“KEBENARAN
ADALAH TEMANKU,
TAPI
AKU LEBIH AKRAB DENGAN KEPENTINGAN”
(Sebuah
renungan idealistik)
Ketika Aristoteles melakukan
pemberontakan intelektual terhadap Plato maka dia menyatakan “Amicus Plato, sed magis amica veritas”[1]. Aristoteles
tidak ingin kompromi dengan teman soal kebenaran dan itulah yang memustuskan
persahabatan antara dua filsuf besar itu sekaligus titik tolak perkembangan
ilmu pengetahuan. Yang satu disebut bapak idealisme sementara yang satunya
disebut bapak ilmu pengetahuan. Plato yang merupakan murid Socrates adalah
saksi yang melihat gurunya menjadi martir demi kebenaran yang dia yakini. Dalam
karya-karya Plato (euthyphro, apology, crito, dan phaedo[2])
di mana Socrates diperhadapkan dengan tuduhan penyesatan dan akhirnya harus
memilih minum racun demi kebenaran. Socrates telah memberi contoh
mempertahankan kebenaran walaupun mengorbankan nyawa. Plato juga sebelumnya
mempunyai keyakinan seperti Aristoteles soal kebenaran[3].
Jadi bahkan Plato pun tidak menjadikan relasi persahabatan atau relasi
guru-murid (stratifikasi sosial) sebagai alasan mengingkari kebenaran. Di
Yunani pada masa sebelum masehi telah ada preseden soal mendahulukan kebenaran
daripada pertemanan dan bahkan mendahulukan kebenaran daripada nyawa. Dalam
literature tentang sejarah filsafat tiga nama ini yaitu Socrates, Plato, dan
Aristoteles sangat dikenal. Dalam retorika Socrates telah diabadikan karena
dianggap pelopor metode dialogis. Filsafat idealisme sama sekali tak
mengalpakan nama Plato. Dalam logika, Aristoteles mendahului dengan logika
formalnya. Dalam sejarah manusia selanjutnya banyak juga orang yang menjadi
martir; bersedia mati demi kebenaran. Apakah hari ini masih ada orang yang
bersedia mati demi kebenaran?
Dalam sejarah pun banyak preseden
soal orang mengorbankan kebenaran demi kepentingan mendapatkan harta dan
wanita. Apalagi dalam dunia pragmatis hari ini yang diilhami dengan pandangan
konstruksi kebenaran berdasarkan apa yang berguna dan menguntungkan. Ditambah
dengan prinsip kapitalisme yang individualistic maka banyak aturan dan ajaran
yang direduksi untuk kepentingan. Prinsip-prinsip agama dan moral telah
terdekonstruksi untuk mengutamakan kepentingan dan mengejar keuntungan. Dalam
buku berjudul Rasionalitas Kerjasama:
Sebuah Teori Rekonsiliasi Sosial[4], Adian (2013) menggunakan istilah rasionalitas
instrumental untuk mendeskripsikan suatu orientasi kepentingan jangka pendek
dengan mengabaikan kepentingan orang lain. Walaupun buku ini didasarkan pada
penelitian tentang dilemma narapidana tetapi juga sangat berguna untuk menganalisa
soal konflik antar kelompok.
Mengejar kesenangan-kesenangan
seperti gaya hidup mewah atau keinginan mengkonsumsi produk terkini membuat
orang mengabaikan banyak prinsip-prinsip mengenai kebenaran, norma, dan aturan
lainnya. Ini bisa disebut kepentingan jangka pendek akibat dari keinginan yang
pada dasarnya juga dirangsang oleh simulacrum
(meminjam istilah Baudrillard) yang diciptakan media periklanan[5].
Tantangan bagi para aktivis muda juga adalah soal pengaruh hiperealitas ini.
Kebutuhan ilusif yang diciptakan sangat mempengaruhi idealism mereka. Di
samping itu pula kebutuhan-kebutuhan mendasar ekonomi yang akan menuntut
masyarakat berlaku pragmatis. Nilai-nilai yang mapan akan dikorbankan untuk
memenuhi kebutuhan yang dianggap segera.
Pengabaian prinsip-prinsip
kebenaran hanya karena kepentingan adalah bukti dari kehancuran
institusi-institusi. Jika seseorang dikatakan memiliki moral dan lantas kita
langsung mempercayainya maka kita terjebak dalam logika formal Aristotelian, A
= A. Pada kenyataannya suatu identitas bermoral pada seseorang hari ini tidak
akan menjamin perilakunya adalah representasi dari statusnya. Misalkan juga
pada orang yang memiliki status pendidikan tinggi. Kita akan mendapati bahwa
pendidikan tinggi yang memprioritaskan uang akhirnya memproduksi kualitas
pendidikan rendah.
Jika Aristoteles mengabaikan
relasi pertemanan demi kebenaran maka hari ini banyak orang justru mengabaikan
kebenaran demi kepentingan yang juga terkait dengan relasi social; apakah itu
soal teman, keluarga, saudara, dan sebagainya. Dalam praktik korupsi terjadi
pengabaian kebenaran demi mendapatkan harta untuk memperkaya diri dan keluarga.
Praktik nepotisme adalah upaya menjahit hubungan-hubungan keluarga dalam
birokrasi. Praktik kolusi adalah mengorbankan orang lain demi sebuah
kepentingan pribadi dan kelompok. Dari perspektif subjek yang diuntungkan dalam
pengabaian kebenaran mereka menganggap tak ada masalah dengan dilanggarnya
prinsip-prinsip tertentu karena mereka telah merasakan kesenangan yang bersifat
segera. Keluarga koruptor merasa tidak adil ketika ayah mereka dipenjara selama
lima belas tahun karena dalam kesadaran mereka bahwa ayah mereka adalah orang
baik yang bertanggungjawab terhadap keluarga dengan memberikan penghasilan yang
melimpah.
Pengabaian terhadap
prinsip-prinsip kebenaran juga dipengaruhi oleh tekanan ekonomi yang bersifat
segera. Pendapatan perbulan yang tak mencukupi kebutuhan akan mendorong
pragmatism dalam masyarakat. Orang akan memilih menipu demi mendapat makan
daripada jujur dan mati lapar. Keinginan dan nafsu yang tak bisa dikendalikan
akan membuat orang ingin menempuh cara apa saja untuk memuaskannya. Seorang
anak kecil akan menangis sekuatnya untuk memaksa orang tua memenuhi
keinginannya tetapi orang dewasa akan melakukan berbagai maneuver rasional
untuk memenuhi keinginannnya. Seorang wanita, misalnya, yang terhipnosis dengan
mode terbaru akan berdagang kelamin untuk mendapatkan barang-barang yang
diinginkannya. Keberadaan dalam kapitalisme modern ditentukan oleh daya beli.
Jika Descartes meyakini bahwa keberadaan ditentukan oleh kesadaran
berpikir (cogito ergo sum) maka dalam kapitalisme modern dengan bantuan simulacrum (symbolic exchange) keberadaan ditentukan oleh daya beli (economic exchange)[6].
Ketika kebutuhan membumbung dan pendapatan kurang maka segala sesuatu yang
berpotensi menghasilkan akan dieksploitasi.
Idealisme politik banyak yang
terdistorsi oleh masalah kebutuhan sehingga pengkhianatan terhadap idealism
lumrah terjadi. “Sampai kapan kau akan bertahan dengan idealisme?”
[1]
Plato adalah temanku tetapi aku lebih berteman dengan kebenaran.
[2]
Plato. Hari-hari terakhir Socrates; Euthyphro, Apology, Crito, Phaedo.
Diterjemahkan dalam versi Bahasa Inggris oleh Hugh Tredennick & Harold
Tarrant; versi Bahasa Indonesia oleh Eleonora Bergita. PT Elex Media
Komputindo. Jakarta. 2003.
[3]
Roger Bacon, Opus
Majus, Pars I, cap. v. For Plato says, "Socrates, my master, is my
friend but a greater friend is truth." And Aristotle says that he prefers
to be in accord with the truth, than with the friendship of our master, Plato.
These things are clear from the Life of Aristotle and from the first book of
Ethics and from the book of secrets.”
http://en.wikipedia.org/wiki/Amicus_Plato,_sed_magis_amica_veritas
http://en.wikipedia.org/wiki/Amicus_Plato,_sed_magis_amica_veritas
[4]
Adian, Donny Gahral. Rasionalitas Kerjasama: Sebuah teori rekonsiliasi social.
Koekoesan. Depok. 2013.
[5]
Lihat Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya
Makna. LKiS. Bandung. 2012.
[6]
Lihat Baudrillard, Jean. The Consumer
Society: Myth and Structure. Sage
Publications. London. 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar