GERAKAN KAUM MUDA MINAHASA[1]
I.
BERBAGAI
PERSPEKTIF GERAKAN
Gerakan
kaum muda Minahasa bukanlah suatu gerakan tunggal tetapi merupakan gerakan yang
terpisah satu sama lain. Gerakan mungkin identik dengan aktivitas
social-politik tetapi mungkin juga lebih daripada itu. Oleh karena kaum muda Minahasa
hari ini terbagi dalam gerakan-gerakan yang berbeda. Ada yang bergerak dalam bidang
politik, budaya (dalam pengertian lokal dan global), ekologi (seperti komunitas
pecinta alam), dan lain sebagainya. Gerakan tidak harus dipersempit dalam
pengertian politik atau budaya demikian juga dengan perspektif terhadap gerakan
kaum muda Minahasa.
Identitas
tou Minahasa yang terbagi secara umum
dalam identitas keagamaan, sub etnis, wilayah politik, dan roong memiliki perbedaan orientasi gerakan. Orang Minahasa yang
memiliki identitas keagamaan tertentu akan terlibat dalam kegiatan (gerakan)
organisasi berdasarkan sentiment kepercayaan. Solidaritas sub etnis juga
menuntut gerakan yang membawa sentimen sub etnisnya. Begitu juga dengan
identitas wilayah politik seperti kabupaten/kota dan perkampungan. Tetapi
identitas tou minahasa bisa terbagi
lebih banyak lagi; apakah itu menyangkut garis keturunan (vam/marga), ikatan persaudaraan, hobi atau kegemaran yang membentuk
solidaritas-solidaritas kelompok. Kita bayangkan saja di suatu perkampungan
lingkungan, lorong, atau kompleks bisa menjadi identitas yang menuntut adanya
persaingan dengan yang lain. Identitas mungkin adalah sesuatu yang ilusif[2]
artinya tetap saja dalam satu identitas kelompok akan terpecah lagi atau
digantikan dengan identitas yang lain.
Seorang
pemuda Minahasa bisa memiliki beberapa identitas tambahan seperti identitas
Kristen, laki-laki, partai politik, mahasiswa, pemuda GMIM, pemuda asal Tondei,
anggota sanggar seni, pemuda kompleks/lingkungan/jaga, dan lain sebagainya.
Identitas yang tidak tunggal berarti bahwa kontradiksi sama sekali tak
terelakkan. Identitas kolektif mendorong solidaritas tetapi setiap orang akan
bersolidaritas berdasarkan situasi dan kondisi dan juga bergantung pada respon
tentang isu tertentu.
Di
universitas mahasiswa Minahasa aktif dalam berbagai organisasi yang secara
sadar diketahui berkaitan dengan identitasnya. Misalnya, ada mahasiswa yang
menggabungkan diri di organisasi kerohanian tetapi yang lain memilih organisasi
paguyuban atau semacam rukun-rukan mahasiswa yang berbasis pada asal daerah
yang sama; apakah itu kabupaten, wilayah, dan desa. Aktivitas organisasi
seperti kerohanian pada dasarnya berkaitan dengan ritualistic ibadah dan misi
pelayanan. Sementara organisasi rukun-rukun mahasiswa hanya sebagai media
pertemuan dan menggelar kegiatan-kegiatan yang bersifat temporer. Tidak banyak
yang suka mengaktifkan diri terlibat dalam tindakan kritis terhadap
masalah-masalah social-politik yang berkaitan dengan identitas yang lebih besar
seperti kesukuan.
Ada
juga gerakan kaum muda di bidang budaya lewat pendirian organisasi seni budaya
sebagai respon keprihatinan terhadap kondisi kebudayaan local yang hampir
ditinggalkan. Tetapi berbagai macam organisasi seni budaya juga memiliki
orientasi yang berbeda karena ada yang hanya sekedar melestarikan seni budaya
dan ada juga yang berorientasi pada perlawanan terhadap globalisasi. Ada yang
melakukan komodifikasi budaya hanya untuk kepentingan seremonial dan ada yang
menggunakan budaya untuk mempertegas eksistensi identitas local.
Gerakan
kaum muda Minahasa kondisinya sporadic dan terkotak-kotak berdasarkan sub-sub
identitasnya. Hanya sedikit yang tergabung dalam organisasi yang berorientasi
perubahan tatanan social. Ada juga yang tergabung dalam partai-partai politik
tetapi justru sangat pragmatis dan tidak memiliki wawasan kebudayaan local atau
justru menggunakan wawasan kebudayaan local untuk kepentingan politiknya.
II.
GERAKAN
MINAHASA DAN KONTROVERSINYA
Gerakan
Minahasa bisa dimaknai sebagai tindakan subversi terhadap negara karena secara
hsitoris Minahasa merupakan wilayah pemberontakan. Permesta/PRRI yang juga
banyak diprakarsai oleh orang-orang Minahasa akan menjadi asumsi bahwa gerakan
Minahasa memiliki orientasi pemisahan
diri secara politik. Di lain pihak gerakan Minahasa juga akan dituduh gerakan
rasialis/tribalisme yang bertujuan untuk mendominasi kekuasaan dan anti suku
lain. Sejarah dialetika social telah memberikan klaim negative terhadap gerakan
yang berbasis identitas tribal.
Di
bidang seni dan budaya gerakan Minahasa mendapat banyak cemooh dari agama
modern yang memandang bahwa ada upaya untuk membangkitkan kembali kepercayaan
kuno minahasa. Ada ketakutan masyarakat yang telah beragama modern bahwa upaya
membangkitkan kepercayaan kuno dengan mistik-mistik yang telah mereka anggap sesat.
Orientasi dalam gerekan seni budaya pecah oleh karena tantangan masyarakat
pemeluk agama modern. Sehingga banyak organisasi seni budaya yang mengambil
jarak dari hal-hal yang berbau pemujaan dan ritual kuno.
Belakangan
juga telah muncul organisasi-organisasi semacam paramiliter yang menggunakan
tanda-tanda keminahasaan seperti manguni, maesa, dan lain sebagainya.
Organisasi semacam ini adalah tindakan defensive yang bertujuan memproteksi
masyarakat sukunya. Walaupun akhir-akhir ini organisasi itu juga lebih banyak
digunakan untuk kepentingan elite politik. Manuver politik para elite
menggunakan premanisme minahasa untuk menghadapi kritik-kritik yang mengancam
eksistensi politik mereka. Watak tou
minahasa yang garang dimanfaatkan untuk menjaga kepentingan ‘politik’.
Dalam
organisasi kampus orang minahasa yang tergabung di dalamnya lebih dipandang
sebagai ‘anjing penjaga kepentingan’. Dengan kegarangannya dan status pemilik
tanah sering digunakan untuk memproteksi kepentingan organisasi yang
berkepentingan di kampus. Isu akan gerakan anak kampung (orang minahasa)
dimanipulasi secara intelektual. Rekrutmen organisasi mahasiswa adalah untuk kepentingan mengintimidasi
mahasiswa di organasisasi lain yang berasal dari luar. Citra mahasiswa minahasa
dalam organisasi kampus lebih banyak ‘kegarangannya daripada peningkatan
intelektual dan perjuangan identitas keminahasaan dalam pergerakan politik
(dalam pengertian sebenarnya) dan budaya.
Tou Minahasa hari ini terjaring dalam
tradisi perilaku social-politik yang anomali di mana mereka menjadi agen-agen
kepentingan yang justru merusak dirinya sendiri. Ketika orang Minahasa sadar
akan pendidikan mereka kemudian berlomba masuk universitas tetapi di satu sisi
masih dalam kerangka pendidikan yang tidak berbicara pada kepentingan bersama
tetapi dalam tradisi anomali. Struktur masyarakat terkait dengan kebobrokan
social yang telah dianggap sebagai sesuatu yang sudah semestinya.
III.
KAUM
MUDA DALAM SIMULASI POLITIK
Kaum
muda Minahasa yang terlibat dalam organisasi social politik sebagai wadah
pembelajaran lebih banyak diajari dengan pragmatisme. Mereka terjaring dalam
organisasi-organisasi pengkaderan yang berseteru secara ideologis, agama, dan
golongan yang pada hakikatnya adalah kontradiksi-kontradiksi yang tidak pokok.
Sebenarnya ada hal yang lebih penting untuk diprioritaskan dalam perjuangan
organisasi seperti isu globalisasi, neoliberalisme, dan neokolonialisme yang
mengancam identitas tribalnya yang melibatkan eksploitasi manusia dan alam.
Organisasi
mahasiswa baik intra dan ektra cenderung pragmatis dan mengarahkan anggota
organisasinya dalam perebutan kekuasaan yang tidak proyektif. Artinya perebutan
kekuasaan yang hanya untuk mendapat prestis sebagai organisasi yang hebat dalam
politik karena mengusai posisi-posisi penting dalam jabatan structural
organisasi kampus. Tetapi program-programnya tidak jelas dan yang terpenting
bagi mereka adalah popular sebagai aktivis kampus.
Istilah
seperti aktivis atau idealis mungkin menjadi tren sehingga mahasiswa dengan
kesadaran/keinginan untuk populer menggabungkan diri dalam
organisasi-organisasi perjuangan mahasiswa. Akhirnya ketika mahasiswa dengan kesadaran pop terakumluasi dalam
organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra maka muncullah
kontradiksi-kontradiksi yang tidak pokok. Lebih parah lagi adalah perseteruan
politik di tingkatan mahasiswa telah meniru praktik politik elite. Maka
kemudian yang diproduksi oleh organisasi-organisasi perjuangan tak jauh beda
dengan generasi sebelumnya yang dijiwai oleh praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
Ideologi. Mahasiswa yang tergabung
dalam organisasi-organisasi kampus cenderung lemah dalam pemahaman ideologi.
Landasan praktik politik dan organisasinya adalah pragmatisme sehingga
menyepelekan persoalan seperti globalisasi dan neokolim. Sehingga tak heran
banyak mahasiswa yang tidak kritis terhadap persoalan seperti aktivitas
pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan swasta yang notabene menyengkut
kepentingan modal asing. Jangankan bicara soal perhitungan ekonomi mengenai
aktivitas perusahan tambang masalah kerusakan lingkungan pun tak menjadi soal.
Politik. Pragmatisme politik yang
secara tidak sadar dilakukan oleh tou
minahasa muda dianggap sah-sah saja oleh karena kurangnya pemahaman ideologi.
Sehingga tak jarang identitas kemudaan, kultur, agama, golongan bisa juga
digunakan dalam hal mempengaruhi masyarakat dalam perebutan kekuasaan dalam pemilukada/pemilu.
Politik yang tidak dilandaskan pada ideologi yang jelas akan terombang-ambing
dalam kepentingan yang dikuasai modal. Demokrasi, misalnya, yang adalah sistem
pemerintahan oleh karena tidak adanya pemahaman yang utuh oleh penyelenggaranya
maka justru berubah menjadi plutokrasi. Masyarakat kita kenyataannya lebih
dikendalikan oleh kekayaan. Money politik
dan relasi social berupa ikatan darah meruntuhkan konsepsi tentang hal-hal
ideal.
Organisasi. Kaum muda yang tergabung
dalam organisasi-organisasi mempelajari politik praktis. Walaupun definisi
organisasi bersifat kolektif tetapi pada praktisnya organisasi sering menjadi
kendaraan pribadi orang berpengaruh atau elite. Keterampilan berorganisasi
hanyalah sarana untuk memanipulasi demokrasi dan penguasaan massa. Dewasa ini
organisasi tak lebih dari mesin pencetak pragmatisme.
Organisasi
kepemudaan secara menyeluruh terstruktur dan berkorelasi dengan pemerintah,
parpol, ormas; sehingga gerakan pemuda sedikitnya juga dipengaruhi oleh
isu-isu dari high level politic. Belum adanya kemandirian dari kaum muda untuk
merumuskan keadaan dan merubahnya secara proyektif dan futuristik. Kaum muda
sering terprovokasi isu hangat dan bertindak reaksioner. Tak jarang kaum muda
sering menjadi tumbal dari banyak revolusi dan gerakan sosial lainnya. Organisasi kepemudaan yang sebenarnya juga
adalah wadah simulasi politik jika tidak diarahkan pada praktik politik yang
baik maka dia juga akan menjadi mesin reproduksi social yang menghasilkan
kader-kader yang tidak ideal.
IV.
GERAKAN
MINAHASA DI PERSIMPANGAN JALAN
Gerakan
Minahasa pada akhirnya akan berada pada titik pilihan mengenai cara dan
tujuannya. Oleh karena identitas minahasa yang taksa akan mempengaruhi strategi
dan capaian yang akan diproyeksikan. Apakah gerakan Minahasa adalah gerakan kebangkitan
intelektual atau gerakan politik yang didorong sentiment agama, suku, ras,
wilayah adalah persimpangan gerakan itu sendiri. Tou Minahasa dengan karakter individualisme
primitive[3]
selalu ingin menjadi pahlawan atas gerakan dan tak mau untuk tunduk pada
instruksi golongan-golongan perjuangan tertentu.
Ketika
Minahasa dimaknai sebagai identitas suku saja maka kita mungkin menjadi
ahistoris karena Minahasa juga adalah kesepakatan untuk bersatu melawan
imperialisme. Gerakan Minahasa harus mampu melakukan upaya pendamaian terhadap
kontradiksi-kontradiksi yang bukan pokok. Kalau masyarakat terpecah dalam
egoisme sub identitas tanpa melihat musuh besar seperti imperialisme ekonomi
dan budaya maka gerakan yang sporadic justru adalah celah yang akan membuat
seluruh masyarakat dan alamnya tereksploitasi.
Gerakan
Minahasa harus menjadi mediasi untuk mendamaikan konflik-konflik internal agar
supaya persatuan untuk melawan musuh pokok. Cara dan strategi berjuang bisa
saja berbeda apakah itu dalam konteks perjuangan budaya, politik, intelektual
dan lain sebagainya; tetapi tujuan harus sama dan itu perlu untuk dirumuskan
bersama (maesa). Fragmentasi gerakan
Minahasa di satu sisi adalah kekayaan yang variatif tetapi di sisi lain mungkin
adalah kelemahan gerakan itu sendiri.
Perbincangan dengan dr. Bert Adrian Supit di sela Kongres Kaum Muda Minahasa mengenai pemerintahan NKRI dan neoliberalisme |
“…Sapakem
si kayo’ba’an anio, tana’ ta im baya! Asi endo makasa, sa me’em si ma’api,
wetengan e pa’tuusan, wetengan eng kayo’ba’an! Tumani e kumeter, mapar e
waraney, akad se tu’us, tumow on tumow tow!...” (secara bebas
diterjemahkan, “…Dengan ini kami nyatakan, dunia in adalah tanah air kita
semua! Bila pada suatu saat, burung telah memberi tanda yang pasti, bagilah
tanah ini hai kamu pemuka masyarakat pemberi contoh!
Bukalah wilayah pertanian baru, hai kamu pemimpin pekerjaan! Kuasailah wilayah,
hai prajurit perkasa, agar keturunan kita dapat hidup dan memberi hidup!”…[4]
[1]
Materi ini disampaikan dalam Kongres Kaum Muda Minahasa pada 1-3 November 2013
di Kora-Kora dalam sesi V dengan tema Kaum Muda Bergerak.
[2]
Amartya Sen dalam bukunya yang berjudul Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas
memberikan gambaran tentang bagaimana identitas itu bisa berubah-ubah. Misalnya
dalam hidupnya dia pernah menyaksikan seorang Hindu yang membunuh seorang
Muslim dalam suatu kerusuhan padahal sebenarnya keduanya juga memiliki
identitas yang sama sebagai buruh miskin dan bahkan mungkin sesama orang India.
[3]
Saya membedakan individualisme menjadi individualisme primitive dalam
masyarakat tribal dan individualisme modern dalam masyarakat kapitalis.
Individualisme primitive berkaitan dengan egoisme individu dalam mempertahankan
hidupnya. Dalam proses seleksi alam individu didorong untuk mempertahankan
eksistensinya sendiri (survival of the
fittest). Sementara individualisme modern berkaitan dengan pemuasan
kebutuhan ekonomi sehingga individu mengakumulasi harta kekayaan
sebanyak-banyaknya. Menurut saya komunalisme didahului oleh individualisme primitive
yang akhirnya dalam proses seleksi alam individu merasa penting untuk
menaklukkan alam, menjaga eksistensi spesisnya, dan menghalau ancaman dari
makhluk lain. Tou Minahasa sampai
hari ini menganut individualisme primitive; itu bisa dilihat dari
kegarangannya, sorot mata yang sinis, dan ungkapan sapa ngana sapa qt.
[4]
Dipetik dari buku Minahasa. Dari amanat
Watu Pinawetengan sampai gelora Minawanua karya Bert Supit. Jakarta. Sinar
Harapan. 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar