halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Senin, 27 Oktober 2014

TUMONDEI DAN WACANA SESAT



TUMONDEI DAN WACANA SESAT
(Dipersembahkan untuk Sanggar Tumondei pada HUT ke-2)

Swadi Sual

I
SESAT, TERSESAT, DAN PENYESAT
Lexy Sual waktu mencari makam Hero Timporok
Jika kita mendengar kata ‘sesat’ maka tentunya itu berindikasi pada hal yang negatif dan memang respon mental kita demikian. Tetapi walaupun begitu banyak orang yang bahkan tidak memahami benar mengenai kata itu sendiri. Makanya perlu kemudian kita mengkaji pengertian dasar dari kata sesat itu. Kata sesat  bisa diartikan  sebagai tidak melalui jalan yang benar; salah jalan; keliru; menyimpang dari ajaran. Semua pengertian itu mengacu pada persoalan ‘prosedur’, jalan,  dan patokan; misalnya pada pengertian pertama dan kedua, sesat adalah ketika kita tidak mengikuti jalan yang sebenarnya maka kita akan tersesat karena tentunya jalan yang salah sudah pasti tidak akan mengantarkan kita pada tujuan. Pengertian ketiga dan keempat, sesat adalah soal ketika kita tidak sesuai dengan standar nilai tertentu terkait ilmu (science) atau ajaran.  Ketika orang ingin bepergian ke suatu tempat dan melalui jalan yang salah maka dia akan tersesat. Jika orang yang tadi diberikan petunjuk yang salah oleh seseorang kemudian dia tersesat maka pemberi petunjuk itu adalah penyesat. Begitu juga mengenai sesat terkait standar nilai tertentu; jika kita mengajarkan bahwa √16 adalah 2 atau 3 x 3 = 6 maka kita adalah penyesat dan yang menerima ajaran kita tersesat karena yang kita ajarkan adalah sesat karena kebenaran matematisnya √16 adalah 4 dan 3x 3 = 9. Jika dalam agama Kristen kita mengajarkan ketika pipi kirimu ditampar maka balas pula dengan menampar pipi kiri atau membalas kejahatan dengan kejahatan maka pengajar itu adalah penyesat dan orang yang menurutinya tersesat. Jadi sesat bisa ditinjau dari segi tidak sesuainya pikiran dan tindakan dengan aturan/jalan atau kebenaran.
Tapi tentunya soal sesat dan tidak sesat yang berkaitan dengan aturan/jalan atau kebenaran itu bisa menjadi relatif dalam hal-hal tertentu menyangkut perbedaan budaya, kepercayaan, wilayah, dan waktu. Walaupun memang selalu ada usaha untuk menciptakan aturan/jalan dan kebenaran universal. Setiap negara memiliki aturan hukum yang berbeda, walaupun ada kesamaan di hal-hal tertentu, karena aturan yang dihasilkan disesuaikan dengan kondisi negara itu sendiri. Misalnya, di negara-negara tertentu ada pelegalan aborsi dan eutanasia sementara di negara-negara lain tidak. Atau ada negara yang bebas mengembangkan nuklir sementara di negara-negara lain tidak dan bahkan tidak diizinkan. Tetapi dengan contoh-contoh ini kita tidak kemudian menjadikan kebenaran dan kesesatan itu menjadi sangat kabur dan terjebak pada relativisme. Oleh karena ada juga aturan/jalan dan kebenaran yang dirumuskan berdasarkan prinsip universal; misalnya pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) untuk membuat aturan universal yang akan dijalankan oleh semua negara yang menjadi anggota.
Sesat prosedural. Jika kita ingin mengadakan sebuah perjalanan menuju suatu tempat dan kita menempuh jalan yang salah maka kemungkinan kita akan menuju hutan luas dan bahkan tak tahu jalan pulang. Atau ketika kita mau masuk universitas dengan serangkaian syarat dan langkah-langkah kemudian kita tidak mengikutinya maka kemungkinan kita tidak akan diterima masuk di universitas. Jika sudah ada semacam prosedur yang ditetapkan dan tidak ada kemungkinan lain, atau jalan lain, maka kita tentunya akan menghadapi jalan buntu dan tak sampai pada tujuan. Jika tujuan kita ke  selatan dan kita mengambil jalan ke timur sudah tentu kita tidak akan pernah sampai pada tujuan. Dalam hal ini untuk mencapai tujuan kita harus mengikuti serangkaian alur dan langkah-langkah yang ditetapkan ataupun suatu keharusan mutlak.
Ada hal yang cukup menarik, dan bebeda dari yang sebelumya, bahwa dalam lingkup birokrasi yang sangat prosedural maka perilaku yang menyimpang dari prosedur akan dianggap sebagai dosa birokratis. Dalam hal ini walaupun kita tidak mengikuti prosedur (jalan/aturan), yang disepakati dan memliki kekuatan hukum, kita justru mendapat keuntungan dan mencapai tujuan. Misalnya dalam upaya mendapat gelar yang harus melewati prosedur akademik atau untuk menjadi pegawai negeri yang harus melewati uji berkas, dan serangkaian tes; pada kenyataannya banyak orang yang tidak melewati prosedur itu tetapi sampai pada tujuannya. Ini sering terjadi dalam masyarakat de facto menganut plutokrasi sehingga uang dan orang tertentu (parvenu) dapat menyangkal kebenaran prosedural.
Sesat dogmatis. Jika sebelumnya kita membahas soal pelanggaran terhadap kebenaran prosedural maka sekarang kita akan membahas soal kebenaran dogmatis. Ini sangat berkaitan dengan standar nilai yang ditetapkan dilandaskan pada ruang dan waktu sehingga mempengaruhi landasan kebudayaaan masyarakat. Agama, etika, dan adat-istiadat masyarakat yang berbeda-beda semuanya dibentuk oleh situasi dan kondisi terkait ruang dan waktu. Setiap masyarakat atau bangsa yang memiliki kebudayaan sendiri mengklaim kebudayaan mereka yang paling benar sehingga kebanyakan dari mereka memaksakan standar nilai budayanya pada bangsa atau masyarakat lain. Ketika suatu bangsa atau golongan masyarakat percaya bahwa agamanya yang paling benar maka ada kecenderungan dipaksakan pada bangsa atau masyarakat lain.  Itu sama halnya dengan etika dan adat-istiadat. Tetapi hal-hal itu merupakan kebenaran dogmatis yang dibuat untuk suatu bangsa atau golongan masyarakat tertentu dan bagi siapa yang terikat atau anggota maka akan dianggap sesat ketika menyimpang dari dogma.
Bunuh diri dalam masyarakat tertentu tidak diperbolehkan dalam alasan apapun tetapi pada masyarakat Jepang bunuh diri dibenarkan dan dianggap sebagai sifat ksatria. Ketika mereka bernazar dan tak ditepati, gagal dan lalai dalam menjalankan tugas maka bunuh diri[1] menjadi benar. Dalam hal etika pergaulan ada masyarakat yang membenarkan sentuhan pada orang lain berupa berjabat tangan, mencium pipi, dan sebagainya. Tetapi ada juga yang tabu dengan sentuhan seperti itu di depan publik apalagi dengan orang yang berada di luar ‘lingkaran’nya. Hubungan seks diluar nikah sangat dilarang dalam agama dan masyarakat tradisional tertentu tetapi dalam masyarakat modern hari ini hal semacam itu lumrah dan bahkan disediakan alat kontrasepsi sebagai bentuk legitimasi tak langsung.
Kebenaran dogmatis juga berkaitan dengan ideologi yang dibuat oleh orang atau kelompok tertentu dan menetapkan sistem kebenarannya sendiri. Kita bisa melihat bagaimana persaingan ideologi yang saling mengklaim diri sebagai kebenaran seperti liberalisme (termasuk dalam pengertian ekonomi), sosialisme, fasisme, dan –isme-isme[2] yang lain. Standar nilai atau sistem kebenaran yang telah dibangun adalah keharusan bagi mereka yang termasuk di dalamnya dan jika menyimpang maka bisa disebut pengkhianat, sesat, atau murtad.
Sesat substansial. Jika pada awalnya kebenaran yang dibahas beragam maka kita akan mencoba membicarakan kebenaran substansial yang merupakan jenis kebenaran bisa diakui oleh seluruh umat manusia dan tindakan yang menyimpang dari itu akan disebut sebagai sesat substansial. Saya pikir kebenaran universal sudah coba dirumuskan dalam sejak ribuan tahun lalu misalnya Sepuluh Hukum dalam kitab taurat walaupun memang harus dimaklumi ada unsur etnosentrisme. Tetapi dalam kekristenan dengan semangat universalnya sesuai dengan ajaran Kristus telah menyimpulkannya dalam hukum kasih. Bila kita mencoba untuk memahaminya, tanpa prasangka berkaitan dengan identitas kepercayaan kita yang berbeda, maka kita akan menemukan ada hal yang dirumuskan yang memiliki prinsip universal. Pada abad ke-19 muncul kampanye anti imperialisme yang disusul anti perang karena perang yang kejam sehingga banyak manusia harus mati entah karena kelaparan atau terkena peluru dan bom; terjadi pembunuhan massal (genocide) yang melibatkan wanita dan anak-anak. Akhirnya muncul kampanye anti exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation. Hampir semua masyarakat yang telah menjadi korban di abad itu mengutuk perbudakan, penjarahan, pemerkosaaan, pembunuhan massal yang diakibatkan oleh perang dengan semangat imperialismenya walaupun berbeda ras dan agama. Pengalaman terhadap kekejian perang mengarahkan umat manusia pada perumusan kebenaran substansial untuk menciptakan perdamaian dunia; dunia tanpa perang untuk menghindari  perbudakan, penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Usaha pada abad-abad sebelumnya mengenai hak asasi manusia dan kebebesan makin diperkukuh.
Semuanya itu pun disusul dengan semarak emansipasi terhadap kaum perempuan yang dikungkung budaya patriarki. Feminisme kemudian berkembang sebagai gerakan pembebasan perempuan yang mendorong kesamaan hak yang disertai undang-undang perlindungan terhadap kaum wanita[3]. Begitu pun menyangkut anak-anak yang mendapat perlindungan agar tidak diperlakukan semena-mena oleh orang tua atau siapa pun. Selanjutnya, kesadaran akan dampak ekologis menciptakan kampanye mengenai konservasi alam terkait pengelolaan sampah plastik, penggunaan bahan kimia, bahan bakar kendaraan yang menyebabkan polusi, serta menghentikan aktivitas pertambangan. Penyimpangan terhadap semua ini bisa kita istilahkan sebagai sesat substansial.
Akhirnya, kita harus sampai pada perumusan bahwa sesat adalah sesuatu yang berkaitan dengan penyimpangan dari sistem kebenaran (norma, ajaran, agama, ideologi, adat-istiadat) tertentu ataupun universal; tersesat adalah tindakan yang menyimpang dari sistem kebenaran tertentu ataupun universal; dan penyesat adalah orang yang mengajarkan/menunjukkan sesuatu yang menyimpang dari sistem kebenaran tertentu ataupun universal. Tetapi bagaimana pun kita juga harus mempertimbangkan sesat yang direncanakan; dilakukan secara sengaja atau diproyeksikan. Hal semacam ini adalah upaya penyesatan yang berorientasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok baik untuk kepentingan poitif maupun yang negatif. Penyesatan akan sangat berkaitan dengan informasi yang diberikan. Dalam hal positif, misalnya, ada pembatasan dalam pemberian informasi mengenai ilmu pengetahuan yang benar tetapi bertentangan dengan norma maral dan agama. Tujuannya untuk mencegah masyarakat berbuat sesukanya karena keruntuhan kepercayaan yang selama ini dianggap sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Atau misalnya kampanye anti free sex dengan dalih HIV/AIDS tidak memiliki obat penyembuh. Banyak kali pula penyesatan terjadi dalam politik untuk menjaga  stabilitas negara melalui penyebaran isu lewat media elektronik atau cetak. Dalam hal negatif, kita banyak menyaksikan atau membaca sejarah soal penipuan-penipuan untuk merugikan pihak lawan. Misalnya, konflik antar negara, suku, agama, parpol yang saling menciptakan informasi yang buruk terhadap lawan demi keuntungan sendiri dan kerugian bagi yang lain.
Saya kira uraian singkat pada bagian pertama ini menjadi landasan bagi kita pertama untuk mendudukan persoalan pada makna dasar ‘sesat’ serta variasinya. Dengan begitu kita akan melanjutkan pada wacana yang menjadi dasar soal tuduhan dari orang ataupun kelompok tertentu kepada suatu gerakan atau tindakan yang dituduh sesat. Ini untuk memulai dialog kritis terkait masalah yang berkembang dalam masyarakat untuk memahami siapa yang tersesat dan siapa yang penyesat.
II
PAGANISME MINAHASA DAN KRISTEN
Minahasa dan kekristenan telah lama saling mengikat sehingga untuk mencoba melepaskan dua unsur ini dari suatu entitas harus memerlukan kesiapan mental untuk menerima kenyataan bahwa keduanya memang dulunya terpisah dan disatukan kemudian. Oleh karena ada orang-orang yang menerima sebuah keberadaan identitasnya secara a historis. Identitas orang (tou) Minahasa yang telah bercampur dengan kristen seakan menjadi mutlak tak dapat dipertanyakan lagi dan usaha untuk men-‘dekonstruksi’ identitas ini akan dianggap sesat[4]. Walaupun pada kenyataan agama kristen adalah agama impor yang dibawa oleh para misionaris Belanda yang diterima oleh penduduk lokal. Sejarah adalah landasan kita untuk mengerti soal Minahasa dan kristen. Jadi, sudah seharusnya kita memisahkan kedua hal itu dan menyelisik sedikit sejarahnya.
Kristen. Secara harafiah kita bisa mengartikan kristen sebagai pengikut kristus atau orang yang menganut ajaran kristus. Dalam bahasa Inggris disebut christian atau dalam bahasa Prancis disebut chrétien(ne); walaupun dalam kategori agama ada  juga yang menyebut dirinya katolik yang juga merujuk kepercaannya pada Yesus Kristus. Yesus (yang juga disebut Tuhan) adalah seorang Yahudi (Israel yang terletak di Timur Tengah) yang ditolak ditanah dan oleh bangsanya sendiri yang kemudian disalib berdasarkan hukuman Romawi. Yesus di masa hidupnya adalah seorang guru spiritual yang juga memiliki kekuatan penyembuh. Dia banyak membuat mujizat dengan menyembuhkan orang buta, lumpuh, kusta, tuli, penyakit ayan, dan bahkan membangkitkan orang mati. Dia berkuasa atas alam karena mampu menghentikan badai, mengusir roh jahat, dan memberi makan ribuan orang hanya dengan lima roti dan dua ikan. Di masa itu Israel adalah wilayah jajahan Romawi sehingga orang Israel sedang menantikan seorang raja pembebas sesuai yang telah dinubuatkan oleh nabi sebelumnya. Raja Israel, Herodes, pada masa itu hanyalah pemerintahan boneka dan tak memiliki kekuatan politik. Perjuangan untuk membebaskan diri dari penjajahan ini terbagi-bagi dalam beberapa aliran di antaranya adalah perjuangan keagamaan dan perjuangan politik. Yang satu dilandaskan pada nubuat dan yang satu pada usaha pemberontakan.
Aktivitas Yesus awalnya adalah mengajar tentang kebenaran firman Tuhan sesuai dengan kepercayaan Israel. Walaupun dia sendiri buknlah imam atau orang yang bertanggung jawab untuk bidang itu. Oleh karena Yesus adalah anak Yusuf dan Maria yang ayahnya adalah seorang tukang kayu dan dalam strata masyarakat feodal mereka adalah masyarakat biasa. Tetapi ketika Yesus mengajar maka banyak orang yang kagum bahkan sampai anak-anak ingin mendengarkannya. Mereka selalu menanti-nanti kehadirannya untuk mendengarkan kabar baik. Tetapi ketika Yesus mulai mengkritik masyarakatnya dan para imam dan pemuka-pemuka agama yang munafik maka mereka mulai membencinya. Ditambah lagi pengikut Yesus yang semakin banyak mengancam kekuasaan para imam dalam hal spiritual. Yesus mengkritik praktik agama yang hanya mengabdi pada dogmatisme daripada manusia; Bait Suci yang dijadikan pasar tempat berbisnis; dan segala kekakuan agama pada waktu itu. Dia kemudian dianggap sesat karena tidak pro status quo dan melakukan penyesatan terhadap umat Israel. Mujizatnya dituduh berasal dari roh kegelapan karena dia bukanlah orang yang harus melakukan tugas spiritual; otoritasnya dipertanyakan. Aktivitas Yesus dianggap tidak mendasar dan tidak memiliki wewenang yang ditunjang oleh pembenaran status sosial dan secara agama. Tambahan pula aktivitas Yesus yang dekat dengan orang-orang berdosa; pelacur, pemungut cukai (dianggap pengkhianat), dan juga orang-orang miskin. Dan juga pernah didapati dia bergaul dengan prajurit Romawi serta membuat mujizat terhadapnya. Itu semua dianggap perbuatan tidak senonoh bagi para elite dan pemuka-pemuka agama.
Yesus mengkritik ekslusivisme ‘spiritual’, rutinitas agama, dan tradisi masyarakatnya di masa itu yang jauh dari esensi ajaran agama. Dia ingin memperbaiki perilaku bangsanya yang telah sedemikian hancur oleh karena tradisi dan kekuasaan yang korup dan belum lagi ditambah dengan kesewenangan imperium Romawi. Para elite yang tak tahan kritik pada waktu itu akhirnya melakukan konspirasi untuk menjebak Yesus. Dengan segala tuduhan yang menghujaninya dan diperkuat dengan motif pemberontakan terhadap imperium maka dia pun diadili dan dijatuhi hukuman mati. Setelah kematian Yesus, kurang lebih tiga ratus tahun lamanya pengikut Yesus atau yang kemudian disebut kristen diburuh, dianiaya, dan dibunuh oleh penganut agama Yahudi fanatik. Ketika kaisar Konstantine memeluk agama kristen dan selanjutnya menjadi agama resmi negara maka mulailah sejarah baru dunia atas dominasi kristen. Karena luas wilayah imperium Romawi maka agama Kristen kemudian dengan mudah menyebar di Eropa. Walaupun kristen adalah agama yang bersumber dari monoteisme Yahudi tetapi ketika berkembang di eropa maka terjadi akulturasi dengan paganisme eropa itu sendiri.
Minahasa. Sekumpulan manusia yang tinggal di daerah Sulawesi Utara (Nusantara) dengan warna kulit yang berbeda dengan suku-suku di sekitarnya yang juga disebut masyarakat Malesung dulunya. Etnis yang memiliki sub-etnis dan bahasa yang berbeda-beda. Ada tiga sub-etnis besar di zaman Malesung yaitu Toulour, Toumbulu, dan Tountemboan. Masyarakat ini memiliki kebudayaannya sendiri karena telah memiliki sistem kepercayaan/religi, pemerintahan, bahasa, mata pencaharian, astrologi atau ilmu perbintangan, dll. Kepercayaan Tou Minahasa walaupun dalam bentuk agama tua (terkait animisme, dinamisme, dan totemisme) tetapi sudah ada pemimpin ritual yang disebut walian; ini juga disebut agama pagan atau kepercayaan asli masyrakat lokal . Dalam pemerintahan ada yang disebut tonaas, ukung tua, tua in lukar, dan meweteng di setiap walak atau distik; dalam urusan perang panglima disebut teterusan dan prajurit disebut waraney. Masyarakat ini juga sudah memiliki sistem bahasa dan juga telah terpecah dalam beberapa bahasa dan dialek yang berbeda; misalnya bahasa tountemboan terpecah menjadi dua yang disebut Tountemboan sumonder dan tumompaso atau makelai’ dan matanai’. Mata pencaharian masyarakat ini adalah hasil perburuan di hutan atau juga pertanian. Untuk keperluan pertanian masyarakat ini juga sudah mengenal ilmu perbintangan untuk menetapkan musim menanam yang baik serta perawatannya. Selanjutnya masyarakat ini terpecah lagi dalam beberapa sub-etnis yang memiliki bahasa dan dialek yang berbeda. Masyarakat ini tidak mengenal sistem kerajaan atau feodalisme tetapi lebih dekat dengan masyarakat komunal primitif. Sering terjadi perang antar sub-etnis atau juga antar distrik di dalamnya.
Tetapi ketika mendapat ancaman dari suku-suku sekitar dan para bajak laut dari Mangindanau maka masyarakat ini kemudian bersatu. Itulah cikal bakal masyarakat ini menyebut dirinya Minahasa yang berarti bersatu. Untuk mengahadang ancaman eksternal ini maka persatuan adalah syarat mutlak untuk mempertahankan eksistensi. Tou Minahasa juga selanjutnya terlibat perang melawan Portugis, Spanyol, dan Belanda yang datang dari eropa sejak abad ke-16 dengan alasan emporium yang akhirnya juga ingin mendirikan imperium. Tou Minahasa dikenal dengan kegarangannya serta memiliki kebiasaan berburu kepala atau mengayau untuk keperluan ritual. Dalam agama pagan pengorbanan (rages) manusia adalah hal yang lumrah. Jadi dalam hal berperang tradisi mengayau juga adalah hal yang biasa bagi masyarakat ini.
Minahasa dan Kristen. Lalu bagaimana bisa Minahasa dan Kekristenan menyatu? Ketika orang Minahasa bersekutu dengan Belanda untuk menghalau ancaman eksternal maka terjalinlah persahabatan antara keduanya. Ini juga memudahkan para misionaris kristen dari Belanda mudah masuk ke wilayah ini apalagi ketika kekuasaan kolonialnya ditegaskan di Nusantara yang waktu itu juga disebut Hindia Belanda. Tetapi sejak awal orang Minahasa memandang dirinya setara dengan Belanda karena sebuah perjanjian yang pernah diikat. Para misionaris seperti Riedel dan Swarscz yang datang menginjil pada awalnya tidak serta merta diterima oleh penduduk lokal karena standar nialai dan kebenarannya tentu berbeda. Tetapi kemudian diterima oleh penduduk lokal mungkin dengan bujukan atau dengan syarat. Kita bisa melihat terjadi akulturasi kebudayaan antara paganisme Minahasa dan Kristen; kristen sendiri adalah budaya hasil campuran antara budaya Yahudi dan Romawi (eropa). Mirip dengan kristenisasi yang terjadi di tempat-tempat lain maka di Minahasa pun terjadi upaya pengidentifiasian kebudayaan Minahasa dengan Kristen. Upaya itu dengan meyakinkan bahwa Tuhan yang disembah oleh masyarakat lokal mengarah pada Tuhan orang Kristen. Lalu diciptakan wacana-wacana yang membuktikan kesamaan itu. Para misionaris mulai menulis sejarah kebudayaan lokal dengan menambahkan unsur-unsur kekristenan di dalamnya. Maka tak heran jika penuturan sejarah dan kebudayaan orang Minahasa di genarasi selanjutnya tetap memiliki unsur kekristenan.
Dalam paganisme Minahasa yang menyembah apo-apo[5] (animisme), mempercayai tanda-tanda binatang tertentu, dan menggunakan wentel (totemisme) sebagai kebudayaan aslinya  memiliki semangat seperti dalam Hukum Kasih Kristen. Seseorang yang disebut tonaas, walian, atau pemimpin masyarakat adalah orang yang memiliki kualitas berpikir (nga’asan), berpengalaman (mawai’), dan memiliki hati nurani (niatean). Pemimpin masyarakat haruslah tou lo’or atau orang yang baik yang mementingkan kepentingan bersama. Para tabib tradisional yang menolong orang sakit memiliki pantangan menerima upah, sama juga dengan para ‘visioner’ atau ma’tengo yang menolong orang untuk menemukan barang yang hilang akibat dicuri orang. Seperti dalam kekristenan yang diajarkan bahwa sesuatu yang diterima secara cuma-cuma maka harus diberikan juga secara cuma-cuma. Jadi karunia yang diberikan Tuhan pada manusia secara gratis maka harus digunakan untuk menolong orang tanpa pamrih. Dalam hal mewariskan ilmu orang tua harus mempertimbangkan dengan teliti siapa anak atau orang yang akan mewarisinya. Biasanya yang dipilih adalah anak atau orang yang tidak pelak (sombong) dan penes (pendiam) agar supaya ilmu itu tidak disalahgunakan. Oleh karena ilmu yang diwariskan pada orang yang salah akan mengubah talenta (karunia) itu digunakan untuk hal-hal yang jahat.  Jika orang jahat menggunakan ilmu itu maka ilmu itu juga akan berubah menjadi jahat sehingga digunakan untuk mencelaki orang (mariara atau ma’diara).
Tou Minahasa menerima kristen karena kesamaan dalam hal positif dalam injil mengenai yang lo’or. Tetapi praktik paganismenya masih dipertahankan dan ada juga yang dimodifikasi. Misalnya Gereja Masehi Injili di Minahasa menggunakan  Manguni dalam lambangnya karena burung ini adalah pembawa kabar bagi orang Minahasa. Ini tentunya adalah kepercayaan lokal yang tidak sinkron dengan apa yang ada dalam alkitab atau kristen eropa. Sementara ada juga praktik yang ditinggalkan secara perlahan misalnya jenis hukuman mencicang orang yang bersalah dan kebiasaan berburu kepala untuk keperluan ritual. Sejarah dan kebudayaan Minahasa ditulis dan diarsipkan oleh orang Belanda karena Tou Minahasa waktu itu belum bisa menulis seperti orang eropa. Dengan  politik etisnya orang Belanda kemudian mulai mengajari penduduk lokal untuk belajar ilmu pengetahuan dari Eropa an tentunya diawali dengan membac dan menulis. Generasi orang Minahasa yang sudah bisa membaca  kemudian mewarisi sejarah dan kebudayaannya lewat dokumen-dokumen yang ditulis oleh para misionaris. Tradisi belajar lisan dari orang tua menjadi kurang karena pusat pendidikan diarahkan ke sekolah-sekolah modern. Dokumen sebagai budaya tulis dianggap sebagai hal yang paling valid sehingga sejarah dan kebudayaan Minahasa mengacu padanya.
Sampai di sini kita juga harus menyadari bahwa kristen di Minahasa selanjutnya berkembang dengan masuknya penginjil-penginjil baru yang beraliran berbeda-beda; ada yang membawa agama kristen katolik dan aliran kristen karismatik. Kenyataannya dalam masyarakat Minahasa telah berdiri gereja-gereja dengan berbagai aliran. Tetapi ini adalah apa yang kemudian terjadi setelah yang telah diuraikan lebih awal. Jadi tidak heran kalau aliran gereja yng atang kemudian tidak dekat dengan paganisme Minahasa dan bersikap anti serta menuduh sesat.
III
TUMONDEI
            Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dan rasionalitas sampai pada titik jenuh dan segala akibatnya maka mulailah era baru dalam ilmu pengetahuan; atau bisa juga ini disebut zaman pembalikan. Era modern yang khas dengan rasionalitasnya mulai dipertanyakan. Modernisme (logosentrisme) dikritik dan lahirlah apa yang disebut sebagai postmodernisme. Mulailah kritik terhadap occidental-isme dan muncullah oriental-isme. Globalitas digantikan dengan lokalitas. Semua tema dan narasi besar (grand narration) dipertanyakan kembali dan dijungkirbalikkan. Kebenaran-kebenaran yang dianggap mapan dan diterima begitu saja dibongkar lagi. Semangat dekonstruksi menjadi jiwa zaman ini sehingga otoritas-otoritas kebenaran banyak yang dihancurkan.
            Tumondei sebagai gerakan menelusuri, mencari, dan melihat kembali apa yang sudah ditinggalkan adalah reaksi terhadap zaman kini yang mengecewakan. Identitas-identitas dan representasi sebagai kenyataan faktual yang tidak sesuai mendorong upaya-upaya pencarian kembali. Rasionalitas yang pada zaman keemasannya telah menggantikan mitos-mitos dan kearifan lokal yang dianggap tidak logis dan bahkan sesat telah menjadi standar kebenaran. Rasionalitas yang pada gilirannya telah mendukung penemuan-penemuan dalam bidang ilmu pasti (science) yang juga berdampak pada ilmu-ilmu sosial dan kenyataan sosial itu sendiri. Perkembangan kapitalisme yang didukung oleh penemuan mesin-mesin menciptakan masyarakat industri yang eksploitatif. Di mulai dari eksploitasi terhadap manusia dan selanjutnya eksploitasi besar-besaran terhadap alam. Ketika orientasi ekonomi yang terjebak pada produktivisme yang mengejar akumulasi modal dengan mengorbankan alam maka ekosistem tidak lagi seimbang telah mengancam eksistensi manusia dan kehidupan itu sendiri. Ini menjadi landasan untuk mempertanyakan masyarakat modern yang maju dan dilandaskan pada rasionalitas tetapi mengarah pada kehancuran sedangkan masyarakat tradisional yang dituduh stagnan, dungu, dan alifuru tetapi memiliki kesadaran menjaga keseimbangan alam. Kita bisa menyaksikan capaian masyarakat modern yang melakukan aktivitas pertambangan untuk menunjang modernitas itu sendiri menimbulkan pencemaran lingkungan baik di tanah, air, maupun udara. Penggunaan bahan-bahan kimia sintetik yang digunakan pada peternakan hewan untuk merangsang percepatan proses pertumbuhan telah menciptakan penyakit-penyakit baru bagi manusia. Perubahan aktivitas pun membuat masyarakat mudah diserang penyakit. Masyarakat tradisional yang tak menggunakan alas kaki dan setiap hari bekerja keras jarang dan mungkin tak pernah diserang penyakit mematikan seperti dalam masyarakat modern yang menutupi hampir seluruh tubuhnya dan bekerja santai di kantor-kantor. Praktik tradisional seperti akupuntur dan yoga kini banyak disarankan untuk masyarakat modern untuk mencegah dan mengobati ‘penyakit-penyakit modernitas’.
Dalam hal Minahasa dan Kristen maka Tumondei adalah upaya untuk menelusuri kembali dua unsur ini. Minahasa = Kristen dipandang sebagai kebenaran mutlak sehingga kebenaran ini menjadi dogmatis. Mengangkat kembali Minahasa masa lalu membuat orang resah dan mereka sangat alergi dengan yang namanya kebudayaan lokal; upaya mencoba membicarakan Minahasa tanpa Kristen dianggap sesat dan orang membicarakan kristen hari ini dengan sedikit kadar Minahasa-nya. Ini adalah soal reaksi a historis terhadap wacana ke-Minahasa-an itu sendiri. Kekecewaan terhadap keadaan saat ini membuat adanya upaya melihat kembali hakikat dari unsur-unsur pembentuk identitas Tou Minahasa yang terdiri dari budaya Minahasa dan budaya Kristen. Menelusuri budaya Minahasa dahulu kita menemukan budaya mapalus sebagai sistem kerja kolektif untuk kepentigan bersama; kita menemukan bagaimana pemimpin-pemimpin Tou Minahasa yang berani, bijak, memiliki kualitas yang baik, dan benar-benar berpihak pada masyarakat yang dipimpinnya; kita menemukan Tou Minahasa yang memiliki talenta menggunakan karunia itu untuk menolong orang tanpa pamrih. Hal yang sama pun bisa kita temukan dalam ajaran kristus dalam kitab-kitab injil atau alkitab.
Hari ini orang yang mengaku Minahasa sekaligus Kristen atau sebagai Kristen sekaligus Minahasa bahkan bukalah representasi dari kedua hakikat identitas itu. Oleh karena banyak orang yang mengaku Minahasa tetapi tidak tahu apa itu Minahasa dan begitu juga banyak orang yang mengaku Kristen tetpi tidak tahu apa itu Kristen. Masyarakat yang memiliki identitas ini (two in one and one in two) mewujud dalam distorsi-distorsi. Faktor politik dan ekonomi adalah dua hal yang secara kentara mendistorsi hakikat identitas ini. Dalam rezim Orde Baru pemimpin-pemimpin yang Minahasa sekaligus Kristen meniru gaya kepemimpinan otoriter ini, oportunis, dan korup. Para politisi  dari Minahasa yang telah tercerabut dari hakikat identitasnya telah ikut-ikutan dalam panggung NKRI dengan semangat KKN-nya. Mereka sudah tidak pedui lagi dengan kepentingan bersama tetapi selalu siap dan senang dengan proyek-proyek negara sehingga mereka bisa menggelapkan dana untuk kekayaan keluarga. Keluarga menjadi prioritas walaupun dengan mengabaikan nilai-nilai moral, agama, dan kebenaran. Akhirnya dampak dari nepostisme itu muncullah angkatan-angkatan dekaden di mana para pengajar dan pegawai negeri tidak berkualitas oleh karena hasil rekomendasi kerabat yang berkuasa atau hasil sogokkan. Hasil (output) dari lembaga-lembaga pendidikan sangat parah dan tak mampu bersaing dalam skala internasional karena memang dididik oleh orang-orang tak berkualitas. Pemimpin agama/gereja yang tidak kalah amburadulnya karena juga ikut mengokohkan kekuasaan politik dan mengimpor semangat rezim itu dalam organisasi gereja. Gereja mulai tergila-gila dengan kekuasaan dan uang. Orientasi pembangunan adalah pendirian gedung-gedung dan pamer kemewahan. Pemimpin agama berkonspirasi dengan politisi dan pemodal. Kita bisa menyaksikan bagaimana yayasan-yayasan Kristen berupa lembaga pendidikan dan kesehatan dijiwai oleh semangat akumulasi modal. Hanya yang kaya yang bisa mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan yang bermutu. Berapa banyak anak-anak yang berhenti sekolah karena tidak mampu membayar uang sekolah yang makin tinggi atau berapa banyak orang yang mati kesakitan karena tak bisa dirawat di ruma sakit; atau sekalipun dirawat di sana para dokter para perawat khawatir jika keluarga pasien tak mampu membayar ongkos perawatan jadi hanya diberikan perawatan sekedarnya. Sampai di sini kita harus bertanya lalu di mana Minahasa dan Kristen dalam diri orang-orang ini? Jika ditinjau kembali apa arti gereja yang sesungguhnya maka terjadi kontradiksi antara yang ada (das sein) dan yang seharusnya (das sollen).
Politik orde baru mendistorsi banyak hal esensi sebagai das solllen bernegara; kesewenang-wenangan dalam birokrasi, money politic, pelanggaran HAM, dan hegemoni kekuasaan yang membatasi kebebasan emberi dan menerima informasi menciptakan masyarakat pragmatis, individualis, hedonis, dan apatis. Gereja juga di bawah kontrol politik yang juga sejalan dengan semangat kapitalisme telah menciptakan praktik anomali dan dogma-dogma yang melindungi sistem kekuasaan. Secara historis agama memang selalu sejalan dengan politik untuk mempertahankan eksistensinya. Di masa feodal agama juga turut melindungi kekuasaan dengan memberi legitimasi-legitimasi spiritual terhadap raja. Agama juga menjadi pembela atau tameng kekuasaan ketika ada upaya kritik atau pemberontakan. Kita bisa menyaksikan bagaimana hal yang pernah dialami Yesus banyak terjadi kemudian bahkan ampai saat ini. Banyak pejuang-pejuang revolusioner yang mengkritik kekuasaan (negara sekaligus agama) yang yang dibunuh. Secara substansial asketisme para pejuang revolusioner dan aktivis sama seperti Yesus Kristus. Yesus  yang dituduh sesat dan melakukan penyesatan juga dialami oleh para pejuang revolusioner dan aktivis yang dituduh menyesatkan masyarakat dengan melakukan agitasi, propaganda, dan provokasi. Ini memang berkaitan dengan ketidaksesuaian dengan prosedur dan dogma yang sementara dipakai sehingga ini bisa disebut sesat prosedural dan dogmatis. Tetapi gerakan perlawanan ini adalah penglihatan sebalaiknya bahwa yang menuduh sesat juga sementara tersesat dalam hal-hal substansial. Mereka memiliki gelar-gelar akademik, sosial, dan bahkan substansial tetapi tidak intelek, penuh skandal imoral, dan tidak berlaku berdasarkan ajaran-ajaran agama; mereka terjebak pada rutinitas ritual yang dianggap sebagai tindak kesalehan.
Kondisi sosial hari ini menunjukkan bagaimana masyarakat itu tersesat tak terkecuali dalam hal prosedural, dogma, dan substansial. Kita bisa menyaksikan bagaimana praktik pelanggaran hukum, undang-undang dan aturan terjadi. Hukum yang harusnya menegakkan keadilan malah menjadi srng ketidakadilan karena para penegak hukum justru terobsesi dengan uang sehingga yang benar bisa salah dan juga sebaliknya. Banyak undang-undang yang dilanggar dan disesuaikan dengan kepentingan politik parpol dan golongan. Prosedur-prosedur penerimaan PNS yang bisa dilangkahi dengan pemberian sejumlah uang atau rekomendasi yang bersifat mutlak. Dogma-dogma yang menciptakan fanatisme sempit mendorong sentimen berlebihan dan akhirnya menciptakan konflik sosial antar golongan dan antar agama; terjadi penganiayaan dan pembunuhan atas nama Tuhan yang padahal hanya untuk melindungi kekuasaan agama yang korup. Upaya-upaya menebar kebencian terhadap mereka yang berbeda dogma pada akhirnya mendistorsi substansi agama itu sendiri. Yang harusnya mengasihi malah membunuh, memfitnah, iri, dengki, dan sebagainya.
Kondisi sosial kini harus dilihat kembali akar-akarnya dengan menelusuri identitas-identitas pembentuknya. Oleh karena kebanyakan orang kini bahkan tak mampu menjelaskan dirinya karena memang tidak dipahami baik identitas pribadi ataupun identitas kolektif. Ketika orang ditanya tentang nama dan asal maka itu akan disertai dengan beberapa pertanyaan lanjutan. Nama sebagai identitas diri berkaitan dengan marga atau klan yang nantinya akan terkait juga dengan pengertiannya relasinya di brbagai daerah dan bahkan asal usulnya. Asal sebagai identitas kolektif berkaitan dengan nama kampung atau wilayah yang juga diikuti dengan pengertian dan sejarah pemebentukannya. Semua ini akan mengarah pada karakteristik identitas itu. Jika marga kita dikenal dengan kerajinan, keuletan, dan intelektual maka perilaku yang menyimpang dari itu dianggap ‘sesat’. Begitu juga dengan identitas al kampung yang dianggap juga orang yang berasal dari kmpung atau daerah tertentu mewarisi gen sosial yang menjadi karakteristiknya.
Tumondei adalah upaya melihat kembali akar-akar identitas pembentuk serta hakikatnya dalam rangka menyusun proposal perbaikan-perbaikan kondisi soal. Usaha untuk mencari prinsip-prinsip universal dalam masyarakat tradisional atau yang lampau untuk menciptakan etos sosial yang berakar pada hakikat identitas itu sendiri.


[1] Harakiri atau seppuku. Tradisi ini mengakibatkan angka bunuh diri tertinggi di dunia terdapat di Jepang. Dalam kategori bunuh diri ini adalah bunuh diri filosofis.
[2] Dalam wacana filsafat yang terbagi dalam dua aliran besar yakni idealisme dan materialisme masing-masing dikalim kebenaran oleh para penganutnya. Selanjutnya ada juga empirisme, nativisme, eksistensialisme, feminisme, modernisme, posmodernisme, dan lain sebagainya.
[3] Walaupun sampai hari ini wacana feminisme sudah menjadi sangat beragam yang dipengaruhi oleh kelahiran isme-isme baru.
[4] Dekonstruksi yang dimaksud disini adalah upaya untuk memisah-misahkan unsur-unsur yang membentuk identitas dengan menelusuri asal usul dan sejarah. Sebagaimana dekonstruksi adalah suatu proses pembongkaran elemen-elemen pembentuk suatu wacana ataupun narasi untuk direkonstruksi. Suatu kepercayaan terhadap suatu wacana atau narasi yang diterima begitu saja sama seperti percaya pada sesuatu yang tidak dikenali. Dekonstruksi terhadap sebuah wacana akan memberi landasan kepercayaan yang utuh dan berkesadaran atau juga tidak mempercayainya sama sekali.
[5] Cenderung politeisme.