halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Rabu, 25 Februari 2015

WEWENE MINAHASA HARI INI

(Sebuah tinjauan feminis)
(Mina) Astry Akay
Pemerkosaan, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap wanita adalah masalah umat manusia (human race) sehingga kasus yang terjadi di tanah Minahasa bukanlah masalah yang sifatnya particular saja. Dalam sejarah manusia kejahatan terhadap wanita biasa terjadi apalagi jika dalam suatu masyarakat itu derajat perempuan lebih rendah daripada lelaki atau yang biasa disebut budaya patriarki. Budaya patriarki memandang wanita sebagai manusia komplementer; sebagai pelengkap dan objek seksual kaum laki-laki. Bahkan yang lebih ekstrim adalah perempuan dipandang sebagai barang seperti perabot rumah atau barang dagangan. Perdagangan perempuan (trafficking) bukan hanya terjadi di abad modern tetapi dalam budaya patriarki perempuan harus dibayar oleh lelaki jika ingin diperisteri. Dalam istilah Bahasa Manado perempuan yang belum menikah adalah parampuang blum laku. Kata laku adalah kata yang digunakan dalam perdagangan yang artinya terjual. Walaupun istilah ini juga bisa digunakan untuk para lelaki namun dalam budaya pernikahan antar harta atau baharta selalu dilakukan oleh para lelaki[1]. Kebudayaan yang dikuasai lelaki menentukan garis keturunan ditarik dari sisi ayah (patrilineal) sehingga dalam sejarah budaya patriarki banyak anak perempuan tidak disebut. Anak-anak juga banyak kali diidentikan kepada ayah walaupun yang memiliki hubungan biologis secara langsung sebenarnya adalah sang ibu. Kebudayaan patriarki mencatat representasi Tuhan dan manusia pertama sebagai seorang pria. Tuhan maskulin selalu direpresentasikan sebagai Bapa (Father), Dia (He), -Nya (Him/His). Adam adalah manusia pertama dan perempuan (Hawa) diciptakan dari bagian tubuhnya. Agama-agama monoteis secara historis (bukan ‘herstoris’) memang lebih didominasi oleh para lelaki walaupun kemudian dengan perkembangan zaman terjadi modifikasi di dalamnya.
Wanita (wewene) dalam konteks kebudayaan Minahasa perlu ditinjau lagi kedudukan sosialnya terkait dengan beberapa kasus penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Dalam mitologi Minahasa mengenai manusia atau leluhur pertama yang ada di tanah Minahasa diakui bahwa Lumimuut adalah manusia pertama dan dia adalah seorang perempuan[2]. Sementara pria lahir kemudian dari perempuan itu. Toar adalah manusia kedua di tanah Minahasa dan dia adalah seorang pria. Yang menciptakan Lumimuut pun adalah seorang dewi yang bernama Karema. Asal usul Tou Minahasa dalam perspektif mitologis sangatlah feminis. Nama Pingkan untuk seorang perempuan Minahasa adalah simbol kekuatan, keberanian, dan kesetiaan. Oleh karena dia berani melawan keinginan seorang raja yang ingin memperistrinya dan tetap setia pada suaminya Matindas. Cerita tentang Pingkan dan Matindas dulunya menjadi semacam cerita yang wajib diceritakan di acara-acara pernikahan sebagai teladan bagaimana menjadi sepasang suami istri yang sebenarnya. Dalam hal kerja produktif pun wanita dan pria bekerjasama menggarap ladang dan hal ini ada dalam tradisi mapalus. Budaya patriarki menciptakan ruang dalam rumah tangga di mana dapur adalah ruang bagi perempuan. Tetapi budaya Minahasa sebenarnya tidak ada pembagian seperti itu oleh karena perempuan dan laki-laki umumnya bisa memasak. Dalam acara-acara pesta pernikahan yang selalu bertanggung jawab pada urusan dapur adalah seorang pria. Kepala koki biasanya adalah seorang pria yang melakukan manajemen pada urusan makanan dan tentunya dia pun tahu soal masak memasak. Rata-rata pria Minahasa tahu soal bagaimana memasak makanan tradisional. Dari segi kausalitas posisi perempuan mendahului laki-laki dan perkembangan kebudayaan Minahasa memandang perempuan memiliki derajat yang sama dengan para lelaki. Perempuan adalah pencipta dan yang melahirkan manusia baru. Mereka adalah kreator sekaligus memiliki peran yang sangat signifikan dalam fungsi reproduksi demi regenerasi bangsa. Mereka harus dihormati sebagai pencipta dan pemelihara kehidupan.
Tetapi tampaknya dengan terjadinya penetrasi dan perjumpaan dengan kebudayaan lain telah menggeser akar-akar kebudayaan Minahasa soal wanita. Etos kebudayaan Minahasa banyak tercerabut dari akarnya sehingga beberapa generasi telah melupakan siapa leluhurnya, sejarahnya, dan bagaimana pandangan budaya soal wanita di tanah Minahasa. Penetrasi agama monoteis pun telah merubah perspektif kebudayaan Minahasa ditambah dengan perjumpaan dengan kebudayaan yang mengglobal telah menyebabkan Tou Minahasa mengalami ‘amnesia cultural’. Seorang gadis bernama Pingkan bahkan tidak lagi mengetahui sejarah terkait namanya sendiri. Mereka kebanyakan mencoba-coba mengidentikan dengan yang lebih tren seperti warna pink yang menjadi warna cinta dan berkesan lemah. Perjumpaan dengan kebudayaan lain baik secara langsung ataupun melalui konsumsi media telah merubah banyak hal dalam posisi wanita. Wanita harus dibeli dengan dengan sejumlah uang ataupun kemapanan pria harus berimbang dengan kecantikan wanita. Tentunya perubahan ruang-ruang social pun membuat nilai-nilai kebudayaan kita menjadi tidak relevan dari harus mengikuti main stream. Globalisasi dan kapitalisme banyak memporak-porandakan tatanan berpikir cultural dan memaksa baik langsung ataupun tak langsung untuk melakukan penyesuaian. Film, majalah, iklan-iklan telah membuat kita terpolakan menjadi masyarakat konsumeris yang dianggap sebagai suatu kebebasan tetapi sebenarnya terpenjara dalam proyek akumulasi modal. Generasi perempuan kita telah menjadi objek eksploitasi produk-produk kecantikan, gaya, dan aksesoris dan lupa eksistensinya sebagai perempuan Minahasa yang memiliki basis kulutral.
Kebudayaan hari ini yang tumpah tindih mempengaruhi juga landasan eksistensi wanita sehingga mereka juga bingung untuk berpijak di mana. Ketika memilih berpijak pada hal yang ideal di satu sisi itu tidak menguntungkan secara materil dan ketika memilih berpijak pada hal yang menguntungkan secara materil justru menyalahi nilai-nilai ideal. Wewene Minahasa di zaman ini telah menjadi komoditi dan objek eksploitasi. Manado adalah kota yang menjadi ruang bagi para perempuan menampakan eksistensinya untuk dieksploitasi dan bahkan sudah banyak yang diekspor sampai ke luar daerah. Citra mereka sebagai perempuan Minahasa telah diinjak-injak dan telah mendistorsi sejarah mengenai wanita Minahasa yang berani, kuat, dan setia. Mall-mall telah menjadi ruang pamer tubuh dan tempat mengeksploitasinya. Dalam revolusi gaya, tubuh adalah objek yang paling sensitive dengan janji-janji kecantikan dan kemudaan mereka menghabiskan banyak uang untuk membeli produk-produk dan ketika tuntutan social ini tak bisa dipenuhi karena masalah finansial maka melacurkan diri menjadi pilihan yang mudah dan cepat. Era modern mengkampanyekan kebebasan atau emansipasi terhadap perempuan dan derajat yang setara serta telah menghasilkan regulasi mengenai perlindungan hak-hak perempuan. Tetapi praktik sosial diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan tetap terus berjalan. Walaupun itu mungkin dilakukan lebih ‘lembut’ dengan menjadikan mereka merasa seperti seorang puteri yang bertahta di ruang-ruang pajangan.
Ketika kebudayaan Minahasa menjadi semakin tidak jelas maka kesadaran akan eksistensi perempuan menjadi kabur di kalangan laki-laki (tuama) Minahasa sendiri. Perspektif kultural terhadap wanita Minahasa oleh Tou Minahasa itu sendiri telah berubah sehingga pelecehan, pemerkosaan, penganiyaan, dan pembunuhan terhadap wanita seakan-akan adalah sesuatu yang biasa saja. Masyarakat Minahasa telah melupakan akar sejarahnya sehingga derajat wanita telah dipandang bukan lagi dalam perspektif kulturalnya. Ada pun wacana-wacana sosial soal feminisme yang justru tidak bisa dikonsumsi oleh public secara luas. Wacana feminism pun di universitas-universitas sangat jarang dibicarakan dan diseriusi; jangankan hal semacam ini hal-hal yang lebih umum pun tidak serius dibicarakan di lembaga pendidikan itu. Kasus-kasus yang terjadi pada perempuan akhir-akhir ini seharusnya mengundang para sosiolog dan psikolog (kriminolog) untuk membahasnya agar supaya kejadian seperti ini bisa diminimalisir dan juga memberikan wawasan kepada publik mengenai aspek cultural terhadap perempuan. Motif pembunuhan terhadap perempuan pasti juga memiliki alasan-alasan baik ditinjau dari segi sosial maupun psikis bahkan bisa juga menggabungkan keduanya dalam psikologi sosial. Misalnya konsumsi terhadap media yang tidak disertai dengan kualitas berpikir yang kritis akan mengarahkan masyarakat pada salah interpretasi terhadap hal-hal yang dikonsumsinya dari film-film, lagu-lagu, dll yang akhirnya membentuk tindakan yang negatif.
Kehancuran etos kebudayaan yang lama dan sekarang ini masyarakat kita yang hidup dalam kebudayaan sintetik dan praktis telah menjadi patologi sosial yang baru. Kita perlu memperbanyak ruang-ruang publik yang kritis dalam rangka mendiskusikan penyakit-penyakit sosial kita agar banyak yang yang tak sepatutnya terjadi bisa diantisipasi. Kualitas berpikir adalah adalah hal yang menentukan dalam semua kebudayaan. Dalam proyek globalisasi memang kebanyakan masyarakat kita tidak bisa untuk melakukan seleksi terhadap produk-produk cultural yang dikonsumsinya. Ada juga yang mengalami cultural shock ketika bertemu dengan kebudayaan yang tidak biasa dan bahkan bertentangan dengan kulturnya sendiri. Era digital telah membuat wilayah-wilayah yang sangat privat bisa disaksikan dalam layar kaca yang lebih kecil seperti di handphone yang memiliki pemutar video. Internet meruntuhkan semua pembatas ruang dan wilayah sehingga apapun yang dianggap tabu bisa diakses dan dinikmati. Mengkonsumsi kebudayaan seperti itu harusnya haruslah didasari oleh pemikiran yang kritis atau mendapat bimbingan agar tidak diterima mentah-mentah.
Kualitas berpikir perempuan pun hari ini harusnya lebih meningkat agar supaya tidak menjadi sasaran eksploitasi saja. Kebanyakan perempuan terjebak pada realitas artificial tentang kecantikan dalam film dan iklan-iklan sehingga berusaha untuk menjadi seperti itu. Dalam perspektif feminis tertentu perempuan yang menggunakan pakaian yang serta terbuka atau sexy adalah sebuah bahasa yang mengundang kaum lelaki untuk merayunya dan bahkan memperkosanya. Ketika mereka menggunakan pakaian yang style-nya sensual itu membuka peluang terhadap kriminalitas. Tetapi ini juga bergantung pada konteks masyarakat tertentu. Ada suatu masyarakat yang sudah terbiasa dengan pakaian semacamnya tetapi ada juga masyarakat yang tidak terbiasa dengan cara berpakaian yang ‘buka-bukaan’ itu. Dalam kebudayaan tertentu perempuan yang terlihat paha atau pusarnya akan dianggap sebagai pelacur tetapi mungkin pada kebudayaan lain tidak.
Wewene Minahasa hari ini harus mengadakan evaluasi besar-besaran terhadap dirinya di tengah zaman yang menjadikannya objek seksual, barang dagangan, atau perabot rumah semata. Perlu adanya kesadaran herstory mengenai eksistensinya di tengah Tou Minahasa. Jika perempuan Minahasa menjadi aherstory maka memang tak jarang mereka hari ini telah menjadi tersubordinasi ke dalam kelas manusia kedua. Mereka sudah tak tahu lagi bahwa pencipta mereka adalah dewi Karema dan ibu mereka adalah Lumimuut. Mereka juga tidak tahu bagaimana heroismenya Pingkan dalam mempertahankan cintanya dengan Matindas. Minahasa memiliki akar feminin yang sayangnya telah banyak dilupakan dan tak mampu lagi menjadi penopang praktik kultural kita hari ini.





[1] Para lelaki (tuama) Minahasa yang blum laku umumnya disebut langkoy.
[2] Walaupun istilah perempuan akhir-akhir ini telah mendapat penjelasan yang berkaitan dengan maskulinitas tetapi dalam teks ini lebih dikaitkan dengan makna wanita.