(Sebuah
tinjauan feminis)
(Mina) Astry Akay |
Pemerkosaan, penganiayaan, dan
pembunuhan terhadap wanita adalah masalah umat manusia (human race) sehingga kasus yang terjadi di tanah Minahasa bukanlah
masalah yang sifatnya particular saja. Dalam sejarah manusia kejahatan terhadap
wanita biasa terjadi apalagi jika dalam suatu masyarakat itu derajat perempuan
lebih rendah daripada lelaki atau yang biasa disebut budaya patriarki. Budaya
patriarki memandang wanita sebagai manusia komplementer; sebagai pelengkap dan
objek seksual kaum laki-laki. Bahkan yang lebih ekstrim adalah perempuan
dipandang sebagai barang seperti perabot rumah atau barang dagangan. Perdagangan
perempuan (trafficking) bukan hanya
terjadi di abad modern tetapi dalam budaya patriarki perempuan harus dibayar
oleh lelaki jika ingin diperisteri. Dalam istilah Bahasa Manado perempuan yang
belum menikah adalah parampuang blum laku.
Kata laku adalah kata yang digunakan
dalam perdagangan yang artinya terjual. Walaupun istilah ini juga bisa
digunakan untuk para lelaki namun dalam budaya pernikahan antar harta atau baharta selalu dilakukan oleh para
lelaki[1].
Kebudayaan yang dikuasai lelaki menentukan garis keturunan ditarik dari sisi
ayah (patrilineal) sehingga dalam sejarah budaya patriarki banyak anak
perempuan tidak disebut. Anak-anak juga banyak kali diidentikan kepada ayah
walaupun yang memiliki hubungan biologis secara langsung sebenarnya adalah sang
ibu. Kebudayaan patriarki mencatat representasi Tuhan dan manusia pertama
sebagai seorang pria. Tuhan maskulin selalu direpresentasikan sebagai Bapa (Father), Dia (He), -Nya (Him/His). Adam adalah manusia pertama dan
perempuan (Hawa) diciptakan dari bagian tubuhnya. Agama-agama monoteis secara
historis (bukan ‘herstoris’) memang lebih didominasi oleh para lelaki walaupun
kemudian dengan perkembangan zaman terjadi modifikasi di dalamnya.
Wanita (wewene) dalam konteks kebudayaan Minahasa perlu ditinjau lagi
kedudukan sosialnya terkait dengan beberapa kasus penganiayaan, pemerkosaan,
dan pembunuhan. Dalam mitologi Minahasa mengenai manusia atau leluhur pertama
yang ada di tanah Minahasa diakui bahwa Lumimuut
adalah manusia pertama dan dia adalah seorang perempuan[2].
Sementara pria lahir kemudian dari perempuan itu. Toar adalah manusia kedua di tanah Minahasa dan dia adalah seorang
pria. Yang menciptakan Lumimuut pun adalah seorang dewi yang bernama Karema. Asal usul Tou Minahasa dalam
perspektif mitologis sangatlah feminis. Nama Pingkan untuk seorang perempuan Minahasa adalah simbol kekuatan,
keberanian, dan kesetiaan. Oleh karena dia berani melawan keinginan seorang
raja yang ingin memperistrinya dan tetap setia pada suaminya Matindas. Cerita tentang Pingkan dan
Matindas dulunya menjadi semacam cerita yang wajib diceritakan di acara-acara
pernikahan sebagai teladan bagaimana menjadi sepasang suami istri yang
sebenarnya. Dalam hal kerja produktif pun wanita dan pria bekerjasama menggarap
ladang dan hal ini ada dalam tradisi mapalus.
Budaya patriarki menciptakan ruang dalam rumah tangga di mana dapur adalah
ruang bagi perempuan. Tetapi budaya Minahasa sebenarnya tidak ada pembagian
seperti itu oleh karena perempuan dan laki-laki umumnya bisa memasak. Dalam
acara-acara pesta pernikahan yang selalu bertanggung jawab pada urusan dapur
adalah seorang pria. Kepala koki biasanya adalah seorang pria yang melakukan
manajemen pada urusan makanan dan tentunya dia pun tahu soal masak memasak.
Rata-rata pria Minahasa tahu soal bagaimana memasak makanan tradisional. Dari
segi kausalitas posisi perempuan mendahului laki-laki dan perkembangan
kebudayaan Minahasa memandang perempuan memiliki derajat yang sama dengan para
lelaki. Perempuan adalah pencipta dan yang melahirkan manusia baru. Mereka
adalah kreator sekaligus memiliki peran yang sangat signifikan dalam fungsi
reproduksi demi regenerasi bangsa. Mereka harus dihormati sebagai pencipta dan
pemelihara kehidupan.
Tetapi tampaknya dengan
terjadinya penetrasi dan perjumpaan dengan kebudayaan lain telah menggeser
akar-akar kebudayaan Minahasa soal wanita. Etos kebudayaan Minahasa banyak
tercerabut dari akarnya sehingga beberapa generasi telah melupakan siapa
leluhurnya, sejarahnya, dan bagaimana pandangan budaya soal wanita di tanah
Minahasa. Penetrasi agama monoteis pun telah merubah perspektif kebudayaan
Minahasa ditambah dengan perjumpaan dengan kebudayaan yang mengglobal telah
menyebabkan Tou Minahasa mengalami ‘amnesia cultural’. Seorang gadis bernama
Pingkan bahkan tidak lagi mengetahui sejarah terkait namanya sendiri. Mereka
kebanyakan mencoba-coba mengidentikan dengan yang lebih tren seperti warna pink yang menjadi warna cinta dan
berkesan lemah. Perjumpaan dengan kebudayaan lain baik secara langsung ataupun
melalui konsumsi media telah merubah banyak hal dalam posisi wanita. Wanita
harus dibeli dengan dengan sejumlah uang ataupun kemapanan pria harus berimbang
dengan kecantikan wanita. Tentunya perubahan ruang-ruang social pun membuat
nilai-nilai kebudayaan kita menjadi tidak relevan dari harus mengikuti main stream. Globalisasi dan kapitalisme
banyak memporak-porandakan tatanan berpikir cultural dan memaksa baik langsung
ataupun tak langsung untuk melakukan penyesuaian. Film, majalah, iklan-iklan
telah membuat kita terpolakan menjadi masyarakat konsumeris yang dianggap
sebagai suatu kebebasan tetapi sebenarnya terpenjara dalam proyek akumulasi
modal. Generasi perempuan kita telah menjadi objek eksploitasi produk-produk
kecantikan, gaya, dan aksesoris dan lupa eksistensinya sebagai perempuan
Minahasa yang memiliki basis kulutral.
Kebudayaan hari ini yang tumpah
tindih mempengaruhi juga landasan eksistensi wanita sehingga mereka juga
bingung untuk berpijak di mana. Ketika memilih berpijak pada hal yang ideal di
satu sisi itu tidak menguntungkan secara materil dan ketika memilih berpijak
pada hal yang menguntungkan secara materil justru menyalahi nilai-nilai ideal. Wewene Minahasa di zaman ini telah
menjadi komoditi dan objek eksploitasi. Manado adalah kota yang menjadi ruang
bagi para perempuan menampakan eksistensinya untuk dieksploitasi dan bahkan
sudah banyak yang diekspor sampai ke luar daerah. Citra mereka sebagai perempuan
Minahasa telah diinjak-injak dan telah mendistorsi sejarah mengenai wanita
Minahasa yang berani, kuat, dan setia. Mall-mall telah menjadi ruang pamer
tubuh dan tempat mengeksploitasinya. Dalam revolusi gaya, tubuh adalah objek
yang paling sensitive dengan janji-janji kecantikan dan kemudaan mereka
menghabiskan banyak uang untuk membeli produk-produk dan ketika tuntutan social
ini tak bisa dipenuhi karena masalah finansial maka melacurkan diri menjadi
pilihan yang mudah dan cepat. Era modern mengkampanyekan kebebasan atau
emansipasi terhadap perempuan dan derajat yang setara serta telah menghasilkan
regulasi mengenai perlindungan hak-hak perempuan. Tetapi praktik sosial
diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan tetap terus berjalan. Walaupun
itu mungkin dilakukan lebih ‘lembut’ dengan menjadikan mereka merasa seperti
seorang puteri yang bertahta di ruang-ruang pajangan.
Ketika kebudayaan Minahasa
menjadi semakin tidak jelas maka kesadaran akan eksistensi perempuan menjadi
kabur di kalangan laki-laki (tuama)
Minahasa sendiri. Perspektif kultural terhadap wanita Minahasa oleh Tou
Minahasa itu sendiri telah berubah sehingga pelecehan, pemerkosaan,
penganiyaan, dan pembunuhan terhadap wanita seakan-akan adalah sesuatu yang
biasa saja. Masyarakat Minahasa telah melupakan akar sejarahnya sehingga
derajat wanita telah dipandang bukan lagi dalam perspektif kulturalnya. Ada pun
wacana-wacana sosial soal feminisme yang justru tidak bisa dikonsumsi oleh
public secara luas. Wacana feminism pun di universitas-universitas sangat
jarang dibicarakan dan diseriusi; jangankan hal semacam ini hal-hal yang lebih
umum pun tidak serius dibicarakan di lembaga pendidikan itu. Kasus-kasus yang
terjadi pada perempuan akhir-akhir ini seharusnya mengundang para sosiolog dan psikolog
(kriminolog) untuk membahasnya agar supaya kejadian seperti ini bisa
diminimalisir dan juga memberikan wawasan kepada publik mengenai aspek cultural
terhadap perempuan. Motif pembunuhan terhadap perempuan pasti juga memiliki
alasan-alasan baik ditinjau dari segi sosial maupun psikis bahkan bisa juga
menggabungkan keduanya dalam psikologi sosial. Misalnya konsumsi terhadap media
yang tidak disertai dengan kualitas berpikir yang kritis akan mengarahkan
masyarakat pada salah interpretasi terhadap hal-hal yang dikonsumsinya dari
film-film, lagu-lagu, dll yang akhirnya membentuk tindakan yang negatif.
Kehancuran etos kebudayaan yang
lama dan sekarang ini masyarakat kita yang hidup dalam kebudayaan sintetik dan
praktis telah menjadi patologi sosial yang baru. Kita perlu memperbanyak
ruang-ruang publik yang kritis dalam rangka mendiskusikan penyakit-penyakit
sosial kita agar banyak yang yang tak sepatutnya terjadi bisa diantisipasi.
Kualitas berpikir adalah adalah hal yang menentukan dalam semua kebudayaan.
Dalam proyek globalisasi memang kebanyakan masyarakat kita tidak bisa untuk
melakukan seleksi terhadap produk-produk cultural yang dikonsumsinya. Ada juga
yang mengalami cultural shock ketika
bertemu dengan kebudayaan yang tidak biasa dan bahkan bertentangan dengan
kulturnya sendiri. Era digital telah membuat wilayah-wilayah yang sangat privat
bisa disaksikan dalam layar kaca yang lebih kecil seperti di handphone yang
memiliki pemutar video. Internet meruntuhkan semua pembatas ruang dan wilayah
sehingga apapun yang dianggap tabu bisa diakses dan dinikmati. Mengkonsumsi
kebudayaan seperti itu harusnya haruslah didasari oleh pemikiran yang kritis
atau mendapat bimbingan agar tidak diterima mentah-mentah.
Kualitas berpikir perempuan pun
hari ini harusnya lebih meningkat agar supaya tidak menjadi sasaran eksploitasi
saja. Kebanyakan perempuan terjebak pada realitas artificial tentang kecantikan
dalam film dan iklan-iklan sehingga berusaha untuk menjadi seperti itu. Dalam
perspektif feminis tertentu perempuan yang menggunakan pakaian yang serta
terbuka atau sexy adalah sebuah
bahasa yang mengundang kaum lelaki untuk merayunya dan bahkan memperkosanya.
Ketika mereka menggunakan pakaian yang style-nya
sensual itu membuka peluang terhadap kriminalitas. Tetapi ini juga bergantung
pada konteks masyarakat tertentu. Ada suatu masyarakat yang sudah terbiasa
dengan pakaian semacamnya tetapi ada juga masyarakat yang tidak terbiasa dengan
cara berpakaian yang ‘buka-bukaan’ itu. Dalam kebudayaan tertentu perempuan
yang terlihat paha atau pusarnya akan dianggap sebagai pelacur tetapi mungkin
pada kebudayaan lain tidak.
Wewene Minahasa hari ini harus
mengadakan evaluasi besar-besaran terhadap dirinya di tengah zaman yang
menjadikannya objek seksual, barang dagangan, atau perabot rumah semata. Perlu
adanya kesadaran herstory mengenai
eksistensinya di tengah Tou Minahasa. Jika perempuan Minahasa menjadi aherstory maka memang tak jarang mereka
hari ini telah menjadi tersubordinasi ke dalam kelas manusia kedua. Mereka
sudah tak tahu lagi bahwa pencipta mereka adalah dewi Karema dan ibu mereka
adalah Lumimuut. Mereka juga tidak tahu bagaimana heroismenya Pingkan dalam
mempertahankan cintanya dengan Matindas. Minahasa memiliki akar feminin yang
sayangnya telah banyak dilupakan dan tak mampu lagi menjadi penopang praktik
kultural kita hari ini.