginjil-penginjil baru yang beraliran berbeda-beda; ada yang membawa agama
kristen katolik dan aliran kristen karismatik. Kenyataannya dalam masyarakat
Minahasa telah berdiri gereja-gereja dengan berbagai aliran. Tetapi ini adalah
apa yang kemudian terjadi setelah yang telah diuraikan lebih awal. Jadi tidak
heran kalau aliran gereja yng atang kemudian tidak dekat dengan paganisme
Minahasa dan bersikap anti serta menuduh sesat.
III
TUMONDEI
Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dan
rasionalitas sampai pada titik jenuh dan segala akibatnya maka mulailah era
baru dalam ilmu pengetahuan; atau bisa juga ini disebut zaman pembalikan. Era
modern yang khas dengan rasionalitasnya mulai dipertanyakan. Modernisme
(logosentrisme) dikritik dan lahirlah apa yang disebut sebagai postmodernisme. Mulailah
kritik terhadap occidental-isme dan
muncullah oriental-isme. Globalitas
digantikan dengan lokalitas. Semua tema dan narasi besar (grand narration)
dipertanyakan kembali dan dijungkirbalikkan. Kebenaran-kebenaran yang dianggap
mapan dan diterima begitu saja dibongkar lagi. Semangat dekonstruksi menjadi
jiwa zaman ini sehingga otoritas-otoritas kebenaran banyak yang dihancurkan.
Tumondei sebagai gerakan menelusuri,
mencari, dan melihat kembali apa yang sudah ditinggalkan adalah reaksi terhadap
zaman kini yang mengecewakan. Identitas-identitas dan representasi sebagai
kenyataan faktual yang tidak sesuai mendorong upaya-upaya pencarian kembali.
Rasionalitas yang pada zaman keemasannya telah menggantikan mitos-mitos dan
kearifan lokal yang dianggap tidak logis dan bahkan sesat telah menjadi standar
kebenaran. Rasionalitas yang pada gilirannya telah mendukung penemuan-penemuan
dalam bidang ilmu pasti (science) yang
juga berdampak pada ilmu-ilmu sosial dan kenyataan sosial itu sendiri.
Perkembangan kapitalisme yang didukung oleh penemuan mesin-mesin menciptakan
masyarakat industri yang eksploitatif. Di mulai dari eksploitasi terhadap
manusia dan selanjutnya eksploitasi besar-besaran terhadap alam. Ketika
orientasi ekonomi yang terjebak pada produktivisme yang mengejar akumulasi
modal dengan mengorbankan alam maka ekosistem tidak lagi seimbang telah
mengancam eksistensi manusia dan kehidupan itu sendiri. Ini menjadi landasan
untuk mempertanyakan masyarakat modern yang maju dan dilandaskan pada
rasionalitas tetapi mengarah pada kehancuran sedangkan masyarakat tradisional
yang dituduh stagnan, dungu, dan alifuru tetapi memiliki kesadaran menjaga
keseimbangan alam. Kita bisa menyaksikan capaian masyarakat modern yang
melakukan aktivitas pertambangan untuk menunjang modernitas itu sendiri
menimbulkan pencemaran lingkungan baik di tanah, air, maupun udara. Penggunaan
bahan-bahan kimia sintetik yang digunakan pada peternakan hewan untuk
merangsang percepatan proses pertumbuhan telah menciptakan penyakit-penyakit
baru bagi manusia. Perubahan aktivitas pun membuat masyarakat mudah diserang
penyakit. Masyarakat tradisional yang tak menggunakan alas kaki dan setiap hari
bekerja keras jarang dan mungkin tak pernah diserang penyakit mematikan seperti
dalam masyarakat modern yang menutupi hampir seluruh tubuhnya dan bekerja
santai di kantor-kantor. Praktik tradisional seperti akupuntur dan yoga kini
banyak disarankan untuk masyarakat modern untuk mencegah dan mengobati
‘penyakit-penyakit modernitas’.
Dalam hal Minahasa dan Kristen
maka Tumondei adalah upaya untuk
menelusuri kembali dua unsur ini. Minahasa = Kristen dipandang sebagai
kebenaran mutlak sehingga kebenaran ini menjadi dogmatis. Mengangkat kembali
Minahasa masa lalu membuat orang resah dan mereka sangat alergi dengan yang
namanya kebudayaan lokal; upaya mencoba membicarakan Minahasa tanpa Kristen
dianggap sesat dan orang membicarakan kristen hari ini dengan sedikit kadar
Minahasa-nya. Ini adalah soal reaksi a
historis terhadap wacana ke-Minahasa-an
itu sendiri. Kekecewaan terhadap keadaan saat ini membuat adanya upaya melihat
kembali hakikat dari unsur-unsur pembentuk identitas Tou Minahasa yang terdiri
dari budaya Minahasa dan budaya Kristen. Menelusuri budaya Minahasa dahulu kita
menemukan budaya mapalus sebagai
sistem kerja kolektif untuk kepentigan bersama; kita menemukan bagaimana
pemimpin-pemimpin Tou Minahasa yang berani,
bijak, memiliki kualitas yang baik, dan benar-benar berpihak pada masyarakat
yang dipimpinnya; kita menemukan Tou
Minahasa yang memiliki talenta menggunakan karunia itu untuk menolong orang
tanpa pamrih. Hal yang sama pun bisa kita temukan dalam ajaran kristus dalam
kitab-kitab injil atau alkitab.
Hari ini orang yang mengaku
Minahasa sekaligus Kristen atau sebagai Kristen sekaligus Minahasa bahkan
bukalah representasi dari kedua hakikat identitas itu. Oleh karena banyak orang
yang mengaku Minahasa tetapi tidak tahu apa itu Minahasa dan begitu juga banyak
orang yang mengaku Kristen tetpi tidak tahu apa itu Kristen. Masyarakat yang
memiliki identitas ini (two in one and
one in two) mewujud dalam distorsi-distorsi. Faktor politik dan ekonomi
adalah dua hal yang secara kentara mendistorsi hakikat identitas ini. Dalam
rezim Orde Baru pemimpin-pemimpin yang Minahasa sekaligus Kristen meniru gaya
kepemimpinan otoriter ini, oportunis, dan korup. Para politisi dari Minahasa yang telah tercerabut dari
hakikat identitasnya telah ikut-ikutan dalam panggung NKRI dengan semangat
KKN-nya. Mereka sudah tidak pedui lagi dengan kepentingan bersama tetapi selalu
siap dan senang dengan proyek-proyek negara sehingga mereka bisa menggelapkan
dana untuk kekayaan keluarga. Keluarga menjadi prioritas walaupun dengan
mengabaikan nilai-nilai moral, agama, dan kebenaran. Akhirnya dampak dari
nepostisme itu muncullah angkatan-angkatan dekaden di mana para pengajar dan
pegawai negeri tidak berkualitas oleh karena hasil rekomendasi kerabat yang
berkuasa atau hasil sogokkan. Hasil (output)
dari lembaga-lembaga pendidikan sangat parah dan tak mampu bersaing dalam skala
internasional karena memang dididik oleh orang-orang tak berkualitas. Pemimpin
agama/gereja yang tidak kalah amburadulnya karena juga ikut mengokohkan
kekuasaan politik dan mengimpor semangat rezim itu dalam organisasi gereja.
Gereja mulai tergila-gila dengan kekuasaan dan uang. Orientasi pembangunan
adalah pendirian gedung-gedung dan pamer kemewahan. Pemimpin agama
berkonspirasi dengan politisi dan pemodal. Kita bisa menyaksikan bagaimana
yayasan-yayasan Kristen berupa lembaga pendidikan dan kesehatan dijiwai oleh
semangat akumulasi modal. Hanya yang kaya yang bisa mendapatkan layanan
pendidikan dan kesehatan yang bermutu. Berapa banyak anak-anak yang berhenti
sekolah karena tidak mampu membayar uang sekolah yang makin tinggi atau berapa
banyak orang yang mati kesakitan karena tak bisa dirawat di ruma sakit; atau
sekalipun dirawat di sana para dokter para perawat khawatir jika keluarga
pasien tak mampu membayar ongkos perawatan jadi hanya diberikan perawatan
sekedarnya. Sampai di sini kita harus bertanya lalu di mana Minahasa dan
Kristen dalam diri orang-orang ini? Jika ditinjau kembali apa arti gereja yang
sesungguhnya maka terjadi kontradiksi antara yang ada (das sein) dan yang seharusnya (das
sollen).
Politik orde baru mendistorsi
banyak hal esensi sebagai das solllen
bernegara; kesewenang-wenangan dalam birokrasi, money politic, pelanggaran HAM, dan hegemoni kekuasaan yang
membatasi kebebasan emberi dan menerima informasi menciptakan masyarakat
pragmatis, individualis, hedonis, dan apatis. Gereja juga di bawah kontrol
politik yang juga sejalan dengan semangat kapitalisme telah menciptakan praktik
anomali dan dogma-dogma yang melindungi sistem kekuasaan. Secara historis agama
memang selalu sejalan dengan politik untuk mempertahankan eksistensinya. Di
masa feodal agama juga turut melindungi kekuasaan dengan memberi
legitimasi-legitimasi spiritual terhadap raja. Agama juga menjadi pembela atau
tameng kekuasaan ketika ada upaya kritik atau pemberontakan. Kita bisa
menyaksikan bagaimana hal yang pernah dialami Yesus banyak terjadi kemudian
bahkan ampai saat ini. Banyak pejuang-pejuang revolusioner yang mengkritik kekuasaan
(negara sekaligus agama) yang yang dibunuh. Secara substansial asketisme para
pejuang revolusioner dan aktivis sama seperti Yesus Kristus. Yesus yang dituduh sesat dan melakukan penyesatan
juga dialami oleh para pejuang revolusioner dan aktivis yang dituduh
menyesatkan masyarakat dengan melakukan agitasi, propaganda, dan provokasi. Ini
memang berkaitan dengan ketidaksesuaian dengan prosedur dan dogma yang
sementara dipakai sehingga ini bisa disebut sesat prosedural dan dogmatis.
Tetapi gerakan perlawanan ini adalah penglihatan sebalaiknya bahwa yang menuduh
sesat juga sementara tersesat dalam hal-hal substansial. Mereka memiliki
gelar-gelar akademik, sosial, dan bahkan substansial tetapi tidak intelek,
penuh skandal imoral, dan tidak berlaku berdasarkan ajaran-ajaran agama; mereka
terjebak pada rutinitas ritual yang dianggap sebagai tindak kesalehan.
Kondisi sosial hari ini
menunjukkan bagaimana masyarakat itu tersesat tak terkecuali dalam hal
prosedural, dogma, dan substansial. Kita bisa menyaksikan bagaimana praktik
pelanggaran hukum, undang-undang dan aturan terjadi. Hukum yang harusnya
menegakkan keadilan malah menjadi srng ketidakadilan karena para penegak hukum
justru terobsesi dengan uang sehingga yang benar bisa salah dan juga
sebaliknya. Banyak undang-undang yang dilanggar dan disesuaikan dengan
kepentingan politik parpol dan golongan. Prosedur-prosedur penerimaan PNS yang
bisa dilangkahi dengan pemberian sejumlah uang atau rekomendasi yang bersifat
mutlak. Dogma-dogma yang menciptakan fanatisme sempit mendorong sentimen
berlebihan dan akhirnya menciptakan konflik sosial antar golongan dan antar
agama; terjadi penganiayaan dan pembunuhan atas nama Tuhan yang padahal hanya
untuk melindungi kekuasaan agama yang korup. Upaya-upaya menebar kebencian
terhadap mereka yang berbeda dogma pada akhirnya mendistorsi substansi agama
itu sendiri. Yang harusnya mengasihi malah membunuh, memfitnah, iri, dengki,
dan sebagainya.
Kondisi sosial kini harus dilihat
kembali akar-akarnya dengan menelusuri identitas-identitas pembentuknya. Oleh
karena kebanyakan orang kini bahkan tak mampu menjelaskan dirinya karena memang
tidak dipahami baik identitas pribadi ataupun identitas kolektif. Ketika orang
ditanya tentang nama dan asal maka itu akan disertai dengan beberapa pertanyaan
lanjutan. Nama sebagai identitas diri berkaitan dengan marga atau klan yang
nantinya akan terkait juga dengan pengertiannya relasinya di brbagai daerah dan
bahkan asal usulnya. Asal sebagai identitas kolektif berkaitan dengan nama
kampung atau wilayah yang juga diikuti dengan pengertian dan sejarah
pemebentukannya. Semua ini akan mengarah pada karakteristik identitas itu. Jika
marga kita dikenal dengan kerajinan, keuletan, dan intelektual maka perilaku
yang menyimpang dari itu dianggap ‘sesat’. Begitu juga dengan identitas al
kampung yang dianggap juga orang yang berasal dari kmpung atau daerah tertentu
mewarisi gen sosial yang menjadi karakteristiknya.
Tumondei adalah upaya melihat kembali
akar-akar identitas pembentuk serta hakikatnya dalam rangka menyusun proposal
perbaikan-perbaikan kondisi soal. Usaha untuk mencari prinsip-prinsip universal
dalam masyarakat tradisional atau yang lampau untuk menciptakan etos sosial
yang berakar pada hakikat identitas itu sendiri.
[1]
Harakiri atau seppuku. Tradisi ini mengakibatkan angka bunuh diri tertinggi di
dunia terdapat di Jepang. Dalam kategori bunuh diri ini adalah bunuh diri
filosofis.
[2]
Dalam wacana filsafat yang terbagi dalam dua aliran besar yakni idealisme dan
materialisme masing-masing dikalim kebenaran oleh para penganutnya. Selanjutnya
ada juga empirisme, nativisme, eksistensialisme, feminisme, modernisme,
posmodernisme, dan lain sebagainya.
[3]
Walaupun sampai hari ini wacana feminisme sudah menjadi sangat beragam yang
dipengaruhi oleh kelahiran isme-isme baru.
[4]
Dekonstruksi yang dimaksud disini adalah upaya untuk memisah-misahkan
unsur-unsur yang membentuk identitas dengan menelusuri asal usul dan sejarah.
Sebagaimana dekonstruksi adalah suatu proses pembongkaran elemen-elemen
pembentuk suatu wacana ataupun narasi untuk direkonstruksi. Suatu kepercayaan
terhadap suatu wacana atau narasi yang diterima begitu saja sama seperti
percaya pada sesuatu yang tidak dikenali. Dekonstruksi terhadap sebuah wacana
akan memberi landasan kepercayaan yang utuh dan berkesadaran atau juga tidak
mempercayainya sama sekali.
[5]
Cenderung politeisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar