(sebuah analisis
relasional)
I.
PENDAHULUAN
Sejak era kolonial usaha untuk melawan praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme telah diserukan. Jadi sudah dalam waktu yang lama Indonesia diperhadapkan dengan isu yang sama tetapi pertanyaannya mengapa ini
tak terselesaikan walaupun Indonesia
setidaknya telah melewati tiga momen (revolusi?) social yang sangat signifikan
– dari proklamasi kemerdekaan 1945, penggulingan rezim Soekarno, dan reformasi
1998 atau juga yang disebut kejatuhan Soeharto pendiri rezim orde baru. Apakah tidak
ada solusi yang tepat untuk mengakhirinya atau semua itu sebenarnya dikultuskan
dan dilakukan secara berkesinambungan. Ini yang harus kita curigai. Pemerintah kita
bisa dikata seperti binatang yang tak mampu melakukan evaluasi dan terjebak
pada persoalan-persoalan yang sama di setiap rezim pemerintahan. Agresi militer
terhadap gerakan-gerakan separatis adalah bukti bahwa persatuan nasional
hanyalah semboyan sesaat yang dikumandangkan untuk melawan kekuatan asing
sebelum merdeka. Pemerintah lebih membela NKRI yang merupakan kesepakatan
manusia daripada membela kemanusiaan itu sendiri. Negara dipersonifikasikan dan
manusia ‘dianimalisasi’.
Ketika agresi militer dijadikan jawaban atas gerakan separatism aka itu adalah
pengkhianatan terhadap demokrasi dan hakikat bangsa dan negara ini dibentuk.
Kita perlu membuka kembali sejarah pergerakan nasional dan
memahaminya secara tuntas dengan menepis sedikit rasa ‘nasionalisme’ yang
membuat kita kadang tidak objektif melihat persoalan negara kita hari ini.
Sejarah nasional yang penuh konflik baik internal maupun ekternal adalah
pijakan analisis kita. Tidak adanya kesadaran untuk mengakui keberagaman dan
segala praduga atau kecurigaan adalah sumber konflik nasional. Itu adalah
kenyataan politik Indonesia sampai hari ini. Artinya, memang ada
praktik-praktik anomali politik yang sengaja dikultuskan sehingga menjadi
kerangka praktik social yang dilakukan terus menerus. Inilah yang menjadi pokok
permasalahan yang memunculkan solusi yang dilematis seperti yang diusulkan oleh
tokoh pluralis Gus Dur. Kultus adalah perilaku yang melibatkan banyak orang
yang terjaring sehingga ketika kita ingin memberangus kultus itu maka konsekuensinya
adalah mengorbankan banyak orang dalam jaringa kultus itu.
Teori strukturasi Anthony Giddens yang menggambarkan bagaimana
praktik-praktik social terlembagakan dengan bantuan individu-individu manusia
sebagai agen baik dalam kondisi kesadaran praktis maupun kesadaran diskursif
melakukan produksi dan reproduksi sosial.
Di sisi lainnya relasi social yang melibatkan keterikatan individu menciptakan
kultus sosial dan sekaligus mempertahankannya. Dalam hal ini ketika praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme telah terlembagakan maka relasi agen-agen akan
mempertahankannya dan menjadi sistem yang dipraktikkan secara berkesinambungan.
Teori strukturasi mampu menjadi alat untuk menjelaskan fenomena social yang ada
di Indonesia.
Giddens memahami bahwa
dualitas struktur yang mana struktur merupakan media yang diproduksi kembali
secar berulang-ulang. Dalam hal ini jika struktur yang ada itu tidak baik maka
proses reproduksi social adalah mengulangi kesalahan-kesalahan secara
berkesinambungan. Gerak social terjebak dalam lingkaran yang berputar-putar
secara terus menerus. Strukturasi social adalah gerak individu-individu yang
secara kompleks membentuk relasi-relasi yang mengikat baik secara formal maupun
konvensional dan mengalami reproduksi. Jika struktur yang terbentuk berdasrkan
nilai-nilai yang baik maka proses strukturasi social akan menciptakan
masyarakat yang baik pula.
II.
SEJARAH KONFLIK NASIONAL
Sejarah konflik nasional dimulai jauh sebelum datangnya bangsa
penjajah di nusantara oleh karena konsep nasional ada berbagai persepktif.
Apakah nasional itu? Apakah kita akan bicara nasional dalam pengertian kuno
atau yang modern? Indonesia adalah konsep bangsa yang dirimuskan oleh Soekarno
mengikuti konsep Ernest Renan yang memandang bahwa bangsa dalam pengertian
modern menyangkut sejumlah orang yang memiliki nasib yang sama dan kemauan
untuk bersatu. Ini adalah perubahan terhadap konsep kuno tentang bangsa yang
memandang bahwa bangsa sebagai sejumlah orang yang memiliki kebudayaan, bahasa,
dan ras yang sama.
1.
PRA-KEMERDEKAAN
Dalam masa sebelum dirumuskannya
bangsa Indonesia terjadi konflik di nusantara oleh karena persaingan
kerajaan-kerajaan yang juga merupakan perkembangan dari suku-suku. Semangat
imperialisme yang ada di kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara menimbulkan
perang penaklukan wilayah. Beberapa abad lamanya segala suku terlibat dalam
konflik perang di mana yang lain ingin menaklukkan wilayah dan yang lain
mempertahankan wilayah. Terjadi ofensif dan defensif di segala wilayah yang ada
di nusantara karena kompetisi antar suku. Motif imperialisme ini adalah mencari
prestise kerajaan dan juga penyebarluasan agama serta sedikitnya menngusai
aktivitas ekonomi suku yang ditaklukkan.
Konflik antar suku ini dimanfaatkan
oleh penjajah untuk menaklukkan seluruh wilayah nusantara. Di mana bangsa Belanda
menawarkan jasa perang untuk membantu suatu suku menaklukkan suku lain dengan
perjanjian bahwa suku tersebut harus menjalin kerjasama dengan Belanda. Dengan
demikian Belanda menaklukkan kedua suku tersebut walaupun yang satunya
ditaklukkan secara administrative (pendekatan persuasif-simbiosis) dan suku
yang satunya ditakulukan secara tak langsung karena otomatis suku yang kalah
berperang akan tunduk pada suku yang menaklukkannya. Suku yang mendapat jasa
perang dari Belanda merasa menang dan mendapat prestise walaupun sebenarnya
mereka terikat pada kekuasaan Belanda.
Ketika belanda merasa sudah berada
pada titik aman maka hubungan tidak dipandang lagi sebagai mitra tetapi
hubungan antara bangsa penjajah dan yang dijajah. Para elite di suku-suku yang
dulunya merasa adalah penguasa kini berubah menjadi pelayan kolonialisme Belanda.
Kesewenang-wenangan Belanda menimbulkan gerakan perlawanan yang dimotori oleh
para elite di setiap suku untuk melawan penjajah. Perlawanan-perlawanan particular
di nusantara sangat mudah ditumpas oleh Belanda dengan menggunakan suku-suku
tetangga yang juga adalah ‘mitranya’.
Ketika muncul kesadaran akan
pentingnya gerakan besar untuk mengusir penjajah maka para elite politik
merancang sebuah doktrin persatuan untuk membebaskan diri dari kungkungan
imperialisme Belanda. Ini juga ditandai dengan adanya gerakan nasional dan
masuknya berbagai ideologi yang dijadikan alat pemersatu. Dari sinilah cikal
bakal munculnya konsep negara dan bangsa Indonesia. Rasionalisasi bangsa dan
negara ini cukup profokatif dalam mengobarkan semangat nasional. Sehingga
dengan begitu muncullah gerakan-gerakan yang menentang penjajahan secara
massif. Konflik antar suku dan agama telah diredam dalam semboyan-semboyan
kemerdekaan.
2.
PASCA-KEMERDEKAAN
17 Agustus 1945 adalah momen penting
bagi masyarakat yang telah diikat dalam misi kemerdekaan. Ini adalah momen
terbebasnya masyarakat dari kolonialisme lama dan juga sambutan terhadap
kolonialisme baru. Bangsa dan negara baru yang juga baru merdeka ini tiba-tiba
juga secara agresif melakukan aneksasi terhadap wilayah-wilayah tertentu yang
bukan memiliki nasib yang sama dan sebenarnya tak memiliki kehendak untuk
bersatu. Konflik lama kemudian bangkit lagi untuk memperebutkan dominasi di
pemerintahan negara yang disepakati ini. Indonesia adalah model negara yang
disepakati oleh berbagai bangsa di dalamnya. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea
keempat menunjukkan bahwa pembentukan pemerintahan Indonesia adalah kesepakatan
bangsa-bangsa untuk menciptakan kesejahteraan bersama.
Setelah Indonesia merdeka dari
penjajahan Belanda dan Jepang maka isu-isu lama kemudian diangkat dan
kembalilah masyarakat beraktivitas dalam konflik suku, agama, dan juga antar
wilayah. Lebih parah lagi ada warisan kolonial yaitu ideologi yang akhirnya
menjadi sumber konflik politik yang baru. Berbagai partai politik didirikan
sehingga masyarakat melebur dalam suatu wadah yang mereka anggap sebagai bentuk
perjuangan mewujudkan cita-cita nasional. Tetapi yang tidak disadari oleh masyarakat
adalah kaum elite telah memanfaatkan kemerdekaan untuk membangkitkan kekuasaan
mereka kembali dengan dalih-dalih demokrasi. Padahal fenomena politik yang
terjadi adalah bentuk pemerintahan Indonesia adalah aristokrasi dalam waktu
relative cukup panjang dan dominan. Demokrasi hanya berlangsung pada
jadwal-jadwal nasional seperti pemilu dan sesudah itu pemerintahan berubah
menjadi aristokrasi dan juga bisa jadi monarki.
Kaum elite nasional terdiri dari kaum
bangsawan atau juga bisa disebut kaum borjuis – sisa feodalisme yang tentu
memiliki kekayaan besar -, kaum politisi, dan agamawan. Penyelenggara
pemerintahan yang sebenarnya berada di bawah kontrol mereka yang saling
membantu dalam melakukan akumulasi modal. Para politisi memberi ruang bagi para
borjuis untuk melakukan kegiatan ekonomi dan melindungi mereka secara hukum dan
sebailknya menerima sejumlah sogokan dan gratifikasi. Sedangkan para politisi
dan kaum borjuis membagi ‘berkat’ mereka pada kaum agamawan supaya citra mereka
sebagai orang-orang bermoral tetap dijaga di tengah masyarakat luas.
Kesadaran akan fenomena politik ini
melahirkan sebuah bentuk perjuangan baru dari kelompok masyarakat tertentu
untuk merubah sistem. Dominasi kaum elite dipandang sebagai causa generis krisis nasional yang menyentuh hampir semua aspek
kehidupan. Bangkitnya gerakan masyrakat adalah akibat terjadinya pengkhianatan
terhadap cita-cita nasional yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945. Di
masa soekarno menjadi presiden konflik nasional adalah bangkitnya isu suku,
agama, dan ideologi. Pertengkaran politik ini akhirnya menjadi pemicu dan
mendorong untuk menggulingkan rezim orde lama dan memunculkan rezim baru yang
juga disebut rezim militer.
Sejarah nasional adalah sejarah
konflik panjang yang didominasi oleh isu suku, agama, dan ideologi. Persaingan
antara kelompok kepentingan ini menjadi dasar kultus praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme. Keinginan untuk mempertahankan dominasi golongan dengan
mengorbankan apapun dan dengan cara apapun. Artinya persatuan nasional adalah
semboyan de jure yang hanya menciptakan ikatan adminstratif politik nasional.
Tetapi praktik de facto adalah memberangus kelompok
kepentingan lainnya dengan kekuatan nasional juga. Di mana sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang dikumpul dari berbagai daerah digunakan untuk melawan
daerah-daerah yang menuntut hak-hak nasionalnya. Ketika melawan kolonialisme
belanda dan jepang isu yang muncul adalah masyarakat nusantara adalah sama dan
merupakan satu bangsa tetapi setelah merdeka kesadaran akan persamaan tidak ada
lagi. Persatuan nasional di masa itu hanyalah isu taktis untuk mengusir
penggangu konflik internal di nusantara.
III.
PENDIDIKAN NASIONAL SEBAGAI INSTITUSI DOKTRINER
Pendidikan nasional adalah kontradiksi dari politik nasional
karena cita-cita pendidikan nasional direduksi oleh praktik politik itu
sendiri. Politik nasional praktisnya adalah usaha untuk menimbun kekayaan untuk
pribadi, keluarga, golongan, atau partai politik. Sementara pendidikan nasional
adalah fasilitas untuk mewujudkan cita-cita nasional. Tetapi anomali politik
sangat berdampak pada penyelenggaraan pendidikan. Ada usaha sistematis yang
secara tak langsung membuat masyarakat tidak bisa bernalar lebih dari standard
yang telah mereka tentukan.
Kontinuitas sebuah bangsa secara berkesinambungan melakukan proses
internalisasi dan eksternalisasi konseptual. Oleh karena sebuah bangsa selalu
berganti generasi maka perlu adanya produksi dan reproduksi konsep-konsep
social.
Kegagalan dalam menyelenggarakan pendidikan akan berdampak pada konstruksi
social yang tidak sehat. Institusi pendidikan adalah wadah vital untuk
membekali individu dalam melakukan interaksi social. Ketika wadah ini tidak
mampu menciptakan pribadi yang bermasyarakat sesuai dengan nilai-nilai ideal
suatu negara maka perilaku social akan tidak sesuai dengan cita-cita negara.
Misalnya, mahasiswa ilmu social yang dididik dengan kekakuan kultus birokrasi
pendidikan yang menyimpang akan menimbulkan kontradiksi. Dalam ilmu-ilmu social
doktrin tentang kebebasan berpendapat dipelajari sebagai bagian dari hak asasi
manusia. Tetapi ketika dosen ilmu social justru berlaku otoriter di kelas dan
membatasi mahasiswa dalam mengeluarkan pendapat pribadinya atau sama sekali
tidak memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mengkritisi konsep-konsep
social maka itu adalah hal yang sangat ironis.
Dalam dunia pendidikan perilaku guru atau dosen sangat vital dalam
membentuk kepribadian peserta didiknya. Dalam tataran konseptual seorang guru
atau dosen bisa dimaklumi kemampuannya tetapi dalam tataran praktik moral
mereka harus menjadi panutan. Keterbatasan manusia memang meratifikasi
kelalaian atau kekhilafan tetapi bagaimana kalau seorang pendidik itu
berperilaku secara sadar melakukan hal yang bertentangan dengan nilai-nilai
yang prinsipil. Memanfaatkan mahasiswa dengan menjual diktat dengan harga tak
sesuai dengan biaya produksi serta sedikit ancaman agar pembelian diktat
menjadi keharusan. Hal yang lebih para ketika terjadi pelecehan seksual
terhadap peserta didik yang dilakukan oleh orang yang disetifikasi memiliki
moral dan intelektual yang tinggi. Pelanggaran terhadap kode etik profesi
adalah bukti kegagalan pendidikan negara dalam menciptakan individu-individu
yang mampu berinteraksi sesuai dengan nilai-nilai kultural ataupun apa yang
diatur dalam hokum posistif negara.
Kegagalan dalam melakukan internalisasi berupa konsep, pandangan,
dan nilai-nilai social akan melahirkan perilaku social yang tidak sesuai dengan
apa yang dicita-citakan. Perilaku-perilaku koruptif, kolusif, dan nepotis jelas
bertentangan dengan nilai-nilai moral bahkan hokum posistif tetapi jika hal itu
justru dipraktikkan oleh agen-agen social seperti guru, dosen, pegawai negeri,
pemimpin agama, dan pemerintah maka ada kesenjangan antara apa yang seharusnya
dengan realitas social. Agen social seperti guru mengajarkan pada peserta didik
tentang apa yang tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan nilai-nilai
moral dan hukum positif tetapi secara diam-diam dan sadar justru melanggar apa
yang diajarkannya. Peserta didik diajarkan untuk berlaku jujur sementara
seorang guru melakukan tindakan suap untuk mengejar kenaikan pangkat dan gaji.
Mahasiswa mendapat konsep-konsep pembelajaran yang harus dilakukan untuk
memenuhi kualifikasi mendapat nilai A tetapi dosen itu pun tidak mempu
mengelola kelas dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Menjadi
seorang dosen dengan relasi (nepotism) menciptakan perspektif bahwa menjadi
dosen tidak perlu memiliki tingkat intelektual di atas rata-rata tetapi bisa
memenuhi kualifikasi di luar aturan.
Institusi doktriner yang diharapkan mampu memproduksi
individu-individu yang memiliki kepribadian sesuai dengan cita-cita negara akan
gagal ketika agen-agen social tidak mampu melakukan internalisasi konseptual
dan berperilaku yang sesuai. Jika institusi pendidikan diibaratkan sebagai
pabrik maka produk-produk yang dihasilkan melalu cetakan yang rusak tentunya
rusak pula. Jika dalam institusi pendidikan ada praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme maka produksi sarjananya juga memiliki nilai-nilai tersebut. Jika
keadaan pabrik tidak sehat maka produknya pun tidak sehat. Produksi sarjana
yang diharpkan mampu memperbaiki keadaan social akhirnya hanya memperparah
keadaan. Oleh karena sarjana-sarjana yang diproduksi oleh universitas,
misalnya, adalah racun-racun social. Racun yang diproduksi ini dianggap
memiliki kualifikasi untuk dipakai oleh karena memiliki lisensi yang diratifikasi
oleh institusi pendidikan.
Institusi pendidikan memiliki tugas melakukan internalisasi
konseptual dan juga mampu mengamati dan merumuskan keadaan social. Kaum
intelektual memiliki tanggung jawab terhadap realitas social yang menyimpang.
Tetapi selama kaum intelektual sebagai agen social tidak mampu mengevaluasi
diri maka mereka juga adalah bagian dari krisis social baik sadar maupun tidak
sadar.
IV.
RELASI SOSIAL DAN KULTUS KKN
Relasi sosial berkenaan dengan identitas individu yang terkait
dengan identitas kelompok, kelompok dengan komunitas, komunitas dengan
organisasi, dan seterusnya. Yang pokok adalah relasi social ini adalah
perangkat yang menciptakan struktur dan mempertahankan kultus atau tradisi
tertentu dalam masyrakat. Kultus atau tradisi ini bisa suatu praktik tak tertulis
yang ada dalam negara atau komunitas yang lebih kecil tetapi secara nyata
dipraktikkan terus. Kultus atau tradisi dipraktikan dalam ketidaksadaran
kolektif tanpa adanya kesadaran diskursif. Bagi individu atau kelompok
masyarakat yang menerapkannya tak penting apakah itu baik atau buruk karena itu
mungkin dipandang sebagai kemampuan untuk bereksistensi. Atau juga perilaku
individu yang masuk dalam struktur social akhirnya menjadi kebiasaan dan
berubah menjadi kebenaran social.
Dalam masyarakat Indonesia relasi social terdapat dalam banyak jenis
dan bentuk sesuai dengan kemajemukan bangsa ini. Relasi social dibentuk
berdasarkan ikatan keluarga, relasi klan atau marga, relasi wanua (kampung atau desa), relasi suku,
relasi agama (kepercayaan), relasi partai (politik), dan relasi utang budi.
Dalam relasi itu juga variasi relasi
menjadi lebih spesifik yang disebabkan oleh kepentingan, orientasi, dan juga
pandangan. Tetapi yang akan kita bicarakan di sini mengenai bagaimana pengaruh
relasi-relasi itu dalam membentuk struktur praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Di mana individu diikat dalam identitas-identitas social yang
membenarkan patologi social ini dan tetap mempertahankannya walaupun secara
sadar mereka ketahui bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi negara.
Mari kita mulai dengan relasi-relasi yang lebih besar yaitu dalam
identitas agama dan suku yang telah disinggung sebelumnya. Dalam instansi
pemerintahan persaingan antara suku dengan suku dan agama dengan agama sangat
sensitive. Individu yang terlibat dalam posisi structural pemerintahan akan
merekrut secara prioritas individu-individu lain yang memiliki relasi agama dan
suku. Misalnya di Indonesia yang menjadi wacana umum bahwa prioritas perekrutan
individu untuk memenuhi posisi pemerintahan adalah orang jawa dan prioritas
kedua beragama islam. Makanya Indonesia menurut anggapan-anggapan para
pengkritiknya adalah kolonialisme Jawa. Walaupun memang pada kenyataannya
posisi struktural negara ada juga yang berasal di luar Jawa dan diluar agama Islam
tetapi yang mendominasi tetaplah dua identitas ini. Mengacu pada praktik dalam
skala nasional maka di tingkat daerah pun menerapkan hal yang sama. Ini adalah
reproduksi dalam praktik politik yang juga disebut nepostisme walaupun secara
etimologis kata itu memiliki arti sempit. Nepotisme berasal dari bahasa inggris
yang dibentuk dari kata dasar nephew
yang artinya kemenakan laki-laki, dan tambahan –isme yang bisa diartikan paham atau prinsip. Tetapi secara luas
nepotisme diartikan sebagai prinsip mendahulukan sanak saudara ataupun kerabat
dalam posisi tertentu pada suatu institusi. Institusi itu bisa berupa negara,
organisasi atapun komunitas yang memilki struktur pembagian tugas.
Praktik kolusi memainkan peran yang sedikit berbeda dengan nepotisme
di mana konspirasi antara dua individu atau lebih; atau juga antara kelompok
identitas yang memilki kepentingan yang sama. Tujuan konspirasi atau
persekongkolan bisa hanya sebuah perjanjian untuk mencapai sesuatu tetapi
tujuan yang paling segera biasanya adalah untuk menyingkirkan individu atau
kelompok lain yang tidak memilki kesamaan kepentingan. Bisa saja individu atau
kelompok lain itu membahayakan kepentingannya. Kolusi tidak harus didukung oleh
relasi suku, agama, klan, atau ikatan keluarga tetapi bisa dalam konteks
pandangan dan kepentingan bersama. Kolusi juga bisa membantu kultus korupsi dan
nepotisme.
Individu-individu yang direkrut dengan cara nepotism akan menjadi
agen-agen yang melegalkan praktik korupsi dan kolusi. Dalam kesadaran praktis
mereka semacam ada rasa utang budi karena telah mendapat jabatan dan
‘kehidupan’ yang telah dianugerahkan. Individu-individu yang diikat dalam
relasi klan atau keluarga memiliki solidaritas yang lebih dan biasanya dalam
tingkat emosional yang tinggi pula. Klan dan keluarga memiliki sensivitas yang
tinggi dalam memproteksi lingkaran itu. Selebihnya ikatan suku dan agama akan
memainkan sensivitasnya ketika terjadi persaingan. Dalam konteks persaingan
antar kampung praktik nepotisme akan muncul untuk merekrut
individu-individu yang berasala dari
wanua yang sama. Hal yang menarik adalah identitas agama dan klan bisa juga
diredusir untuk keperluan itu.
Nepotisme menjadi faktor utama yang melegitimasi praktik korupsi dan
kolusi dengan ikatannya yang paling
banter yaitu utang budi. Rantai nepotisme menguatkan dan sekaligus melindungi
praktik anomali politik. Terlepas dari regulasi negara, moralitas sosial, dan
moralitas agama, nepotisme menjadi standard kebenaran praktis. Ikatan-ikatan
social seperti sistem saraf pada tubuh manusia yang memediasi pengiriman rangsangan
dan informasi untuk mengendalikan perilaku organisme. Individu-individu yang
terorganisir melalui nepotisme akan tunduk pada siapa yang menganugrahkan
posisi-posisi mereka dalam suatu institusi tertentu.
Antara korupsi, kolusi, dan nepotisme memiliki hubungan simbiosis
mutualisme dengan jaringan kompleks. Kesemerautan jaringannya menimbulkan
kesulitan memberangus praktik-praktik semacam itu. Kadang nepotisme menciptakan
kolusi dan korupsi tetapi bisa juga sebaliknya korupsi menciptakan nepotisme
dan kolusi atau juga bisa dimulai dari kolusi. Jaringan kompleks yang
diciptakannya melibatkan agen-agen yang terhubung satu sama lain sehingga
agen-agen itu saling menjaga.
Usaha untuk menghilangkan kultus korupsi, kolusi, dan nepotisme
berbenturan di antara agen-agen yang menciptakan struktur itu sendiri. Ada kontradiksi
dalam agen-agen ini baik batin maupun kontradiksi struktural sehingga mereka
sendiri tak bisa mengkritisi sistem yang telah ada. Ini merupakan kasus
dilematis yang akan kita bahas pada topic selanjutnya di mana agen-agen diikat
dalam sistem yang telah terstruktur. Ini juga sekaligus menjelaskan mengapa
praktik-praktik anomali sangat susah unutk diberantas sekuat dan seekstrim
apapun kampenye pemberantasannya. Kampenye dalam wilayah hukum positif negara,
moral agama, dan etos masyarakat tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam
upaya pemberantasannya.
V.
GERAKAN PEMBARUAN DAN DILEMA
Dalam diskusi-diskusi yang digelar secara nasional bahkan sampai ke
skala kecil yaitu diskusi kelompok solusi tentang persoalan bangsa dan negara
ini khususnya masalah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme – saya kira –
telah menemukan solusi. Tetapi akhirnya penyelenggara solusi itu (eksekutor)
ternyata juga bermasalah. Jaringan kompleks yang telah terstruktur itu tak
dapat dipungkiri telah melibatkan hampir seluruh masyarakat. Si A yang notabene
adalah koruptor merupakan ayah, saudara, kemenakan, atau berasal dari suku yang
sama dengan si B, C, D yang adalah penegak hukum positif negara. Sementara si B,C, dan D ini memiliki status social yang
dianugerahkan oleh A. Dalam hal ini hubungan antara A, B, C, dan D terikat
secara dilematis.
Seorang pejabat pemerintahan negara tidak bisa secara arbitrer
memberangus tindakan-tindakan bawahan atau segelintir masyarakat yang melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara. Di satu sisi mungkin
jabatan yang didudukinya tak lepas dari jasa-jasa partai politik, kelompok
pebisnis yang berkepentingan, dan para bawahannya turut serta dalam suksesi
untuk dirinya. Seseorang yang masuk dalam sistem biasanya akan melakukan adaptasi
perilaku walaupun secara ideologis dia mengetahui bahwa apa yang terjadi dalam
sistem itu tidak bisa dibenarkan. Ketidakberdayaan ini merupakan konsekuensi
logis dari struktur yang telah ada.
Masyarakat hari ini –status dan perilaku sosialnya – sebagian besar
tak luput dari produk struktur yang menyimpang. Kita bisa melakukan evaluasi
terhadap keadaan dengan pengalaman social kita. Misalnya, ketika dalam ujian di
sekolah siswa mendapat bocoran jawaban dari guru dan semua lulus maka siswa
telah menjadi produk dari penyimpangan. Karena kadang siswa juga berterima
kasih dengan jasa guru yang telah memberikan jawaban soal yang mempermudah
jalannya ujian. Padahal di satu sisi praktik ini dilarang dan di lain sisi itu
merupakan upaya instansi pendidikan untuk menyembunyikan ketidakmampuan mereka
mengelolah satuan pendidikan. Kerena kalau banyak siswa yang tidak lulus di
satu sekolah maka itu secara otomatis menggambarkan kualitas pengelolaan dan
tenaga pengajarnya. Siswa di sini gembira telah lulus dan secara tak sadar
telah menjadi produk dari kebiasaan yang menyimpang. Apakah siswa akan
mengkritisi penyimpangan yang dilakukan oleh guru-guru mereka?
Individu-individu yang terjaring dalam agama, suku, dan disktrik
telah diikat dengan solidaritas doktriner untuk saling membantu dan melindungi.
Walaupun perilaku satu individu tidak baik tetapi dia tetap akan mendapat
perlindungan, pembelaan, dan pembenaran dari individu lain yang mereka
sama-sama terikat dalam identitas agama, suku, dan distrik. Ajaran tentang moral
dan agama direduksi oleh relasi-relasi social untuk mempertahankan kultus yang
diciptakan oleh relasi itu. Dapat dikata bahwa kebenaran moral dan agama berada
di bawah kebenaran yang diciptakan oleh relasi-relasi itu.
Gerakan-gerakan social yang memberi doktrin perubahan pada
individu-individu yang menciptakan kaum idealis dan aktivis akan mengalami
dilemma dalam aktivitas sosialnya ketika mengkritisi praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme. Oleh karena bisa saja individu-individu itu adalah bagian dari
praktik yang menyimpang. Seorang hakim tidak bisa memberikan hukuman berat pada
seseorang yang memiliki relasi dengannya. Walaupun kadang relasi itu tidak
bersifat langsung, misalnya, orang yang
didakwa adalah saudara dari jaksa penuntut umum atau juga pengacara.
Solidaritas profesi mereka akan meredusir kebenaran hukum. Adapun ketika
seorang terdakwa memberi sejumlah uang kepada hakim dan hakim tersebut memberi
bagian pada jaksa dan pengacara maka kebenaran hokum pun dikesampingkan.
Solidaritas profesi juga merupakan relasi social yang cukup
berpengaruh dalam menciptakan kultus korupsi, kolusi dan nepotisme. Ikatan ini
menjadi motif yang melindungi kultus itu dengan dalih melindungi institusi atau
dalam konteks ‘etika profesi’. Seorang guru tak berani mengkritik kelemahan
guru-guru yang lain karena juga dia menyadari dia adalah produk dari kultus
itu. Atau seorang polisi yang tak bisa mengkritik sesame aparat karena juga dia
kadang menggunakan statusnya untuk melindungi keluarganya dari ancaman hukum.
Ikatan keluarga, klan,suku, dan agama memiliki solidaritas mekanis yang kuat
untuk mengingkari objektivitas.
Dewasa ini para aktivis hanya mampu mengkritisi sesuatu yang
terlepas dari relasi dengan dirinya. Jika sebuah kasus kemudian diketahui
melibatkan oknum-oknum yang mempunyai relasi dengan dirinya maka seseorang akan
berhenti mengkritisinya. Apalagi kalau dia mendapat sejumlah uang tutup mulut
yang mampu menghidupinya dlaam jangka waktu yang lama. Kalaupun dia mempunyai
relasi kuat seperti oknum tersebut adalah saudaranya maka ketika dia akan
mengintrospektsi diri karena mungkin biaya kuliah S1, S2, dan S3 sebagian
ditanggung saudaranya atau hasil lobi-lobi saudaranya juga. Bisa juga dia
pernah mendapat pinjaman uang dalam jumlah besar dalam keadaan terdesak. Situasi
ini akan melunturkan idealisme seorang aktivis sekaligus membawa (mungkin)
derita batin.
Para aktivis yang memiliki relasi keluarga (ayah, ibu, kakak, atau
adik) dengan pejabat pemerintah ada dalam posisi yang dilematis. Relasi ini
memiliki solidaritas yang sangat kuat oleh karena itu juga didukung oleh
nilai-nilai moral dan agama. ‘Mencelakai’ keluarga adalah tindakan yang akan
mendapat cemooh dari masyarakat luas oleh karena dianggap tidak memiliki rasa
balas budi (kepada orang tua yang telah melahirkan, merawat, dan membesarkan),
atau rasa sayang sesama saudara. Ada ilustrasi seperti cerita Malin Kundang
atau peribahasa dan pepetah yang mengandung nilai moral dalam mempertahankan
solidaritas keluarga. Dengan begitu kultus korupsi, kolusi, dan nepotisme
menjadi legal karena solidaritas ini.
Dalam hal kelompok aktivis atau politisi idealis yang terikat dalam
satu wadah organisasi tak luput juga dari persoalan dilemma. Organisasi-organisasi
social atau partai politik membutuhkan modal untuk menjalankan misi sosialnya
tetapi menjadi organisasi yang idealis tidak selalu sejahtera. Oleh karena
kritik social selalu akan berhadapan dengan pemerintah dan pemodal.
Organisasi-organisasi besar selalu mendapat bantuan dana dari pemerintah dan
pemodal yang mungkin adalah kader, alumnus, atau simpatisan dari organisasi
tersebut. Organisasi ini tak bisa hidup dari biaya iuran anggota yang kecil
tetapi selalu berharap dari sumbangan para alumnus dan simpatisan. Bagaimana
mereka bisa melakukan kritik tajam dan gerakan radikal dalam situasi seperti
ini?
Struktur social sangat ironis karena memiliki
kontradiksi-kontradiksi dengan kebenaran social yang diwariskan kepada
generasi-generasi dalam institusi pendidikan nasional. Nilai-nilai kebenaran
yang dipelajari harus diingkari dalam kenyataan social. Setiap individu
diharuskan untuk beradaptasi dengan kenyataan social yang bertentangan dengan
nilai-nilai kebenaran konseptual yang pernah dipelajari. Melawan kenyataan
social memiliki konsekuensi yang keterasingan diri dan dampak-dampak lain yang
tak terprediksi. Individu yang pada dasarnya memiliki relasi social yang
kompleks akan mendapat negasi-negasi dalam struktur social. Seluruh sector
dalam masyarakat terjaring dalam praktik anomaly jadi ketika ada individu yang
berusaha untuk membongkar struktur atau menegakkan prinsip-prinsip kebenaran
konseptual maka bisa dipastikan individu tersebut akan dieliminir dari struktur
itu.
VI.
PEMBENARAN POSISI
Hampir tak ada individu yang terbebas dari strukturas social yang
terjaring dalam praktik koruptif, kolusif, dan nepotis. Individu-individu
terpaksa beradaptasi dengan struktuk ini dan semakin memperkuatnya. Kritik
social mau tidak mau adalah semacam sejata ditodongkan pada orang lain
sekaligus pada diri sendiri. Relasi-relasi social yang kompleks telah mengikat
individu-individu dalam ikatan strukturasi social. Dengan begitu
gerakan-gerakan social yang mencita-citaka perubahan struktur akhirnya tidak
bisa menolak bahwa individu-individu telah terjebak dalam lingkaran kebobrokan
social.
Individu-individu yang kritis tidak mampu melakuka revolusi dan
memilih untuk beradaptasi dengan struktur. Apalagi ketika agen-agen social
mengkampanyekan penolakan terhadap prinsip-prinsip komunal dan memprioritaskan
bagaimana kemajuan itu dicapai dengan kompetisi individu. Kompetisi individu
dipandang sebagai kegiatan produksi yang inovatif yang menciptakan produk yang
berkualitas. Tetapi yang tidak disadari bahwa pada kenyataannya individualisme
terjebak pada obsesi akumulasi modal dengan mengesampingkan kualitas-kualitas
produksi. Komoditas (termasuk manusia) tidak lagi memiliki kualifikasi
fungsional atau kualitas tetapi lebih mengutamakan bagaimana suatu komoditas
bisa menghasilkan omset.
Banyak agen social yang dulunya memiliki semangat revolusioner yang
terjaring dalam struktur korporasi atau pemerintahan. Ketika diajak untuk
melakukan perubahan social atau dikritik karena telah menjadi agen-agen yang
bertentangan dengan nilai-nilai ideal maka individu itu akan melakukan
serangkaian pembelaan diri. Posisi dalam struktur social akan menentukan
perilaku individu yang walaupun itu bertentangan dengan pandangan pribadinya.
Pembelaan diri merupakan cara untuk menyelamatkan posisi social yang telah
menjamin kebutuhannya. Ketika individu mencapai tingkat kesejahteraannya maka
akan terjadi pembenaran diri terhadap posisi yang sementara menjadi status
sosialnya.
Individu yang terjaring dalam korporasi perusahaan swasta akan
membela tudingan bahwa produk perusahaannya berbahaya bagi masyarakat walaupun
telah ada bukti bahwa beberapa warga meninggal karena mengkonsumsi produk
perusahan itu. Posisi inividu ini dilematis tetapi individu ini akan melakukan
serangkaian kebohongan untuk melindungi perusahannya. Karena perusahaan itu
memberikan kesejahteraan kepada dirinya dan telah menjadi tugas seorang agen
untuk bekerja maksimal sesuai dengan kontrak kerja. Walaupun dalam diri
individu itu ada kekuatan moral yang sementara bergejolak dalam dirinya tetapi
kesejahteraan yang diberikan oleh perusahannya mampu mengalahkan itu. Seorang pegawai negeri sipil akan dengan
sukarela membela kebijakan atasannya karena prinsip komando structural. Di
samping itu jaminan kesejahteraan untuk pegawai negeri sipil adalah anugerah
social dengan gaji tetap disertai tunjangan, prestise social, dan relative
kebal hukum.
Institusi
dalam negara baik institusi pendidikan, hukum, pemerintahan, militer, kepolisian, perusahan-perusahan,
organisasi social, dan sebagainya memiliki relasi-relasi untuk melestarikan
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Institusi-institusi itu tidak dapat
menyerang satu sama lain dalam suatu gerakan yang massif. Oleh karena sudah
menjadi rahasian umum mereka sama-sama institusi yang bobrok. Mengkritisi
institusi lain sama dengan mengkritisi diri sendiri jadi jalan terbaik bagi
institusi-institusi itu adalah berpura-pura dan menjaga satu sama lain agar
struktur yang telah tercipta tetap dipertahankan.