halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Selasa, 26 Juli 2011

SEKELUMIT SEJARAH TENTANG DESA LALUMPE


A.      PENDAHULUAN
Ventje Onibala
Sejarah berkaitan dengan identitas atau jati diri kita. Kehilangan sejarah sama seperti kehilangan identitas dan jati diri. Karena sejarah menyimpan banyak hal yang menyangkut ciri khas manusia. Masyarakat yang telah melupakan sejarahnya tidak lagi mempunyai tumpuan budaya yang jelas. Mereka akan senantiasa terombang-ambingkan dalam arus modernism yang menuntut mereka bagaimana seharusnya berpikir dan berperilaku. Karena daya tarik modernism selalu menghipnosis masyarakat dengan prinsip kebebasan berekspresinya. Ada beberapa hal yang sangat menonjol dalam modernism di antaranya seks, kebebasan individual, dan kebebasan media.
Kebudayaan Minahasa yang telah digerogoti oleh modernism nyaris punah dan tak mendapat penghargaan dari kebanyakan masyarakatnya sendiri. Ini diakibatkan oleh karena sejarah minahasa yang biasanya diwariskan secara lisan oleh orang tua telah terputus pada beberapa generasi sebelum kita yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dalam pendidikan formal banyak terjadi pengabaian terhadap kebudayaan kita sendiri. Contohnya ketika kita lebih diajar untuk cepat berbahasa inggris dari pada bahasa tountemboan, toulour, atau tombulu dan lebih mengikuti konsep-konsep pemerintahan yunani daripada konsep mapalus. Pendidikan yang menjadi pusat kebudayaan seharusnya lebih peka terhadap nilai-nilai cultural suatu bangsa yang patutu untuk dilestarikan.
Dengan landasan pemikiran di atas penulis merasa terpanggil untuk menulis sejarah desa Lalumpe walaupun hanya sedikit sekali. Mengahadapi tantangan ekonomi dan budaya internasional maka kita harus mempunyai komitmen bersama untuk melestarikan budaya kita. Karena sesungguhnya tidak ada yang inferior atau superior dalam budaya; yang membuat budaya bangsa lain merosot adalah pengaruh penakhlukan dan penjajahan. Kita harus berbangga akan jati diri kita dan mempunyai kesadaran akan tanggung jawab social untuk melestarikan budaya sendiri sebagai karakter masyarakat.
Yang harus kita akui bahwa beberapa generasi muda kita sekarang lebih suka budaya barat yang ditampilkan dalam media massa ataupun media elektronik daripada mencari tahu tentang sejarah bangsanya sendiri. Pemikiran dan perilaku generasi muda kita telah dibentuk sedemikian rupa sehingga telah mengabaikan nila-nilai kultural bangsanya sendiri. Tugas dari kaum intelektual atau kaum yang memiliki kesadaran adalah mengusahakan agar kebudayaannya tidak hilang ditelan zaman. Kita harus berani berjuang untuk menggali kembali dan melestarikan budaya kita. Perjuangan kita bukanlah perjuangan politis, fasis, atau etnosentris tetapi perjuangan kita lebih berkaitan dengan harga diri. Dalam konteks globalisasi harga diri kita sementara dipertaruhkan tinggal dari kita sendiri yang memutuskan apakah kita akan menghargai nilai-nilai cultural kita atau memudar dalam arus globalisasi.
Modernism dan globalisasi memang tidak harus ditolak secara total tetapi kita harus menjadi selektif dalam melihat nilai-nilai yang dikandungnya. Hal yang positif perlu kita terima dan kembangkan sementara yang menggerogoti budaya harusnya kita kesampingkan. 
B.      ASAL MULA
Ada hubungan yang erat kaitannya antara desa Lalumpe, Raanan Lama, Kroit, Raanan Baru, Tondei, Motoling dan desa-desa lain yang berada di sekitar Gunung Lolombulan dan Kuala Ranoyapo. Oleh karena masyarakatnya berkembang dari tempat yang disebut Mawale[1]. Mawale merupakan perkampungan tua yang terletak di antara gunung Lolombuan dan Sinonsayang. Tempat ini dulunya hanyalah tempat persinggahan tetapi kemudian menjadi perkampungan. Oleh karena ada ancaman wabah penyakit dan ancaman orang-orang Mangindanau[2] maka sebagian orang-orang desa berpindah di tempat yang sekarang disebut Raanan Lama. Dari sini orang-orangnya menyebar ke tempat-tempat lain dan mendirikan perkampungan sendiri.
                Lalumpe pada tahun 1866 hanyalah daerah  perkebunan milu, kopi, dan padi dari beberapa keluarga dari Raanan yang kemudian menetap dan mendirikan rumah. Yohanis Rumengan[3] adalah salah satu orang yang mempunyai perkebunan di daerah ini. Nama Lalumpe diambil dari jenis tanaman kayu yang kebetulan banyak tumbuh di daerah ini. Tetapi ada satu kayu lalumpe yang ukurannya sangat besar yang teletak di tengah kampung ini yang memiliki kekuatan mitis. Oleh karena pernah ditebang oleh warga sampai kira-kira 20 cm sisanya tapi tidak tumbang atau roboh.
                Dalam kebudayaan orang minahasa untuk menguji kelayakan suatu tempat untuk didiami biasanya diadakan suatu upacara yang disebut tumani. Tumani adalah upacara untuk meminta petunjuk pada opo wananatas tentang kelayakan suatu tempat untuk didiami. Biasanya yang digunakan dalam upacara ini adalah lidi rumput arau, – sejenis tanaman paku –  kure’[4] dan mendengar bunyi burung manguni[5]. Setiap mendengar bunyi burung manguni lidi rumput arau harus dipatahkan sampai 99 kali kemudian semua patahan lidi rumput arau diisi dalam kure’ dan dikubur dalam tanah; selesai itu diadakan pesta. Jika bunyi burung manguni tidak mencapai 99 kali maka tempat itu tidak layak untuk didiami[6]. Tetapi praktik kebudayaan ini tidak sempat diterapkan dalam menguji kelayakan pemukiman desa Lalumpe.
                Pada tahun 1911 atas dasar mandat Hukum Tua Raanan  maka Yohanis Rumengan ditunjuk sebagai kumisi untuk memeriksa kelayakan lalumpe untuk didirikan pemukiman .Di masa Rumengan – yang juga disebut sebagai perintis desa Lalumpe –  pemerintahannya masih satu dengan Raanan. Sebenarnya pemrakarsa desa ini ada beberapa orang di antaranya Tambaani, Rumengan, Tambun, dan Pandeyate.  Rumengan merupakan kapala jaga di desa Raanan[7]. Suatu waktu ketika Rumengan tidak sepakat dengan pemerintahan Hukum Kedua Kusoy maka mereka lari ke perkebunan Lalumpe dan menetap. Sehingga awal mulanya juga kampung Lalumpe adalah tempat pelarian dari orang-orang yang tidak sepakat dengan pemerintah yang menyuruh kepada warga Raanan untuk berpindah ke suatu pemukiman yang sudah disediakan oleh pemerintah[8]. Yang ikut dengan Rumengan di antaranya ada yang bermarga Sengkey, Langi, Lumenta, dan Tambaani. Lalumpe pertama kali hanya diduduki oleh tujuh keluarga. Ketika pemerintah mengetahui tindakan Rumengan maka semua orang yang berada di Lalumpe dipanggil oleh Konterlur[9] untuk menghadap. Yang memimpin orang-orang ketika menghadap Konterlur adalah Rumengan. Pada tahun 1936 desa Raanan Lama terbagi atas jaga 1 yaitu lalumpe yang didominasi oleh jemaat GPDI, jaga 2 yang didominasi oleh jemaat Katolik, dan jaga 3 yang didominasi oleh jemaat GMIM.
                Pada tahun 1957 Hukum Besar oleh P. Lengkey[10] mengangkat Y. C. Palapa sebagai pejabat sementara di pemukiman Lalumpe ini dimaksudkan untuk persiapan menjadikan lalumpe sebagai desa yang otonom. Tetapi ketika pergolakan Permesta maka pemerintah pusat membom Tomohon karena diduga sebagai tempat persembunyian Sumual[11] dan ABRI turun sampai ke pelosok desa. Dengan terpaksa banyak warga masyarakat dan juga pejabat sementara yang ada di pemukiman Lalumpe pun mengungsi ke hutan. Dengan begitu pemukiman Lalumpe kembali di bawah kekuasaan Raanan Lama yang dipimpin oleh Hukum Tua Kewoh. Setelah keadaan aman kembali pada tahun 1965 diangkat Joseph Kumajas sebagai Hukum Tua.
C.      DESA LALUMPE DEFINITIF
Pada tahun 1967 diadakan pemilihan Hukum Tua yang baru dan Joseph Kumajas terpilih menjadi Hukum Tua definitive yang pertama[12]. Di tahun ini pula Lalumpe yang memiliki luas ± 1500 h dinyatakan secara sah menjadi desa yang terpisah dari Raanan Lama dan pemerintahan mandiri desa Lalumpe pun dimulai. Berikut ini adalah jajaran pemerintahan desa Lalumpe.

·         Joseph Kumajas  1965 – 1980
·         Sonny Sengkey  1980 – 1990
·         Ventje Onibala  1991 – 1999
·         Jerry Sengkey  1999 – 2006
·         Weliam Sengkey  2006 – ……

Setiap rejim pemerintahan mempunyai gayanya sendiri begitu pula dengan jajaran pemerintahan di atas pasti memiliki dialektika politiknya masing-masing.
D.      KAFIR DAN KEKRISTENAN
Ketika  kekristenan masuk di tanah Minahasa maka bangsa Minahasa di-judge atau dihakimi sebagai orang-orang kafir oleh karena belum mengenal injil. Dulunya orang Minahasa menyembah Opo Wananatas atau Opo Kasuruang sebagai tuhan mereka. Praktek kepercayaan animisme dan totemisme pun masih ada sampai sekarang. Kepercayaan terhadap opo’-opo’ dan wentel[13] - ada praktik kepercayaan yang bersifat positif dan ada juga yang negative; karena ada yang digunakan untuk penyembuhan terhadap penyakit kronis tetapi ada juga yang digunakan untuk mencelakai orang lain - masih bertahan walaupun tinggal sedikit saja. Misionaris Belanda yang datang di Minahasa berusaha mengikis agama kuno Minahasa dengan kekristenan.
Praktek semacam animisme dan totemisme pun pernah berlaku di masyarakat Lalumpe dan menjadi alat resistensi atau penolakan terhadap kekristenan. Para penginjil menghadapinya dengan membuat persamaan atau mengidentifikasi tempat-tempat local dengan tempat-tempat yang ada di alkitab. Misalnya Sungai Ranoyapo[14] adalah sungai tempat Yesus dibaptis dan Gunung Soputan adalah tempat lahirnya Adam dan Hawa. Penginjil pertama yang masuk adalah Pendeta Mundung dari Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang berasal dari Kumelembuai[15].  GMIM pertama di Lalumpe berjumlah 17 keluarga. Pantekosta masuk di Lalumpe pada tahun 1931 yang dibawa oleh Palapa dan pada tahun berikutnya terjadi mujizat ketika seorang tua-tua sidang pantekosta berdoa bersama rombongan mapalus. Waktu itu adalah musim kemarau yang panjang sehingga susah mendapat air ketika mereka berdoa maka muncullah mata air di lereng bukit. Air yang keluar dari lereng bukit itu kemudian dinamakan Air Mujizat[16].
Perkembangan penganut Pantekosta sangat pesat waktu itu sehingga ada istilah masa ‘peningkatan’ atau ‘cinta mula-mula’. Di masa itulah air mujizat terjadi oleh karena iman jemaat yang katanya walaupun tak makan sehari tidak merasa lapar ketika berada di dalam gereja. Tetapi pada tahun 1984 terjadi perpecahan dalam gereja Pantekosta (GPDI) karena konflik internal sehingga berdirilah GSPDI.
E.       KESADARAN PENDIDIKAN
Joseph Kumajas (1922 – 2003) adalah perintis perekonomian dan juga pendidikan di desa Lalumpe. Sebagai Hukum Tua pertama dia mampu membentuk perspektif masyarakat yang sadar akan pendidikan. Sehingga tidak heran kalau kita berkunjung ke desa Lalumpe dan memasuki rumah warga satu persatu maka kita akan menemukan foto wisuda hampir di setiap rumah. Anaknya yang bernama Mitel Kumajas juga mampu membawa nama Lalumpe dalam dalam dunia pendidikan di Universitas Negeri Manado. Pernah menjabat sebagai dekan Fakultas Ilmu Sosial dan sempat menjadi calon Rektor UNIMA.
Masyarakat desa Lalumpe yang sadar akan pendidikan mampu memproduksi sumber daya manusia yang memberi berkontribusi dalam dunia pendidikan, pemerintahan, politik, dan juga tenaga kerja yang lain. Walaupun pada kenyataannya lembaga pendidikan di desa Lalumpe hanyalah sekolah dasar (yayasan SDGP dan SD GMIM) tetapi ada kemauan masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Kesadaran pendidikan juga dalam masyarakat desa Lalumpe didorong juga oleh semangat kekristenan. Pada tahun 1965 dibuka sekolah dasar  di desa Lalumpe dan sekolah ini merupakan yayasan SDGP pertama di Indonesia. Pada waktu itu pun pihak gereja banyak mencari bantuan dari luar negeri (kompeisen) untuk membantu pendidikan warga desa. Sehingga pendidikan di desa ini pula tak lepas dari kekristenan.
F.       PENUTUP
Penulis menyadari bahwa tulisan ini memiliki banyak sekali kekurangan tetapi penulis tetap optimis bahwa langkah ini adalah sebuah kesadaran akan pentingnya nilai-nilai sejarah. Oleh karena sejarah merupakan identitas suatu bangsa. Kehilangan sejarah berarti kehilangan akan identitas atau jati diri kita yang sebenarnya. Penulis memang mengalami banyak kesulitan dalam menetapkan tahun dalam satu peristiwa oleh karena hampir setiap sumber memberikan keterangan yang berbeda tentang angka tahun. Penulis melakukan analisa dari semua sumber keterangan dan mencoba berlaku objektif dalam menulis sejarah ini.
Junaidi Rawis saat bercakap dengan warga desa
Harapan penulis kiranya tulisan ini boleh menjadi tumpuan bagi sejarahwan untuk melanjutkan penelitian agar mendapat kepastian sejarah. Biarlah sejarahwan nanti yang akan melakukan analisa kritis dan mencari bukti-bukti yang lebih valid untuk memperbaiki semua kekurangan yang ada dalam tulisan ini. Kiranya juga tulisan ini boleh bermanfaat bagi warga desa Lalumpe yang tidak lagi gemar bertanya dan mendengar kisah-kisah dari para tetua kita. Mungkin dengan membaca tulisan ini kita dapat menambah wawasan sejarah kita tentang desa Lalumpe yang kiranya boleh berguna dalam menghadapi tantangan global yang sedang mengikis identitas local/daerah kita.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih atau kerjasama dari orang-orang yang telah menjadi nara sumber yang dengan sabar meluangkan waktu untuk memberikan keterangan dalam menyusun sejarah desa Lalumpe. Terima kasih juga kepada pemerintah desa yang merespon baik upaya penulisan ini dan kepada warga desa yang telah menyambut kehadiran penulis dengan segala kekurangannya. Juga kepada Junaidi Rawis yang dengan setia menemani untuk mencari keterangan secara lisan dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah.




















Tete' Hermanus Lampah bersama istrinya









Tete' Andri Marthen Sengkey








tawa malu anak-anak










[1] Mawale adalah bahasa toutemboan yang terdiri dari ma menunjukkan suatu kegiatan atau gerak sedangkan wale artinya rumah. Jadi, secara etimologis mawale artinya gerak atau kegiatan membangun rumah. Tempat yang dirujuk ini berada di daerah barat desa Tondei yang tidak lagi diduduki oleh penduduk. Menurut Ventje Onibala (1949 - …..) gerak masyarakat awalnya dimulai dari desa Raanan (lama)
[2] Mangindanau adalah orang-orang Filipin yang datang menculik gadis-gadis di Mawale.
[3] Yohanis Rumengan lahir tahun 1866 dan meninggal di usia 97 tahun pada 25 November 1963. Istrinya bermarga Laloan. Rumengan-Laloan memiliki anak di antaranya bernama (laki-laki) Alfius, Paulus (menjadi gembala dan meninggal di Ranoyapo), Pilipus, Yustus, Andreas, (perempuan) Len dan Tin.
[4] Semacam kendi air atau guci.
[5] Dalam bahasa Indonesia jenis burung ini disebut burung hantu.
[6] Keterangan ini diperoleh dari Andri Marthen Sengkey (1935 - …..)
[7] Keterangan dari Hermanus Lampah (1931 - …..) Rumengan statusnya adalah meweteng dari Raanan. Keterangan yang sama pun didapat dari Ventje Onibala; kapala jaga waktu itu adalah Tambaani.
[8]Tempat pemukiman yang baru itu adalah yang sekarang menjadi Raanan Baru. Kebijakan pemerintah untuk memindahkan penduduk raanan karena di situ ternyata ada sumber minyak tanah. Masyarakat menggunakan minyak tanah hanya untuk kepentingan masyarakat karena mereka meyakini minyak tanah tersebut adalah pemberian apo-apo. Ada daya magis yang bisa mengindetifikasi kebutuhan minyak tanah masyarakat sehingga jika ada orang yang masih memiliki minyak tanah di rumah kemudian pergi mengambil minyak tanah maka itu hanya akan menjadi air biasa. Distribusi minyak tanah diatur oleh nene’ Remaya yang menggunakan daun woka (lolomei) untuk mengambil minyak tanah dan diisi dalam botol plesko. Kalau hanya menggunakan botol biasa hanya akan menjadi air biasa.
[9] Pada jaman hindia-belanda pemerintahan terbagi tiga yaitu pemerintahan zelfbestuur yang terpisah dari pemerntahan colonial; pemerintahan yang dipegang oleh orang pribumi yang dinamakan pangreh praja yang terdiri dari bupati, patih, wedana, dan asisten wedana; pemerintahan yang dipegang oleh orang belanda yang disebut benenland bestuur yaitu gubernur jendral, residen, asisten residen dan controleur. Mungkin kata controleur yang diacuh oleh pemberi keterangan. Pemerintahan ini bertempat di Amurang.
[10] Menurut Ventje Onibala (1949 - …..) yang menunjuk J. C. Palapa adalah Hukum Tua Raanan yaitu Poluakan.
[11]Ventje Sumual adalah pimpinan Permesta yang menentang pemerintah pusat  oleh karena sentralisasi pembangunan.
[12] Menurut keterangan Hermanus Lampah (1931 - ….) Hukum Tua pertama adalah Manuel Poluakan.
[13]Opo’-opo’ adalah kepercayaan kepada jiwa-jiwa leluhur atau orang-orang yang sudah mati yang diyakini masih mendampingi manusia. Wentel adalah benda seperti jimat yang diyakini bisa memberikan kekuatan seperti kebal terhadap benda tajam. Kepercayaan kuno yang bersifat negative dinamakan ma’diara.
[14] Sebutan ranoyapo dulu adalah rano-i-yapo yang artinya air tuhan. Tuhan di sini merujuk pada Isa Almasih atau Yesus. Sungai ini diidentifikasi berkaitan dengan kekeristenan oleh karena kebanyakan sungai yang ada di sekitarnya memiliki nama dari bahasa mongondow. Nama sungai seperti  tangali, moyomboong, segitoi, dan tumicakal adalah bahasa mongondow.
[15]Keterangan dari Andri Marthen Sengkey (1935 - ….) GMIM pertama dimulai dengan enam klasis atau wilayah. Salah satunya adalah Kumelembuai. Enam anak panah yang ada dalam logo GMIM adalah symbol enam wilayah.
[16] Baca tulisan saya yang berjudul Air Mujizat di Desa Lalumpe.

2 komentar:

  1. Thanks bro untuk stiap data yg suda di ambil dri desa lalumpe,,, biar ini jdi pengetahuan umum buat kita semua...

    Ayen.....

    BalasHapus
  2. Mohon jika ada peristiwa di desa lalumpe bisa di-update di sini. misalnya perkembangan pemerintahan hukum tua (ukung tua) yang sudah berganti. segala kritikan dan saran untuk tulisan ini selalu terbuka...

    BalasHapus