Desa Lalumpe[1] terletak di bagian selatan tanah Minahasa[2] - dalam jajaran wullur ma’atus - kecamatan Motoling yang memiliki luas kurang lebih 1500 h. Ada banyak hal unik di desa ini ketika kita bertanya dan berusaha mendengarkan dengan saksama cerita dari masyarakat tentang hal-hal yang menjadi ciri khasnya. Hampir semua masyarakat mempunyai cerita mereka masing-masing tentang perkembangan masyarakat mereka sendiri. Ada banyak hal yang menghiasi perkembangan masyarakat dari mitos, legenda, dan sejarah.
Salah satu hal yang khas di desa Lalumpe - yang namanya diambil dari nama jenis tanaman kayu ini - yang sudah menjadi legenda dan cerita turun temurun adalah Air Mujizat. Hal unik pertama yang akan muncul ketika kita bertanya tentang desa ini adalah Air Mujizat; baik orang tua maupun yang muda. Ceritanya di mulai sekitar tahun 1937 ketika rombongan mapalus yang berjumlah 13 orang yang dikepalai oleh Simson dan Aflis Sengkey[3] sedang kehausan dan mencari air di perkebunan yang disebut maumbi[4]. Kedua orang tersebut merupakan tua-tua jemaat di Pantekosta[5]. Tetapi rombongan mapalus itu merupakan gabungan dari jemaat Pantekosta (GPDI), GMIM, dan Katolik. Pada waktu itu musim kemarau yang cukup panjang berlangsung sampai sepuluh bulan[6]. Sumber mata air desa sudah kering sehingga terjadi krisis air dan orang-orang mulai mencari sumber mata air yang baru.
Terinspirasi dari kisah Musa dalam kitab suci orang Kristen (Alkitab) maka dengan iman mereka berdoa – yang dipimpin oleh Simson Sengkey - kepada Tuhan. Awalnya tanah menjadi lembab dan akhirnya dari antara bebatuan yang terletak di lereng bukit muncullah mata air. Air yang ada di situ cukup melegenda oleh karena tak pernah menjadi kering sekali pun di musim kemarau yang panjang. Anehnya juga air di tempat ini tidak ditinggali katak atau jentik nyamuk padahal airnya tidak mengalir. Dalam masyarakat desa Lalumpe yang sangat religius-kristen menjadikan tempat ini sebagai bukti iman mereka sehingga di tahun 2011 pada HUT GPDI dibuat aksi teaterikal tentang mujizat Tuhan di desa Lalumpe. Air mujizat ini hanya merupakan genangan yang tidak mengalir walaupun tempatnya di kemiringan. Kondisi tempat air mujizat dari tahun ke tahun terjadi perubahan baik secara alami maupun campur tangan masyarakat desa. Dulunya, menurut seorang warga desa genangan air di tempat itu ada beberapa tetapi memiliki pusat genangan yang lebih besar dari yang lain. Tetapi sekarang ini tinggallah satu genangan air di sana.
Dari tahun 1937 sampai 1962 cerita tentang air mujizat terlupakan dan akhirnya seorang pendeta yang juga sebagai wartawan yaitu Nicky Sumual berusaha menggali sejarahnya kembali untuk melengkapi sejarah perkembangan Pantekosta. Dalam kurun waktu ini nama untuk menunjukkan tempat bersejarah itu belum ada sehingga terjadi tawar menawar antara Pendeta Kumajas dan Nicky Sumual untuk memberi nama tempat itu. Pendeta Kumajas menawarkan nama air Mujizat sementara Pendeta Nicky Sumual mengusulkan nama Air Sembayang. Tetapi akhirnya dalam penulisan sejarah Pendeta Sumual menggunakan nama Air Mujizat.
Mahasiswa KKN Unima saat berada di lokasi Air Mujizat |
Pada tahun 1986 ketika Air Mujizat telah menjadi pembicaraan di kalangan jemaat Kristen maka misionaris dari Kanada, Amerika, Australia dan juga hamba-hamba tuhan yang berasal dari Jawa datang berkunjung di desa Lalumpe untuk melihat tempat di mana ada Air Mujizat. Mereka juga masing-masing mengambil air dari tempat itu yang mungkin dijadikan sebagai kenang-kenangan atau souvenir yang mereka isi dalam botol. Oleh karena semakin banyak orang yang tahu dan tertarik untuk mengunjungi tempat ini maka sebagian masyarakat Lalumpe ingin membuat tempat itu menjadi objek wisata dengan pertimbangan ekonomis. Hal ini mendapat protes dari masyarakat yang lain oleh karena menurut mereka mujizat Tuhan tidak seharusnya diperlakukan sebagai objek wisata apalagi membayar karcis masuk[7].
Ketika kita melihat secara langsung tempat Air Mujizat ini mungkin sangatlah berkesan biasa saja. Tetapi dalam masyarakat Lalumpe - khususnya jemaat Pantekosta - ada makna lebih mendalam yang diwariskan kepada beberapa generasi di desa ini. Seakan-akan Aer Mujizat adalah salah satu identitas masyarakat ini yang merupakan bukti dari kepercayaan atau iman kristiani tua-tua mereka dahulu. Kekristenan memang telah menyatu dengan jiwa masyarakat di desa ini sehingga kebanyakan cerita dari masyarakat selalu berkaitan dengan Kekristenan.
Air mujizat merupakan tempat yang bersejarah dan menjadi tempat yang keramat di desa Lalumpe. Sehingga hampir seluruh masyarakat mengetahui akan cerita dan tempat Air Mujizat. Memang dulunya ada warga yang tidak percaya dengan cerita tentang tempat ini sehingga dia tidak menghargainya. Suatu waktu dia ingin menguji kekeramatan Air Mujizat dengan membawa sapi untuk diberi minum di tempat itu. Hari berikutnya sapinya mati dan dia mendapat bukti bahwa tempat itu bukanlah tempat biasa. Memang ketika sejarah yang diceritakan dari generasi ke generasi mendapat tanggapan yang tak acuh dan justru mengabaikannya. Generasi sekarang memang kurang menghargai nilai-nilai historis bangsanya sendiri. Tak jarang generasi muda sekarang jika ditanya tentang sejarah tempat mereka tinggal dijawab dengan kata ‘tidak tahu’. Rasionalitas barat telah memberi kerangka berpikir yang membuat kita menjadi ragu dan bahkan tidak percaya dengan diri kita sendiri.
[1] Di tanah Minahasa ada dua desa yang bernama Lalumpe yang satu berada di daerah Tondano Pante dan yang satu di daerah Motoling. Dalam buku seorang misionaris Belanda, Graffland, yang ditulis pada 1864; dia pernah berkunjung di desa Lalumpe yang ada di daerah Tondano Pante dan dari keterangannya asal usul nama kampung tersebut diambil dari nama jenis tanaman kayu. Hal itu juga sama dengan asal usul nama desa Lalumpe yang ada di daerah Motoling. Tetapi menurut keterangan Ventje Onibala (1949 - ……) antara kedua desa ini tidak memiliki hubungan historis kekeluargaan atau semacam transmigrasi warga desa walaupun memiliki nama yang sama.
[2] Sebagian besar desa atau perkampungan yang berada di tanah Minahasa bagian selatan adalah masyarakat Tountemboan. Tetapi daerah Tompaso Baru adalah daerah migrasi – atau menurut keterangan opa Sengkey di Lalumpe, Tompaso Baru adalah daerah kolonisasi atau pengungsian sebagai kebijakan pemerintah oleh karena ada bencana di Tondano dan Tomohon - yang masyarakatnya terdiri dari berbagai sub-etnis Minahasa tetapi yang paling banyak adalah sub-etnis Toulour atau Toudano. Maka penggunaan bahasa di sana kebanyakan didominasi oleh bahasa Toulour.
[3] Menurut keterangan dari Hermanus Lampah (1931-…..) kedua orang ini berasal dari desa Tondei tetapi menurut Adri Marthen Sengkey (1935-…..) orang yang bernama Simson Sengkey adalah asli Lalumpe lalu pindah ke Tondei. Salah satu juga dari rombongan mapalus adalah George Sengkey ayah dari Andri Marten Sengkey.
[4] Menurut keterangan Ventje Onibala (1949 - …..) daerah perkebunan itu disebut maumbi karena banyak ditumbuhi pohon maumbi.
[5] Awalnya Gereja Pantekosta hanyalah satu di desa Lalumpe tetapi di tahun 1984 pecah menjadi dua yaitu GPDI dan GSPDI.
[6] Keterangan dari warga desa sangatlah bervariasi mengenai lamanya musim kemarau itu berlangsung. Ada yang menyatakan 1, 3, 8, dan 9
bulan. Tetapi penulis mengambil keterangan waktu yang paling lama dengan pertimbangan factor psikologis cerita dan umur dari sumber keterangan.
[7]Menurut Andri Marthen Sengkey ada satu ketika Air Mujizat menjadi kering yang menurut Gembala/Pendeta Manampiring ini disebabkan oleh para pejabat gereja sudah banyak melakukan dosa.