(Sebuah renungan Paskah)
Dalam tradisi Israel, Paskah adalah hari peringatan terhadap
terbebasnya masyarakat Israel dari perbudakan Mesir. Tetapi dalam tradisi
Kristen, Paskah adalah hari peringatan terhadap hari kematian Yesus di kayu
salib - karena memang bertepatan dengan tradisi paskah Israel yang juga disebut
sebagai hari raya roti tak beragi. Dalam bahasa teologis disebut sebagai hari
penebusan dosa bagi umat manusia dan tidak mengurangi kadar teologisnya juga
ditambahkan bahwa setelah kematiannya Yesus bangkit pada hari ketiga dan naik
ke surga. Dalam konteks sosio-historis sebenarnya ada yang menarik dalam
tradisi Israel memperingati paskah dikaitkan dengan keminahasaan hari ini.
Ketika Israel diperbudak oleh Mesir selama empat ratus tiga puluh
tahun kemungkinan terjadi degradasi kultural. Bangsa Israel yang sebelumnya
hidup bebas dan senang di tanah Mesir karena leluhur mereka Yusuf anak Yakub akhirnya
menjadi bangsa yang hina. Tetapi setidaknya mereka telah merasakan sedikit
kesejahteraan bangsa Mesir di bawah pemerintahan firaun. Mungkin dengan begitu
mereka melupakan sebagian adat mereka dan berbaur dengan tradisi paganisme Mesir.
Dalam keadaan senang manusia cenderung melupakan nilai-nilai kehidupan itu
sendiri. Tetapi dalam keadaan sengsara manusia cenderung akan mencari
nilai-nilai lama yang telah mereka tinggalkan. Bangsa Israel berseru dalam
kesengsaraan mereka kepada tuhan yang mungkin telah mereka lupakan sebelumnya.
Musa yang lahir dalam situasi kesengsaraan bangsanya datang dan
memperkenalkan kembali tuhan yang telah mereka lupakan. Mereka kemudian
diingatkan bahwa ada perjanjian antara tuhan dan leluhur mereka Abraham. Musa
membangkitkan kembali harga diri bangsa Israel bahwa mereka adalah bangsa yang
besar dan telah diberi tanah yang berlimpah susu dan madu yang harus mereka
rebut. Musa kemudian merekonstruksi kebudayaan bangsa Israel selama dalam
perjalanan mereka menuju tanah perjanjian yang berlimpah susu dan madu.
Pada Minggu, 31 Maret 2013 sekitar pukul 15.00 saya bersama beberapa
teman di Tondei mencari watu lutau yang merupakan
peninggalan leluhur bangsa Minahasa (ataupun Malesung).
Watu lutau adalah sejenis menhir di zaman megalitikum yang dipercaya
oleh Tou Tondei selalu mengeluarkan bunyi seperti ledakan besar di setiap
pergantian tahun. Secara umum diketahui ada beberapa watu lutau atau juga
disebut batu lesung yang ada di Tondei tetapi watu lutau yang satu ini kami temukan dalam keadaan yang rusak
parah dan terbenam dalam tanah. Kami berusaha menggali dan membuatnya dalam
posisi normal. Kami juga memberi tanda sebagai penghormatan terhadap
peninggalan ini dengan tanaman yang dianggap mistis yang disebut kendem
atau juga tawaang. Beberapa di antara kami adalah generasi yang lebih parah
dalam soal wawasan tentang kebudayaan Minahasa.
Mereka lahir dan dibesarkan di tengah lajunya penetrasi budaya asing karena
bantuan teknologi modern. Permainan masa kecil mereka pun tersentralisasi dalam
layar kaca sehingga meredusir kolektivitas yang ada dalam permainan-permainan
tradisional seperti permainan kaliye, lulutau, dll. Tetapi
mereka setidaknya ada ketertarikan untuk mencari kembali leluhurnya.
Hari itu sempat terbesit dalam pikiranku pertanyaan apakah bangsa Minahasa juga mengalami apa yang bangsa
Israel alami dahulu. Pencarian kembali akan nilai-nilai yang telah lama
ditinggalkan oleh Tou Minahasa. Setelah Minahasa dihegemoni oleh tradisi diluar kebudayaannya dimulai dari
penetrasi bangsa eropa sampai saat ini. Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia
dijajah kurang lebih tiga ratus tahun kemudian ‘bangsa Indonesia’ pun menjadi
penjajah atas bangsa-bangsa di dalamnya termasuk bangsa Minahasa. Jadi ada waktu yang sangat panjang yang menggerogoti
keminahasaan sehingga generasi sekarang hanya melihat puing-puing keminahasaan
dalam catatan sejarah dan penuturan-penuturan yang bercampur dengan teologi
Kristen. Ada banyak hal yang disembunyikan supaya tidak diketahui dan
dipraktikkan kembali karena bertentangan dengan tuhan modern kita.
Mustafa Kemal Ataturk melakukan revolusi budaya terhadap bangsa
Turki yang telah lama dihegemoni oleh kebudayaan Arab. Layaknya seorang Musa,
ia mampu merekonstruksi kebudayaan Turki di bawah pemerintahannya. Semua itu
didasarkan pada kenyataan bahwa bangsa mereka telah menjadi inferior untuk
waktu yang lama. Israel dan Turki mampu mengembalikan kebudayaan asli mereka
dan menata masa depan berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri. Tetapi lain
halnya dengan Indonesia ketika terlepas dari penjajahan malah menjadi penjajah.
Dapat dikata bahwa perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah adalah
kecemburuan akan nikmatnya menjajah. Bangsa Indonesia mengangkat dirinya
sebagai elite atas bangsa-bangsa di dalamnya. Memang ada banyak hal yang
dianulir setelah kemerdekaan. Konsep nation and character building
Soekarno dianggap remeh oleh para elite politik di zaman itu bahkan di zaman
sekarang. Soekarno ingin mengadakan penegasan terhadap nilai-nilai kultural
bangsa Indonesia dalam Pancasila (dalam pengertian ideologi dinamis). Tetapi
kegagalan membangun pribadi bangsa – oleh karena Indonesia terbagi dalam
bangsa-bangsa – akhirnya menciptakan bangsa yang bangsat! Soekarno adalah
‘nabi’ yang gagal dari deretan nabi-nabi yang ada karena dia mengulang
kesalahan nabi-nabi sebelumnya. Yesus memahami bahwa wanita penyebab kejatuhan
nabi-nabi sebelumnya dan memilih untuk tidak menikah. Tetapi Muhammad beranjak
dari hal itu adalah nabi yang melakukan sintesis dengan menjadikan wanita
sebagai pendamping, penyokong, dan pendukung misi keilahiannya.
Pertanyaan dalam pikiran saya selanjutnya adalah apakah salah jika
sebuah bangsa mencari kembali tuhan aslinya. Mirip dengan apa yang dilakukan
oleh bangsa Israel yang mencari kembali tuhan mereka dalam kondisi inferior.
Atau seperti Ataturk yang merasa bangsanya diperolok oleh budaya bangsa asing
yang menentukan cara mereka makan dan berpakaian. Jika tuhan modern kita tidak
bisa lagi memberi pertolongan kepada umatnya serta para gembala mengeksploitasi
domba-dombanya apakah sedikitnya itu tak memancing nalar manusia untuk
mempertanyakan eksistensinya. Mujizat tidak lagi hadir di tengah-tengah orang
percaya tetapi selalu hadir di tengah-tengah orang berduit. Kepercayaan yang
kuat selalu dilandasi dengan peristiwa epifani ataupun mujizat. Tetapi jika
hari ini kita tidak menemukannya lagi apakah kita tetap menyembah tuhan palsu
yang selalu disogok oleh kaum berduit. Mungkin saatnya kita mencari tuhan kita
yang asli, tuhan yang benar-benar membebaskan umatnya dari ketertindasan dan
membawa juga umatnya pada kesejahteraan seperti peristiwa exodus dan
ditemukannya tanah yang berlimpah susu dan madu oleh bangsa Israel.
Elia berhasil membuktikan bahwa tuhannya benar-benar eksis di
hadapan para penyembah baal. Peristiwa itu memberi landasan yang kuat bagi
orang untuk mempercayai tuhan yang benar-benar ada. Musa membelah lautan dengan
tongkat dan memberi makan bangsa Israel dengan manna yang jatuh dari langit.
Daud yang bertubuh kecil dan lemah mampu
mengalahkan Goliat orang yang jauh lebih besar dan kuat daripadanya. Salomo
mampu memecahkan perkara-perkara yang rumit di tengah bangsanya. Yesus mampu
merubah air menjadi anggur, berjalan di atas air, mengusir setan, membangkitkan
orang mati, dan memberi makan ribuan orang. Semua itu adalah preseden bahwa
tuhan mereka benar-benar eksis dan mengintervensi kehidupan manusia. Tetapi
sekarang tuhan kita tak bisa berbuat apa-apa dan membiarkan umatnya
dieksploitasi oleh mereka yang mengaku utusannya. Penindasan, pembunuhan masal,
ketidakadilan, dan kelaparan terjadi hampir di seluruh negeri ini. Apakah mungkin
kita sementara menyembah tuhan yang salah? Dan haruskah kita mencari tuhan yang
sebenarnya?
Kami meninggalkan watu lutau
itu dan berharap pemilik tanah akan menyadari dan menghormati peninggalan
leluhur ketika melihat benda itu telah digali dan diatur sebagaimana posisi
yang sebenarnya. Walaupun kondisinya sudah sangat parah karena sebagian sisinya
hancur tetapi setidaknya apa yang tertinggal ini menjadi tanda bahwa kita
mempunyai leluhur yang benar-benar ada bukan hanya leluhur yang bersemayam
dalam tuturan atau tulisan. Saya berpikir kepedulian tou minahasa hari ini
terhadap budaya dengan upaya penggalian dan pemaknaan nilai-nilai berajak dari
kesadaran akan keterpurukan bangsa ini. Kesadaran akan infererioritas menjadi
pemicu untuk mengangkat diri dari ketertindasan. Atau juga gerakan keminahasaan
hari ini hanya euphoria intelektual atau
semacam megalomania karena baru bersentuhan dengan konsep-konsep pencerahan
dari eropa.