(Renungan menyambut natal)
Ibu dan saudara-saudara Yesus datang
kepada-Nya, tetapi mereka tidak dapat mencapai Dia karena orang banyak. Orang
memberitahukan kepada-Nya: “Ibu-Mu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan ingin
bertemu dengan Engkau.” Tetapi Ia menjawab mereka: “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku
ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya.”
Yesus
– yang juga disebut kristus - terlepas dari diskursus teologi Kristen adalah
tokoh revolusioner yang menentang imperialisme Romawi. Dia menyatukan sekte eseni dan zelot dalam menggalang kekuatan politiknya. Dari sudut pandang
politik Yesus digambarkan sebagai tokoh idealis yang telah meninggalkan
keluarga. Belajar dari nabi-nabi sebelumnya yang jatuh karena wanita Yesus memilih
untuk hidup tanpa wanita. Yesus sendiri menekankan bahwa untuk menjadi muridnya
tidak boleh ada ikatan lagi dengan keluarga. “Setiap orang yang siap untuk membajak tapi menoleh ke belakang, tidak
layak untuk kerajaan Allah.”
Uraian
ini bukanlah usaha untuk melakukan pembenaran politik atau mengarah pada
teologi kontekstual dalam menginterpretasi kisah Yesus tetapi untuk melihat
lebih dalam tentang pribadi Yesus itu sendiri – atau mungkin dalam istilah
postmodernisme disebut pastiche.
Ataupun kalau tetap di-judge seperti
itu mungkin juga sama seperti para pendeta yang mengutip ayat-ayat alkitab dan
melakukan pembenaran untuk memperkaya diri. Artinya, harus ada kedewasaan
mengkritik dan mengadakan introspeksi diri atau semacam kritik diri sendiri (self-critisme).
Agar kita tak menuhankan diri kita sendiri dibalik ayat-ayat suci.
Pada
awal tulisan ini dimulai dengan mengutip sebuah peristiwa ketika Yesus sedang
mengajar dan tiba-tiba keluarganya datang untuk mengunjunginya. Peristiwa ini
menunjukkan sesuatu yang sangat esensial tentang bagaimana menjadi seorang
Kristen itu sendiri. Sebuah sikap Yesus menghadapi keluarga di tengah tugas dan
aktivitasnya. Ini adalah peristiwa yang harusnya menjadi teladan bagi umat
Kristen dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Dalam peristiwa ini
Yesus menegaskan yang dianggap ibu dan saudara adalah orang yang mendengarkan
firman Allah dan melakukannya. Sebuah sikap yang tidak ingin berkompromi atau
mendahulukan keluarga dalam aktivitasnya baik dilihat dari sudut pandang
kenabiannya atau seorang revolusioner.
Yesus
dalam hal ini telah memberi sebuah teladan bahwa sebagai seorang pimpinan
institusi, organisasi, atau pegawai negeri sipil serta yang mempunyai kekuasaan
tertentu tidak seharusnya menggunakan prinsip mendahulukan kepentingan dan
kenyamanan keluarganya sendiri (nepotisme). Seorang aktivis bernama Soe Hok Gie
juga pernah mengatakan hal yang menggambarkan bagaimana mahasiswa itu berlaku. “Masih terlalu banyak mahasiswa yang
bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.
Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain.” Ini
menunjukkan sebuah ironi identitas dari segi perjuangan politik mahasiswa. Di
mana di satu sisi mahasiswa menentang nepotisme tapi di sisi lain mereka juga
adalah praktisi nepotisme. Memang dewasa ini banyak juga umat Kristen yang
tidak menyadari akan hal ini. Oleh karena realitas social telah menunjukkan
banyak organisasi Kristen yang justru sangat marak mempraktikan nepotisme.
Jika
seandainya sikap tegas seperti Yesus kita bawa dalam identitas kita sebagai
seseorang yang mempunyai kuasa untuk menentukan atau mengambil keputusan dalam
instansi tertentu maka persoalan kualitas politik, ekonomi dan pendidikan di
negara kita mungkin bisa lebih maju. Kita tidak akan mendahulukan ayah, ibu,
anak, saudara, kerabat, teman, dan kolega dalam penerimaan pegawai negeri sipil
(PNS) contohnya dan juga dalam instansi lainnya yang sebenarnya mengutamakan
prinsip profesionalitas untuk kepentingan ornag banyak. Tapi bagaimanakah jika
dalam tubuh agama Kristen itu sendiri banyak praktik nepotisme yang justru
adalah sumber teladan anti nepotisme? Agama sebenarnya mempunyai tanggung jawab
moral politik pemerintahan sebagai fungsi sosialnya. Tetapi jika moral agama
itu sendiri tidak baik bagaimana pula dengan moral politik pemerintahan.
Sekiranya
sikap Yesus disadari dengan baik dan aplikatif maka itu bisa berdampak pada
perubahan dalam pemerintahan khususnya di daerah mayoritas Kristen. Kita bisa
sedikit memodifikasi dengan mengatakan bahwa ibu dan saudara-saudaraku adalah mereka yang berideologi Pancasila dan
menjalankan amanat UUD 1945. Sehingga yang benar-benar diutamakan adalah
identitas sebagai bangsa dan negara bukan berdasarkan suku, ras, agama,
golongan, kerabat, kolega dan clan.
Iklim politik yang anti nepotisme sedikitnya akan menegakkan profesionalitas
dan mendorong kualitas. Mungkin hanya berdasarkan ini kita bisa menciptakan
etos sosial yang mampu mendorong warga negara untuk mengamalkan Pancasila dan
menjalankan amanat UUD 1945.
Akhirnya
kita harus sampai pada pertanyaan jika agama adalah sumber ajaran moral terus
ke mana semua ajaran itu. Mengapa kondisi sosial kita hancur lebur seakan tanpa
ajaran moral yang mengatur tingkah laku kita dalam konteks konvensi? Apakah
para pendeta kurang memahami isi kitab suci atau mereka telah kehilangan
kemampuan retoris untuk membentuk moral dan tingkah laku masyarakat? Ataukah
manusia kini telah benar-benar tenggelam dalam suasana posmo Derridarian dalam
zaman di mana telah terjadi kematian makna?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar