halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Jumat, 23 November 2012

YESUS DAN NEPOTISME



(Renungan menyambut natal)
Ibu dan saudara-saudara Yesus datang kepada-Nya, tetapi mereka tidak dapat mencapai Dia karena orang banyak. Orang memberitahukan kepada-Nya: “Ibu-Mu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan ingin bertemu dengan Engkau.” Tetapi Ia menjawab mereka: “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya.”
Yesus – yang juga disebut kristus - terlepas dari diskursus teologi Kristen adalah tokoh revolusioner yang menentang imperialisme Romawi. Dia menyatukan sekte eseni dan zelot dalam menggalang kekuatan politiknya. Dari sudut pandang politik Yesus digambarkan sebagai tokoh idealis yang telah meninggalkan keluarga. Belajar dari nabi-nabi sebelumnya yang jatuh karena wanita Yesus memilih untuk hidup tanpa wanita. Yesus sendiri menekankan bahwa untuk menjadi muridnya tidak boleh ada ikatan lagi dengan keluarga. “Setiap orang yang siap untuk membajak tapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk kerajaan Allah.”
Uraian ini bukanlah usaha untuk melakukan pembenaran politik atau mengarah pada teologi kontekstual dalam menginterpretasi kisah Yesus tetapi untuk melihat lebih dalam tentang pribadi Yesus itu sendiri – atau mungkin dalam istilah postmodernisme disebut pastiche. Ataupun kalau tetap di-judge seperti itu mungkin juga sama seperti para pendeta yang mengutip ayat-ayat alkitab dan melakukan pembenaran untuk memperkaya diri. Artinya, harus ada kedewasaan mengkritik dan mengadakan introspeksi diri atau semacam kritik diri sendiri (self-critisme). Agar kita tak menuhankan diri kita sendiri dibalik ayat-ayat suci.
Pada awal tulisan ini dimulai dengan mengutip sebuah peristiwa ketika Yesus sedang mengajar dan tiba-tiba keluarganya datang untuk mengunjunginya. Peristiwa ini menunjukkan sesuatu yang sangat esensial tentang bagaimana menjadi seorang Kristen itu sendiri. Sebuah sikap Yesus menghadapi keluarga di tengah tugas dan aktivitasnya. Ini adalah peristiwa yang harusnya menjadi teladan bagi umat Kristen dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Dalam peristiwa ini Yesus menegaskan yang dianggap ibu dan saudara adalah orang yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya. Sebuah sikap yang tidak ingin berkompromi atau mendahulukan keluarga dalam aktivitasnya baik dilihat dari sudut pandang kenabiannya atau seorang revolusioner.
Yesus dalam hal ini telah memberi sebuah teladan bahwa sebagai seorang pimpinan institusi, organisasi, atau pegawai negeri sipil serta yang mempunyai kekuasaan tertentu tidak seharusnya menggunakan prinsip mendahulukan kepentingan dan kenyamanan keluarganya sendiri (nepotisme). Seorang aktivis bernama Soe Hok Gie juga pernah mengatakan hal yang menggambarkan bagaimana mahasiswa itu berlaku. “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain.” Ini menunjukkan sebuah ironi identitas dari segi perjuangan politik mahasiswa. Di mana di satu sisi mahasiswa menentang nepotisme tapi di sisi lain mereka juga adalah praktisi nepotisme. Memang dewasa ini banyak juga umat Kristen yang tidak menyadari akan hal ini. Oleh karena realitas social telah menunjukkan banyak organisasi Kristen yang justru sangat marak mempraktikan nepotisme.
Jika seandainya sikap tegas seperti Yesus kita bawa dalam identitas kita sebagai seseorang yang mempunyai kuasa untuk menentukan atau mengambil keputusan dalam instansi tertentu maka persoalan kualitas politik, ekonomi dan pendidikan di negara kita mungkin bisa lebih maju. Kita tidak akan mendahulukan ayah, ibu, anak, saudara, kerabat, teman, dan kolega dalam penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) contohnya dan juga dalam instansi lainnya yang sebenarnya mengutamakan prinsip profesionalitas untuk kepentingan ornag banyak. Tapi bagaimanakah jika dalam tubuh agama Kristen itu sendiri banyak praktik nepotisme yang justru adalah sumber teladan anti nepotisme? Agama sebenarnya mempunyai tanggung jawab moral politik pemerintahan sebagai fungsi sosialnya. Tetapi jika moral agama itu sendiri tidak baik bagaimana pula dengan moral politik pemerintahan.
Sekiranya sikap Yesus disadari dengan baik dan aplikatif maka itu bisa berdampak pada perubahan dalam pemerintahan khususnya di daerah mayoritas Kristen. Kita bisa sedikit memodifikasi dengan mengatakan bahwa ibu dan saudara-saudaraku adalah mereka yang berideologi Pancasila dan menjalankan amanat UUD 1945. Sehingga yang benar-benar diutamakan adalah identitas sebagai bangsa dan negara bukan berdasarkan suku, ras, agama, golongan, kerabat, kolega dan clan. Iklim politik yang anti nepotisme sedikitnya akan menegakkan profesionalitas dan mendorong kualitas. Mungkin hanya berdasarkan ini kita bisa menciptakan etos sosial yang mampu mendorong warga negara untuk mengamalkan Pancasila dan menjalankan amanat UUD 1945.
Akhirnya kita harus sampai pada pertanyaan jika agama adalah sumber ajaran moral terus ke mana semua ajaran itu. Mengapa kondisi sosial kita hancur lebur seakan tanpa ajaran moral yang mengatur tingkah laku kita dalam konteks konvensi? Apakah para pendeta kurang memahami isi kitab suci atau mereka telah kehilangan kemampuan retoris untuk membentuk moral dan tingkah laku masyarakat? Ataukah manusia kini telah benar-benar tenggelam dalam suasana posmo Derridarian dalam zaman di mana telah terjadi kematian makna?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar