(Sebuah konstruksi terhadap
gerakan sosial)
I.
PENDAHULUAN
Wacana (discourse) adalah serangkaian gambaran tentang sesuatu yang bisa
dilihat dari berbagai perspektif. Peristiwa, gejala, masalah, terutama yang
berkaitan dengan kehidupan manusia akan menjadi bahan pembicaraan ataupun
dielaborasi menjadi catatan-catatan baik dalam bentuk ilmiah ataupun yang
lainnya. Hakikatnya wacana merepresentasikan sesuatu yang bisa dijangkau oleh
akal. Dalam semiotika wacana masuk dalam kategori teks atau juga tanda (sign). Dengan demikian wacana juga tak
luput dari persoalan interpretasi yang beragam. Oleh karena bermacam revolusi
yang terjadi akhirnya sampai pada masa di mana manusia secara individual ikut
berpatisipasi dalam menginterpretasi lingkungannya.
Wacana tentunya adalah
keseluruhan realitas yang mewujud dalam lingkup interaksi social. Dia memuat
segala hal yang tercerap oleh indera dan konstruksi persepsi atau interpretasi
terhadap realitas. Setiap masalah dalam peradaban manusia yang telah mencapai
kesadaran social, kesadaran akan keterkaitan satu sama lain, akan dielaborasi
dan ditampilkan dalam bentuk tulisan (writing)
atau secara lisan (speech). Pidato,
khotbah, pengajaran, buku, lukisan, dan segala tanda yang memuat soal wacana.
Artinya kita di sini mendapati bahwa elaborasi wacana tidak hanya dalam bentuk
lisan atau tulisan saja karena bahkan ada juga yang merupakan percampuran
seperti lukisan, pentas teater, potret, dll.
Menghadirkan wacana yang telah dielaborasi
adalah usaha untuk memberi pengertian kepada masyarakat soal realitas. Para
nabi membuat nubuatan dan berkhotbah adalah tindakan mengangkat
persoalan-persoalan social yang kemudian dievaluasi dengan tujuan membuat
keteraturan di dalam masyarakat itu sendiri. Mereka juga menulis kitab-kitab
untuk dijadikan pedoman masyarakat dalam kehidupan. Para filsuf juga
mengelaborasi wacana untuk membebaskan masyarakat dari mitos-mitos. Sampai pada
para ilmuan yang membuat penemuan untuk meningkatkan kualitas hidup umat
manusia. Seniman dan sastrawan menciptakan tanda-tanda juga memiliki tujuan
yang tergambar dalam karya-karya mereka. Tentunya deskripsi masalah bertujuan
untuk mengevaluasi dan mengubah keadaan.
Dalam konteks masyarakat
kapitalistik wacana akan teralienasi dari esensinya. Kehadiran wacana akan
bertujuan ganda yang pertama adalah memberi informasi soal realitas dan yang
kedua adalah soal keuntungan. Dari tujuan yang ganda itu yang kedua adalah
prioritas dalam masyarakat modern. Wacana menjadi komoditas yang memiliki nilai
ganda, sebagaimana juga yang diungkapkan oleh Marx, yaitu nilai informative
(nilai guna) dan nilai tukar. Dalam kenyataannya nilai informative ini tak bisa
dikonsumsi tanpa terlebih dahulu membeli nilai tukarnya. Inilah soal yang saya
maksud dengan komodifikasi wacana. Wacana yang dulunya tidak untuk dijual
ketika dia masuk dalam system social kapitalistik berubah menjadi komoditas;
komodifikasi. Mengkonsumsi wacana hari
ini akan diikuti oleh kegiatan ekonomi di mana terjadi transaksi jual beli.
Kapitalisme mengubah masyarakat
menjadi ‘manusia ekonomis’ yang selalu melihat segala hal yang berpotensi
menguntungkan untuk dijual; wacana salah satunya. Sebelumnya wacana yang
notabene diproduksi oleh kaum intelektual untuk tujuan seperti perbaikan
masalah sosial atau pengembangan kualitas hidup tidak untuk diperjualbelikan.
Tetapi bersama kapitalisme kaum intelektual akan menjadi partner bisnis yang
baik[1]. Bukankah
dalam lembaga-lembaga pendidikan wacana telah dijual dalam paket strata yang
nilai tukarnya bervariasi. Sehingga dalam diskusi dengan orang-orang berhaluan
kiri mereka menyatakan bahwa pendidikan hari ini adalah investasi[2].
Kemudian wacana dalam posisinya sebagai komoditas sangat tidak stabil dalam
pasar karena dia tidak hanya dipertukarkan dengan uang saja tetapi
melampauinya. Sebagai contoh ketika saya berpidato dengan membawa wacana social
menyangkut keberpihakan terhadap orang-orang tertindas maka saya akan memiliki
prestise sebagai aktivis atau politisi yang berpihak pada rakyat kecil.
Prestise itu akan menjadi modal kepercayaan agar saya bisa menang dalam
pencalonan sebagai anggota legislatif. Nah, ketika wacana telah dilihat
berpotensi menguntungkan maka intensi kehadiran wacana yang dihadirkan adalah
untuk mencapai tujuan lain dari isi wacana[3].
Keuntungannya akan didapat belakangan sehingga kita tidak bisa melihat
transaksinya secara eksplisit.
Adakah wacana gratis atau murah?
Tentu saja dalam masyarakat kapitalistik untuk melindungi dirinya dari tuduhan
orang-orang kiri sebagai system yang tidak manusiawi mereka membuat program
gratisan. Kita akan menemukan wacana gratis dalam bentuk tertulis misalnya di internet
tetapi kita tentu saja akses gratis itu mempertimbangkan masalah kualitas dan
soal kelangkaan. Wacana dengan kualitas rendah dan using bisa digratiskan
tetapi yang berkualitas tinggi dan masih segar tidak bisa diakses gratis. Di
internet ada system pembayaran online jadi bukan hanya produk berupa digital
tetapi produk yang biasa pun bisa langsung dibayar.
Mungkin ada kerumitan memahami
wacana sebagai komoditas dan transaksi jual beli yang tidak biasa atau bisa
dikatakan sebuah pertukaran yang tidak disadari oleh pihak lain. Karena pembawa
wacana memiliki intensi mengambil keuntungan lebih sesudahnya sementara
konsumen wacana tak mengetahui bentuk pembayarannya. Karena belakangan
pembayarannya bisa berupa dukungan politik atau pembelaan sukarela. Tetapi ada
juga wacana yang dijual secara terang misalnya dalam kegiatan seminar,
workshop, dan sebagainya yang menuntut pesertanya harus membayar pendaftaran;
uang pendaftaran itu umumnya akan dibagi untuk konsumsi, sewah alat dan tempat,
biaya produksi sertifikat, honor pembicara dan tim pelaksana. Inilah
ketidakstabilan wacana sebagai komoditas. Wacana dalam hal ini memiliki intensi
keuntungan apakah dalam bentuk uang atau prestise; penghargaan, sanjungan,
dukungan moral atau politik.
Komodifikasi wacana adalah usaha
sadar yang dilakukan oleh kaum intelektual untuk mengambil keuntungan dari
isu-isu. Pemanfaatan isu yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sehingga
menjadi intelektual adalah profesi yang berorientasi profit[4] (profit oriented). Dengan demikian wacana-wacana revolusioner sekalipun
akan menjadi impoten karena akan disanggah melalui apologi intelektual.
Kapitalisme mendikte kaum intelektual sehingga proyek lmu pengetahuan pun akan
mengabdi pada produktivisme.
II.
KOMODIFIKASI WACANA
Kita
akan mendapati bahwa berbagai isu mengenai persoalan social politik yang
terdapat dalam buku serta pidato politik adalah proyek ekonomi. Wacana dalam
bentuk buku yang dicetak jutaan eksemplar itu berorientasi profit. Dalam
politik ekonomi wawasan masyarakat harus dibatasi. Dalam perspektif ekonomi
pembacaan pasar dalam konteks social politik adalah mengidentifikasi isu yang
segar yang digemari oleh masyarakat. Maka akan dilaksanakan proyek buku yang
berkaitan dengan isu hangat. Ketertarikan terhadap isu itu akan membuat berjuta
eksemplar buku habis terjual. Tetapi mereka juga tahu mengendalikan psikologi
social karena ketika, misalnya, isu-isu social politik yang revolusioner
mendominasi dan memprovokasi masyrakat maka akan juga digelar proyek buku yang
membantah soal isu-isu itu. Masyarakat yang mengkonsumsi buku akhirnya terjebak
pada perdebatan-perdebatan soal wacana yang benar dan salah. Tetapi disamping
itu keuntungan hasil penjualan buku-buku itu tetap stabil. Harga buku yang
terlalu mahal akan sulit dijangkau oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah
sehingga yang mengkonsumsi wacana itu hanya orang yang berkemampun menunjukkan
nilai tukar dari buku itu. Tentunya ada yang akan mengatakan bahwa ada
perpustakaan umum yang menjadi alternative. Pertanyaannya seberapa baik
pengelolaannya apalagi yang diurus oleh negara.
Masyarakat
adalah pasar sehingga mengetahui kebutuhan masyarakat adalah kunci untuk
mendapatkan keuntungan besar. Dalam hal politik praktis hari ini kita bisa
membaca bahwa isu yang paling laku sesuai dengan kondisi objektif masyarakat
adalah isu yang berpihak pada rakyat kecil. Dengan begitu kelompok politikus
dan politisi kanan pun akan mengumbar isu-isu kiri untuk meraih simpati
masyarakat. Secara tiba-tiba orang-orang ini akan bicara soal anti imperialism,
kapitalisme, dan lain sebagainya. Padahal pada kenyataannya status ekonominya
menengah ke atas dan dia juga terjerat dalam praktik akumulasi modal. Para
politikus kanan yang dulunya dengan lahap memakan keuntungan dari hasil
pemerasan tiba-tiba sibuk bicara soal ideology bahkan perjuangan yang
revolusioner. Saya kira sudah jelas bahwa intense menghadirkan wacana
revolusiner adalah untuk mendapat dukungan politik dari masyarakat khususnya
ekonomi menengah ke bawah.
Pidato-pidato
politik tak lebih dari lip servis bahkan
diskusi social politik dalam siaran-siaran televisi hanya untuk menarik banyak
jumlah penonton sehingga iklan produk akan antri di stasiun itu yang
tentunya dengan bayaran yang mahal;
sementara diskusi mengenai isu social-politik juga tidak solutif dan hanya
memberikan kepuasan intelektual bagi para penontonnya. Apakah mungkin stasiun
televisi swasta yang berorientasi profit akan dengan sukarela menyajikan fakta
yang bisa membunuh orang tuannya, yaitu kapitalisme. Menurut Ayn Rand baik
pebisnis maupun intelektual professional keduanya adalah anak dari kapitalisme
karena mereka lahir dari revolusi industri[5]. Stasiun TV swasta dan intelektual dalam
programnya adalah kakak beradik yang memiliki orientasi yang sama.
Partai
politik kiri apalagi yang menganut pandangan sosial-demokrasi pada kenyataannya
tak mampu merealisasikan program-program partai dan merubah keadaan sehingga
ada tuduhan bahwa semangat revolusinya hanya sampai pada tataran wacana[6].
Mereka justru melebur dalam sistem walaupun secara konseptual ingin merubah
tantanan social bahkan mereka tak bisa berbuat apa-apa selain melanjutkan
kebijakan politik kanan.
B. KOMODIFIKASI
ISU LINGKUNGAN
Membicarakan
masalah lingkungan rasanya tak mungkin terlepas dari kapitalisme. Kita mulai
dengan masalah sampah; sampah plastic dan botol adalah produk industri
kapitalis. Polusi udara dan air penyumbang utama adalah aktivitas industri besar;
aktivitas pertambangan. Pembangunan kota-kota besar yang menjadi pusat produksi
sampah dan polusi juga memperkecil daerah resapan air yang akhirnya akan
berdampak pada perubahan struktur alam; terjadinya banjir dan tanah longsor.
Sebagian besar kerusakan lingkungan adalah dampak dari pengejaran keuntungan.
Produktivisme. Tetapi pertumbuhan ekonomi yang tak berujung ini mengundang kaum
intelektual untuk mengevaluasi dampaknya. Obsesi akumulasi modal menggerogoti
lingkungan; padahal lingkungan adalah
modal kehidupan. Munculnya eko-sosialisme yang melihat masalah lingkungan dari
perspektif ekologi politik adalah kritik terhadap produktivisme[7].
Dalam usaha penanggulangan masalah lingkungan kekuatan politik mutlak perlu
untuk membatasi pertumbuhan ekonomi kapitalistik yang merusak alam.
Berapa
banyak organisasi lingkungan yang kita punya yang sanggup menghentikan
produktivisme yang secara nyata merusak alam? Saya kira ada banyak. Dalam
kasus-kasus pertambangan organisasi non-pemerintah (ornop) atau LSM lingkungan
berjuang setengah hati atau bahkan memiliki intense memperkaya diri[8].
Kasus lingkungan menjadi semacam komoditas karena ketika para aktivis
lingkungan bersuara maka mereka akan mendapat sejumlah sogokan. Semakin keras
mereka melawan maka semakin besar pula uang yang mengalir ke kantong mereka.
Para ahli hukum pun sangat bersemangat mengurusi kasus-kasus semacam ini karena
akan menerima bagian juga. Dalam buku Imperialism abad 21 yang ditulis oleh Henry
Veltmeyer dan James Petras menggambarkan bahwa organisasi-organisasi social
hanyalah kakitangan imperialisme. Kaum intelektual juga tak luput karena dalam
kasus pertambangan mereka adalah penyusun Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)
walaupun hanya rekayasa tanpa ada penelitian serius.
Isu-isu
lingkungan menjadi wacana yang kosong karena kampanye mengenai problem-problem
lingkungan yang semakin marak tetapi sementara itu juga kapitalisme terus
berproduksi menghancurkan alam. Kampanye-kampanye ini hanya sekedar proyek
untuk memperlihatkan bahwa ada perjuangan tetapi tak mampu merubah keadaan
karena proyek kampanye itu pun dibiayai oleh instansi terkait dalam semangat
akumulasi modal. Adakah setan yang membiayai manusia untuk melawan dosa? Tentu
itu adalah kontradiksi yang akan membunuh diri sendiri.
Ketika
persoalan-persoalan masuk dalam ruang persidangan maka proyek hokum pun
berjalan sehingga muncul lobi-lobi yang berujung pada keadilan berpihak pada
yang ber-uang. Bukankah hukum pun di dikte oleh ekonomi sehingga keadilan akan
sejajar dengan kepentingan-kepentingan ekonomi. Kita bisa melihat dalam
perundang-undangan ada kesetaraan antara sebuah pelanggaran dengan sejumlah
uang. Ancaman penjara dan denda akan menentukan nilai dari sebuah kasus hukum.
Dalam
masyarakat hari ini ada perbedaan antara kata proyek dan program dalam
interpretasinya. Program adalah rancangan kegiatan yang berorientasi
pembangunan sementara proyek adalah kegiatan yang menghasilkan uang. Program
pemerintah adalah proyek bagi kontraktor. Makanya sering terjadi kesepakan bagi
hasil antara pemerintah dan kontraktor. Program mengenai penanggulangan bencana
alam dengan pembuatan fasilitas-fasilitas tertentu akan menjadi proyek
pembangunan fasilitas yang tak berkualitas. Program penghijauan di jalan raya
misalnya dengan penanaman pohon di pinggiran jalan akhirnya dilaksanakn oleh
orang-orang yang hanya ingin mengambil keuntungan sehingga tidak menganalisa
dampaknya; pohon yang semakin membesar akhirnya juga merusak fasilitas lain.
C. KOMODIFIKASI
ISU BUDAYA
Jean-Pierre
Dupuy seorang filsuf Prancis ketika
diwawancarai soal bukunya yang berjudul L’avenir
de l’economie, sortir de l’economystification mengatakan bahwa
".…, Il y a une phrase, je dois dire, qui m'a choque. La
culture devrait etre le moteur de l'economie. C'est exactement j'appelle
l'economystification. Comme si ce qui avant tout, c'etait l'economie. La
culture au service de l'economie. Moi, je dirais, l'economie devrait etre au
service de la culture." [9]
Dalam
penjelasannya yang singkat dia menyatakan bahwa kebudayaan eropa telah terpuruk
karena telah menjadi budak dari kepentingan ekonomi. Menurut dia sendiri
ekonomi haruslah menjadi pelayan kebudayaan dan bukan sebaliknya. Dalam hal politik pun pemimpin negara yang
terpilih juga adalah seorang ekonomis (businessman)
sehingga politik juga mengabdi pada ekonomi. Saya kira ini juga paralel dengan
apa yang terjadi di Indonesia hari ini.
Mistifikasi
ekonomi (L’économystification) adalah
usaha menjadikan ekonomi sebagai pusat dari kegiatan sosial. Ekonomi menjadi
panglima sehingga dia mendikte politik, pendidikan, budaya, dan lain
sebagainya. Dalam hal ini isu-isu budaya pun telah menjadi komoditi. Gerakan
kebudayaan di asia hari ini yang berpacu juga adalah sebuah proyek global yang
dipengaruhi oleh wacana-wacana dari eropa. Seperti dalam kasus isu social
politik maka wacana budaya pun dicetak dalam jutaan eksemplar serta
seminar-seminar yang digelar karya proyek yang bisa menghasilkan uang.
Kebudayaan
dalam konteks masyarakat kapitalistik harus mengabdi pada
kepentingan-kepentingan ekonomi karena sekalipun dia berusaha mengada tanpa
bantuan ekonomi maka usianya akan singkat. Tetapi ketika isu kebudayaan
dijadikan proyek dalam bentuk buku atau karya seni yang memiliki nilar tukar
maka dia akan tumbuh subur. Tentunya kebudayaan yang akan diangkat adalah yang
sesuai dengan kebutuhan pasar atau masyarakat. Jika yang laku adalah kebudayaan
tradisional maka produk kebudayaan adalah yang tradisional dan juga sebaliknya.
Isu budaya dalam hal ini hanya bisa dikonsumsi oleh mereka yang memiliki
kemampuan melakukan transaksi jual beli.
Eksistensi
kebudayaan akan selalu bergantung pada nilai tukarnya. Kita bisa ambil contoh
mengenai bahasa local daerah dan bahasa internasional. Menguasai bahasa
internasional memiliki potensi besar dalam persaingan kerja. Sementara bahasa
local hanya sekedar pengetahuan saja atau memiliki kebanggaan tersendiri. Pada
kenyataannya generasi yang menghadapi pasar global harus memprioritaskan bahasa
internasional. Kegunaan bahasa asing adalah system pasar transnasional yang
menuntut setiap orang dapat berkomunikasi dengan baik. Apakah gerakan
pelestarian kebudayaan local adalah kesadaran ideologis sementara budaya pop
adalah kesadaran ekonomis yang menjamin eksistensi hidupnya dalam system
ekonomi yang berlaku.
Kebudayaan
local dalam masyarakat modern berubah menjadi produk yang ditawarkan kembali.
Artinya kebudayaan itu hilang atau hampir hilang jadi gerakan pelestarian
kebudayaan local adalah gerakan menciptakan kembali kebudayaan itu dalam bentuk
buku, tarian, pentas, teater, kursus, dan lainnya. Di sini kebudayaan harus
dibeli karena telah menjadi sesuatu yang langka. Manuskrip kuno yang dicetak
kembali akan diedarkan tetapi telah ditambah dengan nilai tukarnya. Masyarakat
yang telah kehilangan budayanya sendiri harus membayar untuk mengaksesnya
kembali. Produk dalam masyarakat kapitalistik tentunya telah terkonstruksi dari
nilai-nilai dan yang terutama juga adalah nilai tukarnya.
D. KOMODIFIKASI
AYAT-AYAT SUCI
Ketika
pemimpin keagamaan menjadi profesi maka dalam masyarakat kapitalistik akan ada
pertukaran atau transaksi jual beli barang maupun jasa religius. ‘Pelayanan’
sebagai jasa religious akan dibayar dengan sejumlah uang atau hal lain yang
bernilai. Kita bisa melihat bahwa profesi kependetaan misalnya dicapai dengan
menempuh jalur pendidikan formal dengan pembayaran regular. Status kependetaan
menjadi mirip dengan profesi lainnya yang menawarkan jasa dan mendapat imbalan.
Penerimaan uang atau barang dan jasa lainya lumrah tetapi jika intense
seseorang untuk memperoleh status kependetaan hanya karena melihat potensi
ekonomis maka wacana keagamaan itu menjadi hal sekunder.
Orientasi
agama berubah menjadi akumulasi modal dari tujuan untuk mengatur tatanan
social. Eksistensi agama pun akan ditentukan oleh kepentingan ekonomi karena
dengan begitu dia mampu mempertahankan institusinya. Sudah lumrah bahwa terjadi
perselingkuhan antara pebisnis, pemerintah, dan pendeta. Dalam banyak kasus
wacana yang dihadirkan oleh pemuka-pemuka agama adalah pembelaan terhadap
kebijakan pemerintah dan eksploitasi pebisnis walaupun secara esensial sudah
bertentangan dengan visi agama itu sendiri.
Ayat-ayat
suci menjadi wacana yang mati karena daya kritiknya sengaja dihilangkan demi
eksistensi institusi. Kebanyakan donatur terbesar dalam pembangunan rumah
ibadat adalah pebisnis atau orang kaya dan pejabat-pejabat pemerintahan. Ketika
para donator melakukan kesalahan maka ayat-ayat suci justru menjadi pembela.
Padahal dalam usaha meruntuhkan kekuasaan agama dan feodalisme kaum borjuis sangat
anti terhadap agama[10].
Kehadiran agama hari ini adalah alat pemebenaran system karena agama juga
didikte oleh ekonomi. Dulunya agama membenarkan feodalisme namun sekarang
diberalih membenarkan kapitalisme.
Dalam
agama akan terjadi kenaikan jumlah persembahan yang disesuaikan dengan
perubahan nilai mata uang. Perubahan dalam ekonomi menuntut perubahan dalam
nilai persembahan. Pemimpin agama akan mengumumkan soal ini dalam ibadah-ibadah
agar anggotanya memberi korban sesuai
dengan nilai yang ditentukan. Firman secara tak langsung harus menyesuaikan
dengan keadaan dan bukan sebaliknya. Ayat-ayat suci yang menyerang pribadi
elite akan diperhalus sehingga berusaha tak menyinggung karena jika tidak maka
agama akan kehilangan donatur.
III.
IMPOTENSI WACANA
Dalam sistem ekonomi kapitalistik
wacana revolusioner sangat tak berdaya karena dikendalikan oleh
kepentingan-kepentingan. Wacana-wacana yang mengancam system menjadi kerdil dan
bahkan mati. Daya aplikasinya akan menurun tetapi sebagai wacana dia bisa
menjadi sesuatu yang bernilai tinggi. Semua akan bergantung pada kebutuhan
pasar karena jika wacana revolusioner sangat menjanjikan keuntungan besar maka
kaum kapitalis akan memproduksinya secara besar-besaran. Tetapi mereka mampu
membaca psikologi ssosial karena ketika wcana revolusioner telah memprovokasi
maka akan muncul wacana bantahan.
Kehadiran wacana yang menyoal
perubahan dan kritik sangat impoten karena dalam media social misalnya yang
lebih banyak ditampilkan adalah wacana-wacana yang berorientasi profit dengan
sejumlah ornament yang menciptakan realitas artificial. Yang lebih banyak
adalah iklan produk daripada diskusi serius soal keadaan yang sebenarnya.
Adapun kehadiran wacana-wacana revolusioner yang sangat minim diminati karena
memiliki tingkat kesukaran. Sebab kapitalisme membuat daya analisa masyarakat
menjadi minim sehingga kualitas wacana yang popular adalah yang ringan saja
seperti life style.
[1]Lihat
Rand, Ayn. For The New Intellectual. New York. Signet. 1961. "The
professional businessman and the professional intellectual came into existence
together, as brother borns of the industrial revolution. Both are the sons of
capitalism - and if they perish, they will perish together."
[2]
Pendidikan dinilai adalah hal yang akan membuahkan keuntungan di masa depan
karena upah kerja terhadap orang yang
berijazah strata tinggi akan lebih tinggi dan juga dalam kondisi tempat kerja
yang nyaman dan kerja yang ringan. Tak jarang orang tua mengorbankan tanahnya dijual
untuk mengirim anak-anak mereka ke perguruan tinggi. Politik pemerintah
menggratiskan pendidikan di tingakat dasar sampai menengah dan menaikkan biaya
pendidikan ditingkat perguruan tinggi. Seperti strategi pasar dalam memberi
diskon terhadap sebuah produk; harga dinaikkan dua kali lipat dan diberi
potongan setengah (50%). Dalam tulisan Albert Einstein yang berjudul Mengapa
Sosialisme?, dia mengkritik soal pendidikan dalam kapitalisme serta mengusulkan
pendidikan yang ideal, “Seluruh
sistem pendidikan kita menderita karena setan ini. Suatu sikap kompetisi yang
berlebihan tertanam dalam benak setiap pelajar, yang diajarkan semata-mata
untuk memperoleh kesuksesan sebagai persiapan untuk masa depannya. Saya yakin
hanya ada satu jalan untuk menghilangkan setan jahat ini, yaitu dengan
menciptakan suatu ekonomi sosialis, disertai dengan sistem pendidikan yang
dapat diorientasikan untuk mencapai tujuan sosial.” Sumber: Mengapa Sosialisme?
(Why Socialism?)
oleh Albert Einstein Situs
Indo-Marxist—Situs Kaum Marxist Indonesia, Februari 2002
[3]
Tanda atau teks dapat digunakan untuk menipu walaupun isinya memiliki tujuan
yang baik karena tanda memiliki fungsi ganda yang bisa digunakan untuk
menyamapaikan kebenaran dan juga kebohongan. Lihat Eco, Umberto. Teori
Semiotika; signifikasi komunikasi, teori kode, serta teori produksi – tanda.
Kreasi Wacana. 2009.
[4] Ibidem.
[5] Ibidem.
[6]
Dalam tulisan Rosa Luxemburg yang berjudul Reformasi atau Revolusi dia
mengkritik pendapat Eduard Bernstein penganut pandangan social-demokrasi yang
mengusulkan bentuk perjuangan tanpa revolusi tetapi melakukan gerakan yang agak
kompromis.
[7]
Lihat, Melenchon, Jean-Luc. Aturan Hijau untuk Eko-Sosialisme. Bandung.
Ultimus. 2013.
[8]
Lihat Veltmeyer, Henry dan James Petras. Imperialisme abad 21. Yogyakarta.
Kreasi Wacana. 2002. “Ornop-ornop menekankan proyek, bukan gerakan ....
ornop-ornop mengkooptasi bahasa golongan kiri- “kekuasaan rakyat”,
“pemberdayaan”, “keadilan jender”, “pembangunan berkelanjutan”, “kepemimpinan
dari bawah”, dan sebagainya.”
[9]
“…., ada sebuah ungkapan yang mengagetkanku yaitu kebudayaan harus menjadi
mesin dari ekonomi. Inilah yang saya maksudkan dengan mistifikasi ekonomi; dan
sebagaimana adanya bahwa budaya mengabdi pada ekonomi. Tetapi menurutku,
ekonomi seharusnya mengabdi pada budaya.”
[10]
Paul Lafargue dalam tulisannya yang berjudul Hak
untuk Malas menulis “Borjuasi mengibarkan
bendera pemikiran bebas dan atheisme ketika mereka berjuang melawan kaum
ningrat yang didukung jajaran kependetaan. Namun begitu berjaya, mereka merubah
nada suara serta caranya, dan sekarang menggunakan agama untuk mendukung
supremasi ekonomi dan politiknya. “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar