Yang saya hormati dr.
Bert. A. Supit
Setelah pertemuan di rumah anda yang bertujuan
membahas Protokol Minahasa saya memiliki keterbebanan untuk menjelaskan soal
konstalasi gerakan di Minahasa. Walaupun saya sangat menyadari bahwa anda lebih
berpengalaman dalam soal gerakan terutama dalam melihat realitas politik di
Indonesia. Tetapi dengan dasar pemahaman saya hari ini saya akan mencoba untuk
memaparkan analisa saya terhadap kondisi yang ada. Di mana dalam pertemuan di
rumah anda ada ketidakmengertian soal tujuan pertemuan itu sendiri. Dari segi
pemahaman terhadap protocol itu sendiri. Tetapi ada kemungkinan bahwa mereka
mengerti tetapi tidak bersepakat untuk membuat protocol. Yang lain bicara soal
bagaimana membuat petisi atau manifesto yang menurut saya sangat berbeda dengan
protocol sebagai kesepakatan bersama untuk dijalankan untuk Minahasa dalam
totalitasnya; baik dari segi politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Artinya
dalam pertemuan itu ada kesenjangan antara orang-orang yang hadir. Walaupun
menurut saya yang hadir pada waktu itu adalah para intelektual dengan disiplin
ilmu dan profesionalitas masing-masing yang sebenarnya diharapkan mampu
merumuskan Minahasa ke depan dari berbagai aspek. Situasi pertemuan waktu itu
menurut analisa saya mengecewakan beberapa orang. Pendeta Tangkudung waktu itu
menuntut sakralisasi yang artinya keseriusan karena kesan yang lain tidak
serius dalam pertemuan itu. Sementara dosen sejarah yang hadir waktu itu
sebenarnya sudah bicara soal esensi protocol di mana dia membaginya dalam dua
kategori yaitu kategori visi dan misi (atau protocol dalam kategori landasan
ideal dan praktis). Dan gerakan Minahasa itu akan dilakukan dengan metode each one teach one sehingga terjadi yang
namanya silent revolution. Tetapi
akhirnya, yang mengecewakan, moderator justru di ujung pertemuan itu membantah
usulan-usulan itu dengan argumentasi yang tidak mendasar dan kurang taktis
menurut saya. Yang lain hanya merespon pertemuan itu dalam perspektif ‘pragmatis’.
Saya telah membaca makalah dan buku yang sudah anda
berikan pada saya menyangkut pemikiran anda yang dilandaskan pada Ratu Langi
yang kemudian menurut anda Gubernur SULUT S. H. Sarundajang juga menjadikannya
landasan dalam disertasinya. Tetapi saya kira dalam pertemuan-pertemuan dengan
anda juga menyinggung bahwa konsep Ratu Langi tidak bukan tanpa kritik tapi
bisa dimodifikasi. Dalam buku van Klinken yang menguraikan soal Ratu Langi saya
mendapati bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh Inazo Nitobe (Bushido), William James (Pragmatisme), Karl Haushofer (konsep
Geopolitik), dan juga keadaan waktu itu tentunya. Konstruksi pemikiran Ratu
Langi tentunya dilahirkan dalam zamannya dan S. H. Sarundajang justru melakukan
rekonseptualisasi terhadap pemikirannya yang berbasis geostrategi. Saya akan
mencoba mengkritisi semua ini agar supaya pertemuan-pertemuan berikutnya kita
lebih akan mengerucut membahas soal Minahasa.
Ratu Langi yang terpengaruh oleh Bushido-nya Inazo Nitobe menjadikan dasar perjuangannya berangkat
dari kebudayaan etnik. Bushido secara
sederhana bicara soal etos masyarakat Jepang yang berangkat dari Budhhisme,
agama Sinto, yang dulunya menjadi etika perang bagi para samurai. Tetapi aplikasi Bushido kemudian diterapkan bukan hanya
dalam perang samurai tetapi secara meluas yaitu pada totalitas perjuangan
masyarakat Jepang. Di mana semangat itu merasuki dunia pendidikan,
pemerintahan, dan budaya. Tetapi dalam konteks masa Ratu Langi dia belum
berhasil merumuskan etos masyarakat Minahasa[1]
dalam konsepsi seperti Bushido yang
merasuki segala aspek masyarakat. Padahal kita memiliki etos masyarakat komunal
seperti Mapalus dan juga semangat Waraney. Mapalus merupakan ciri masyarakat Minahasa untuk membangun bersama;
kerja kolektif yang displin. Sementara waraney
adalah karakter prajurit yang sifatnya pemberani, jujur, disiplin (patuh pada tonaas – tou-taas/tou-ngaas atau teterusan), serta memiliki jiwa
patriotis untuk tanah dan masyarakatnya. Sekiranya etos mapalus dan semangat waraney
ini menjiwai pemerintahan dan pendidikan kita maka masyarakat Minahasa yang
berkepribadian dan kesejahteraan bisa terwujud. Dalam buku sejarah Minahasa
saya pernah membaca soal kesepakatan di Watu Pinawetengan yang kemudian
disebut Nuwu in Tua:
“…Sapakem
si kayo’ba’an anio, tana’ ta im baya! Asi endo makasa, sa me’em si ma’api,
wetengan e pa’tuusan, wetengan eng kayo’ba’an! Tumani e kumeter, mapar e
waraney, akad se tu’us, tumow on tumow tow!...” (secara bebas
diterjemahkan, “…Dengan ini kami nyatakan, dunia in adalah tanah air kita
semua! Bila pada suatu saat, burung telah memberi tanda yang pasti, bagilah
tanah ini hai kamu pemuka masyarakat pemberi contoh!
Bukalah wilayah pertanian baru, hai kamu pemimpin pekerjaan! Kuasailah wilayah,
hai prajurit perkasa, agar keturunan kita dapat hidup dan memberi hidup!”…[2]
Secara
sederhana saya melihat bahwa dalam kesepakatan itu ada fungsionalisasi
masyarakat menjadi tiga golongan yaitu: pertama, golongan pemberi contoh (walian-agama/religi) yang membentuk etos
moralitas masyarakat. Walaupun dalam konteks waktu itu masyarakat Minahasa
masih dalam kepercayaan aslinya dan belum bersinggungan dengan Kekristenan.
Tetapi hari ini harusnya semua agama yang ada di tanah Minahasa harus menjadi
panutan yang berpihak pada prinsip Minahasa. Kedua, golongan petani (tonaas); dalam konteks masyarakat
Minahasa dulunya yang disebut oleh Belanda bergboeren petani harus mampu
menyuplai kehidupan masyarakat. Jadi sederhanya dalam soal ekonomi golongan ini
memiliki tanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan pokok masyarakat. Ketiga,
golongan golongan ksatria. Golongan ini bertanggung jawab untuk menjaga keamanan
di wilayah masyarakatnya. Fungsionalisasi masyarakat ini bukan seperti
pembagian kasta/kelas sosial seperti pada masyarakat feudal tetapi pembagian
tugas demi keamanan dan kesejahteraan bersama. Jika bisa dikatakan negara
Minahasa/Malesung memiliki struktur inti sebagai berikut.
1. WALIAN
: merupakan pemimpin adat, kepercayaan/agama.
2. TONAAS
: merupakan kepala walak, wanua, ahli pertanian.
3. TETERUSAN
: pimpinan perang.
4. POTUASAN
: sebagai penasihat.[3]
Nuwu in tua adalah kesepakatan yang lahir
dari suatu kondisi di mana masyarakatnya harus hidup dalam ancaman eksternal
(imperialisme) sehingga persatuan itu adalah syarat untuk kelangsungan
masyarakat. Fungsionalisasi masyarakat adalah langkah taktis dalam perjuangan
hidup tou Minahasa pada waktu itu
demi apa yang dimaksud dalam kalimat terakhir; tumow on tumow tow (hidup untuk member hidup). Dalam slogan si tou timou tumou tou – saya pikir
dipetik dari nuwu in tua dan
dimodifikasi - yang identik dengan pemikiran Ratu Langi dimaknai oleh
masyarakat hari ini secara ahistoris. Oleh karena banyak slogan kedaerahan
justru dimaknai dalam konsep-konsep modern yang luas. Harusnya slogan-slogan
itu harus ditelusuri landasan atau pijakan di mana dia lahir. Gerakan budaya
Minahasa hari memang harus melakukan rekonstruksi terhadap mitologi, sejarah,
tradisi dan kesenian. Saya kira anda juga pernah menyebut remitifikasi dalam
buku anda soal bagaimana membangkitkan semangat Minahasa itu sendiri. Tetapi
gerakan budaya juga harus berbarengan dengan proyek politik.
Pragmatisme William James dijadikan Ratu Langi untuk
menjembatani Minahasa ke modernitas barat. Kebudayaan tradisional yang kuat
yang dilandasi oleh identitas etnik tetapi juga membuka diri pada perkembangan
zaman. Ide Ratu Langi untuk modernisasi Minahasa patut diapresiasi tetapi
kemudian perubahan dan pembalikan budaya yang revolusioner membutuhkan kekuatan
politik. Ini dibuktikan di Jepang melalui restorasi Meiji yang dilegitimasi
oleh kaisar, revolusi kebudayaan Turki oleh Mustafa Kemal Ataturk, dan revolusi
kebudayaan Cina di bawah pemerintahan Mao Tje Tung (Mao Zedong). Di eropa,
kebudayaan Kristen sangat di pengaruhi oleh kebijakan kaisar Konstantin yang
membuat Kristen menjadi agama negara; bahkan sampai pada reformasi Cluny
sebagai upaya mengkristenkan Eropa. Di sini kita melihat bahwa melakukan
pembalikan kebudayaan membutuhkan kekuatan politik. Masyarakat Minahasa
sekarang ini yang ‘pragmatis’ yang dipengaruhi budaya pop akan sangat sulit
untuk menerima ide-ide. Setiap masyarakat akan berperilaku sesuai dengan sistem
yang ada. Karl Marx menganggap bahwa perilaku kapitalisme yang menyebabkan
sebagian masyarakat tereksploitasi bukanlah kesalahan mereka tetapi kesalahan sistem
dan oleh karena itu sistem harus dirubah. Kekuatan politik itulah yang akan
menggerakan masyarakat ke etos kerja yang berlandaskan nilai-nilai budaya
Minahasa. Kebudayaan masyarakat bukanlah muncul serentak dalam benak semua
individu tetapi dari individu ke sosial. Kebudayaan adalah hasil konstruksi
pikiran manusia menyesuaikan dengan alam tempat tinggalnya. Kebudayaan adalah kata majemuk dari kata budaya dan
budaya berarti ‘pikiran’ dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata budh. Kebudayaan yang dihasilkan oleh
pikiran senantiasa bergerak dari particular menuju universal.
Menuju Minahasa yang modern pada dasarnya harus
dilandasi oleh kebudayaan lokal yang kuat agar supaya identitas cultural kita
menjadi landasan perilaku politik, ekonomi, dan pendidikan. Kondisi masyarakat
Minahasa hari ini sangat memprihatinkan di mana masyarakat dikuasai oleh budaya
pop, konsumerisme, dan politik praktis yang mengejar keuntungan pribadi. Sistem
social kita dipengaruhi oleh kapitalisme global yang merusak politik, hukum,
pendidikan, ekonomi rakyat, media, agama dan lain sebagainya.
“…., saat ini dunia tengah didesain dengan
agenda global menuju terbentuknya pasar global yang terkuasai. Tentu, di sini
yang berkuasa sekarang bukan lagi para politisi atau negarawan, tapi para bos
besar pemilik modal. Aparat pemerintah, militer, politisi, kaum cendekiawan,
ornop, dan kelas menengah hanyalah agen-agen local kapitalis transnasional ini.
Segala usaha dikerahkan untuk merealisasikan agenda global mereka. Strategi dan
konsep disususun untuk memuluskan jalan ini. Segala rintangan dan potensi
perlawanan akan dihabisi jika perlu. Tidak peduli itu demokrasi, HAM,
masyarakat sipil, kelompok bersenjata, agama, bahkan Tuhan sekalipun.”[4]
Dalam buku anda beberapa kali saya mendapati anda
mengkritisi soal posisi agama yang apatis terhadap persoalan social. Di mana
fungsi kenabian (profetik) tidak ada lagi dalam gereja bahwa gerakan liberation theology banyak ditentang
oleh aliran-aliran gereja tertentu. Saya kira jelas bahwa dalam sistem yang
dipengaruhi oleh kapitalisme agama tidak akan menjadi apa-apa selain
legitimator sistem yang disebut oleh Marx sebagai candu karena mengkhotbahkan
bahwa persoalan-persoalan manusia telah ditakdirkan Tuhan. Agama kini menjadi
sarang kapitalisme dengan semangat akumulasi modal dan menciptakan tingkat
kesejahteraan di kalangan pemuka agama sementara sebagian besar jemaatnya
melarat.
Konsep geopolitik Karl Haushofer yang juga diadopsi
oleh Ratu Langi menyangkut posisi Minahasa di wilayah Asia Pasifik harus
diperbincangkan secara serius oleh karena anda telah melakukan sinkretisme
antara pemikiran Ratu Langi dan S. H. Sarundajang yang menurut saya mungkin
tidak sinkron. Ketika Ratu Langi menulis tentang setiap bangsa berhak
menentukan nasib sendiri itu sebenarnya dipengaruhi zaman pada waktu itu yang
anti terhadap penjajahan (imperialisme) sehingga kemerdekaan bangsa adalah
topic dunia waktu itu. Geostrategi pada dasarnya dirumuskan dari geopolitik.
Geopolitik Minahasa menyangkut ruang hidup, luas dan batas-batas wilayah serta
potensi alam yang akan melandasi strategi mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Sesuai dengan pengaruh Karl Haushofer, Ratu Langi berbicara soal Pan-Minahasa
di Sulawesi yang disebut auctor
intellectualis. Ini berkaitan dengan sentiment regionalisme
etnik/nasionalisme etnologis. Van Klinken menulis bahwa Ratu Langi sering
melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan ekonomi kolonial, namun dia tidak
pernah menjadikan argument ekonomi sebagai bagian daya tarik nasionalismenya
(Klinken 2010 : 154). Hal ini membuat saya kemudian bingung soal geostrategic
yang dirumuskan oleh S. H. Sarundajang yang dilandaskan pada pemikiran Ratu Langi.
Harus di akui bahwa saya memang kekurangan literature tentang tulisan-tulisan
Ratu Langi. Tetapi ketika untuk pertama kalinya saya bertemu dengan anda di
Kora-kora untuk membahas disertasi S. H. Sarundajang saya juga adalah salah
seorang yang tidak sepakat secara penuh dengan konsep geostrategi itu.
Tujuannya mungkin sudah baik tetapi dalam hal penerapannya harus bertahap dan
melihat prioritas.
Forum pada waktu itu menginterpretasi bahwa konsep
geostrategi Sarundajang menganggap adalah titipan neoliberalisme (kapitalisme
global). Minahasa memang harus membuka diri terhadap dunia modern tetapi dia
harus siap secara mental budaya kolektif. Sederhananya kita menutup diri
sebagai persiapan untuk membuka diri. Agar supaya di kawasan asia pasifik,
Minahasa bukan hanya menjadi pasar tempat berdagang tetapi bagaimana menjadi
penguasa perdagangan itu sendiri. Keterbukaan ekonomi yang tidak dilandasi oleh
kemandirian produktivitas akan mengarahkan masyarakat kita menjadi konsumen
saja. Artinya dari segi sumber daya manusia kita sudah siap lebih dulu baru
kemudian melakukan keterbukaan di bidang ekonomi. Yang menurut saya bahwa
perjuangan Minahasa harus diawali dengan perubahan di bidang politik,
pendidikan, dan budaya. Kapitalisme global sangat tidak menghargai soal adat
dan budaya karena yang terpenting bagi mereka adalah akumulasi modal. Jadi pada
dasarnya interpretasi Sarundajang terhadap Ratu Langi mungkin agak berbeda oleh
karena dalam epilog bukunya pun jelas mengakui bahwa hal itu adalah
rekonseptualisasi. Sarundajang tidak menjadikan landasan budaya sebagai praktik
ekonominya. Kita punya etos mapalus
yang bisa dijadikan landasan konsep dan praktik ekonomi kita. Minahasa tidak
mengenal strata kelas social karena ciri masyarakatnya adalah komunal. Berkaca
dari masyarakat Cina bahwa sistem ekonomi mereka yang kapitalistik dengan
sistem politik komunis telah mampu mengangkat derajat bangsa mereka di dunia
internasional walaupun sejarah perjuangannya penuh dengan suku duka[5].
Cina mampu dalam bidang politik, teknologi, ekonomi, dan budaya mereka banyak
dikonsumsi oleh masyarakat dunia seperti film, produk elektronik dan
obat-obatan, bahkan pemikiran-pemikiran Cina kuno; Sun Tzu (Strategi Perang),
Confusius, Tao Te Ching, dan lainnya. Cina memiliki hak veto di PBB padahal republik
mereka didirikan pada tahun 1949 sementara Indonesia pada 1945.
Dalam perpektif saya, Ratu Langi memiliki pandangan
sinkretis terhadap tradisionalisme Minahasa dan modernisme barat. Ratu Langi
memiliki visi yang hebat tetapi itu berangkat dari kondisi zamannya. Hari ini
saya kira kita perlu memodifikasi pemikiran-pemikirannya dalam mewujudkan
Minahasa yang memiliki martabat, berwawasan luas, adil, dan makmur. Ratu Langi
sendiri saya pikir anti terhadap dogmatisme.
“Dogmatisme adalah kematian setiap pikiran
yang hidup, setiap hal yang memiliki jiwa dan berkembang di dalam pergaulan
manusia. Opini-opini dan pemikiran-pemikiran manusia berubah sesuai
tuntutan-tuntutan masa yang berubah” (Menara, 23-6-1934)
Ketika anda menyinggung soal keberhasilan bangsa
Israel membangun negara mereka saya pikir kita harus berusaha menelusuri
perjuangan mereka. Bagaimana mereka memproyeksikan negeri yang tandus itu – tetapi disebut tanah perjanjian
yang berlimpah susu dan madu – menjadi hijau dan mampu menghasilkan. Saya
sempat membaca bagaimana orang Yahudi belajar di Yeshiva dengan metode yang
mereka ciptakan sendiri tidak seperti metode yang digunakan negara lain.
Proyeksi Negara Israel dirumuskan secara serius dengan mempertimbangkan
berbagai aspek baik politik, ekonomi, budaya, teknologi, dan lainnya. Yang
uniknya juga masyrakat Israel adalah masyarakat plural tetapi dengan
keterikatan etniknya mereka mampu bersatu. Walaupun juga gerakan zionisme juga
telah mengabaikan prinsip kemanusiaan di Palestina. Yang saya harapkan adalah
bagaimana semua elemen gerakan Minahasa membuat protocol sebagai proyeksi
Minahasa ke depan. Segala aspek gerakan harus kita rangkul tetapi yang pasti
mereka punya semangat dan bisa percayai. Perbedaan harus kita akui tetapi
kebersamaan harus tetap ada dan gerakan kita harus didasarkan pada
prinsip-prinsip moral dan kemanusiaan.
Saya
kira mengenai konstalasi gerakan kaum muda Minahasa saya sudah sempat
mempresentasikannya di Kora-kora soal gerakan yang sporadis yang dipengaruhi
oleh multi-identitas dan landasan berpikir antara yang tradisionil dan modern
bahkan yang sinkretis. Apalagi yang dipengaruhi oleh semangat dekonstruksi;
pada dasarnya metode dekonstruksi adalah upaya untuk keluar dari dogmatism
tetapi implikasinya jauh daripada itu yaitu kemudian menghancurkan
landasan-landasan ideologis. Saya pikir dekonstruksi tak lain juga adalah
destruksi (postmodernisme) yang telah diproyeksikan oleh kapitalisme global di
mana arah pemikirannya anti modernitas sehingga menggiring para inteletktual
untuk kembali berpikir tradisionil dan menghindari proyek-proyek berskala besar
seperti pengembangan nuklir dan lain sebagainya. Kapitalisme global ingin
merusak perjuangan-perjuangan lewat dekonstruksi ide-ide apalagi yang berkaitan
dengan sosialisme. Ketakutan negara-negara kapitalis besar adalah bangkitnya
negara-negara yang mandiri secara ekonomi dan intelektual sehingga menyaingi
kekuasaan yang ada. Walaupun mungkin lahirnya postmodernisme memang tidak
berkaitan dengan upaya meminimalisir gerakan social yang berujung pada persaingan
antar negara. Tetapi metode dekonstruksi memang sangat mempengaruhi dunia seni
dan budaya di mana di antaranya ada pemikir seperti Julia Kristeva, Jacques
Derrida, dan Jean Baudrillard.
Gerakan
kita hari ini saya kira anda juga bersepakat adalah peacefull movement kita tidak harus melakukan revolusi berdarah
yang telah memakan banyak korban. Tetapi bagaimana kita merumuskan gerakan
damai yang simultan dari berbgai aspek. Kita tidak perlu mencontoh revolusi-revolusi
yang menelan biaya dan korban (baik fisik maupun psikis) tetapi marilah kita
mewujudkan tatanan masyarakat seperti yang dimaksudkan oleh Benni E. Matindas:
“Negara
yang sebenarnya adalah pranata yang dibuahkan oleh prestasi peradaban manusia
untuk tujuan-tujuan fitriahnya, yang diselenggarakan dengan nilai-nilai
keadilan dan kebersamaan yang kemudian mengkristalkan kesadaran mengenai
mutlaknya azas keadaulatan rakyat…. tujuan kehidupan bernegara tidak boleh
dirumuskan dengan kegandrungan memajang teori-teori ataupun ideology
segagahnya; ia harus sesuai fitrah manusia berkenaan dengan kebutuhannya
sebagai individu di tengah masyarakat bangsanya maupun pergaulan antar
bangsa-bangsa. Sementara azas-azas penyelenggaraan negara cukup ditujukan saja
pada pengutamaan azas keadilan, azas kebersamaan atau persatuan demi pembesaran
daya, dan azas kedaulatan rakyat.”[6]
Buku
yang berjudul negara sebenarnya oleh Benni E. Matindas adalah upaya untuk
mencari alternative bahkan ingin mengembalikan hakikat negara. Yang harusnya
dapat menjamin kebutuhan dan keamanan dan bukan seperti apa yang terjadi selama
ini demi sebuah ideologi aparat pemerintah membunuh masyarakat yang tidak
menyetujuinya; demi ideologi terjadi perang saudara padahal semua menginginkan
kesejahteraan. Kita harus mampu menepis egoisme-egoisme berpikir kita untuk
mewujudkan gerakan social yang menjunjung tingga azas kebersamaan dan menjamin
hak-hak kita.
Saya
mengenal dr. Bert. A. Supit baru beberapa bulan dan tidak sama dengan
orang-orang yang lain yang sudah dua tiga tahun bahkan sudah belasan tahun.
Tetapi saya sangat mengerti jalan pikiran anda dan kendala-kendala dalam
gerakan yang menghalanginya. Saya berterima kasih telah menularkan semangat
ke-Minahasa-an melalui pribadi, pemikiran dan buku-buku yang telah anda berikan
pada saya. Saya akan terus membawa ide-ide ke-Minahasa-an dalam perjuangan
hidup dan semoga cita-cita tentang
Minahasa yang berdaulat sebagai bangsa akan terwujud; cepat atau lambat namun
pasti. Anda mungkin tidak akan melihatnya begitu pun dengan saya tetapi harapan
kita pasti akan mewujud karena kita telah meletakkan dasar-dasar harapan itu
untuk diperjuangkan generasi selanjutnya. Hidup itu singkat (vita brevis).
Mengakhiri
surat ini saya ingin mengutip beberapa kalimat dari roman Bintang Minahasa
karya H. M. Taulu:
“…janganlah
kita menaruh benci lagi kepada bangsa yang senenek moyang dengan kita!
Seboleh-bolehnya kita harus bekerja bersama-sama akan membersihkan tanah air
kita daripada musuh. Jangan mengatakan ia orang Tonseak, ia orang Tolour, ia
orang Tombulu, ia orang Tontemboan, melainkan mulai saat ini kita harus
pandang, bahwa kita semua bersaudara, kita bangsa “Minaesa”, artinya : bangsa yang telah menjadi satu.”
Tondano, 18 Desember 2013
Iswadi Sual
(…dari atas bukit Tampusu dalam masa penantian Mesias -Sang penyelamat-
di tanah Minahasa)
[1]
Sebelumnya disebut Malesung.
[2] Dipetik dari buku Minahasa. Dari amanat Watu Pinawetengan
sampai gelora Minawanua karya Bert Supit. Jakarta. Sinar Harapan. 1986.
[3]
Sejarah Minahasa. Disitir dari
buku Sekilas Sejarah Desa Pontak Dan
Perkembangannya oleh M. F. Lumenta 1989 (editing oleh Iswadi Sual: 2011)
[4]
Petras & Veltmeyer. Imperialisme abad 21; diterjemahkan dari Globalization unmasked : imperialism in 21st
century. London. Zed book Ltd. 2001. Versi bahasa Indonesia
diterbitkan oleh Kreasi wacana. Yogyakarta. 2002
[5]
Lihat karya Wibowo, I. Negara dan Masyarakat: berkaca dari pengalaman Republik
Rakyat Cina. Jakarta. Gramedia. 2000.
[6]
Lihat Matindas, Benni E. Negara sebenarnya. Jakarta. Widyaparamita. 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar