GENERASI MUDA DAN MASALAH NASIONAL[1]
Oleh
Iswadi Sual[2]
I.
GENERASI
MUDA DALAM POLITIK NASIONAL
Generasi
muda di satu sisi dikenal dengan semangat berapi-api, agresivitas, intelektual
tetapi di lain sisi cenderung reaksioner, tidak proyektif, dan sering jadi
korban dari kepentingan politik elite. Lebih banyak generasi muda mudah
terprovokasi dengan isu-isu politik dan kemanusiaan sehingga potensi
pemberontakan selalu ada pada orang-orang muda. Para pelajar dan mahasiswa
mungkin banyak yang bereuforia dengan sebuah sajak seperti mahasiswa takut dosen, dosen
takut dekan, dekan takut rektor, rektor takut menteri, menteri takut presiden,
dan presiden takut mahasiswa. Sajak tersebut mengandung kontradiksi
structural di mana penguasa tertinggi takut pada struktur yang paling bawah.
Tetapi itu berkaitan dengan potensi generasi muda yang mudah terprovokasi
melakukan pemeberontakan.
Tetapi,
mengapa generasi muda? Dalam tema social politik belakangan ini yang sering
menjadi topik pembahasannya adalah tentang ‘peran generasi muda’ dalam
memprakarsai perubahan baik dalam bidang social budaya dan social politik. Apa
sebenarnya yang bisa diandalkan dari generasi muda? Generasi muda diharapkan
mampu merubah tatanan social dengan semangat mudanya. Generasi muda dipandang
sebagai tunas-tunas muda yang belum terkontaminasi dengan tradisi korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Ada harapan bahwa generasi baru dapat memutus tradisi korup
dan mampu menciptakan tatanan baru; tatanan yang berbicara tentang
kesejahteraan bersama.
Para
pemuda dan pemudi mungkin harus lebih selektif dan proyektif lagi dalam
melakukan gerakan karena jika tidak maka mereka terus akan menjadi alat para
elite politik dalam konradiksi-kontradiksi politik borjuis. Namun, kali ini
yang harus kita pikirkan adalah apakah generasi muda hari ini masih memiliki
kesadaran, semangat, dan cita-cita mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
atau justru telah terseret dalam permainan politik borjuasi dengan semangat
akumulasi modal dan individualismenya. Sejak pembantaian yang dimulai tahun
1965 – banyak orang-orang idealis telah terkubur, bungkam, dan traumatic - maka terjadi degradasi dan dekadensi
nasional. Pragmatisme mulai mengakar dan memperkuat kultus korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Relasi social yang begitu kompleks melibatkan hampir seluruh
masyarakat dalam kebobrokan sosial[3].
Apakah
generasi muda saat ini masih bisa diharapkan dalam merubah tatanan social yang
penuh dengan kebijakan pro modal asing; tidak berpihak pada kesejahteraan
nasional, pengaruh budaya pop, dan berbagai realitas artificial yang
mendominasi pemikiran dan perilaku mereka. Ini adalah pertanyaan sekaligus
tantangan bagi generasi muda itu sendiri yang dianggap mampu dan bertanggung
jawab untuk kelangsungan bangsa dan negaranya. Bukankah generasi muda hari ini
lebih pro status quo dan anti
memperbincangkan persoalan social, politik, dan ekonomi bangsa dan negara;
bukankah mereka lebih suka clubbing, happy party, dan mengkonsumsi segala
produk yang disaksikan dalam realitas artificial sehari-hari di berbagai media.
Mereka telah terserap dalam ruang-ruang kerja yang membuat mereka menjadi budak
di tanah sendiri. Mengutip kata-kata Sri-Edi Swasono[4]
bahwa bukannya menjadi Master (tuan)
di tanah sendiri tetapi menjadi Master of
Ceremony (MC) yang mengatur keleluasaan agenda neoliberalisme dengan
diundangnya investor asing untuk masuk ke negara dan memberi mereka kenyamanan.
Soekarno
telah merumuskan konsepsi bangsa dan Negara kita untuk mendamaikan
pertentangan-pertentangan internal dalam rangka mengusir para imperialis. Di
lain sisi juga bukanlah gerakan untuk menjadikan diri kita fasis tetapi
menempatkan posisi bangsa dan Negara kita pada kemanusiaan di mana tak ada lagi
exploitation de l’homme par l’homme et
exploitation de nation par nation. Dia juga telah menyerukan program nation
and character building dalam rangka merekonstruksi etos masyarakat kita dengan
memformulasikan kebudayaan nasional yaitu kebudayaan Indonesia. Bagi Soekarno
persatuan (gotong royong) adalah syarat mutlak untuk membangun bangsa dan
negara ini.
II.
KONTRADIKSI
YANG TIDAK PERLU
Indonesia
memiliki masyarakat yang heterogen sehingga konflik internal selalu sensitive
terjadi di berbagai daerah. Identitas kesukuan mungkin adalah hal paling awal
dan primitif dalam pertentangan social tetapi Indonesia adalah masyarakat yang
multi-identitas. Secara umum identitas yang memicu pertikaian adalah identitas
suku, agama, dan ras; lebih dari itu juga terjadi kontradiksi-kontradiksi dalam
skala lebih kecil.
Devide et impera merupakan strategi
imperialis untuk menaklukkan bangsa yang besar oleh karena persatuan adalah
ancaman. Sejarah pergerakan di Indonesia yang bersifat kedaerahan terbukti tak
mampu mengalahkan penjajah. Dengan adanya persatuan maka penjajahan
(setidaknya) bisa ditaklukkan dan kita bisa mendirikan negara sendiri dengan
pemerintahan yang mandiri. Kesadaran akan nasib yang sama di bawah imperialisme
telah mendorong solidaritas masyarakat dan mendamaikan kontradiksi-kontradiksi
walaupun hanya sesaat. Faktanya kemudian ketika musuh bersama telah dikalahkan
maka terjadi lagi pertentangan antara masyarakat itu sendiri. Sentiment ras,
suku, agama, dan ideologi diangkat kembali. Pertentangan kelas kian menampakkan
diri dan eksploitasi terhadap bangsa sendiri menjadi lumrah.
Ketika
dunia traumatic dengan penjajahan yang mengorbankan banyak orang menderita,
kelaparan, dan mati maka isu humanisme membawa pengaruh pada perkembangan
imperialisme. Penjajahan kemudian dipersempit menjadi penjajahan ekonomi dan
budaya sebuah model penjajahan gaya baru atau yang sering disebut
neokolonialisme/neoliberalisme (nekolim). Dalam model penjajahan gaya baru ini
politik memecah bela masih tetap digunakan untuk mencegah persatuan masyarakat.
Maka konflik internal masyarakat harus terus dipelihara bahkan diintensifkan
untuk mengaburkan eksistensi neokolonialisme. Kontradiksi-kontradiksi agama,
suku, golongan, ideology dan lain sebagainya kian marak di samping terjadi
eksploitasi besar-besaran atas kekayaan alam kita. Konflik politik yang tak
berkesudahan dan pendidikan nasional yang tak mampu menciptakan kemandirian
bangsa terus berlanjut. Ketika masyarakat berkonflik akumulasi modal terus
berproses.
Realitas
sosial bangsa kita menunjukkan bahwa ada yang salah dalam negara ini karena
sebenarnya bangsa ini telah kembali pada kontradiksi-kontradiksi lama. Para
pendiri bangsa ini telah memformulasikan konsepsi negara kita yang berusaha
mendamaikan kontradiksi yang tidak pokok dalam melawan kapitalisme dan
imperialisme tapi justru hari ini konflik memecah belah persatuan makin marak.
Kapitalisme telah menjadi ukuran segala sesuatu sehingga banyak konsespi
pendiri bangsa ini yang mulai digerogoti. Tendensi pendidikan yang mengabdi
pada kepentingan ekonomi kapitalis dan regulasi yang pro modal asing.
Generasi
muda hari ini yang telah terkotak-kotak dalam identitas kesukuan, agama, ras,
dan lain sebagainya juga asyik berkonflik. Keinginan untuk mendominasi satu
sama lain menjadi prioritas dalam aktivitas organisasi politik. Yang paling
parah ketika mereka bermain politik maka mereka juga mengambil keuntungan
dengan mengorbankan orang lain. Krisis yang dihadapi negara kita adalah krisis
multisegi yang sebenarnya berakar dari ketidakpercayaan satu sama lain dengan
keinginan untuk menjadi superior di antara yang lain. Organisasi kepemudaan
baik di tingkat kampus sampai masyarakat luas kebanyakan telah berafiliasi dan
mewarisi konflik-konflik yang tidak seharusnya. Dalam aktivitas politiknya
peningkatan kualitas intelektual dan kesadaran nasional bukanlah isu utamanya
tetapi bisa saja digunakan untuk embel-embel kepentingan. Pragmatism mungkin
lebih mendominasi aktivitas mereka sehingga reproduksi social berada dalam
lingkaran setan.
Konflik-konflik
masyarakat harus diminimalisir untuk melihat persoalan lebih besar yang
sementara mengancam eksistensi masyarakat itu sendiri. Fundamentalisme agama
juga sangat mempengaruhi politik dan budaya masyarakat kita. Persaingan
kepercayaan yang berusaha saling mendominasi juga mendorong kolusi dan
nepotisme dalam politik. Tak jarang juga ada pemanfaatan pihak-pihak asing
untuk membantu kinerja mereka. Ketika masyarakat terseret dalam arus konflik
internal maka mereka dibutakan. Pengendalian konflik bisa saja secara langsung
maupun tak langsung. Pengendalian secara langsung bisa dengan pembiayaan atau
dukungan sementara pengendalian tidak langsung adalah menyebar wacana yang
terus mendorong terjadinya konflik.
Identitas-identitas
kolektif adalah berpotensi besar menjadi konflik apabila disulut dengan
sentiment-sentimennya. Identitas kolektif yang mendorong solidaritas mekanis
adalah perseteruan yang tidak melibatkan rasionalisme tetapi berkaitan dengan
ide-ide absolut yang dipercayai suatu komunitas masyarakat. Agresifitas yang
spontan merupakan cerminan dari sentiment keimanan. Identitas agama dengan
keyakinan yang berbeda akan menjadi benturan social. Identitas kolektif juga
pada akhirnya selalu menjadi bahan permainan dari pragmatism politik.
III.
IMITASI
POLITIK
Konsepsi
bangsa dan negara ini merupakan eksternalisasi dari para founding fathers yang berangkat dari keadaan objektif di
masanya. Di samping konsepsi-konsepsi
itu dirumuskan dari keadaan tetapi juga mengandung unsur-unsur futuristik bahwa
ide-ide itupun harus diinternalisasi secara berkesinambungan dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan negara. Tetapi memang dalam sejarah bangsa dan
negara kita terjadi banyak pengkhianatan terhadap ideologi negara. Doktrin
negara dimanipulasi untuk kepentingan rezim sehingga memunculkan generasi
bangsa dekaden. Akar pragmatisme justru adalah menyangkut kegagalan program nation and character building. Ketika
karakter bangsa ini tak selesai dibangun maka kemampuan memahami bangsa
Indonesia juga tidak menyeluruh dalam masyarakatnya.
Dewasa
ini praktik politik yang tidak sehat hampir menyeluruh terjadi di semua
kalangan. Baik muda ataupun yang tua semuanya serba pragmatis; yang tua beraksi
dan yang muda menirunya. Dalam proses reproduksi social kultus korupsi, kolusi,
dan nepotisme terus diproses. Ini kemudian yang menjadi pertanyaan di awal
tulisan ini tentang apakah kita bisa berharap sebuah perubahan dari generasi
muda. Persoalan hari ini generasi muda juga telah banyak meniru praktik politik
elite. Isu-isu identitas kolektif dimanfaatkan untuk kepentingan perebutan
kekuasaan walau hanya dalam low level
politic. Bahkan yang terparah adalah ketika ada money politic dan politik Machiavellian.
Banyak
organisasi kepemudaan hari ini yang tidak memprioritaskan pembangunan ideologi
terhadap kader-kadernya. Yang justru marak adalah pengkaderan politik dan organisasi
sehingga karena tidak adanya ideologi kemudian menjadi pragmatis dan
‘realistis’. Pro status quo dan konservatisme menjadi tumpuan para elite
politik kita hari ini. Para pemuda digiring pada iming-iming status politik
yang serba elit. Ketika para pemuda telah diperlengkapi dengan teknik manajemen
konflik dan manajemen isu dan tidak disertai dengan ideologi kebangsaan yang
kuat maka mereka akan keranjingan berkonflik dan menyampingkan kepentingan
bersama. Program politik terjebak terus pada usaha mempertahankan kekuasaan
daripada proyek kesejahteraan bersama atau setidaknya menyikapi isu-isu social
dan memberikan solusi yang berwawasan kebangsaan.
Praktik
politik elite yang telah terstruktur membuat tatanan sosial yang kompleks
sehingga masalah satu terkait dengan masalah lain dan seterusnya. Mencari oknum
manusia untuk memutus patologi sosial mungkin agak sulit karena mungkin yang
salah adalah landasan etos masyarakat yang tidak lagi pada nilai-nilai yang
dibangun semasa melawan imperialism seperti dulu. Masyarakat yang telah
tersistemisasi dalam praktik tidak sehat telah menganggap kesalahn-kesalahan
sebagai sesuatu yang wajar. Dosa-dosa birokratis dianggap tradisi yang sudah
seharusnya karena telah diproduksi berulang-ulang. Sehingga upaya untuk mengkritisi
dianggap tindakan ‘melawan’ pemerintah. Warisan rezim orde baru yang militeris
memang selalu mengidentikan tindakan kritis dengan subversi terhadap negara.
Persoalan semacam itu masih tetap ada walaupun di era reformasi saat ini.
IV.
REVIVAL
NILAI-NILAI LUHUR BANGSA?
Dialetika
di dalam masyarakat Indonesia menuntut banyak perubahan dalam doktrin
kebangsaan dan kenegaraan. Mungkin kalau dulunya adalah upaya penyeragaman
untuk membentuk identitas kebangsaan hari ini adalah upaya mengakui perbedaan
sebagai identitas bangsa. Ketika internasionalisme dan nasionalisme telah
mewujud dalam konflik-konflik besar dan menjadi using maka yang muncul adalah
ide tentang lokalitas. Pemusatan menjadi sesuatu yang kuno sehingga terjadi
desentralisasi dalam berbagai hal.
Desentralisasi
pemikiran menuntut tidak terpusatnya kekuasaan ekonomi, politik, dan budaya.
Yang menjadi marak hari ini adalah wacana-wacana identitas local sebagai sebuah
perjuangan akan eksistensinya. Kesatuan (uniter) tidak lagi menjadi patokan
tetapi kesatuan dituntut harus terdiri dari yang terpisah-pisah. Hampir semua
daerah di Indonesia telah mengalami kesadaran akan mempertahankan eksistensi
identitas local di tengah-tengah arus modernisasi. Walaupun para budayawan tahu
bahwa tak ada jalan lain selain berasimilasi dalam laju perkembangan zaman.
Sentiment identitas local tidak banyak didorong oleh kesadaran akan perlawanan
terhadap hegemoni budaya asing (imperialisme budaya) tetapi justru karena
wacana-wacana yang diimpor. Wacana tentang identitas lokal tak lebih dari
sekedar pemuasan akan rasa ingin tahu dan komodifikasi wacana. Secara tidak
sadar para budayawan telah melakukan komodifikasi wacana kebudayaan.
Nilai-nilai
luhur bangsa dalam konteks keindonesiaan yang beragam lebih banyak didasarkan
pada cirri masyarakat komunal dan feudal. Oleh karena perkembangan masyarakat
Indonesia tidak menyeluruh sama. Ada yang sudah mengenal sistem pemerintahan
kerajaan dan yang lain tidak. Bahkan ada yang lebih primitive yang belum
disentuh oleh modernitas barat sehingga identitas keindonesiaan harus diakui
keberagamannya. Membangkitkan kembali nilai-nilai luhur bangsa harus
diproyeksikan kembali dalam konteks keberagamannya sehingga tidak ada tuduhan
upaya dominasi nilai-nilai suku tertentu dalam konteks identitas bangsa
Indonesia. Dalam konteks yang berbeda ini kita tetap menghadapi musuh yang sama
yaitu imperialisme. Menurut Lenin, imperialisme adalah fase tertinggi dari
kapitalisme (imperialism is the highest
stage of capitalism); ketika eksploitasi dalam negeri telah sampai pada
titik penghabisannya maka para kapitalis harus memperluas aktivitas modalnya ke
negara-negara lain. Kesejahteraan dalam system ekonomi kapitalisme selalu akan
mengorbankan manusia yang lain untuk dieksplotasi. Selebihnya alam pun menjadi
objek eksploitasi dalam semangat akumulasi modalnya.
Konsteks
masyarakat hari ini yang cenderung individualis yang juga ditopang oleh lajunya
perkembangan masyarakat kota telah membuat nilai-nilai luhur (yang sifatnya
kolektif) menjadi sekedar wacana dan teks-teks mati. Isu tentang identitas
local tak lebih menjadi topic-topik pemuasan dalam mencari kenikmatan
intelektual. Membangkitkan kembali nilai-nilai luhur bangsa harus disertai oleh
ketegasan arah politik bangsa dan negara ini. Artinya harus ada kesadaran akan
kondisi yang dihadapi bersama dan mampu mengidentifikasi persoalan-persoalan
pokok agar tidak terjebak dalam pertentangan-pertentangan yang hanya merugikan
bangsa Indonesia sendiri.
V.
REDEFINISI
DAN KE ARAH INTEGRITAS
Perubahan
social hari ini mungkin harus dimulai dari redefinisi nilai-nilai; kita harus
memaknai kembali dasar-dasar negara kita sehingga kesadaran politik warga
negara benar-benar diarahkan demi kemajuan bersama. Oleh karena ada banyak
kesalahan dalam pendefinisian konsep-konsep kenegaraan kita yang akhirnya
membawa masyarakatnya dalam pragmatism berpikir dan berperilaku. Bukankah
semangat kemerdekaan kita didasarkan pada prinsip ketuhanan, kemanusiaan,
kebersamaan, dan mufakat dalam upaya mewujudkan masyarakt yang adil dan makmur?
Politik
hari ini secara tidak sadar didefinisikan sebagai sarana untuk melakukan
hegemoni dan penimbunan kekayaan dan itu mewujud dalam politik praktisnya. Di
satu sisi masyarakat yang berangkat dari persoalan social yang ditentukan oleh
politik itu sendiri telah mengambil jarak terhadapnya. Ada rasa muak untuk
mendiskusikannya apalagi terlibat di dalamnya. Masyarakat menjadi apatis dan
apolitis. Seharusnya ketika politik didefinisikan sebagai upaya untuk
menciptakan tatanan sosial yang baik demi kemajuan bersama maka masyarakat
diharapkan bisa berpartisapasi dalam politik.
Ketika
masyarakat tidak secara sadar dalam kehidupan bernegaranya maka kondisi
hidupnya yang dieksploitasi oleh sistem akan diterima sebagai nasib. Orang yang
hidup dalam negara demokrasi tapi tak mampu mendefinisikan demokrasi tak bisa
berbuat apa-apa ketika ditimpa oleh ketidakadilan sosial. Hari ini masyarakat
tidak bisa merumuskan keadaan tentang apakah penyelenggaraan ini sudah
demokratis atau justru jauh dari pengertian istilah itu. Bukankah masyarakat
kita kenyataannya menganut plutokrasi daripada demokrasi? Masyarakat kita lebih
senang dengan money politik daripada
terlibat dalam mendiskusikan program-program yang berbicara tentang solusi
masalah-masalah sosial dan mengawal kontrak-kontrak sosial dalam bentuk
janji-janji politik dalam pesta demokrasi.
Generasi
muda yang mungkin terbeban dengan masalah sosial harus berani mengambil langkah
untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Mendefinisikan kembali
istilah-istilah politik yang telah kabur dan tidak mendapat kepercayaan lagi
dari masyarakat serta memberikan pencerahan tentang cara berpolitik yang benar.
Tetapi yang terpenting juga adalah bagaimana generasi muda menjadi contoh
berpolitik yang benar. Bukan hanya mengejar kekuasaan; mendominasi situasi
tetapi bagaimana menunjukkan kebijakan politik yang sesuai dengan dasar-dasar
negara ini.
[1]
Tulisan ini disampaikan pada Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa pada Kamis,
01 November 2013 yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
Universitas Negeri Manado.
[2]
Penulis lahir di desa Tondei pada 19 Oktober 1988 dari keluarga Sual-Tombuku,
anak terakhir dari tujuh bersaudara. Sekarang ini aktivitasnya sebagai care taker Jaringan Kerja Kebudayaan
Rakyat (JAKER) Minahasa.
[3]
Baca tulisan saya yang berjudul Strukturasi Praktik Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme di iswadisual.blogspot.com.
[4]
Dosen Ekonomi di Universitas Indonesia (UI); dia pernah menyatakan menolak
teori-teori liberalisme ekonomi diajarkan di universitas. Menurutnya ekonomi
Indonesia harus berasaskan kekeluargaan sebagaimana termaktub dalam pasal 33
UUD 1945. Universitas harusnya mengajarkan teori ekonomi yang berakar pada
kepribadian bangsa sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa (founding fathers).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar