halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Senin, 17 Desember 2012

AER TONDEI


(media sosialisasi bagi masyarakat)
Monumen Aer Tondei
Sebelum pemekaran desa masyarakat Tondei terbagi berdasarkan kondisi teritori alamnya dengan istilah orang gunung; yang tinggal di daerah atas dengan kondisi tanah yang miring, orang li’ba; yakni orang yang tinggal di daerah bawah dengan kondisi tanah yang relatif rata. Wilayah li’ba pun terbagi dua yaitu yang disebut amonge yang tinggal di daerah utara bersama juga dengan orang-orang yang tinggal di lumopa dan ameko yang tinggal di daerah selatan yang dekat dengan bekas perkampungan yang disebut mawale. Setelah pemekaran desa Tondei menjadi Tondei yang juga disebut Tondei Induk, Tondei Satu, dan Tondei Dua. Sayang sekali ketika pemekaran tidak ada yang mengusulkan nama desa-desa itu sesuai dengan nama yang popular dan berkarakter kultural di tengah masyarakat. Setidaknya dengan begitu ada ingatan kolektif yang di bawah oleh nama desa yang bisa dicari oleh generasi selanjutnya.
Aer Tondei yang masih digunakan oleh warga tetapi sudah dalam kondisi yang berbeda.


Di tahun 90-an keadaan desa Tondei masih sangat terbelakang di mana kondisi transportasi sangat sulit karena minimnya kendaraan dan jalanan yang rusak dan sempit[1]. Listrik masih sangat terbatas bagi golongan menengah ke atas sehingga yang memiliki alat elektronik seperti radio dan televisi masih sangat minim juga. Tak heran di zaman ini orang Tondei sering berkumpul di rumah keluarga yang mempunyai alat tersebut hanya untuk menonton atau mendengar berita. Kadang-kadang jumlah massa yang terkumpul bisa berkisar ratusan di satu rumah keluarga. Waktu itu juga setiap tanggal 30 September pemerintah orde baru (orba) mengharuskan salah satu stasiun TV  menayangkan film G-30 S PKI untuk mengenang ke tujuh jendral yang menjadi korban kudeta di tahun 1965. Karena mangkage[2] orang Tondei sampai harus membayar karcis supaya bisa menonton di hari itu.
Lokasi Batu Payung dalam keadaan sekarang.
Pada masa itu, pagi dan sore hari anak-anak laki dan perempuan pasti akan sibuk dengan menimba air sebagai tugas rutin bagi mereka. Mereka akan membawa gelon dan ember – tetapi masa sebelumnya menurut keterangan orang tua bahwa mereka menggunakan bulu (bambu) yang dibuat seperti sareng[3]  untuk menimba air - dengan ukuran yang beragam sesuai dengan kemampuan mereka. Ada juga orang yang menggunakan roda khusus untuk menimba air jadi dia bisa mengangkat beberapa gelon sekaligus. Yang mempunyai alat ini juga terbatas untuk orang yang memiliki kemampuan ekonomi atau mereka yang mempunyai keterampilan membuatnya. Tetapi juga yang pasti mata air adalah tempat bertemunya orang desa – tak terbatas hanya bagi anak-anak tetapi untuk semua kalangan - untuk menimba air, mencuci baju, dan membersihkan diri.
Ada masa tertentu di desa Tondei ketika musim masih menentu dan masyarakat bisa memprediksikan hasil panen, musim kemarau akan menjadi salah satu pendorong mau tidak mau masyarakat akan tersentral pada mata air. Di desa ini ada beberapa mata air yang terkenal yaitu Aer Duriang[4] yang letaknya dekat dengan orang ameko, Aer Tondei[5] yang letaknya dekat dengan orang amonge, dan Aer  (di) Gunung[6] yang letaknya dekat dengan orang gunung. Tetapi dari ketiga mata air itu Aer Tondei dikenal dengan kebal kemarau panjang. Jadi walaupun kemarau panjang mata air itu tetap akan ada terus. Sehingga ketika mata air di daerah lain sudah mati maka seluruh masyarakat desa akan mengambil air di Aer Tondei. Dengan begitu proses sosialisasi antar warga dari ketiga wilayah itu pun akan terjadi.
Aer Orang Gunung dalam keadaan sekarang.
Karena tempat mandi dan menimba air sudah terpusat maka orang harus antri dan inilah yang juga menjadi momen orang desa mulai mengangkat bahan diskusi. Apalagi para pemuda dan bapak-bapak yang baru pulang dari kebun di sore hari pasti ingin melepas lelah dengan mandi di mata air yang segar. Di mata air ini dipisahkan untuk tempat mandi laki-laki dan perempuan tetapi untuk menimba air biasanya berlaku umum di satu. Sambil menunggu orang yang sedang menimba air dan mandi maka yang lainnya berdiskusi tentang pekerjaan, hasil pekerjaan, kondisi desa, dan bagaimana desa di masa depan. Tetapi tak jarang pula ada yang berdiskusi tentang urusan pribadi dan keluarga orang lain. Tak hanya positif yang didiskusikan tetapi juga yang negatif. Tetapi inilah kondisi masyarakat Tondei pada waktu itu di mana mata air menjadi pusat bersosialisasi. Semua golongan tak memandang clan, umur, gender disatukan di mata air ini. Dari gunung, ameko, dan amonge terkumpul di Aer Tondei yang merupakan sumber air desa yang juga sangat strategis tempatnya.
Tetapi setelah adanya air yang dikelola oleh desa yang sudah menggunakan bak penampung dan pipa penyalur air yang diambil dari mata air wanga  dan kantil maka mata air seperti aer tondei, aer duriang, dan aer gunung mulai ditinggalkan dan hampir dilupakan. Oleh karena air bisa diprivatisasi di rumah masing-masing. Dengan begitu berakhirlah sudah tradisi bersosialisasi setiap pagi dan sore di mata air. Orang-orang desa tidak lagi harus berlelah menimba air dan mandi di alam terbuka karena air sudah bisa diakses di rumah sendiri. Tetapi untuk mengenang bahwa ada tempat yang dulunya mediasi masyarakat bersosialisasi maka dibuatlah tugu peringatan agar orang bisa mengenang dan ingatan itu bisa diwariskan ke generasi selanjutnya.
Batu Lutau di dekat Aer Orang Gunung
Memang etos masyarakat pada umumnya bergerak dari sosial ke individual sehingga prinsip-prinsip kebudayaan, keumuman, dan kebersamaan menghilang. Privatisasi menggerogoti nilai-nilai tertentu dalam masyarakat bahkan sampai pada vitalitas nilai itu sendiri. Seperti prinsip mapalus (maando) yang sebenarnya telah diinterpretasikan sebagai hubungan simbiosis mutualisme dalam konteks kepentingan individual. Telah hilang kesadaraan kebersamaan dalam masyarakat sehingga sebuah sumbangan baik fisik dan non-fisik selalu pamrih. Ini mengindikasikan bahwa vitalitas dalam masyarakat tentang etos budaya telah hilang sama sekali. Yang ada hanyalah jejak (trace) kebudayaan itu sendiri yang mungkin bisa digunakan untuk bernostalgia atau sekedar pemuasan intelektual saja.



Glorya dan Queen di Batu Lutau.


[1] Karena kondisi ini sehingga muncul pernyataan dari desa tetangga bahwa tunggu babi nae kalapa baru oto maso di Tondei. Sebuah pernyataan yang berkonotasi tak mungkin bagi desa Tondei untuk di kunjungi kendaraan bermotor/beroda empat.
[2] Kata ini menyangkut gairah atau semangat karena keterpesonaan akan sesuatu yang baru sehingga orang tersebut sangat berantusias menanggapinya.
[3] Tempat untuk menampung tombal/saguer (air nira) dari pohon seho (enau) yang diolah menjadi gula merah atau captikus.
[4] Aer Duriang ini juga berdekatan dengan lokasi bekas perkampungan yang disebut mawale dan di tempat ini juga ada sebuah batu lisung.
[5] Letak Aer Tondei juga berdekatan dengan Batu Payung yang menurut orang Tondei memiliki kekuatan mistis yang berfungsi menjaga desa dari perampokan atau orang yang bermaksud jahat. Disebut Batu Payung karena bentuknya yang menyerupai payung dan terletak di samping atas jalan.  Dengan batu itu segala maksud jahat akan dihalau oleh batu tersebut. Tetapi ketika ada pelebaran jalan maka batu itu sengaja dijatuhkan tapi menurut keterangan orang tua semua pekerja yang menjatuhkan batu itu meninggal. Itu karena mereka tidak mendengar nasihat tua-tua desa bahwa batu itu mempunyai kekuatan mistis. Ketika mereka berusaha menjatuhkan batu itu butuh waktu berjam-jam dan walaupun sudah digali begitu dalam batu itu tak kunjung jatuh. Tapi itu tidak membuat para pekerja itu percaya dengan kekuatan mistisnya dan terus berusaha sampai batu itu jatuh.
[6] Aer Gunung ini juga disebut Aer Kantil atau Aer Raanan karena letaknya juga dekat dengan Kuala (sungai) Raanan. Mata air ini juga berdekatan dengan batu lutau atau batu lisung yang juga dipercayai masyarakat memiliki kekuatan mistis. Benda ini masih dalam perdebatan apakah kuburan (sarkofagus) atau tugu peringatan (menhir) yang diwariskan oleh kebudayaan Minahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar