‘Tak ada kawan dan lawan abadi; yang abadi hanyalah kepentingan…’ kata-kata itu telah menjadi slogan yang selalu menjiwai para politisi dalam politik praktisnya. Sehingga untuk mewujudkan suatu kesadaran masyarakat Indonesia dalam satu identitas sebagai bangsa dan negara yang majemuk menjadi ciut. Selalu saja kecurigaan akan kepentingan mendominasi dari golongan lain menggelisahkan setiap politisi dan ini menyebabkan persaingan politik menjadi memanas. Usaha melakukan kudeta dan saling menjatuhkan menjadi marak di negeri ini. Ini mengakibatkan politik menjadi jauh dari hakekat dasar dalam pengertian etimologisnya. Orientasi para politisi adalah kekuasaan dan bukan berpikir tentang apa yang akan menjadi kontribusinya dalam memanfaatkan suatu jabatan untuk kepentingan masyarakat tanpa mendahulukan kepentingan kelompok atau pribadi tertentu. Ini mengindikasikan seorang yang berorientasi pada kekuasaan/jabatan akan cenderung berpikir bagaimana mempertahankan kekuasaan/jabatannya itu daripada membuat program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Di mana ada penyelenggaraan demokrasi di situ pula praktik politik tidak sehat bercokol. Politik memainkan perannya hampir di segala bidang. Menurut seorang pengamat politik bahwa di Indonesia ada dua politik yang paling dominan: politik islam dan politik jawa (high level politic). Isu yang paling propagandis, persuasif, dan agitatif bergantung pada isu agama dan etnis –pada tahun 60-an indonesia mengalami keadaan politik yang sarat isu dan yang sangat dominan pada waktu itu adalah isu ideologi; komunisme dan kapitalisme- yang dipandang sebagai identitas yang sakral. Sementara dalam low level politic isu yang sering dipakai adalah klen (marga), tingkat ekonomi, tingkat intelektual, golongan, dan watak pribadi seseorang. Tapi pada kenyataannya semua isu itu selalu ada dalam permainan politik baik high level politic dan low level politik.
Dalam dua isu sentral (agama dan etnis) berbagai upaya invasi dilakukan yang tujuannya adalah untuk mendominasi. Imigrasi ke suatu daerah tertentu dengan alasan dagang adalah hal nyata yang dilakukan saat ini. Suatu tiruan dari strategi kolonialisme barat yang mulai dipraktikan dalam negara yang masyarakat dulunya sama-sama menjadi korban strategi ini; mulanya emporium kemudian menjadi imperium. Tampaknya masyarakat indonesia tidak merasa senasib lagi dan upaya-upaya mengungguli satu sama lain semakin kentara. Apakah persatuan negara ini akan berujung pada kehancuran yang diakibatkan oleh fanatisme agama dan etnosentrisme? Seharusnya pertanyaan ini akan dijawab oleh para politisi di negeri ini. Jika fanatisme agama dan etnosentisme masih akan tetap dipertahankan maka dapat diprediksi umur dari bangsa dan negara ini.
Partai politik hanyalah kedok, karena kepentingan agama dan etnislah yang dikedepankan dari pada pandangan yang mencita-citakan kesejahteraan kolektif bagi seluruh masyarakat tanpa memandang suku, golongan, agama, ras, dan bahasa. Partai politik digunakan untuk menciptakan satu identitas tunggal dengan kepentingan yang disamarkan. Masyarakat akan bersatu pada partai tertentu dan melupakan identitas lainnya seperti agama, etnis, ras dll. Tapi tanpa disadari mereka telah ikut ambil bagian dalam memenangkan kepentingan agama dan etnis tertentu. Oleh karena pimpinan-pimpinan partai politik tak lepas daripada lobi-lobi untuk memenangkan agama dan etnis mereka sendiri.
Praktik politik dalam high level politic juga dibawa dalam lingkungan kampus dimana mahasiswa juga para dosen dan pegawai terkotak-kotak dalam agama, etnis, dan ideologi. Suatu kontradiksi di mana lembaga pendidikan yang berisi masyarakat ilmiah yang seharusnya memberikan solusi terkait masalah praktik politik tidak etis dan tidak nasionalistis malah ikut-ikutan terjebak dalam tradisi politik demikian. Argumen yang sering muncul adalah katanya mereka sedang mencoba belajar dan memahami politik. Tapi persoalannya praktik ini akan terjadi secara berkesinambungan baik sekarang maupun yang akan datang. Oleh karena telah terbiasa dengan tradisi strategi dan taktik (stratak) politik yang tidak seharusnya.
Ada pertanyaan mendasar ketika melihat kenyataan kondisi negara ini, mungkinkah semua konflik social yang terjadi disebabkan oleh heterogenitas masyarakatnya? Kalau demikian dapat dibenarkan pandangan bahwa konsepsi persatuan bangsa dan negara ini yang terdiri dari berbagai macam ras, bahasa, golongan dan agama hanyalah ide semata. Sementara ciri khas bangsa ini yang toleran, ramah, berbudi pekerti tinggi,tolong-menolong, saling menghargai, dan menjunjung tinggi sopan santun serta moralitas juga mengakui perbedaan hanyalah bersemayam pada buku-buku teks di sekolah dan jauh daripada kenyataan dalam tindakan social.
Sudah seperlunya untuk membangkitkan kesadaran akan hakekat sebuah negara dan pandangan politik yang berpihak pada kepentingan seluruh masyarakat untuk meminimalisir konflik dalam negara ini. Sekiranya untuk menjawab pertanyaan apa yang harus dilakukan dalam rangka membentuk kesadaran itu adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat secara menyeluruh agar masyarakat tak menjadi korban politik dan dapat memahami konstalasi politik. Prancis menyadari akan pentingnya pendidikan dan setelah Perang 1870 membuat kebijakan untuk menggratiskan dan mengharuskan pendidkan. Tetapi di Indonesia yang terjadi adalah pemerintah menyadari akan ketertinggalan dalam segala bidang -kecuali dalam praktik politik tidak sehat dan KKN- disebabkan oleh rendahnya kualitas dan kesadaran masyarakat akan pendidikan kemudian membuat usaha kebijakan menggratiskan sekolah dari SD,SMP, sampai SMA dan menaikkan biaya pendidikan di Perguruan Tinggi. Hal ini terbukti ketika ada resistensi terhadap undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang membuka kemungkinan semua Perguruan Tinggi Negeri beralih status menjadi swasta (sebagaimana kita ketahui dengan begitu akan terjadi kenaikkan biaya pendidikan), pemerintah malah terus berusaha memaksakannya.
Krisis kepercayaan telah melanda masyarakat oleh karena kenyataan politik di Indonesia dan menjadi tugas para politisi yang sekiranya masih murni dalam pandangan dan tindakannya untuk memperlihatkan suatu kinerja yang tidak memihak sama sekali pada golongan masyarakat tertentu dan usaha para pengamat politik untuk membangkitkan kesadaran berpolitik yang konstuktif. Sehingga dasar negara ini tidak menjadi ayat-ayat hafalan belaka namun dapat direalisasikan demi kemanusiaan itu sendiri.
Kecurigaan terhadap satu sama lain meruntuhkan solidaritas social dan mendorong kompetisi untuk saling mendominasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar