Karena
krisis kepercayaan yang melanda bangsa dan negara ini maka apapun produk
pemerintah selalu dicurigai dan mendapat negasi atau penolakan dari masyarakat
(khususnya kaum intelektual). Produk pemerintah diidentikan dengan produk kapitalisme - ataupun neoliberlisme
dalam istilah tren nya – karena
pemerintah dipandang sebagai kakitangan neoliberlisme, pelindung kepentingan
pemodal, dan sarang borjuasi sehingga tidak heran bahwa semua produk pemerintah
dalam sudut pandang kalangan aktifis memiliki ‘tujuan ganda’ atau intensi
kepentingan yang lain. Dengan menggunakan berbagai perspektif dan teori,
kebijakan pemerintah dinilai sebagai usaha untuk menindas (abusement of power) yang dikaburkan dengan
slogan-slogan perubahan.
Ada
konvensi - barangkali juga sesuai dengan statistik - dalam lingkungan penegak hukum
bahwa kriminalitas kebanyakan disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan.
Jadi kemudian dalam hal ini alkohol menjadi kambing hitam terhadap perilaku
manusia yang melanggar hukum. Itu karena memang alat sensoris manusia akan
melemah ketika mengkonsumsi sesuatu yang mengandung zat dopamine. Dalam kondisi ini manusia bisa melakukan sesuatu tanpa berpikir
panjang atau justru dipengaruhi alam bawah sadar. Sesuai dengan pandangan
Freudian bahwa kondisi alam bawah sadar adalah dunia fantasi dan motif negatif
yang selalu dicegah oleh alat sensoris manusia untuk muncul ke permukaan. Itu
bisa saja seperti dendam, makian, sadisme, dan lain sebagainya.
Karikatur oleh Heven Karisoh |
Dalam
kacamata krimonologi motif kejahatan sering dipengaruhi oleh masalah latar
belakang lingkungan sosial, seperti masalah keluarga (brokenhome), rendahnya tingkat intelektualitas (wawasan moral),
ataupun bisa saja karena faktor genetis! Tetapi dalam perspektif marxis,
kecuali yang terakhir, semua itu berakar dari
persoalan ekonomi. Misalnya karena tidak mempunyai biaya sekolah maka
seseorang secara otomatis tidak mempunyai wawasan moral yang utuh. Dengan
begitu dia membentuk sebuah perkumpulan brandalan ataupun menjadi pembunuh
bayaran. Atau dalam contoh lain sebuah sengketa yang akhirnya menelan korban
yang pada intinya adalah persoalan mendapat keuntungan lebih.
Kampanye
‘brenti jo bagate’ yang mungkin
semata-mata tujuannya hanya untuk meminimalisir angka kriminalitas telah
diinterpretasikan lebih jauh daripada itu. Oleh karena melihat peluang dan
kemungkinan dari kebijakan ini. Seandainya operasi KAMTIBMAS berdasarkan slogan
ini dijalankan maka sasaran utama yang akan dihantam adalam distributor Cap Tikus[1].
Oleh karana minuman ini (cap tikus) adalah minuman beralkohol yang
paling banyak dijual, dikonsumsi dan diminati orang banyak di Minahasa dan
bahkan pun di Sulawesi Utara. Dalam teori ekonomi konsumen, distributor, dan
produsen adalah unsur-unsur yang salaing berhubungan. Jika seandainya analisa
kriminalitas dilihat dari relasi ini maka yang akan masuk target operasi bukan
hanya pemabuk (consumen), penjual (distributor), tetapi juga petani cap tikus
(producen). Bahkan lebih jauh lagi pong seho
(pohon enau) sebagai tanaman penghasil air nira (saguer, tombal) yang
disuling menjadi cap tikus terancam dimusnakan jika menggunakan
teori relasi dalam kriminologi. Ini persis terjadi di Amerika Latin ketika
tanaman marijuana dan kokain dimusnakan oleh pemerintah dengan
isu opium perusak generasi muda. Padahal tanaman itu mempunyai nilai
kultural dan ekonomi[2]
dalam masyarakat setempat. Karena tanaman itu tidak bertujuan digunakan untuk
dalam jumlah melebihi kebutuhan dan di samping itu juga berguna dalam praktik
kedokteran.
Kampanye
kepolisian ini sangat dilematis dilihat dari perspektif kriminologis, kultural,
dan ekonomi. Dari perspektif kriminologi ini adalah usaha menekan angka
kriminalitas tetapi itu dibenturkan dengan perspektif budaya dan ekonomi. Cap tikus
dipandang sebagai minuman hasil kearifan orang Minahasa jadi bisa dikategorikan
itu adalah minuman budaya. Hampir di setiap acara (pesta pribadi), hari raya
(pesta kolektif), minuman ini selalu menjadi sajian utama. Walaupun minuman ini
tidak berlabel resmi dan memenuhi standar kesehatan sesuai aturan tetapi dalam
kesadaran masyarakat cap tikus masih lebih baik dari pada minuman
botol yang berlabel. Oleh karena pengolahan tradisional lebih dapat dipercaya
daripada yang modern. Dengan landasan ini pula ada yang menginterpretasikan
bahwa ‘brenti jo bagate’ adalah usaha
memberangus minuman lokal karena tidak memiliki hak paten dan tidak memenuhi
standar kesehatan. Jadi otomatis minuman bermerek terus dijual sementara cap tikus
diberangus. Dari persektif ekonomi cap
tikus adalah komoditas yang membantu
para petani cap tikus untuk meningkatkan ekonomi keluarga dan membiayai anak-anak
mereka mendapat pendidikan yang tinggi. Kenyataan sosial ini yang akhirnya
berbenturan dengan kampanye ‘brenti jo bagate’
dari Polda Sulut yang nampaknya sangat dilematis.
Sebenarnya
krisis kepercayaan adalah dasar pembangunan (establishement) paradigma kritis dan dekonstrukif terhadap momok
kebijakan pemerintah (government policy). Kegagalan pemerintah dalam
memberikan teladan membuat masyarakat menjadi pesimis terhadap kebijakan
pemerintah itu sendiri. Kenyataannya lembaga negara dari eksekutif, legislatif,
yudikatif, sampai inspektif mempunyai skandal-skandal politik. Ini dilihat
sebagai ironi dalam menjalankan pemerintahan. Kecacatan fungsional, praktik
politik tidak sehat, tirani politik, politik uang, dan penyalahgunaan kekuasaan
semuanya itu membentuk momok negara yang hancur lebur. Kadar nasionalisme warga
negara tereduksi dengan persoalan bangsanya sendiri. Orientasi warga negara
sebagian besar adalah penyelamatan diri dan inilah yang membudaya sekarang
yaitu prinsip individualisme agresif. Ini adalah budaya baru dalam masyarakat
kita di mana sesama manusia dijadikan korban demi mendapat keuntungan diri.
Pemerintah
harus mengadakan evaluasi dan koreksi habis-habisan terhadap dirinya (dalam
pengertian institusi). Sehingga produk pemerintah tidak selalu dipandang
bertujuan ganda ataupun ada maksud terselubung. Oleh karena dewasa ini
masyarakat kita terkondisi dalam tradisi berpikir kritis dan dekonstrutif
karena wawasan tentang teori-teori yang semeraut di toko buku dan perpustakaan
serta kenyataan sosial yang menunjang semangat aplikatif terhadap teori-teori
itu. Tak dapat dipungkiri bahwa kita sebenarnya sementara diadudomba dalam
tingkatan isu yang akhirnya membuat kita
baku hantam dalam kesemerautan.
[1]
Minuman ini dahulu tak memiliki nama (anonim)
tetapi karena keserampangan masyarakat maka terciptalah nama ini. Ceritanya,
ketika minuman ini diproduksi dalam jumlah yang besar karena sebagian di ekspor
maka minuman ini ditempatkan di gudang dalam tong-tong yang besar dan banyak
jumlahnya. Biasanya dalam gudang pasti ada binatang penghuni dan tak lain dan
yang tak pernah luput adalah tikus. Tikus-tikus gudang ini kebanyakan terjebak
dalam tong-tong yang berisi minuman beralkohol ini. Ketika ada orang bertanya
tentang nama atau merek minuman ini maka distributornya menyebutnya cap tikus.
Ini sebenarnya adalah akal-akalan distributor yang mengacu pada tikus-tikus
yang terjebak dalam tong yang berisi alkohol hasil sulingan dari air nira. Pada
waktu itu juga karena ada beberapa komoditas yang bermerek cap gajah, cap lang,
cap kaki tiga, dan cap kucing.
[2]Kokain
bagi masyarakat Amerika Latin khususnya di Bolivia digunakan untuk
menghilangkan rasa lelah karena pekerjaan yang berat tetapi lebih dari itu bisa
dijual untuk kebutuhan medis. Sebenarnya baik buruknya sesuatu tinggal pada
persoalan cara kita menggunakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar