halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Minggu, 24 Juli 2011

SEBUAH PANDANGAN PARADOKSAL TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI UNIVERSITAS NEGERI MANADO


Saya kira hampir seluruh mahasiswa Unima akan bersepakat dalam hati dan pikiran bahwa telah terjadi banyak kejahatan birokrasi di universitas kita. Hampir di setiap prosedur akademik yang harus dilalui oleh mahasiswa harus berhadapan dengan pungutan liar (pungli) yang tidak lain adalah bentuk ekploitasi[1]. Memang fenomena ini sangat mengherankan oleh karena banyak mahasiswa yang berusaha meyakinkan bahwa bentuk eksploitasi ini (pungli) adalah hal tidak benar dengan berbagai protes dalam bentuk aksi atau selebaran tetapi para penjahat birokrasi ini tak mengacuhkannya. Mungkin dalam kesadaran mereka pungutan liar adalah usaha halal dan merupakan tradisi birokrasi dan bukanlah hal yang salah atau berkaitan dengan dosa. Memang di kalangan masyarakat ilmiah banyak dosa yang telah dirasionalisasi menjadi hal yang benar.
                Hal yang paling ironis adalah ketika mahasiswa diarahkan untuk menjadi sarjana yang individualistis. Oleh karena prinsip-prinsip individual ditanamkan dalam pikiran mahasiswa baik oleh dosen maupun pegawai. Mahasiswa dipaksa untuk cepat-cepat menyelesaikan studi dengan dorongan-dorongan yang membentuk pandangan individualistis. Mahasiswa juga didoktrin untuk tidak mengikuti organisasi kampus karena dipandang menjadi hambatan dalam belajar. Organisasi dipandang sebagai hal yang tak berguna dan menjadi penghalang dalam studi.
                Sebelum lanjut saya ingin kita memberi perhatian pada apa sebenarnya alasan keberadaan organisasi di kampus dan apa manfaatnya. Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat) adalah rangkaian yang memuat cita-cita dan proses akademik. Para calon sarjana diarahkan untuk memiliki jiwa social sehingga ilmu yang diperolehnya akan diabdikan untuk masyarakat. Keberadaan organisasi dikampus sebenarnya adalah wadah berlatih dan tempat untuk membentuk jiwa social. Mahasiswa diperlengkapi dengan pandangan-pandangan social di luar disiplin ilmu yang ditempuhnya. Mereka juga dilatih menyeleggarakan kegiatan-kegiatan yang bersifat social atau mencari solusi terhadap masalah social. Intinya, organisasi hadir dikampus untuk menunjang Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk membentuk sarjana yang berjiwa social.
                Anehnya banyak dosen dan pegawai yang tidak memahami soal ini sehingga membuat banyak propaganda anti-organisasi terhadap mahasiswa baru. Saya melihat ini adalah suatu tindakan yang mengkhianati cita-cita pendidikan itu sendiri. Organisasi selalu diidentikan dengan politik dan politik dianggap tidak baik. Padahal seharusnya lembaga pendidikan diharapkan untuk membentuk masyarakat yang sadar berpolitik sehingga dapat memperbaiki keadaan social yang kacau. Praktik seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah bentuk nyata dari prinsip-prinsip individualistis. Bagaimana kita bisa memperbaiki keadaan social jika lembaga pendidikan justru mendorong para calon sarjana untuk menjadi individualistis. Usaha membuat para mahasiswa cepat menyelesaikan studi menciptakan prakti-praktik tak sehat dalam dunia akademik. Banyak sarjana yang tercipta jauh dari cita-cita pendidikan; nilai-nilai tinggi yang dibayar pada dosen, skripsi pesanan, dan amplop-amplop untuk memperlancar administrasi. Dengan begitu universitas bukannya memperbaiki masalah social tapi justru memperparah keadaan dengan menciptakan tenaga kerja yang tidak memiliki kemampuan sebagaimana yang seharusnya.
                Ada langkah-langkah penting yang telah diabaikan oleh penyelenggara pendidikan. Contohnya Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah bagian dari proses akademik untuk membentuk jiwa sosia pada calon sarjana. Tetapi ketika sertifikat KKN bisa diperoleh dengan membayar Rp 500.000 tanpa  turun lapangan maka mereka telah melewatkan hal krusial dalam proses akademik. Kemudian munculnya KKN satgas dan dikuranginya waktu lamanya KKN sampai dua bulan saja sungguh  mengabaikan Tri Dharma Perguruan Tinggi itu sendiri. Interaksi dengan masyarakat dipersingkat sehingga ini membuat para calon sarjana semakin individualistis. Dulunya untuk mendapatkan sertifikat kita harus menempuh enam bulan tapi kemudian dikurangi sampai dua bulan dan bahkan bisa diperoleh dalam beberapa jam saja asalkan dengan ‘amplop’.
                Kuliah Kerja Nyata merupakan uji coba para calon sarjana untuk membuktikan ilmu yang telah mereka peroleh di universitas. Ketika mahasiswa yang tidak memiliki bekal organisasi turun ke masyarakat maka mereka mengalami banyak kesulitan. Tidak tahu mekanisme musyawarah, tidak bisa menyusun program kerja, dan yang paling parah tidak bisa membaca psikologi masyarakat. Ini dikarenakan oleh tidak adanya jiwa social dalam diri mahasiswa yang seharusnya itu dibentuk dalam organisasi kampus. Hal yang serupa itu pun terjadi dalam Program Pengenalan Lapangan (PPL) ketika para calon pengajar ternyata tidak memiliki kemampuan mengajar sebagaimana seharusnya. Tidak adanya kemampuan edukatif juga disebabkan oleh prinsip individualistis yang ditanamkan pada mahasiswa.
                Sekarang mari kita berfokus pada proses perkuliahan di dalam kelas atau ruangan. Kita akan mendapati dalam perkuliahan dosen-dosen yang tak berkualitas dan yang berkualitas tetapi tidak memiliki jiwa social. Mereka menjalankan tanggung jawab sosialnya tanpa mengerti tentang filosofi dan aturan pendidikan. Banyak dosen yang egois dan tak mampu menciptakan  kondisi yang dialogis kritis dalam perkuliahan. Mahasiswa tidak diberi kesempatan untuk bernalar sehingga perkuliahan menjadi semacam proses indoktrinasi. Padahal aturan pendidikan kita menuntut adanya keterbukaan, demokrasi, dan menciptakan manusia yang mempunyai jiwa social. Tetapi inilah akibat dari tidak adanya kesadaran akan pentingnya organisasi. Mahasiswa hanya didikte untuk belajar dan menghafal sejuta teori sehingga tidak adanya inovasi dalam dunia pendidikan kita. Yang selalu diperbaharui hanya kurikulumnya saja semetara untuk teori atau penemuan tidak ada yang baru. Contohnya, pembuatan skripsi paling banyak diarahkan kepada sesuatu yang mudah saja. Skripsi tentang pendidikan ada jutaan di universitas kita tetapi paling banyak memiliki tema, pembahasan, dan bahkan judul yang sama. Anehnya juga mahasiswa tidak diberi keleluasaan untuk mencipta yang baru. Kita dipaksa untuk memberi rujukan dihampir setiap kalimat dalam skripsi atau proposal penelitian kita.
                Universitas yang sebenarnya menjamin kebebasan berpikir dan bereksperimen untuk mencipta sesuatu yang baru justru menjadi penghalang. Sesuatu yang inovatif menjadi tabu di universitas kita sehingga segala sesuatu harus mempunyai referensi. Ketika mahasiswa bicara tentang sesuatu yang baru maka dosen-dosen penguji akan menyerang dengan alasan bahwa pernyataan-pernyataan yang kita bicarakan tidak mendasar karena tidak memiliki referensi. Padahal pemikiran kita mungkin berpotensi menciptakan cabang ilmu yang baru. Tetapi inilah kekurangan penyelenggara pendidikan kita yang tak memiliki pandangan yang jelas tentang tugas mereka yang sebenarnya.
                Kecacatan dalam dunia pendidikan paling banyak terletak pada penyelenggaranya sehingga kita akan menemukan banyak kontradiksi di dalamnya. Dosen yang mengajar demokrasi justru bersikap otoriter. Dosen yang mengajar tentang strategi pembelajaran justru tak mampu mengelolah kelas dan menciptakan pembelajaran yang dialogis kritis. Mereka tampak seperti berbohong ketika mengajar oleh karena mereka sendiri tidak menerapkan apa yang mereka ketahui. Ini menciptakan pandangan bahwa sebenarnya kita tidak perlu menerapkan apa yang kita pelajari dan cukup hanya sebagai wawasan saja oleh karena para pengajar kita berlaku demikian. Pendidikan kita telah menjadi formalitas belaka sehingga kita tak lain adalah kaum munafik yang menghuni lembaga pendidikan. Universitas menjadi semacam proyek untuk menghasilkan uang dan mengabaikan cita-cita pendidikan itu sendiri. Ini adalah hal yang sangat ironis dan kontradiktif ketika kita mencoba untuk melihat pendidikan secara lebih lebih dekat. Hal-hal filosofis dan regulative banyak yang telah diabaikan sehingga produk lembaga pendidikan sangat jauh dari apa yang diharapkan. Apakah dengan keadaan seperti ini pendidikan kita mampu menghadapi tantangan globalisasi? Saya rasa tidak. Ketika negara kita beralih menjadi negara industri maka kita hanya akan menjadi budak-budak kaum kapitalis.
                Kalau kita mempertahankan status quo maka pendidikan kita tetap berada dalam lingkaran setan. Kita butuh suatu gebrakan yang mengakomodir manusia-manusia yang mempunyai kapabilitas, berjiwa social, dan visioner untuk menciptakan suasana pendidikan yang lebih baik. Dengan begitu kita dapat memotong generasi konservatif yang menjadi parasit dalam lembaga pendidikan.


[1] Baca tulisan saya yang berjudul Kritik atas Kaum Idealis, Aktivis, dan Moralis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar