(sebuah evaluasi politik)
I.
MARI
BERNOSTALGIA
Masyarakat Minahasa[1]
telah kehilangan etos politik kulturalnya sejak penetrasi kolonial dan
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini tidak semata-mata harus
disalahkan pada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya tetapi juga faktor
internal yaitu masyarakatnya sendiri. Orang minahasa memang sangat adaptif,
dinamis, dan fleksibel menanggapi sesuatu di luar dirinya. Tonaas (wangko),
walian
(wangko),
wailan
(wangko),
ukung
(tua),
tu’a
in
lukar,
meweteng,
waraney,
teterusan,
dan potuasan
adalah istilah politik kultural Minahasa yang tentunya mempunyai semangat
fundamental yang berakar dari kebudayaannya. Tetapi kebanyakan istilah tersebut
telah diganti dengan istilah yang tidak memiliki persektif kultural dan
semangat politik Minahasa yang sebenarnya. Yang perlu ditekankan adalah orang Minahasa
dulu tidak tunduk pada pemerintah – begitu juga terhadap pemerintah kolonial -
secara buta. Artinya pemerintah yang diakui adalah pemerintah yang benar-benar
menjalankan tugasnya secara benar, baik, dan jujur.
Tetapi kontalasi
politik Minahasa kontemporer adalah oposisi biner atau bertolak belakang dari
politik kulturalnya. Umumnya, politisi (politikus) kita sekarang ini sangat
oportunis, individualistik, dan borjuistik sementara masyarakatnya juga
opotunistik, individualistik, apatis, dan pasif. Ini merupakan dekadensi dan
degradasi sosial yang tentunya bukanlah harapan leluhur minahasa yang telah
mencanangkan politik integrasi untuk menata serta menjaga wilayah dan
masyarakat minahasa. Memang membutuhkan semangat mapalus untuk menata serta semangat
waraney untuk menjaga wilayah dan
masyarakat Minahasa.
II.
PILKADA
SEBAGAI TEKS
Dalam politik,
‘tanda’ (sign) akan mengabdi pada
kepentingan sebagai usaha untuk ‘menjebak’ masyarakat (pemilih) dalam
perspektif tertentu. Warna, corak, lambang, bahasa, budaya, gender, suku, clan, distrik akan menjadi tanda-tanda
yang melegitimasi hal-hal tertentu. Dalam konteks kepentingan politik tanda
semacam itu sengaja dibentuk sebagai penanda yang akan memunculkan perspektif
idealistik, provokatif, dan persuasif. Kekuasaan adalah tujuan par excellence
daripada konotasi representasi yang dibuat.
Pilkada merupakan
mediasi pertarungan politik yang memproduksi tanda-tanda ideologis demi
kepentingan tertentu. Ada beberapa unsur penting dalam pilkada yaitu Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Partai Politik (Parpol),
figure, dan masyarakat pemilih. KPU
adalah fasilitator penyelenggara pilkada sementara panwas adalah pemantau
penyelenggaraan pilkada yang harus sesuai undang-undang yang berlaku. Parpol
adalah pengusung kader sebagai peserta pilkada sementara figure adalah kader partai ataupun yang independen yang memiliki potensi, citra,
prestasi, dan prestise yang merupakan peserta pilkada. Dan masyarakat pemilih
adalah yang mempunyai wewenang untuk memilih dan menentukan figure yang pantas memimpin mereka.
Kalau bisa digolongkan menjadi tiga maka KPU bersama Panwas, Parpol bersama
figure, dan terakhir masyarakat pemilih.
Jadi ada tiga golongan. Yang pertama golongan netral, kedua golongan
kepentingan, dan ketiga golongan penentu.
KPU dan Panwas
akan memproduksi tanda-tanda yang bersifat netral untuk diri mereka sendiri
melalui pernyataan atau slogan-slogan tertulis. Tujuannya untuk menimbulkan
kesan ketidakberpihakan atau memproteksi diri mereka dari berbagai tuduhan.
Sementara Parpol dan figure akan
memproduksi tanda-tanda persuasif yang cenderung menghimbau, membujuk, bahkan
memaksa masyarakat untuk memilih dirinya. Golongan netral dalam hal ini bisa
juga menjadi golongan kepentingan dan penentu sekaligus. Oleh karena
tanda-tanda intensional bisa saja merupakan tipuan jika praktiknya tidak sesuai
dengan tanda yang diproduksinya. Tanda memang dapat mengungkapkan kebenaran
sekaligus kebohongan.
Ketika KPU
melakukan intervensi yang ‘berlebihan’ terhadap kertas suara – mendiskreditkan
kelompok kepentingan tertentu - dan
panwas membiarkan pelanggaran pilkada oleh parpol atau figure tertentu maka dengan begitu mereka bukan lagi golongan yang
netral tetapi telah menjadi golongan kepentingan dan penentu. Sehingga dengan
begitu tanda yang mereka produksi secara sadar adalah tanda yang digunakan
untuk berbohong.
III.
PARPOL-FIGUR,
DAN PEMILIH
Warna, corak,
slogan politik, lambang yang identik dengan partai akan melebur dengan
prestise, citra, slogan politik/budaya/agama, identitas kultural/sosial yang
melekat pada figure menjadi
representasi ideologis yang kompleks dalam poster, baliho, stiker, atau mediasi
apapun yang mengikatnya. Sehingga figure
(peserta) pilkada tergambar dalam mosaik kompleks (overcode) yang bukan lagi representasi dirinya sendiri. Tetapi ini
memang disengaja sebagai strategi politik pemenangan untuk merebut kekuasaaan.
Parpol dan figure akan menggunakan tanda-tanda
kultural dan agama – sebagai tanda tertinggi - untuk menimbulkan kesan yang
bermakna bahwa mereka adalah pemimpin ideal, pantas, dan harus menjadi
pemimpin. Selain money politic, faktor psikologis sangat
menentukan dalam suksesi kepentingan politik. Ini juga disebut sebagai politik
pencitraan untuk merebut simpati masyarakat pemilih. Parpol-figure, dan pemilih
memiliki relasi politik dalam kepentingan jangka pendek. Sementara parpol dan figure sendiri mempunyai relasi jangka
panjang dengan menciptakan tanda untuk merebut dominasi kekuasaan.
Warna (merah,
kuning, biru, ungu, hijau, dll) dalam politik adalah identitas partai yang
mempunyai makna provokatif. Ini membedakan warna sebagai tanda dalam konteks
lalu lintas (traffic light) di mana warna merah tanda
berhenti (larangan), kuning tanda hati-hati (himbauan), dan hijau tanda jalan
(kebebasan). Politik memberikan perspektif pada warna-warna tertentu sebagai
representasi keberpihakan, kejujuran,kerja keras, dan nilai-nilai religious. Corak
adalah tanda merujuk pada bentuk gambar
pada pakaian yang bisa merepresentasikan budaya dan watak kepemimpinan
tertentu. Misalnya ketika seorang figure
menggunakan pakaian bercorak batik itu memrepresentasikan bahwa dia mencintai
budaya nasional. Slogan politik yang bisa mengandung unsur budaya dan agama
juga menandai bahwa parpol atau figure memiliki wawasan budaya dan agama yang
akan berpengaruh pada kebijakan politiknya. Misalnya parpol dan figure mengutip ayat-ayat dalam kitab
suci atau ungkapan-ungkapan kuno – dengan menggunakan bahasa lokal - untuk melegitimasi posisinya sebagai kandidat.
Tanda yang tak
kalah sensitif dalam politik adalah identitas kultural yang merepresentasikan sentiment
kultural. Identitasi kultural berkaitan dengan jati diri kolektif masyarakat
menyangkut kepemilikan tanah (tanah adat), adat istiadat, dan kebijakan
politik. Isu ‘orang asing’ biasa digunakan parpol dan figure untuk menghantam kandidat lain. Oleh karena identitas
kultural merepresentasikan kelayakan menjadi pemimpin, penguasaan medan
politik, dan bisa juga dikatakan ‘merakyat. Feminisme juga bisa menjadi tanda
yang digunakan untuk kepentingan politik. Isu feminisme yang memperjuangkan
hak-hak perempuan cukup provokatif untuk menyatukan persepsi mayarakat pemilih
khususnya di kalangan organisasi perempuan.
Inilah fenomena tanda dalam dunia politik di
mana dia harus mengabdi pada kepentingan-kepentingan. Tanda dalam konteks ini
digunakan untuk ‘menipu’ dengan representasi kompleks terhadap partai dan figure. Dalam hal ini tanda menjadi
ironi dan kontradiktif terhadap dirinya sendiri ketika kenyataan perilaku
partai dan figure tidak
merepresentasikan tanda-tanda yang mereka buat.
IV.
MASYARAKAT
SEBAGAI INTERPRETAN
Jika masyarakat Minahasa
masih terjebak pada interpretasi tanda sesuai dengan konvensi[2]
maka sebetulnya mereka terjebak pada lingkaran politik yang tidak sehat. Oleh karena
dalam politik tanda-tanda seperti identitas keagamaan, kultural, warna, corak, dan
slogan politik/budaya/agama di gunakan untuk mendustai masyarakat demi
kepentingan meraih jabatan-jabatan tertentu. Pada kenyataannya secara umum
masyarakat telah mengetahui - walaupun
tidak dalam kesadaran diskursif – tentang pemanfaatan tanda-tanda tertentu
untuk kepentingan politik. Tetapi dalam dinamika politik ini terus berlangsung
dan terjadi secara berulang-ulang.
Masyarakat Minahasa
membutuhkan metode dekonstruksi[3]
terhadap tanda-tanda yang dimaknai secara konvensional. Agar supaya tidak terjebak
secara berkesinambungan pada politik tanda yang representasinya tidak sesuai
dengan realitas politik. Ini untuk memutus tradisi politik yang tidak sehat
karena masyarakat adalah interpretan tanda maka itu semua akan bergantung
padanya. Sebagai interpretan masyarakat juga memiliki fungsi penentu yang
sebenarnya terhadap legalitas politik.
Masyarakat pemilih
terbagi menjadi pemilih ideologis, oportunis, dan skeptic dalam merespon pilkada. Pemilih ideologis
adalah orang yang mengerti betul tentang orientasi partai dan kampanye politik
sehingga suaranya diberikan pada partai atau figure politik yang sesuai dengan ideologinya. Pemilih oportunis
adalah orang yang mengarahkan suaranya pada partai dan figure politik yang
berorientasi pada kepentingan jaminan posisi (jabatan) dan uang (money politic). Dan pemilih skeptic adalah orang yang telah mengalami
krisis kepercayaan dan apatis terhadap partai dan figure politik sehingga mereka bisa juga dikategorikan pemilih
mengambang dan golput.
Dari ketiga
jenis pemilih di atas yang sering terjebak pada tanda adalah pemilih ideologis
yang termakan janji-janji dari representasi yang dibuat oleh partai dan figure politik. Walaupun memang money
politik juga merupakan unsur yang berpengaruh dalam strategi pemenangan
politik. Tetapi mayoritas pemilih terjebak pada tanda yang memiliki
representasi ilusif sehingga proses politik di minahasa sebenarnya mengalami
dekadensi. Waktu dan citra bisa saja progresif tetapi esensi politik mengalami
degradasi. Ini mungkin wawasan politik kultural yang tidak berakar dalam
masyarakat sehingga etos politik kita merujuk pada kultur politik di luar
kebudayaan kita.
V.
QUO
VADIS MINAHASA
Kalau kondisi
politiknya seperti ini sebenarnya minahasa mau dibawa ke mana, arah dan
tujuannya? Minahasa telah melakukan subtitusi etos politik karena pengaruh
wawasan poltik dunia[4].
Sun-Tzu, Napoleon, Machiavelli, dan Cicero (dll) adalah referensi politik
partai dan figure di Minahasa sehingga
praktik politiknya merupakan imitasi dari kebudayaan di luar Minahasa (strange culture). Ini mengindikasikan Minahasa telah melupakan etos kebudayaan
seperti pandangan social, ekonomi, dan politik yang asli (origin culture).
Progresivitas politik
di Minahasa hanya bermain pada dua tataran yaitu tataran waktu dan tataran
citra. Waktu (time) dalam diskursus filsafat mungkin belum selesai dibahas atau
tidak mempunyai kesimpulan yang memuaskan tetapi prisnsipnya waktu tak pernah
berulang. Dia selalu progresif. Politik di Minahasa terus bergulir dan
progresif dalam tataran waktu tak peduli apakah mengalami peningkatan kualitas
yang esensial atau justru menurun (dekadensi dan degradasi). Kedua progresivitas
citra politik, masyarakat menikmati proses politik dalam citra yang berbeda
dari tahun-tahun sebelumnya. Misalnya saat ini kita bisa menikmasti kampanye
lewat audia-visual di internet dan channel TV atau baliho, sticker, brosur,
yang dirancang dengan menggunakan teknologi modern. Sementara progresivitas
kejujuran dan keadilan dalam proses politik dan menjalankan pemerintahan tidak
dilakukan dengan baik. Realitas politik di Minahasa adalah penyalagunaan
kekuasaan (abusement of power). Sehingga dialektika politik yang menonjol
bukanlah politik kultural tetapi merupakan imitasi dari negara dan bangsa lain.
Perlu adanya
gerakan pemaknaan kembali terhadap proses politik untuk mengevaluasi politik di
Minahasa apakah masih sesuai dengan semagat mapalus
yang merupakan hasil kebudayaan Minahasa atau justru etos politik Minahasa sekarang
ini telah digerogoti oleh wawasan dunia. Dengan demikian minahasa akan mampu
menganalisa dirinya sendiri apakah ‘masih utuh’ atau telah kehilangan
bagian-bagian tertentu dan telah tercemar.
[1]
Minahasa dalam tulisan ini tidak mengandung makna batas teritori politik tetapi
lebih pada kesatuan kultural sebagai suku bangsa. Oleh karena sekarang ini
minahasa telah dibagi dalam wilayah-wilayah politik kabupaten seperti Minahasa;
yang juga disebut Minahasa Induk, Minahasa Utara, dan Minahasa Selatan.
[2]
Semiotika struktural terjebak interpretasi tanda sesuai dengan makna
konvensional masyarakat yang kadang tidak sesuai dengan realitas politik. Misalnya
slogan politik yang berpihak pada rakyat kecil yang pada kenyataannnya hanya
untuk merekbut simpati masyarakat miskin yang dianggap mayoritas pemilih. Atau warna
agama dianggap sebagai representasi kesucian padahal parpol dan figure politik yang membawa isu agama
juga adalah praktisi korupsi, kolusi, dan nepotisme.
[3]
Istilah dalam postmodernisme yang dipopulerkan oleh Jacques Derrida sebagai
kritik terhadap strukturalisme Ferdinand De Saussure. Derrida mengemukakan
konsep pembeda (defferance) yang
tidak sama dengan konsep pembeda (defference)
de Saussure. Menurut derrida tanda mengalami proses penandaan terus menerus
sehingga tidak terstruktur menjadi penanda – petanda tetapi penanda – penanda. Artinya
tidak ada pemaknaan tunggal terhadap suatu tanda. Ini juga memiliki kesamaan
dengan konsep intertekstualitas Julia Kristeva dan kematian pengarang Roland Barthes.
[4]
Ini juga dipengaruhi penetrasi agama dan globalisasi yang merombak,
mengadaptasi, danmengganti struktur sosial. Dengan begitu terjadi amnesia
massal terhadap kebudayaan local karena dipandang rendah atau tidak sesuai denga
kepercayaan yang baru dianut.