|
Iswadi Iskandar Komodor Sual |
Dalam dunia social dan politik ada berbagai perspektif ideal tentang kondisi masyarakat yang harusnya diwujudkan. Yang pastinya semuanya menuntut keadilan baik dalam proses pewujudannya maupun dalam proses berlangsungnya kondisi masyarakat tersebut. Oleh karena pengalaman manusia telah menyaksikan akan kejamnya rezim otokrasi yang membuat trauma. Sehingga dewasa ini para politikus dan filsuf sibuk mencari dan memperdebatkan bentuk pemerintahan yang bebas dari monarki dan otoritas satu golongan yang menyampingkan golongan lain. Sebuah proses kemajuan yang bebas dari pertikaian berdarah seperti yang terjadi dalam sejarah mengenai revolusi – coup d’etat.
Kaum idealis yang dimaksud di sini adalah mereka yang mampu merancang masa depan dengan pemikiran mereka yang tentunya dikaji secara komprehensif. Oleh karena sekarang ini kata idealis (isme) telah digunakan secara serampangan dan sering dikaitkan dengan konsistensi prinsip. Lebih dari itu, idealisme secara etimologis berkenaan dengan cita-cita, pandangan, visi, tentang masa depan. Sebuah gambaran tentang kondisi masyarakat yang baik. Kaum idealis adalah mereka yang menawarkan dan berani berpikir tentang masa depan yang lebih baik. Sementara kaum aktivis adalah mereka yang mempelajari akan pandangan, nilai, dan aturan. Mereka adalah kritikus, pejuang yang mempertahankan dan juga mengusahakan akan kondisi masyarakat yang dianggap baik. Kaum moralis adalah orang-orang yang berpihak pada aturan-aturan moral baik agama, tradisi dan adat istiadat.
Dalam tullisan ini kita akan mencoba mengkaji tentang kebenaran keberadaan dari ketiga kaum yang sudah disebutkan di atas.
I. BENTURAN ANTARA IDEALISME DAN PRAKTIK SOSIAL
Sejarah telah menyatakan bahwa telah terjadi banyak pengkhianatan terhadap idealisme atau juga yang kita sebut sebagai ideology. Di mulai dari komunisme (marxisme-leninisme) yang akhirnya dikhianati oleh Stalin, fasisme (nasional sosialisme) yang dikhianati oleh pengikut partai dan Hitler sendiri, sampai pada Pancasila yang dikhianati oleh rezin orde lama, orde baru, hingga sekarang. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam praktiknya idealisme sama seperti sleep walking ; kebenarannya ada dalam mimpi sementara tindakannya dalam dunia nyata non-intensional. Secara konseptual banyak pemimpin, kaum intelektual, dan politikus yang berpegang pada idealisme tapi praktiknya berpaling pada kepentingan tertentu.
Hitler setelah menjadi pemimpin Jerman mengkhianati perjuangannya sendiri – baca Mein Kamft – dan konsep sosialisme nasional (nazi). Dia lebih mementingkan kehendaknya untuk menguasai dunia daripada melihat keadaan social Jerman sehingga ia juga menjadi seorang tiran yang sangat ganas dan tak lagi peduli dengan suara rakyat. Di uni soviet, Stalin adalah pengkhianat gerakan komunis dengan membelokkan prinsip internasionalisme dan mencoba menerapkan konsep semacam nasional sosialismenya Hitler. Dia banyak melakukan perombakan dalam kebijakan ekonomi yang pada dasarnya tidak sesuai dengan prinsip sosialisme-komunisme dan mengambil kebijakan sendiri tanpa menerima pertimbangan dari pihak lain. Trotsky adalah salah satu korban dari rezim Stalin karena melakukan kritik yang tajam pada kebijakan-kebijakan Stalin.
Di Indonesia, Pancasila adalah landasan segala konsep yang dipakai oleh Negara dan dalam pandangan dunia internasional sangat diakui oleh karena Pancasila dipandang sebagai gabungan dari ideolog-ideologi yang ada. Tetapi sejak munculnya Demokrasi Terpimpin di masa orde lama telah terjadi pengkhianatan terhadap Pancasila itu sendiri. Belum lagi ketika kita mencermati Undang-Undang Dasar 1945 dalam praktik orde baru sangatlah jauh dari apa yang seharusnya. Pemilihan presiden, kebebasan berkumpul dan mengemukakan pendapat, kekayaan alam, dan segala hal-hal mendasar yang termuat dalam dasar negara dan undang-undang kita telah banyak dikhianati.
Menurut saya dialektika dalam praktik sosialnya terbagi atas tiga yaitu dialektika kelas, dialektika etnis, dan dialektika watak.
1) Dialektika kelas adalah pertentangan antara golongan masyarakat yang tingkat ekonominya menengah ke bawah dan menengah ke atas atau dalam istilah marxisme kaum borjuis dan proletar. Rusia adalah negera pertama yang menerapkan konsep komunisme setelah menangnya kaum proletar yang dimotori oleh partai bolsevisch dan juga mengakhiri kekuasaan Tzar yang monarki. Hal serupa juga terjadi di Cina.
2) Dialektika etnis adalah pertentangan suku bangsa. Sejarah dunia menceritakan bahwa peperangan antar suku bangsa terjadi sejak zaman pra-sejarah untuk memperebutkan tanah sebagai sumber makanan. Hal itu pun terjadi sampai Perang Dunia II di mana negera-negara saling berebut tanah jajahan. Semua bangsa ingin hadir sebagai penguasa terhadap bangsa lain. Kecuali semenjak selesai Perang Dunia I muncullah pertentangan ideologi sehingga muncul blok barat dan blok timur; memilih antara ekonomi kapitalisme atau ekonomi socialisme-komunisme.
3) Dialektika watak adalah pertentangan watak atau kepribadian orang. Pertentangan semacam ini lebih banyak terjadi dalam satu negara. Jadi, walaupun mereka mempunyai pandangan dan cita-cita yang sama terhadap negara tetapi bertentangan secara emosional maka akan memunculkan persaingan dan akan terjadi saling menumbangkan kekuasaan. Dalam politik di Indonesia banyak terjadi hal yang demikian.
Ketika kita mencermati politik baik nasional maupun internasional maka ternyata pengkhianatan terhadap idealisme/ideologi sudah lumrah terjadi. Dari sini pula banyak masyarakat yang selalu berpandangan akan buruknya politik walaupun mereka tak bisa menghindar dari lingkaran politik itu sendiri.
Ketika saya bertanya pada ayah saya tentang politik maka dia akan berkata, “Politik itu dusta di atas segala dusta dan suci di atas segala suci.” Dia menjelaskan bahwa dalam politik semua konsep perjuangan kemanusiaan adalah dusta oleh karena yang lebih diprioritaskan adalah kepentingan golongan dan pribadi sementara dalam kampanye-kampanye politik semua asas perjuangannya kelihatan suci karena membawa amanah tuhan untuk kemanusiaan. Artinya, bisa dikatakan bahwa politik memainkan dua peran yang sangat kontradiktif dan saya berpendapat bahwa pernyataan ayah saya ada benarnya juga.
II. INKONSISTENSI KAUM AKTIVIS
Aktivis identik dengan kaum pembela kepentingan umum dan yang selalu menentang kebijakan-kebijakan penguasa yang tak berpihak pada kepentingan banyak orang; pembela kaum tertindas dari permainan konglomerat, borjuasi, dan kapitalis.
Kebanyakan aktivis terbentuk dari organisasi-organisasi yang bergerak di bidang social dan politik atau efek dari kampanye-kampanye tentang kemanusian dalam buku-buku. Mereka lebih digerakkan oleh kepedulian untuk mewujudkan keadaan yang seharusnya dalam masyarakat dan lingkungan. Dari sekian banyak aktivis, mereka mempunyai ideologi yang berbeda-beda sesuai dengan keinginan dan lingkungan yang mempengaruhi mereka. Ada yang bergerak dalam politik, HAM, dan ada juga yang bergerak di bidang lingkungan.
Di Indonesia pada rezim Soekarno dimulai sejak kemerdekaan – diproklamasikan pada tahun 1945 dan memperoleh kedaulatan dari Belanda pada 1949 - banyak sekali aktivis yang mengkritik pemerintahannya apalagi setelah diumumkannya tentang sistem Demokrasi Terpimpin. Mohammad Hatta yang pernah menjadi wakilnya juga salah seorang yang mengkritik konsep tersebut. Di kalangan aktivis lain – juga pelajar dan mahasiswa – tak kalah hebatnya menentang konsep-konsep Soekarno sampai pada penggulingannya yang dimulai dengan aksi besar-besaran pada 1966. Tetapi, setelah lengsernya Soekarno yang adalah salah satu founding father bangsa dan negara Indonesia yang dulunya pengkritik tajam menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan dan juga berlaku sama seperti apa yang dilakukan oleh pemerintahan yang lalu.
Dewasa ini dikalangan mahasiswa Indonesia menjadi seorang aktivis adalah tren atau seperti menjadi model dan bintang film. Dengan menggunakan ornament-ornamen seperti gambar Che Guevarra, Lenin, dan Mahatma Gandhi mereka mempopulerkan diri dalam aksi-aksi menentang neoliberalisme dan kebijakan pemerintah yang katanya tak pro rakyat. Mereka mempelajari hampir segala paham yang ada dan berteriak atas nama rakyat dan kemanusiaan. Banyak aktivis mahasiswa yang membawa paham kemanusiaan tetapi mempunyai maksud-maksud terselubung yang mementingkan tujuan golongan dan pribadinya. Seperti merebut massa dan menggunakannya untuk mencapai tujuan golongannya sendiri atau mencari popularitas karena memimpin massa yang banyak jumlahnya. Yang lebih parahnya lagi mereka memanfaatkan popularitasnya sebagai seorang aktivis untuk memeras orang-orang yang mempunyai skandal atau terlibat praktik korupsi. Banyak mahasiswa yang menggelar aksi membuat pejabat takut sehingga memaksanya untuk memberi uang tutup mulut. Dengan begitu aksi (demonstrasi) mahasiswa adalah proyek mencari keuntungan dengan memanfaatkan isu-isu tentang kemanusiaan.
Kebanyakan aktivis pada akhirnya akan berpikir praktis-realistis ketika dia akan menyesuaikan diri dalam lingkungannya seperti dalam keluarga, jabatan dalam pemerintahan (PNS), dan segala situasi yang menuntut dirinya untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan orang-orang yang dicintainya. Dan inilah proses perjalanan aktivis yang berakhir pada inkonsistensi oleh karena desakan-desakan nafsu dan pemuasan psikologis. Tetapi kalau mungkin kita melihat kembali di awal perjuangannya sebagai seorang aktivis mereka adalah orang-orang militan yang sangat progresif dan revolusioner. Umumnya masyarakat sekarang memandang demonstrasi-demonstrasi mahasiswa dengan senyum mengejek dan cemooh dan menuduh mahasiswa sebagai kaum reaksioner yang mudah terprrovokasi oleh berbagai macam isu. Mahasiswa dianggap ditunggangni dan korban permainan dari elite-elite politik yang saling berebut kekuasaan dengan membuang isu-isu provokatif.
Kita perlu meninjau dan mengadakan koreksi mendetail terhadap perjuangan kaum aktivis supaya perjuangan untuk kemanusiaan tidak mendapat klaim kepura-puraan. Banyak cita-cita kemanusiaan yang luntur oleh karena orang-orang yang ingin mewujudkannya tidak konsisten dan justru merusak apa yang ingin diperjuangkan. Tampaknya perjuangan di Indonesia dari pra- kemerdekaan, 1966, 1970-an, dan 1998 perlu mendapat perhatian dan evaluasi bagi masyarakat dan terlebih orang-orang yang mengklaim diri aktivis.
III. MORALITAS SEBAGAI TOPENG KEPENTINGAN
Waktu Yohanes membaptis orang-orang di sungai Yordan ada seorang pemungut cukai bertanya kepadanya : “Guru apakah yang harus kami perbuat?”jawabnya:”Jangan menagih lebih banyak dari pada yang ditentukan bagimu.” Dan prajurit-prajurit bertanya juga kepadanya :”Dan kami apa yang harus kami perbuat?” jawab Yohanes kepada mereka: “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.” Cerita ini diambil dari Injil Kristen pada Lukas 3 : 12-14.
Kaum moralis selalu identik dengan orang-orang yang berpakaian rapih, menjunjung tinggi sopan santun, dan bahasanya yang halus. Mereka kebanyakan adalah pejabat-pejabat dalam suatu instansi atau kaum yang disebut terpelajar yang artinya memiliki tingkat kemampuan intelektual yang tinggi pula. Dikaitkan dengan cerita di atas ternyata dibalik moralitas mereka melakukan hal-hal yang sangat bertentangan dengan status mereka sendiri. Dewasa ini di kalangan kaum birokrat sangat marak dengan pungutan liar (pungli), prinsip mendahulukan kerabat, penyelewengan kekuasaan demi untuk mendapat sesuatu yang lebih dan memuaskan kebutuhan pribadi dan keluarga. Mereka mengeksploitasi orang-orang yang bukan kenalan atau saudara. Dan anehnya mereka menganggap itu adalah sesuatu yang lumrah dan tanpa dosa.
Mereka yang duduk dalam instansi pemerintahan dan pendidikan dalam lingkungan masyarakatnya sering diangkat sebagai penasehat, menjadi patron dalam masyarakat, dan yang beragama Kristen memiliki jabatan dalam Gereja. Mungkin juga di agama-agama lain berlaku hal yang demikian. Bentuk eksploitasi terhadap orang lain pasti ditolak oleh setiap agama. Ini mengindikasikan bahwa apa yang dilakukan oleh kaum moralis adalah suatu hal yang sama sekali tidak seharusnya tetapi sangat tidak disadari oleh mereka. Mereka selalu menitik beratkan moralitas pada pakaian yang rapih, saling menghormati, dan bahasa yang halus. Dengan begitu mereka mendapat prestise dan meligitimasi praktik-praktik mereka yang tidak benar. Di negara kita hal-hal yang demikian sering terjadi di mana di waktu yang lalu ada seorang wakil rakyat yang selingkuh dan membuat video porno, praktek korupsi, dan mengkonsumsi situs-situs porno. Kita melihat bahwa mereka yang melakukan hal demikian adalah orang-orang yang mengaku bermoral dan berpendidikan tinggi.
Agama—agama sekarang memang telah menjadi alat legitimasi praktek korupsi, kolusi, dan nepostisme karena kepasifannya melihat hal-hal demikian. Tetapi dalam agama pun juga sering terjadi praktek-praktek yang sama jadi mungkin wajar apabila mereka bersikap pasif. Karena kadang-kadang terjadi perselingkuhan antara pemerintah dan pemimpin-pemimpin agama untuk tujuan-tujuan tertentu. Mereka menggunakan otoritas dan prestise mereka untuk memperkaya diri dan keluarga. Ini merupakan hal yang sangat ironi tentang hakikat munculnya pemerintahan dan agama.
Dalam agama orang-orang yang ingin mengembalikan nilai-nilai esensi akan dianggap penyesat oleh kaum konservatif. Mereka selalu menganggap keadaan yang sudah ada itu yang benar dan usaha-usaha untuk mendobraknnya adalah penentangan terhadap tuhan. Kesadaran beragama telah luntur untuk kepentingan zaman sehingga nilai-nilai agama tenggelam dalam ritual-ritual.
Moralitas telah menjadi topeng kepentingan bagi elite-elite politik, birokrat, dan kaum borjuis. Sehingga agama seekarang tak lebih dari sarang kemunafikan dan tempat meminta restu untuk melakukan dosa bagi kemanusiaan (dosa politik, dosa birokrasi, dan dosa ekonomi). Kesadaran masyarakat akan menentukan bagi perbaikan keadaan social karena jika tidak kita akan berada dalam kepura-puraan dari zaman ke zaman dan kehidupan hanyalah menjadi permainan sandiwara tanpa disutradarai. Artinya masyarakat telah dipaksa oleh nasib untuk memainkan perannya.