halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Minggu, 03 November 2013

GERAKAN KAUM MUDA MINAHASA KONTEMPORER



GERAKAN KAUM MUDA MINAHASA[1]
        I.            BERBAGAI PERSPEKTIF GERAKAN
Gerakan kaum muda Minahasa bukanlah suatu gerakan tunggal tetapi merupakan gerakan yang terpisah satu sama lain. Gerakan mungkin identik dengan aktivitas social-politik tetapi mungkin juga lebih daripada itu. Oleh karena kaum muda Minahasa hari ini terbagi dalam gerakan-gerakan yang berbeda. Ada yang bergerak dalam bidang politik, budaya (dalam pengertian lokal dan global), ekologi (seperti komunitas pecinta alam), dan lain sebagainya. Gerakan tidak harus dipersempit dalam pengertian politik atau budaya demikian juga dengan perspektif terhadap gerakan kaum muda Minahasa.
Identitas tou Minahasa yang terbagi secara umum dalam identitas keagamaan, sub etnis, wilayah politik, dan roong memiliki perbedaan orientasi gerakan. Orang Minahasa yang memiliki identitas keagamaan tertentu akan terlibat dalam kegiatan (gerakan) organisasi berdasarkan sentiment kepercayaan. Solidaritas sub etnis juga menuntut gerakan yang membawa sentimen sub etnisnya. Begitu juga dengan identitas wilayah politik seperti kabupaten/kota dan perkampungan. Tetapi identitas tou minahasa bisa terbagi lebih banyak lagi; apakah itu menyangkut garis keturunan (vam/marga), ikatan persaudaraan, hobi atau kegemaran yang membentuk solidaritas-solidaritas kelompok. Kita bayangkan saja di suatu perkampungan lingkungan, lorong, atau kompleks bisa menjadi identitas yang menuntut adanya persaingan dengan yang lain. Identitas mungkin adalah sesuatu yang ilusif[2] artinya tetap saja dalam satu identitas kelompok akan terpecah lagi atau digantikan dengan identitas yang lain.
Seorang pemuda Minahasa bisa memiliki beberapa identitas tambahan seperti identitas Kristen, laki-laki, partai politik, mahasiswa, pemuda GMIM, pemuda asal Tondei, anggota sanggar seni, pemuda kompleks/lingkungan/jaga, dan lain sebagainya. Identitas yang tidak tunggal berarti bahwa kontradiksi sama sekali tak terelakkan. Identitas kolektif mendorong solidaritas tetapi setiap orang akan bersolidaritas berdasarkan situasi dan kondisi dan juga bergantung pada respon tentang isu tertentu.
Di universitas mahasiswa Minahasa aktif dalam berbagai organisasi yang secara sadar diketahui berkaitan dengan identitasnya. Misalnya, ada mahasiswa yang menggabungkan diri di organisasi kerohanian tetapi yang lain memilih organisasi paguyuban atau semacam rukun-rukan mahasiswa yang berbasis pada asal daerah yang sama; apakah itu kabupaten, wilayah, dan desa. Aktivitas organisasi seperti kerohanian pada dasarnya berkaitan dengan ritualistic ibadah dan misi pelayanan. Sementara organisasi rukun-rukun mahasiswa hanya sebagai media pertemuan dan menggelar kegiatan-kegiatan yang bersifat temporer. Tidak banyak yang suka mengaktifkan diri terlibat dalam tindakan kritis terhadap masalah-masalah social-politik yang berkaitan dengan identitas yang lebih besar seperti kesukuan.
Ada juga gerakan kaum muda di bidang budaya lewat pendirian organisasi seni budaya sebagai respon keprihatinan terhadap kondisi kebudayaan local yang hampir ditinggalkan. Tetapi berbagai macam organisasi seni budaya juga memiliki orientasi yang berbeda karena ada yang hanya sekedar melestarikan seni budaya dan ada juga yang berorientasi pada perlawanan terhadap globalisasi. Ada yang melakukan komodifikasi budaya hanya untuk kepentingan seremonial dan ada yang menggunakan budaya untuk mempertegas eksistensi identitas local.
Gerakan kaum muda Minahasa kondisinya sporadic dan terkotak-kotak berdasarkan sub-sub identitasnya. Hanya sedikit yang tergabung dalam organisasi yang berorientasi perubahan tatanan social. Ada juga yang tergabung dalam partai-partai politik tetapi justru sangat pragmatis dan tidak memiliki wawasan kebudayaan local atau justru menggunakan wawasan kebudayaan local untuk kepentingan politiknya.
      II.            GERAKAN MINAHASA DAN KONTROVERSINYA
Gerakan Minahasa bisa dimaknai sebagai tindakan subversi terhadap negara karena secara hsitoris Minahasa merupakan wilayah pemberontakan. Permesta/PRRI yang juga banyak diprakarsai oleh orang-orang Minahasa akan menjadi asumsi bahwa gerakan Minahasa  memiliki orientasi pemisahan diri secara politik. Di lain pihak gerakan Minahasa juga akan dituduh gerakan rasialis/tribalisme yang bertujuan untuk mendominasi kekuasaan dan anti suku lain. Sejarah dialetika social telah memberikan klaim negative terhadap gerakan yang berbasis identitas tribal.
Di bidang seni dan budaya gerakan Minahasa mendapat banyak cemooh dari agama modern yang memandang bahwa ada upaya untuk membangkitkan kembali kepercayaan kuno minahasa. Ada ketakutan masyarakat yang telah beragama modern bahwa upaya membangkitkan kepercayaan kuno dengan mistik-mistik yang telah mereka anggap sesat. Orientasi dalam gerekan seni budaya pecah oleh karena tantangan masyarakat pemeluk agama modern. Sehingga banyak organisasi seni budaya yang mengambil jarak dari hal-hal yang berbau pemujaan dan ritual kuno.
Belakangan juga telah muncul organisasi-organisasi semacam paramiliter yang menggunakan tanda-tanda keminahasaan seperti manguni, maesa, dan lain sebagainya. Organisasi semacam ini adalah tindakan defensive yang bertujuan memproteksi masyarakat sukunya. Walaupun akhir-akhir ini organisasi itu juga lebih banyak digunakan untuk kepentingan elite politik. Manuver politik para elite menggunakan premanisme minahasa untuk menghadapi kritik-kritik yang mengancam eksistensi politik mereka. Watak tou minahasa yang garang dimanfaatkan untuk menjaga kepentingan ‘politik’.
Dalam organisasi kampus orang minahasa yang tergabung di dalamnya lebih dipandang sebagai ‘anjing penjaga kepentingan’. Dengan kegarangannya dan status pemilik tanah sering digunakan untuk memproteksi kepentingan organisasi yang berkepentingan di kampus. Isu akan gerakan anak kampung (orang minahasa) dimanipulasi secara intelektual. Rekrutmen organisasi mahasiswa  adalah untuk kepentingan mengintimidasi mahasiswa di organasisasi lain yang berasal dari luar. Citra mahasiswa minahasa dalam organisasi kampus lebih banyak ‘kegarangannya daripada peningkatan intelektual dan perjuangan identitas keminahasaan dalam pergerakan politik (dalam pengertian sebenarnya) dan budaya.
Tou Minahasa hari ini terjaring dalam tradisi perilaku social-politik yang anomali di mana mereka menjadi agen-agen kepentingan yang justru merusak dirinya sendiri. Ketika orang Minahasa sadar akan pendidikan mereka kemudian berlomba masuk universitas tetapi di satu sisi masih dalam kerangka pendidikan yang tidak berbicara pada kepentingan bersama tetapi dalam tradisi anomali. Struktur masyarakat terkait dengan kebobrokan social yang telah dianggap sebagai sesuatu yang sudah semestinya.
    III.            KAUM MUDA DALAM SIMULASI POLITIK
Kaum muda Minahasa yang terlibat dalam organisasi social politik sebagai wadah pembelajaran lebih banyak diajari dengan pragmatisme. Mereka terjaring dalam organisasi-organisasi pengkaderan yang berseteru secara ideologis, agama, dan golongan yang pada hakikatnya adalah kontradiksi-kontradiksi yang tidak pokok. Sebenarnya ada hal yang lebih penting untuk diprioritaskan dalam perjuangan organisasi seperti isu globalisasi, neoliberalisme, dan neokolonialisme yang mengancam identitas tribalnya yang melibatkan eksploitasi manusia dan alam.
Organisasi mahasiswa baik intra dan ektra cenderung pragmatis dan mengarahkan anggota organisasinya dalam perebutan kekuasaan yang tidak proyektif. Artinya perebutan kekuasaan yang hanya untuk mendapat prestis sebagai organisasi yang hebat dalam politik karena mengusai posisi-posisi penting dalam jabatan structural organisasi kampus. Tetapi program-programnya tidak jelas dan yang terpenting bagi mereka adalah popular sebagai aktivis kampus.
Istilah seperti aktivis atau idealis mungkin menjadi tren sehingga mahasiswa dengan kesadaran/keinginan untuk populer menggabungkan diri dalam organisasi-organisasi perjuangan mahasiswa. Akhirnya ketika mahasiswa dengan kesadaran pop terakumluasi dalam organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra maka muncullah kontradiksi-kontradiksi yang tidak pokok. Lebih parah lagi adalah perseteruan politik di tingkatan mahasiswa telah meniru praktik politik elite. Maka kemudian yang diproduksi oleh organisasi-organisasi perjuangan tak jauh beda dengan generasi sebelumnya yang dijiwai oleh praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ideologi. Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi-organisasi kampus cenderung lemah dalam pemahaman ideologi. Landasan praktik politik dan organisasinya adalah pragmatisme sehingga menyepelekan persoalan seperti globalisasi dan neokolim. Sehingga tak heran banyak mahasiswa yang tidak kritis terhadap persoalan seperti aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan swasta yang notabene menyengkut kepentingan modal asing. Jangankan bicara soal perhitungan ekonomi mengenai aktivitas perusahan tambang masalah kerusakan lingkungan pun tak menjadi soal.
Politik. Pragmatisme politik yang secara tidak sadar dilakukan oleh tou minahasa muda dianggap sah-sah saja oleh karena kurangnya pemahaman ideologi. Sehingga tak jarang identitas kemudaan, kultur, agama, golongan bisa juga digunakan dalam hal mempengaruhi masyarakat dalam perebutan kekuasaan dalam pemilukada/pemilu. Politik yang tidak dilandaskan pada ideologi yang jelas akan terombang-ambing dalam kepentingan yang dikuasai modal. Demokrasi, misalnya, yang adalah sistem pemerintahan oleh karena tidak adanya pemahaman yang utuh oleh penyelenggaranya maka justru berubah menjadi plutokrasi. Masyarakat kita kenyataannya lebih dikendalikan oleh kekayaan. Money politik dan relasi social berupa ikatan darah meruntuhkan konsepsi tentang hal-hal ideal.
Organisasi. Kaum muda yang tergabung dalam organisasi-organisasi mempelajari politik praktis. Walaupun definisi organisasi bersifat kolektif tetapi pada praktisnya organisasi sering menjadi kendaraan pribadi orang berpengaruh atau elite. Keterampilan berorganisasi hanyalah sarana untuk memanipulasi demokrasi dan penguasaan massa. Dewasa ini organisasi tak lebih dari mesin pencetak pragmatisme.
Organisasi kepemudaan secara menyeluruh terstruktur dan berkorelasi dengan pemerintah, parpol, ormas; sehingga gerakan pemuda sedikitnya juga dipengaruhi oleh isu-isu  dari high level politic. Belum adanya kemandirian dari kaum muda untuk merumuskan keadaan dan merubahnya secara proyektif dan futuristik. Kaum muda sering terprovokasi isu hangat dan bertindak reaksioner. Tak jarang kaum muda sering menjadi tumbal dari banyak revolusi dan gerakan sosial lainnya.  Organisasi kepemudaan yang sebenarnya juga adalah wadah simulasi politik jika tidak diarahkan pada praktik politik yang baik maka dia juga akan menjadi mesin reproduksi social yang menghasilkan kader-kader yang tidak ideal.
    IV.            GERAKAN MINAHASA DI PERSIMPANGAN JALAN
Gerakan Minahasa pada akhirnya akan berada pada titik pilihan mengenai cara dan tujuannya. Oleh karena identitas minahasa yang taksa akan mempengaruhi strategi dan capaian yang akan diproyeksikan. Apakah gerakan Minahasa adalah gerakan kebangkitan intelektual atau gerakan politik yang didorong sentiment agama, suku, ras, wilayah adalah persimpangan gerakan itu sendiri. Tou Minahasa dengan karakter individualisme primitive[3] selalu ingin menjadi pahlawan atas gerakan dan tak mau untuk tunduk pada instruksi golongan-golongan perjuangan tertentu.
Ketika Minahasa dimaknai sebagai identitas suku saja maka kita mungkin menjadi ahistoris karena Minahasa juga adalah kesepakatan untuk bersatu melawan imperialisme. Gerakan Minahasa harus mampu melakukan upaya pendamaian terhadap kontradiksi-kontradiksi yang bukan pokok. Kalau masyarakat terpecah dalam egoisme sub identitas tanpa melihat musuh besar seperti imperialisme ekonomi dan budaya maka gerakan yang sporadic justru adalah celah yang akan membuat seluruh masyarakat dan alamnya tereksploitasi.
Gerakan Minahasa harus menjadi mediasi untuk mendamaikan konflik-konflik internal agar supaya persatuan untuk melawan musuh pokok. Cara dan strategi berjuang bisa saja berbeda apakah itu dalam konteks perjuangan budaya, politik, intelektual dan lain sebagainya; tetapi tujuan harus sama dan itu perlu untuk dirumuskan bersama (maesa). Fragmentasi gerakan Minahasa di satu sisi adalah kekayaan yang variatif tetapi di sisi lain mungkin adalah kelemahan gerakan itu sendiri.
Perbincangan dengan dr. Bert Adrian Supit di sela Kongres Kaum Muda Minahasa mengenai pemerintahan NKRI dan neoliberalisme

“…Sapakem si kayo’ba’an anio, tana’ ta im baya! Asi endo makasa, sa me’em si ma’api, wetengan e pa’tuusan, wetengan eng kayo’ba’an! Tumani e kumeter, mapar e waraney, akad se tu’us, tumow on tumow tow!...” (secara bebas diterjemahkan, “…Dengan ini kami nyatakan, dunia in adalah tanah air kita semua! Bila pada suatu saat, burung telah memberi tanda yang pasti, bagilah tanah ini hai kamu pemuka masyarakat pemberi contoh! Bukalah wilayah pertanian baru, hai kamu pemimpin pekerjaan! Kuasailah wilayah, hai prajurit perkasa, agar keturunan kita dapat hidup dan memberi hidup!”…[4]



[1] Materi ini disampaikan dalam Kongres Kaum Muda Minahasa pada 1-3 November 2013 di Kora-Kora dalam sesi V dengan tema Kaum Muda Bergerak.
[2] Amartya Sen dalam bukunya yang berjudul Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas memberikan gambaran tentang bagaimana identitas itu bisa berubah-ubah. Misalnya dalam hidupnya dia pernah menyaksikan seorang Hindu yang membunuh seorang Muslim dalam suatu kerusuhan padahal sebenarnya keduanya juga memiliki identitas yang sama sebagai buruh miskin dan bahkan mungkin sesama orang India.
[3] Saya membedakan individualisme menjadi individualisme primitive dalam masyarakat tribal dan individualisme modern dalam masyarakat kapitalis. Individualisme primitive berkaitan dengan egoisme individu dalam mempertahankan hidupnya. Dalam proses seleksi alam individu didorong untuk mempertahankan eksistensinya sendiri (survival of the fittest). Sementara individualisme modern berkaitan dengan pemuasan kebutuhan ekonomi sehingga individu mengakumulasi harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Menurut saya komunalisme didahului oleh individualisme primitive yang akhirnya dalam proses seleksi alam individu merasa penting untuk menaklukkan alam, menjaga eksistensi spesisnya, dan menghalau ancaman dari makhluk lain. Tou Minahasa sampai hari ini menganut individualisme primitive; itu bisa dilihat dari kegarangannya, sorot mata yang sinis, dan ungkapan sapa ngana sapa qt.
[4] Dipetik dari buku Minahasa. Dari amanat Watu Pinawetengan sampai gelora Minawanua karya Bert Supit. Jakarta. Sinar Harapan. 1986.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar