Komodor Sual |
Perjuangan kelas yang identik dengan marxisme telah menjadi isu yang sangat kental di negara-negara dunia ketiga. Kaum intelekttual yang termasuk aktivis merasa bahwa perjuangan mereka adalah kehendak murni yang ditujukan untuk kemanusiaan. Para pemikir-pemikir ini melihat hampir dari segala masalah social disebabkan oleh sebuah sistem ekonomi imperialis atau yang dewasa ini disebut sebagai neoliberalisme. Bahkan akhir-akhir ini ada manipulasi politik perjuangan yang mengatasnamakan prinsip universalitas tetapi membawa kepentingan golongan tertentu. Negara-negara penentang Imperialisme Barat melakukan propaganda lewat agama dan menciptakan identitas baru dalam usaha meruntuhkan superioritas eropa.
Neoliberalisme telah menjadi momok mengerikan bagi para pejuang kelas di negara-negara dunia ketiga. Ini disebabkan oleh banyaknya propaganda tentang keburukan dari sistem ekonomi ini yang katanya tidak bermoral dan hanya mengejar keuntungan semata. Pada masa sebelum Perang Dunia II kaum agamawan dan moderat membela kepentingan sistem ini dari ‘bahaya’ komunisme. Mereka menyatakan bahwa komunis adalah paham anti tuhan dan membuat manusia tidak hidup alamiah dengan sistem ‘diktator’-nya. Agama menjadi alat agitasi yang sangat banter untuk melawan paham komunisme. Tetapi pada masa sekarang ini justru paham komunisme, marxisme-leninisme telah muncul kembali untuk menentang kapitalisme barat. Pada dasarnya ketika kita mengkaji lebih dalam antara kapitalisme dan komunisme adalah dunia sistem imperialis yang diterapkan dengan cara berbeda. Dulu komunisme identik dengan paham anti-agama dan tuhan karena paham materialismenya tetapi sekarang ini di negara-negara kapitalis besar justru menjadi sumber isu-isu yang meruntuhkan kepercayaan kepada agama dan tuhan. Sekarang siapakah yang benar dari kedua sistem tersebut?
Iswan & Iswadi |
Para politikus sekarang ingin membuat sebuah formulasi paham baru untuk lepas dari kepentingan ekonomi kedua sistem tersebut. Tujuannya jelas adalah membangkitkan semangat imperialism dalam diri bangsa dan negaranya sendiri[1]. Tetapi mereka tidak berusaha menghilangkan paham-paham yang sudah ada tetapi akan memanfaatkannya. Marxisme adalah contohnya; untuk menentang imperialism barat mereka memanfaatkan orang-orang yang menganut paham ini. Konflik Timur Tengah sekarang ini adalah kelanjutan dari perang di masa lampau dan sangat mempengaruhi situasi politik internasional. Indonesia adalah salah satu negara yang diusahakan untuk mendukung perjuangan agama islam di Timur Tengah melawan Israel dan Amerika Serikat. Maka tak heran di toko buku sekarang sangat marak dengan terbitnya buku-buku yang memburukkan karakter Yahudi, Amerika Serikat, dan kapitalisme.
Di Indonesia setelah kebebasan berpendapat mulai terasa dijamin kembali maka muncul paham-paham nasionalis dan kedaerahan yang tujuannya sebagai gerakan difensif atas imperialisme ekonomi dan budaya dari barat. Telah muncul organisasi-organisasi nasional dan daerah yang berjuang untuk – katanya – menyelamatkan bangsa dan negara dari ancaman neoliberalisme. Tetapi semuanya itu juga tak lepas dari kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Sesuatu yang menjadi sangat mengherankan adalah banyak orang yang termasuk dalam politik ini merasa bahwa mereka sedang mengamalkan panggilan tuhan atau setidaknya panggilan kemanusiaan untuk membereskan masalah-masalah social. Tetepi bukankah menentang adalah awal dari permusuhan dan permusuhan akhirnya akan mengakibatkan peperangan? Memang banyak generasi sekarang yang merindukan perang untuk memuaskan keinginan psikilogisnya karena terobsesi dengan heroisme.
Brother's Graduation |
Ada anggapan yang sangat kuat dalam diri kaum revolusioner ketika melakukan tindak politik, agitasi, dan propaganda. Kadang-kadang mereka menjadi sangat fanatic atas perjuangannya dan mengklaim orang yang tidak ada dalam barisannya adalah musuh atau kaum yang tidak memiliki kesadaran social atau panggilan tugas dari tuhan. Pergerakan mereka menjadi standarisasi kebenaran dan menganggap yang lain adalah korban dari politik penindas. Kaum revolusioner merasa diri mereka memiliki kesadaran atau semacam pencerahan yang menuntun mereka ke mana harusnya bergerak untuk membentuk tatanan social. Dalam diri mereka telah mengakar pemahaman yang mengklaim tujuannya adalah murni.
Tetapi bukankah kesadaran hanyalah bentukan lingkungan saja yang memaksa kita berpikir demikian? Kesadaran adalah subjektif dan tidak bisa diklaim secara universal dalam setiap mental manusia. Karl Marx sendiri percaya bahwa lingkunganlah yang menentukan kesadaran sesorang dalam memandang dunia sosialnya. Kesadaran kelas ala marxisme tidaklah sekuat kesadaran etnis yang bisa bergerak dengan cepat. Seorang pemikir mazhab Frankfurt mengatakan bahwa identitas kolektif mendorong solidaritas mekanis[2]. Solidaritas mekanis yang paling cepat muncul ketika identitas komunitas itu berbasis pada kebudayaan atau ras. Hitler sangat memahami hal ini dan membuat agitasi dan propaganda yang sangat persuasif. Baginya propaganda tidak harus rasional yang terpenting adalah mereka terbakar semangat.
Paham kemanusiaan yang universal adalah perjuangan yang tidak bertumpuh pada ras dan budaya, kelas, atau golongan. Agama Kristen dan Islam adalah agama yang ingin menciptakan universalitas tetapi kedua agama itu terjebak dalam fanatisme yang akhirnya berperang satu sama lain dan menjadi jauh dari hakikat ajarannya. Sehinga pada zaman sekarang ini perdamaian dunia yang ingin menciptakan kondisi kemanusiaan universal berusaha ditempuh dalam jalur politik dan ekonomi. Di bentuknya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) setelah Perang Dunia II dan paham globalisasi[3] adalah usaha untuk meredusir fanatisme bangsa. Dengan dirobohkannya tembok batas atau regulasi di semua negara maka kita akan menjadi warga Negara dunia dan bebas untuk berdagang, bekerja, dan bepergian ke semua Negara. Para pemikir di negara Dunia Ketiga merasa akan terjadinya asimilasi budaya dan bahkan akan membuat budaya local memudar yang tak mampu bersaing dengan diterapkannya paham itu. Dari sinilah muncul kesadaran nasionalisme, etnosentrisme, dan kelas menentang globalisasi dan neoliberalisme. Gerak kesadaran kolektif pada dasarnya muncul dari kesadaran individual atau kesadaran subjektif. Di Indonesia terjadi gerak kesadaran dalam tiga tahap yaitu dari kesadaran subjektif (individual) berubah menjadi kesadaran etnik (kelompok) dan menjadi kesadaran nasional (kumpulan kesadaran etnik). Di mana kesadaran dari individu menyatu dalam kesadaran kelompok dan akhirnya menjadi kesadaran nasional. Boedi oetomo dan organisasi nasional sesudahnya awalnya adalah gagasan individu yang kemudian menarik perwakilan dari setiap suku/daerah di Indonesia yang menyatu dalam nasionalisme Indonesia. Lihat gambar berikut.
GAMBAR 1. Gerak kesadaran di Indonesia[4]
Mungkin lebih tepat kalau kita menyebut Negara Indonesia dan bukan bangsa indonesia. Oleh karena pluralitas bangsa di negara Indonesia mengindikasikan bahwa ‘bangsa indonesia’ hanyalah paksaan doktriner yang bertumpuh pada – katanya – kesamaan nasib sebagai korban dari kolonialisme Belanda. Kita disatukan dalam landasan idil Negara yang disebut Pancasila yang katanya nilai-nilainya sudah ada dalam jiwa ibu pertiwi (nusantara) jauh sebelum Indonesia ada. Saya pernah mempertanyakan tentang nilai-nilai Pancasila waktu mengambil mata kuliah ini; apakah nilai-nilai pancasila memang benar-benar ada dalam jiwa ibu pertiwi atau nilai-nilai itu hanya sekedar cita-cita. Ketuhanan yang maha esa; kalau kita menelusuri sejarah kebudayaan asli kita kita akan mendapati bahwa kita adalah masyarakat politeisme. Ketuhanan yang maha esa mungkin bertumpuh pada kebudayaan hasil asimilasi dengan agama islam dan Kristen yang keduanya adalah kepercayaan monoteisme. Kemanusiaan yang adil dan beradab; praktek ketidakadilan sangat marak di Negara kita baik di bidang hukum, ekonomi, dan social. Masyarakat kita lebih identik dengan kaum barbar dan anarki daripada masyarakat yang beradab. Terjadi unjuk rasa yang anarkis, tawuran antar pelajar dan antar kampung, dan berbagai kerusuhan. Persatuan Indonesia; sejak dulu nusantara kita terjadi peperangan antar kerajaan dan antar suku yang ingin saling mendominasi. Ketika Indonesia berdiri muncul gerakan-gerakan separatis seperti PRRI (identik dengan Permesta), GAM, RMS, dan OPM. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; di Negara kita yang ada hanyalah sandiwara demokrasi oleh karena wakil rakyat tak ada yang benar-benar idealis tetapi sangat individulistiis dalam menjalankan tugas kenegaraannya. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia; kenyataan social menunjukkan bahwa yang memiliki keadilan social hanyalah kaum kapitalis, elite politik, dan kaum priyayi sementara rakyat biasa menderita oleh tekanan psikologis dan ekonomis. Dari lima sila yang ada manakah yang benar-benar ada dalam jiwa ibu pertiwi? Sungguh sangat ironis negara kita ini yang selalu dibangga-banggakan secara konseptual namun praktisnya sangat memalukan.
Di era perjuangan kemerdekaan kita menyatukan diri dalam satu identitas sebagai bangsa terjajah. Namun setelah meraih kemerdekaan muncul kembali masalah sentiment agama dan dialektika etnik. Padahal dulunya kita mereka berjuang dengan prinsip yang sama dan mengklaim perjuangan itu murni berpihak pada kemanusiaan. Kesadaran mereka akan nasionalisme dulu ternyata adalah kesadaran palsu yang diciptakan demi kepentingan akumulasi kekuatan perjuangan. Mungkin ini adalah hal yang lumrah dalam politik; musuh bisa diajak kompromi untuk melawan musuh yang lebih besar. Kaum revolusioner yang memperjuangkan perubahan social secara cepat memainkan politik praktis – yang berkaitan dengan strategi dan taktik menakhlukkan kelompok manusia baik pikiran maupun tindakan – untuk mencapai tujuan mereka. Tetapi hal yang mereka tak sadari adalah mereka berada dalam lingkaran setan yang memaksa mereka terus-menerus berada dalam konflik yang sama sehingga menggapai tujuan politik menjadi berangsur-angsur karena terhalang terus dengan dialektika politik yang berorientasi pada kekuasaan atau dominasi.
Kesadaran palsu bukanlah kesadaran yang tak mendasar tetapi kesadaran subjektif yang dibentuk oleh provokasi konseptual dan lingkungan. Mereka yang memiliki kesadaran ini biasanya hanya menjadi pion-pion untuk mewujudkan egoisme kelas, etnik, dan nasional. Mereka diarahkan untuk mengorbankan segala sesuatu – yang paling ekstrim adalah mengorbankan nyawa atau yang lazim disebut mati syahid – demi tercapainya cita-cita yang mereka perjuangkan[5]. Tapi banyak yang mengklaim diri sebagai aktivis namun sebenarnya mereka adalah pasifis yang selalu menjadi korban kepentingan politik para elite dan kaum priyayi.
[1] Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politik Antarbangsa menjelaskan bahwa persoalan internasional disebabkan oleh bangkitnya semangat untuk mendominasi bangsa lain. Semua bangsa ingin bangkit menjadi pemerintah atas dunia sehingga persaingan antar bangsa berujung pada genjatan senjata yang bila ditimbang dengan akal sehat sangat merugikan kedua bela pihak yang berseteru.
[2] Jurgen Habermas dalam bukunya Teori Tindakan Komunikatif : Kritik Atas Rasio Fungsionalis. Di indonesia biasanya tawuran didorong oleh gengsi identitas kolektif, misalnya identitas sebagai anggota dari sebuah organisasi, sekolah, desa, atau komunitas tertentu.
[3] Globalisasi memiliki konotasi negative sama seperti neoliberalisme yang dianggap sebagai wajah lain dari imperialism dan kolonialisme.
[4] Gambar ini dibuat sendiri oleh penulis untuk menggambarkan gerak kesadaran nasional
[5] Di kalangan perjuangan mahasiswa pengorbanan yang dituntut adalah lebih mementingkan perjuangan lewat melakukan unjuk rasa daripada masuk kuliah. Padahal unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa dalam rangka menolak neoliberalisme tidak mempunyai pengaruh besar dalam ekonomi dan politik nasional. Unjuk rasa dan demonstrasi lebih berkesan buang energy dan tidak solutif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar