halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Jumat, 14 Januari 2011

KONDISI MASYARAKAT MINAHASA

Mungkin terlalu separatis kedengarannya ketika kita menyebut Minahasa sebagai suatu bangsa dan untuk mengklaim hal tersebut masih ada ketakutan karena akan dituduh sebagai upaya membangkitkan gerakan separatis. Tetapi ketika kita mencoba melihat dari perspektif sosiologis-antropologis maka kebenaran bahwa Minahasa adalah suatu bangsa akan mungkin diterima secara logis. Pada kenyataannya pandangan seperti ini tetap saja akan direduksi oleh tekanaan politis.
Konsep negara kita sebenarnya juga tak lebih dari pemaksaan doktrinal yang sudah diwariskan kepada beberapa generasi. Konsepnya dibuat rasional dan sakral sehingga hanya bisa didiskusikan dan tak bisa diotak-atik kemutlakannya. Kita bisa mengklaim dan patut disetujui bahwa kita satu sebagai negara tapi mungkin tidak untuk mengklaim sebagai satu bangsa. Oleh karena kesadaran akan kebangsaan kita dibentuk dalam lembaga-lembaga formal sementara dalam praktik politik isu kental yang sering diangkat adalah isu rasial; apakah itu bangsa jawa, Minahasa, bugis, batak dan sebagainya. Dialektika politik dalam negara kita memang berkesan pluralistik yang menyangkut isu agama, golongan, dan ideologi. Tetapi pada kenyataannya isu rasial menduduki tingkat paling atas.
Mari kita kembali membuka lembaran sejarah di negara kita, ternyata gerakan-gerakan separatis yang ada telah menyadari akan diskriminasi rasial ini melalui sentralisasi pembangunan yang ada dan penempatan orang pada jabata-jabatan strategis dalam struktur kepemerintahan. Kalau memang negara ini menyadari sepenuhnya bahwa kita adalah satu bangsa mengapa pemerataan pembangunan harus diperjuangkan dengan mengangkat senjata. Artinya, seharusnya sedari awal kemerdekaan sudah menjadi tanggung jawab moriil bagi pemerintah dalam menjaga integritas negara -ataupun bangsa dalam istilah merek- dengan memperhatikan nasib dari nusantara ini.
Minahasa memiliki budaya, bahasa dan rasnya sendiri dan itu adalah kenyataan yang harus diterima. Akan tetapi kesadaran akan hal ini telah sedang ditepis oleh kondisi sosialnya yang dipengaruhi oleh doktrin agama dan keterbukaan relasi sosial untuk kawin campur (endogami dan indogami).
1. Kekristenan sebagai legitimasi Bangsa Minahasa
Dalam pandangan orang minahasa kontemporer umumnya bahwa orang yang mengakui atau telah menjadi kristen mereka adalah saudara kita. Walaupun kenyataannya kita berbeda budaya, bahasa dan ras. kekristenan telah mengarahkan perspektif kebangsaan masayarakat dalam identitas agama. tetapi perlu diketahui bahwa ini adalah siasat untuk mempertahankan kekristenan dari serangan agama lain. Tetapi memang kesadaran ini telah mendarah daging oleh kareana sejarah Minahasa yang tak lepas dari pengaruh kekristenan dengan bantuan konstruksi oleh misionari Kolonial Belanda.
Agama telah mengerogoti sejarah kita sampai pada mitologinya dengan mempersamakan cerita Karema, Toar dan Lumimuut dengan peristiwa di Taman Eden. membuat argumen dengan mempersamakan Opo Empung, Opo Wananatas dengan YHWH. Pemikiran masyarakat Minahasa telah terpola sedemikian rupa melalui khotbah-khotbah dengan retorika yang telah mereka pelajari dan lupa akan identitas sejati mereka. Mereka mengorbankan segala sesuatu untuk para pemimpin agama dan ’gereja’ sementara itu melupakan sesama bangsa mereka yang melarat. ini merupakan kenyataan yang jauh dari hakikat agama itu sendiri.
2. Kawin campur sebagai legitimasi Bangsa Minahasa
Untuk mengklaim diri sebagai orang Minahasa sekarang ini bukan lagi berdasarkan kesamaan budaya, bahasa dan ras. Pengaruh perkawinan campur membuka peluang besar terjadinya imigrasi dan menciptakan manusia sintetik; yang setenganhnya Minahasa dan setengahnya lagi dari pihak ibu atau ayah dari bangsa lain. Terjadinya endogami bagi kaum laki-laki orang Minahasa kebanyakan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk bergaul dengan perempuan sebangsanya sendiri sehingga berupaya mencari di luar bangsanya. Sementara bagi kaum perempuan kebanyakan disebabkan oleh faktor tekanan ekonomi dan untuk mewujudkan impiannya sebagai seorang puteri yang cantik jelita mereka bersedia untuk kawin dengan bangsa lain. lebih parahnya lagi banyak sekali perempuan Minahasa yang melacurkan diri dengan bangsa lain demi mendapatkan uang untuk memenuhi semua kebutuhan dan keinginannya. Ketika telah terjadi kawin campur maka bangsa sebagai saudara dari laki-laki dan perempuan yang telah kawin dengan orang Minahasa akan datang dengan alasan silahturahmi dan kemudian menetap. Lama-kelamaan mereka mulai beranak cucu.
Anak dan cucu mereka ini akan mengklaim diri sebagai orang Minahasa karena lahir di tanah Minahasa dan tumbuh dalam kebudayaan Minahasa.Dengan begitu legitimasi sebagai orang Minahasa sebagai bangsa yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, dan ras telah dikesampingkan.
3. Kesamaan ideologi sebagai legitimasi
Dalam hal pandangan politik juga telah menciptakan perspektif ilusi tentang konsep identitas kebangsaan. sehingga dalam dialektika sosial masyarakat yang berideologi sama saling kawin campur atau bisa melakukan migrasi. dengan membentuk partai politik dengan embel-embel kemanusiaan, agama, nasional, dan keberpihakan kepada kaum tertindas memecah-belah bangsa kita dan mengkotak-kotakkannya. mungkin politik seperti ini persis seperti yang dterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda dulu(devide et impera).

Dari ketiga hal yang dikemukakan di atas ada satu pandangan implisit bahwa ini adalah jalan infiltrasi bangsa lain untuk membunuh kareakter bangsa kita. Selain manuver lewat agama, perkawinan, dan ideologi masih ada juga jalur lain yang digunakan dalam upaya infiltrasi. konsep mutasi PNS dan pengisian posisi strategis kepemerintahan menjadi alasan mereka untuk masuk dlam wilayah kita. penyusupan juga dilakukan lewat perdagangan yang mungkin tidak disadari hampir semua daerah-daerah strategis di wilayah Minahasa diduduki oleh pedagang kaki lima dengan pelayanan prima sebagai strategi untuk diterima oleh masyarakat sekitar. harga murah dan pelayanan prima cukup untuk menghipnotis orang dan masyarakat Minahasa.
Semua hal yang dikemukakan ini boleh dikata paradoksal tetapi ini adalah upaya untuk membangkitkan masyarakat Minahasa dari ketidaksadaran kolektiv bahwa kita sedang disusupi. Ketakutan penulis sendiri akan adanya proyek pembunuhan kareakter dan upaya asimilasi budaya dengan tujuan mendominasi serta menaklukkan bangsa Minahasa. Kondisinya mungkin akan mirip dengan kerusuhan yang terjadi di Ambon, Poso dan di Sampit sebagai ledakan dari gerak masyarakat yang berpola seperti hal-hal yang sudah dikemukakan. Awal mula terjadinya kerusuhan tersebut berkaitan dengan ketiga hal ynag sudah dikemukakan di atas. Pada dasarnya pasti ada argumen bahwa hakikat agama, parpol dan negara tidak mengarah seperti apa yang ditakutkan penulis tetapi yang perlu disadari adalah dalam semua organisasi terjadi pergeseran hakikat atau keadaan yang sebenarnya. Organisasi yang dibuat untuk melayani masyarakat bergeser menjadi organisasi penindas masyarakat.
Dari sini kita harus melakukan langkah-langkah konkrit sebagai upaya defence (pertahanan) untuk bangsa Minahasa agar kita akhirnya tidak memudar perlahan-lahan sebagai suatu bangsa. Upaya yang kita lakukan bukan upaya chauvinis, fasis, atau apalah yang berkesan sebagai etnosentrisme sempit tetapi suatu upaya kewajaran untuk bertahan apabila diserang. I YAYAT U SANTI!

2 komentar:

  1. Betul sekali ini. Faktor yg harus kita hindari adalah kawin campur, menjual tanah minahasa kpd suku lain dan para pendatang dr suku lain. Untuk itu kita perlu membentuk organisasi tentang persatuan seluruh minahasa.

    BalasHapus
  2. kawin campur sudah lama terjadi dan yang harus kita lakukan adalah mengidentifikasi upaya infiltrasi untuk memecah bela kita dan menghancurkan kita dari dalam...

    BalasHapus