(Pernikahan yang gagal)
Seisi
rumah sungguh bahagia bahkan saudara dan kawan-kawannya pun turut bahagia.
Engky akan menikah. Lelaki yang hampir mencapai usia 40an itu akhirnya mendapat
jodoh juga. Gadis muda baik-baik, rajin, dan setia. Kedua belah pihak keluarga
telah sepakat dalam acara tumantu untuk melangsungkan pesta
pernikahan dua minggu lagi. Tanggal sudah ditetapkan dengan gembira orang tua
dari calon mempelai laki dan perempuan menyiapkan segala sesuatu. Calon
mempelai laki dan perempuan tak diizinkan untuk membantu. Mereka akan dilayani
sebagaimana seorang raja dan ratu. Mereka harus memperhatikan kesehatan dan
tidak sembarang bepergian. Jatuh sakit atau terkena musibah bahaya akan
menggagalkan semua rencana.
Sebenarnya
di desa menurut adat ada fase-fase yang harus dilalui oleh seorang pemuda dalam
pergaulan sebelum menikah. Dimulai dari muey; ini adalah fase awal bagi
seorang pemuda untuk menyatakan cintanya pada seorang gadis yang disukainya. Muey bisa diartikan melamar tetapi
langsung pada si gadis. Bisa berhadapan langsung, melalui surat – sayangnya
dulu belum ada teknologi digital untuk mengirim sms lewat handphone – atau dengan perantaraan orang lain. Tumindondor-moweh;
setelah diterima oleh gadis maka seorang pemuda wajib memberitahukan hubungan mereka
kepada orang tuanya untuk meminta restu. Ini juga untuk mencegah jika si gadis
bermain serong maka orang tuanya dapat mengingatkan bahwa dia sudah punya
hubungan dengan seorang lelaki. Tetapi hari ini orang tua membiarkan anaknya
pacaran dengan siapa saja sambil menilai tingkat ekonomi setiap anak lelaki
yang datang. Setelah tahu dengan pasti maka mereka akan merekomendasikan lelaki
mana yang pantas untuk anaknya itu. Tumantu/tumerang; fase ini adalah
bertemunya kedua belah pihak keluarga untuk menyatakan restu terhadap hubungan
anak mereka. Pertemuan ini mengarah pada kesepakatan perkawinan. Tumuruk;
jika telah ada kesepakatan antar keluarga maka fase selanjutnya adalah membawa
harta kepada orang tua si gadis atau juga disebut ‘antar harta’. Desa ini
memang menganut budaya partriarki di mana seakan gadis yang dinikahi dibeli
dari orang tuanya. Walaupun mereka memperhalusnya dengan berkata bahwa itu ‘bayar
toto’. Sedikit demi sedikit budaya ‘antar harta’ hampir menghilang oleh
karena persoalan ekonomi. Dengan berkembangnya jumlah individu maka tingkat
persediaan menipis dan tingkat pendapatan menurun. Sekarang dengan modal cinta
dan nekat kita bisa menikah dan melanggar tradisi. Sumampet; pesta pernikahan dahulu sangat
meriah dan tak pernah terpikir
kekurangan. Tetapi hari ini pesta pernikahan adalah beban berat yang
harus ditanggung tapi kerena gengsi orang tetap akan melaksanakannya walau
sesudah itu dikejar hutang.
Menikah
mungkin adalah soal komitmen tetapi pada umumnya orang menikah karena dorongan
biologis untuk bersetubuh setiap hari. Adat atau tradisi menjadi usang bersama
berjalannya waktu sehingga dalam pergaulan anak muda tidak lagi memperhatikan
hal-hal itu. Tumindondor-moweh misalnya,
kita akan mendapati fase ini tidak lagi dianggap penting; dari muey langsung tumantu. Biasanya karena fase ini dilanggar banyak anak gadis
menikah dalam keadaan hamil tua. Dalam hal pengaruh ekonomi maka tumuruk pun sudah sering diabaikan
karena persoalan lelaki yang datang tumantu
tidak punya modal bahkan pekerjaan tetap. Dia juga mungkin tak memiliki budel[1]
karena telah dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perkembangan ekonomi
menggeser mengubah ruang masyarakat. Dulunya dalam pergaulan seorang lelaki
menyukai perempuan yang memiliki kemampuan kerja yang baik, begitu juga
sebaliknya. Tetapi ruang pergaulan hari ini telah merubah perspektif anak muda
dalam menilai calon pasangan mereka. Standar penilaian mereka telah bergantung
pada seruan berulang-ulang yang mereka tonton setiap hari.
Engky
kelihatan bahagia. Dia memeluk dan menggenggam tangan kekasihnya. Baru kali ini
dia menyentuh wanita yang ingin dia kawini. Sebelumnya memang dia menyentuh
beberapa wanita tetapi itu adalah ibu atau saudara perempuannya. Sungguh dia
memang lelaki yang kuper atau tak pernah bergaul dengan para gadis. Sentuhannya
sangat kaku dan terlalu banyak embel-embel gerakan. Dia tak menyadari bahwa
birahi tidak akan peduli dengan aturan moral ketika mencapai puncak. Dia
berusaha sopan membelai kekasihnya. Malam ini birahinya mungkin harus
ditangguhkan karena tak lama lagi mereka akan menikah. Bersetubuh sebelum
menikah akan mengurangi sensasi pada malam pertama sesudah pernikahan. Tetapi
memang pada umumnya perkawinan lebih dulu terjadi daripada pernikahan.
Perkawinan sah dilakukan atas dasar cinta sementara penikahan sah apabila orang
tua, pemerintah, dan pihak agama merestuinya. Intinya perkawinan adalah soal
emosional sementara pernikahan adalah soal konstitusional. Tetapi sebenarnya
antara kawin dan nikah memiliki perbedaan yang sangat kabur dalam praktek
percakapan masyarakat.
Dia kata so mo kaweng; kalimat tersebut
adalah taksa karena memiliki dua kemungkinan pengertian. Kaweng[2]
dalam artian persetubuhan atau menggelar sebuah pesta setelah mendaftarkan diri
sebagai keluarga pada pemerintah dan gereja.
Kadang kalimat itu juga dinegasi dengan pernyataan bukang kaweng kwa mar nikah. Pada kenyataannya masyarakat memahami
makna sebenarnya kata kaweng. Itu
mungkin adalah perdebatan dalam filsafat bahasa yang tak harusnya diceritakan
panjang lebar.
Gadis
yang dipeluk dan dibelainya juga sangat kaku dalam merespon belaiannya. Mungkin
memang keduanya belum pernah dibelai sebelumnya. Engky adalah lelaki berumur
yang belum pernah pacaran sebelumnya sementara gadis ini masih belia dan
langsung dijodohkan. Tetapi gadis ini sama sekali tak menolak untuk dijodohkan
karena di desa banyak wanita tua memberi nasihat kepada anak gadis untuk tidak
percaya pada cinta. “Ngoni kalo mo cari
laki cari yang tau kerja. Biar le laki-laki gaga mar nda tau kerja dia re’e mo
kse makang gaga pa ngana. Paling ngana makang bungkil.” Wanita tua memang
sudah berpengalaman soal perasaan dan akhirnya mereka menyimpulkan pada
akhirnya kebutuhan makan, minum, pakaian, rumah, dan hal-hal materialistik
menjadi yang utama ketika sudah menikah. Jadi dijodohkan berarti orang tua
telah menilai dan memastikan kebahagiaan rumah tangganya. Perjodohan adalah
soal hitung-hitungan harta benda dari kedua bela pihak keluarga untuk
memastikan anak mereka tidak akan melarat.
Ayam
jantan berkokok saling berbalasan dan matahari mulai menampakkan diri. Engky
terbangun di pagi hari untuk pertama kalinya ditemani seorang gadis di ranjangnya.
Bahagianya dicampur rasa geli menyadari dirinya baru saja tidur dengan seorang
gadis semalaman. Tanpa membangunkan kekasihnya dia langsung pergi untuk mandi.
Hari ini mereka harus bersama mengambil foto pre-wedding. Ketika sarapan bersama keluarga mereka diberi sejumlah
nasehat oleh orang tua tentang poso[3]
sebelum menikah dan pada saat seorang istri dalam keadaan hamil. Walaupun
masyarakat pada umumnya telah beragama Kristen tetapi banyak hal dari
kepercayaan tua mereka yang masih dipraktikan. Tetapi memang ketika anak-anak
mereka ingin tahu lebih dalam tentang itu maka mereka melarang dan
menyembunyikannya. Engky memiliki karakter laki-laki pendiam sehingga semua
nasehat orang tua hanya direspon dengan anggukan kecil.
Selesai
smokol[4]
mereka bergegas bersiap-siap. Mereka akan menggunakan sepeda motor ke desa lain
untuk mengambil foto sebelum acara pernikahan. Engky agak canggung membonceng
kekasihnya karena melintasi perkampungan banyak teman-temannya yang suka
mengejek. Mereka adalah kumpulan langkoy
pemabuk dengan semboyan SKS (siang kalu
siang), KRISTAL (krisis tanpa alasan), tiada hari tanpa botol, atau ACIBOL
(anak cinta botol). Engky mengedarai sepeda motor penuh beban karena malu akan
mendapat ejekan. Tetapi dia tetap harus menghadapi ejekan itu sesakit apapun
hatinya nanti.
“ya…kami
sambut bapak engky bersama ibu”.
“tekene tu pemuda langkoy da badapa jo re’e.”
“nda cocok ngoni dua e.”
Engky tak mau
memalingkan wajah pada teman-temannya itu dia hanya mendengar ejekan dan gelak
tawa yang diarahkan kepadanya. Memang pemuda di desa gemar saling mengejek satu
sama lain jadi hal seperti itu sudah biasa. Walaupun terpojok dan terhina hati
mereka telah terbiasa dengan hal seperti itu. Tambahan pula ejekan seperti itu
juga tak sepenuh hati untuk menjatuhkan kita tetapi sekedar gurauan saja.
Tiga hari lagi pesta akan segera dilaksanakan jadi
kesibukan kedua keluarga semakin nampak dalam mempersiapkan segala sesuatu.
Persiapan harus benar-benar matang dan makanan memang harus berlimpah. Oleh
karena sekarang ini dalam membuat pesta di desa undangan dua ratus pasti yang
akan datang sekitar lima ratus orang. Karena dalam satu keluarga yang diundang
rata-rata berjumlah lima orang (papa, mama, dan tiga orang anak). Belum lagi
ditambah dengan si rongit-rongit[5]
kampung yang adalah kumpulan tamu tak diundang.
Beras berkarung-karung telah dibeli dan bumbu (rampah-rampah) sementra
disiapkan. Engky mengurung diri di kamarnya dan menolak untuk makan walaupun
berkali-kali diingatkan. Dia terus berpikir tentang masa depan keluarganya
nanti. Membayangkan tangisan bayi atau pertengkaran dengan istrinya. Dia tak
sabar merasakan situasi-situasi dalam rumah tangga. Tetapi bayang tentang
ejekan dari teman-temannya menggangu khayalan masa depannya yang indah.
Sehari lagi pesta akan dilaksanakan. Orang-orang
sibuk membantu mendirikan sabua atau todong. Sementara di bagian belakang rumah
para ibu-ibu memasak dan membersihkan rampah-rampah sambil berceloteh. Di
bagian samping bapak-bapak ribut dengan memotong daging babi, anjing, dan
lainnya. Pada hari itu Engky juga masih mengurung diri di kamarnya dia hanya
sekali-kali keluar dan mengurung diri lagi. Sang ibu khawatir dan menyuruh
orang untuk memanggil calon istrinya supaya membujuk atau setidaknya menemani
calon suaminya itu. Calon istri itu pun datang dan langsung menuju pintu kamar.
Dia mengetuk begitu lama namun tak juga pintu dibukakan. Mungkin Engky sedang
merajut atau berubah pikiran. Ayah dan ibunya juga membantu membujuknya untuk
keluar menemui calon istrinya tetapi taka da juga suara menyahut. Mereka enggan
memaksanya karena dia harus mempersiapkan
kebahagiaannya. Orang lain pun mulai terusik dengan sikapnya dan
membantu membujuknya tetapi hasilnya juga sama; diam dalam kamar.
Engky telah membuat lelucon untuk mereka. Setidaknya
mereka berpikir begitu karena dia juga gemar dengan lelucon di balik sifat
pendiamnya itu. Maka disuruhlah seorang mengintip dari jendela kamarnya dan
memberitahu apa yang dilakukannya dalam kamar. Orang itu disuruh
mengendap-endap supaya jangan sampai diketahui. Mereka terkekeh kecil sambil
menunggu berita tentang apa yang terjadi dalam kamar itu.
“Oh Tuhan!!!”
Semua orang di sekitar
terpaku pada teriakan itu. Kurang dari lima detik orang-orang terkumpul mencari
tahu apa yang terjadi. Orang yang mereka suruh untuk mengintip kelihatan
gelisah sambil mendorong jendela dan mengisyaratkan orang lain untuk cepat
bertindak. Orang-orang di situ kebingungan tentang maksudnya. Tetapi akhirnya
mereka juga terdorong untuk melakukan apa yang diisyratkannya. Mereka mendobrak
pintu kamar. Engky tergantung. Ayah dan ibunya masuk ke kamar dan menangis
histeris disusul oleh calon istrinya. Engky telah mati tergantung seperti
ayunan.
Kemarau yang panjang dihapus oleh hujan sesaat. Semua
persiapan dan harapan telah berubah menjadi derai air mata. Kebahagian yang
sementara dipersiapkan diganti dengan dukacita yang akan berkepanjangan. Orang
selalu berpikir kebahagian akan datang kelak tetapi mungkin masa-masa ini
adalah kebahagian sementara derita menanti di hari esok. Yang mereka persiapkan ternyata bukan pesta
perkawinan tetapi acara pemakaman. Semua tema pernikahan diganti dengan
pemakaman; bukan lagi puade[6]
tetapi peti mati. Calon istrinya menangis terisak di samping jenazah. Kadang
dia berteriak histeris sampai pingsan. Tetapi calon suaminya telah pergi dan
hanya akan kembali dalam ingatannya. Dalam benaknya Engky bukan lagi calon
suami tetapi sudah menjadi suaminya sejak mereka saling membelai. Gadis itu
menyesal telah menunda untuk kawin di malam itu. Dia berpikir kalau saja malam
itu mereka telah kawin maka setidaknya dia akan melahirkan seorang anak
keturunan suaminya. Tetapi malam itu kekakuan menghalangi mereka untuk
melakukannya.
Sementara di luar kumpulan pemuda duduk termenung
dalam sedih. Mereka tak berani membuat lelucon dalam suasana duka seperti ini.
Mereka mulai menyesali telah mengejek teman mereka. Mungkin ejekan itu
merupakan factor yang menyebabkan teman mereka bunuh diri sebelum menikmati
kebahagiaannya. Mereka terpaku dalam rasa penyesalan.
***
Malam ketiga setalah kematian. Engky memandangi
rumahnya dan mengamati keluarganya yang masih berduka. Dia menyesal
meninggalkan mereka. Dia ingin menangis tetapi bisakah roh menangis?
Erol memegang pundaknya sambil berkata “Mari jo…so nda guna ngana lia-lia pa dorang.
Skarang torang so beda dunia.”
[1]
Harta warisan
[2]
Kawin atau nikah
[3]
Sesuatu yang tak boleh dilanggar; pantangan.
[4]
Sarapan pagi.
[5]
Rongit adalah jenis lalat yang selalu mengikuti seekor sapi di mana pun dan
kemana pun walaupun si sapi tak menyukai keberadaan mereka tetapi mereka selalu
ada.
[6]
Pangggung tempat duduk para mempelai serta orang tuanya.