Tampaknya isu-isu ideologis, agama, dan topeng-topeng kemanusiaan lainnya tidak lagi ‘tren’ dalam dunia politik sekarang ini. Oleh karena telah muncul isu yang lebih dekat dengan naluri manusia yaitu pertahanan diri. Pertahanan diri kolektif atau jati diri (identitas) kolektif telah membentuk sebuah solidaritas social. Di negara kita undang-undang otonomi daerah adalah pemicuh bangkitnya semangat kedaerahan yang memperjuangkan kembalinya identitas local yang selama ini digerogoti oleh tipuan nasionalisme dan imperialism budaya. Ditambah dengan adanya keterbukaan media dan akses-akses informasi lainnya maka wawasan masyarakat semakin luas dan tiba-tiba menyadari bahwa identitas mereka sedang dipertaruhkan. Akan tetapi kesadaran akan hal ini belum merata dalam masyarakat karena pada kenyataannya kita masih diperdaya oleh topeng nasionalisme. Pada pemilu yang lalu kita masih terkotak-kotak dalam partai politk atau figure politik yang kita yakini dapat membawa aspirasi kita. Ketika kita mencermati figure politik dalam pemilu presiden dan wakil presiden yang lalu kita bisa melihat bahwa hampir setiap pasangan calon memiliki unsure militer dan pengusaha (business man). Tetapi kita dikelabui dan diperdaya dengan ideology-ideologi partai dan figure politik yang katanya akan mengembalikan sumber daya alam Indonesia untuk diusahakan demi kepentingan rakyat. Pada dasarnya semua pasangan calon tidak akan berbuat apa-apa pada tekanan ekonomi dan politik internasional selain mengadakan kerjasama dan mencari keuntungan sendiri.
Di Indonesia, isu nasionalisme dikampanyekan untuk mempermudah transmigrasi penduduk dengan tujuan-tujuan yang terselubung[1]. Misalnya transmigrasi penduduk dengan alasan dagang tapi membawa kepentingan agama – ini sama persis dengan strategi penjajah dahulu – dan merusak struktur budaya dan masyarakat setempat. Ini juga adalah bagian dari politik untuk menghancurkan identitas bangsa lain dan memaksanya untuk menerima budaya mereka. Penyebaran agama adalah tindakan etnosentris yang mengangap tuhan mereka yang paling benar sehingga semua bangsa harus menyembahnya. Watak suatu bangsa sangat mirip dengan karakter pribadi individu yang egois dan ingin memaksakan kehendak dan inilah yang menyebabkan konflik antar suku bangsa.
Konflik di Timur Tengah dikampanyekan pada dunia sebagai pertentangan agama; baik antara Islam-Kristen, karena campur tangan Amerika Serikat, atau pun Islam-Yahudi. Tetapi kalau kita mengkaji secara historis konflik itu lebih identik dengan perang saudara antara Israel, Palestina, dan negara-negara Arab karena Israel yang merupakan keturunan Abraham berasal dari Ur-kasdim dan orang-orang Arab adalah keturunan Ismail anak Abraham. Indonesia yang tak punya kaitan dengan konflik turun-temurun itu dipaksa untuk terlibat oleh karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Munculnya lascar Jihad dan FPI yang merupakan organisasi semi militer adalah bukti bahwa Negara kita dipaksa untuk mendukung Palestina dan Arab melawan Israel dan Amerika Serikat. Bagi kaum Islam Fundamentalis Indonesia harus menjadi negara Islam agar bisa mendukung secara bulat ‘saudara-saudara’ mereka di Timur Tengah. NII adalah usaha yang mereka lakukan untuk mewujudkan hal tersebut dengan membangun jaringan di seluruh nusantara. Tujuan mereka adalah merusak struktur budaya dengan isu-isu nasionalisme dan anti-neoliberalisme untuk menciptakan identitas tunggal.
Di minahasa sekarang ini ada dua hal yang sementara dihancurkan yaitu Kekristenan dan Kapitalisme. Kekristenan dahulu memang telah merusak identitas Minahasa dengan mengawinkan kepercayaan yang pada dasarnya berbeda tapi dipaksakan menyatu. Tetapi sekarang ini dalam masyarakat minahasa, kekristenan telah menjadi alat relasi social yang setidaknya meredusir barbarism dan konflik antar sub etnis atau antar kampung. Identitas masyarakat minahasa telah menyatu dengan kekristenan sehingga minahasa menjadi identik dengan Kristen. Memang di satu sisi kekristenan telah merusak jati diri minahasa tapi di satu sisi kekristenan telah membantu membuat relasi social. Usaha unttuk menghancurkan kekristenan adalah dengan beredarnya buku-buku yang mengkritik gereja dan buku-buku yang membangkitkan etnosentrisme yang tujuannya adalah membentuk opini masyarakat bahwa kekristenan adalah agama imperialis yang telah menggerogoti kebudayaan kita.
Kapitalisme menjadi isu hangat yang selalu diperdebatkan dengan hal-hal yang terkait seperti globalisasi dan neoliberalisme. Untuk memperkuat penolakan terhadapnya maka marxisme, fasisme, dan komunisme diangkat kepermukaan sebagai alat propaganda. Di negara kita salah satu factor yang membuat usulan supaya negara ini diperislamkan belum kunjung menjadi kenyataan adalah kepentingan investor asing bagi sumber-sumber daya alam kita. Maka dari itu politik nasional kita tak lepas dari lobi-lobi para pengusaha dan kepentingan ekonomi negara lain. Usaha untuk menentang kapitalisme di Indonesia adalah mengusir investor asing dan mengembargo negara-negara pro Kristen dan Israel. Kalau masyarakat Indonesia telah seutuhnya menolak kapitalisme barat maka politik keagamaan akan dimainkan. Di kalangan mahasiswa pun telah diintensifkan isu-isu yang demikian dengan satu doktrin bahwa mereka berjuang untuk kemanusiaan.
Kita perlu meminimalisir identitas dalam masyarakat kita untuk memperjuangkan kepentingan bangsa Minahasa. Tidak ada lagi yang terkotak-kotak oleh ideology politik, partai, anti-neoliberalisme dan pro-liberalisme tetapi mari kita berjuang dengan satu identitas. Memang dalam masyarakt kita juga belum sepenuhnya menyadari identitas ke-Minahasaan-nya. Kekristenan yang menjadi identitas kedua minahasa seharusnya dipergunakan dalam membentuk pandangan kolektif kita tentang identitas yang sesungguhnya melaui relasi sosialnya. Dan kita tak seharusnya terperdaya dengan isu anti kapitalisme yang tidak murni memperjuangkan kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar