halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Jumat, 16 November 2012

KAMPANYE ‘BRENTI JO BAGATE’ DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI, KULTURAL, DAN EKONOMI


Karena krisis kepercayaan yang melanda bangsa dan negara ini maka apapun produk pemerintah selalu dicurigai dan mendapat negasi atau penolakan dari masyarakat (khususnya kaum intelektual). Produk pemerintah diidentikan  dengan produk kapitalisme - ataupun neoliberlisme dalam istilah tren nya – karena pemerintah dipandang sebagai kakitangan neoliberlisme, pelindung kepentingan pemodal, dan sarang borjuasi sehingga tidak heran bahwa semua produk pemerintah dalam sudut pandang kalangan aktifis memiliki ‘tujuan ganda’ atau intensi kepentingan yang lain. Dengan menggunakan berbagai perspektif dan teori, kebijakan pemerintah dinilai sebagai usaha untuk menindas (abusement of power) yang dikaburkan dengan slogan-slogan perubahan.
Ada konvensi - barangkali juga sesuai dengan statistik - dalam lingkungan penegak hukum bahwa kriminalitas kebanyakan disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan. Jadi kemudian dalam hal ini alkohol menjadi kambing hitam terhadap perilaku manusia yang melanggar hukum. Itu karena memang alat sensoris manusia akan melemah ketika mengkonsumsi sesuatu yang mengandung zat dopamine. Dalam kondisi ini manusia bisa melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang atau justru dipengaruhi alam bawah sadar. Sesuai dengan pandangan Freudian bahwa kondisi alam bawah sadar adalah dunia fantasi dan motif negatif yang selalu dicegah oleh alat sensoris manusia untuk muncul ke permukaan. Itu bisa saja seperti dendam, makian, sadisme, dan lain sebagainya.
Karikatur oleh Heven Karisoh
Dalam kacamata krimonologi motif kejahatan sering dipengaruhi oleh masalah latar belakang lingkungan sosial, seperti masalah keluarga (brokenhome), rendahnya tingkat intelektualitas (wawasan moral), ataupun bisa saja karena faktor genetis! Tetapi dalam perspektif marxis, kecuali yang terakhir, semua itu berakar dari  persoalan ekonomi. Misalnya karena tidak mempunyai biaya sekolah maka seseorang secara otomatis tidak mempunyai wawasan moral yang utuh. Dengan begitu dia membentuk sebuah perkumpulan brandalan ataupun menjadi pembunuh bayaran. Atau dalam contoh lain sebuah sengketa yang akhirnya menelan korban yang pada intinya adalah persoalan mendapat keuntungan lebih.
Kampanye ‘brenti jo bagate’ yang mungkin semata-mata tujuannya hanya untuk meminimalisir angka kriminalitas telah diinterpretasikan lebih jauh daripada itu. Oleh karena melihat peluang dan kemungkinan dari kebijakan ini. Seandainya operasi KAMTIBMAS berdasarkan slogan ini dijalankan maka sasaran utama yang akan dihantam adalam distributor Cap Tikus[1]. Oleh karana minuman ini (cap tikus) adalah minuman beralkohol yang paling banyak dijual, dikonsumsi dan diminati orang banyak di Minahasa dan bahkan pun di Sulawesi Utara. Dalam teori ekonomi konsumen, distributor, dan produsen adalah unsur-unsur yang salaing berhubungan. Jika seandainya analisa kriminalitas dilihat dari relasi ini maka yang akan masuk target operasi bukan hanya pemabuk (consumen), penjual (distributor), tetapi juga petani cap tikus (producen). Bahkan lebih jauh lagi pong seho (pohon enau) sebagai tanaman penghasil air nira (saguer, tombal) yang disuling menjadi cap tikus terancam dimusnakan jika menggunakan teori relasi dalam kriminologi. Ini persis terjadi di Amerika Latin ketika tanaman marijuana dan kokain dimusnakan oleh pemerintah dengan isu opium perusak generasi muda. Padahal tanaman itu mempunyai nilai kultural  dan ekonomi[2] dalam masyarakat setempat. Karena tanaman itu tidak bertujuan digunakan untuk dalam jumlah melebihi kebutuhan dan di samping itu juga berguna dalam praktik kedokteran.
Kampanye kepolisian ini sangat dilematis dilihat dari perspektif kriminologis, kultural, dan ekonomi. Dari perspektif kriminologi ini adalah usaha menekan angka kriminalitas tetapi itu dibenturkan dengan perspektif budaya dan ekonomi. Cap tikus dipandang sebagai minuman hasil kearifan orang Minahasa jadi bisa dikategorikan itu adalah minuman budaya. Hampir di setiap acara (pesta pribadi), hari raya (pesta kolektif), minuman ini selalu menjadi sajian utama. Walaupun minuman ini tidak berlabel resmi dan memenuhi standar kesehatan sesuai aturan tetapi dalam kesadaran masyarakat cap tikus masih lebih baik dari pada minuman botol yang berlabel. Oleh karena pengolahan tradisional lebih dapat dipercaya daripada yang modern. Dengan landasan ini pula ada yang menginterpretasikan bahwa ‘brenti jo bagate’ adalah usaha memberangus minuman lokal karena tidak memiliki hak paten dan tidak memenuhi standar kesehatan. Jadi otomatis minuman bermerek terus dijual sementara cap tikus diberangus. Dari persektif ekonomi cap tikus adalah komoditas yang membantu para petani cap tikus untuk meningkatkan ekonomi keluarga dan membiayai anak-anak mereka mendapat pendidikan yang tinggi. Kenyataan sosial ini yang akhirnya berbenturan dengan kampanye ‘brenti jo bagate’ dari Polda Sulut yang nampaknya sangat dilematis.
Sebenarnya krisis kepercayaan adalah dasar pembangunan (establishement) paradigma kritis dan dekonstrukif terhadap momok kebijakan pemerintah (government policy). Kegagalan pemerintah dalam memberikan teladan membuat masyarakat menjadi pesimis terhadap kebijakan pemerintah itu sendiri. Kenyataannya lembaga negara dari eksekutif, legislatif, yudikatif, sampai inspektif mempunyai skandal-skandal politik. Ini dilihat sebagai ironi dalam menjalankan pemerintahan. Kecacatan fungsional, praktik politik tidak sehat, tirani politik, politik uang, dan penyalahgunaan kekuasaan semuanya itu membentuk momok negara yang hancur lebur. Kadar nasionalisme warga negara tereduksi dengan persoalan bangsanya sendiri. Orientasi warga negara sebagian besar adalah penyelamatan diri dan inilah yang membudaya sekarang yaitu prinsip individualisme agresif. Ini adalah budaya baru dalam masyarakat kita di mana sesama manusia dijadikan korban demi mendapat keuntungan diri.
Pemerintah harus mengadakan evaluasi dan koreksi habis-habisan terhadap dirinya (dalam pengertian institusi). Sehingga produk pemerintah tidak selalu dipandang bertujuan ganda ataupun ada maksud terselubung. Oleh karena dewasa ini masyarakat kita terkondisi dalam tradisi berpikir kritis dan dekonstrutif karena wawasan tentang teori-teori yang semeraut di toko buku dan perpustakaan serta kenyataan sosial yang menunjang semangat aplikatif terhadap teori-teori itu. Tak dapat dipungkiri bahwa kita sebenarnya sementara diadudomba dalam tingkatan isu yang akhirnya membuat kita  baku hantam dalam kesemerautan.


[1] Minuman ini dahulu tak memiliki nama (anonim) tetapi karena keserampangan masyarakat maka terciptalah nama ini. Ceritanya, ketika minuman ini diproduksi dalam jumlah yang besar karena sebagian di ekspor maka minuman ini ditempatkan di gudang dalam tong-tong yang besar dan banyak jumlahnya. Biasanya dalam gudang pasti ada binatang penghuni dan tak lain dan yang tak pernah luput adalah tikus. Tikus-tikus gudang ini kebanyakan terjebak dalam tong-tong yang berisi minuman beralkohol ini. Ketika ada orang bertanya tentang nama atau merek minuman ini maka distributornya menyebutnya cap tikus. Ini sebenarnya adalah akal-akalan distributor yang mengacu pada tikus-tikus yang terjebak dalam tong yang berisi alkohol hasil sulingan dari air nira. Pada waktu itu juga karena ada beberapa komoditas yang bermerek cap gajah, cap lang, cap kaki tiga, dan cap kucing.
[2]Kokain bagi masyarakat Amerika Latin khususnya di Bolivia digunakan untuk menghilangkan rasa lelah karena pekerjaan yang berat tetapi lebih dari itu bisa dijual untuk kebutuhan medis. Sebenarnya baik buruknya sesuatu tinggal pada persoalan cara kita menggunakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar