(media sosialisasi bagi masyarakat)
Monumen Aer Tondei |
Aer Tondei yang masih digunakan oleh warga tetapi sudah dalam kondisi yang berbeda. |
Lokasi Batu Payung dalam keadaan sekarang. |
Ada
masa tertentu di desa Tondei ketika musim masih menentu dan masyarakat bisa
memprediksikan hasil panen, musim kemarau akan menjadi salah satu pendorong mau
tidak mau masyarakat akan tersentral pada mata air. Di desa ini ada beberapa
mata air yang terkenal yaitu Aer Duriang[4]
yang letaknya dekat dengan orang ameko, Aer Tondei[5]
yang letaknya dekat dengan orang amonge, dan Aer (di) Gunung[6]
yang letaknya dekat dengan orang gunung. Tetapi dari ketiga mata air itu Aer
Tondei dikenal dengan kebal kemarau panjang. Jadi walaupun kemarau panjang mata
air itu tetap akan ada terus. Sehingga ketika mata air di daerah lain sudah
mati maka seluruh masyarakat desa akan mengambil air di Aer Tondei. Dengan
begitu proses sosialisasi antar warga dari ketiga wilayah itu pun akan terjadi.
Aer Orang Gunung dalam keadaan sekarang. |
Tetapi
setelah adanya air yang dikelola oleh desa yang sudah menggunakan bak penampung
dan pipa penyalur air yang diambil dari mata air wanga dan kantil maka mata air seperti aer
tondei, aer duriang, dan aer gunung mulai ditinggalkan dan hampir dilupakan.
Oleh karena air bisa diprivatisasi di rumah masing-masing. Dengan begitu
berakhirlah sudah tradisi bersosialisasi setiap pagi dan sore di mata air.
Orang-orang desa tidak lagi harus berlelah menimba air dan mandi di alam
terbuka karena air sudah bisa diakses di rumah sendiri. Tetapi untuk mengenang
bahwa ada tempat yang dulunya mediasi masyarakat bersosialisasi maka dibuatlah
tugu peringatan agar orang bisa mengenang dan ingatan itu bisa diwariskan ke
generasi selanjutnya.
Batu Lutau di dekat Aer Orang Gunung |
Glorya dan Queen di Batu Lutau. |
[1]
Karena kondisi ini sehingga muncul pernyataan dari desa tetangga bahwa tunggu
babi nae kalapa baru oto maso di Tondei. Sebuah pernyataan yang
berkonotasi tak mungkin bagi desa Tondei untuk di kunjungi kendaraan
bermotor/beroda empat.
[2]
Kata ini menyangkut gairah atau semangat karena keterpesonaan akan sesuatu yang
baru sehingga orang tersebut sangat berantusias menanggapinya.
[3]
Tempat untuk menampung tombal/saguer (air nira) dari
pohon seho (enau) yang diolah menjadi gula merah atau captikus.
[4] Aer
Duriang
ini juga berdekatan dengan lokasi bekas perkampungan yang disebut mawale
dan di tempat ini juga ada sebuah batu lisung.
[5]
Letak Aer Tondei juga berdekatan dengan Batu Payung yang menurut orang
Tondei memiliki kekuatan mistis yang berfungsi menjaga desa dari perampokan
atau orang yang bermaksud jahat. Disebut Batu Payung karena bentuknya yang
menyerupai payung dan terletak di samping atas jalan. Dengan batu itu segala maksud jahat akan
dihalau oleh batu tersebut. Tetapi ketika ada pelebaran jalan maka batu itu
sengaja dijatuhkan tapi menurut keterangan orang tua semua pekerja yang
menjatuhkan batu itu meninggal. Itu karena mereka tidak mendengar nasihat
tua-tua desa bahwa batu itu mempunyai kekuatan mistis. Ketika mereka berusaha
menjatuhkan batu itu butuh waktu berjam-jam dan walaupun sudah digali begitu
dalam batu itu tak kunjung jatuh. Tapi itu tidak membuat para pekerja itu
percaya dengan kekuatan mistisnya dan terus berusaha sampai batu itu jatuh.
[6]
Aer
Gunung
ini juga disebut Aer Kantil atau Aer Raanan karena letaknya
juga dekat dengan Kuala (sungai) Raanan. Mata air ini juga berdekatan
dengan batu lutau atau batu lisung yang juga
dipercayai masyarakat memiliki kekuatan mistis. Benda ini masih dalam
perdebatan apakah kuburan (sarkofagus) atau tugu peringatan (menhir) yang
diwariskan oleh kebudayaan Minahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar