halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Selasa, 03 Juni 2014

“Amicus Plato, sed magis amica veritas”

“KEBENARAN ADALAH TEMANKU,
TAPI AKU LEBIH AKRAB DENGAN KEPENTINGAN”
(Sebuah renungan idealistik)

Ketika Aristoteles melakukan pemberontakan intelektual terhadap Plato maka dia  menyatakan “Amicus Plato, sed magis amica veritas[1]. Aristoteles tidak ingin kompromi dengan teman soal kebenaran dan itulah yang memustuskan persahabatan antara dua filsuf besar itu sekaligus titik tolak perkembangan ilmu pengetahuan. Yang satu disebut bapak idealisme sementara yang satunya disebut bapak ilmu pengetahuan. Plato yang merupakan murid Socrates adalah saksi yang melihat gurunya menjadi martir demi kebenaran yang dia yakini. Dalam karya-karya Plato (euthyphro, apology, crito, dan phaedo[2]) di mana Socrates diperhadapkan dengan tuduhan penyesatan dan akhirnya harus memilih minum racun demi kebenaran. Socrates telah memberi contoh mempertahankan kebenaran walaupun mengorbankan nyawa. Plato juga sebelumnya mempunyai keyakinan seperti Aristoteles soal kebenaran[3]. Jadi bahkan Plato pun tidak menjadikan relasi persahabatan atau relasi guru-murid (stratifikasi sosial) sebagai alasan mengingkari kebenaran. Di Yunani pada masa sebelum masehi telah ada preseden soal mendahulukan kebenaran daripada pertemanan dan bahkan mendahulukan kebenaran daripada nyawa. Dalam literature tentang sejarah filsafat tiga nama ini yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles sangat dikenal. Dalam retorika Socrates telah diabadikan karena dianggap pelopor metode dialogis. Filsafat idealisme sama sekali tak mengalpakan nama Plato. Dalam logika, Aristoteles mendahului dengan logika formalnya. Dalam sejarah manusia selanjutnya banyak juga orang yang menjadi martir; bersedia mati demi kebenaran. Apakah hari ini masih ada orang yang bersedia mati demi kebenaran?
Dalam sejarah pun banyak preseden soal orang mengorbankan kebenaran demi kepentingan mendapatkan harta dan wanita. Apalagi dalam dunia pragmatis hari ini yang diilhami dengan pandangan konstruksi kebenaran berdasarkan apa yang berguna dan menguntungkan. Ditambah dengan prinsip kapitalisme yang individualistic maka banyak aturan dan ajaran yang direduksi untuk kepentingan. Prinsip-prinsip agama dan moral telah terdekonstruksi untuk mengutamakan kepentingan dan mengejar keuntungan. Dalam buku berjudul Rasionalitas Kerjasama: Sebuah Teori Rekonsiliasi Sosial[4],  Adian (2013) menggunakan istilah rasionalitas instrumental untuk mendeskripsikan suatu orientasi kepentingan jangka pendek dengan mengabaikan kepentingan orang lain. Walaupun buku ini didasarkan pada penelitian tentang dilemma narapidana tetapi juga sangat berguna untuk menganalisa soal konflik antar kelompok.
Mengejar kesenangan-kesenangan seperti gaya hidup mewah atau keinginan mengkonsumsi produk terkini membuat orang mengabaikan banyak prinsip-prinsip mengenai kebenaran, norma, dan aturan lainnya. Ini bisa disebut kepentingan jangka pendek akibat dari keinginan yang pada dasarnya juga dirangsang oleh simulacrum (meminjam istilah Baudrillard) yang diciptakan media periklanan[5]. Tantangan bagi para aktivis muda juga adalah soal pengaruh hiperealitas ini. Kebutuhan ilusif yang diciptakan sangat mempengaruhi idealism mereka. Di samping itu pula kebutuhan-kebutuhan mendasar ekonomi yang akan menuntut masyarakat berlaku pragmatis. Nilai-nilai yang mapan akan dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan yang dianggap segera.
Pengabaian prinsip-prinsip kebenaran hanya karena kepentingan adalah bukti dari kehancuran institusi-institusi. Jika seseorang dikatakan memiliki moral dan lantas kita langsung mempercayainya maka kita terjebak dalam logika formal Aristotelian, A = A. Pada kenyataannya suatu identitas bermoral pada seseorang hari ini tidak akan menjamin perilakunya adalah representasi dari statusnya. Misalkan juga pada orang yang memiliki status pendidikan tinggi. Kita akan mendapati bahwa pendidikan tinggi yang memprioritaskan uang akhirnya memproduksi kualitas pendidikan rendah.
Jika Aristoteles mengabaikan relasi pertemanan demi kebenaran maka hari ini banyak orang justru mengabaikan kebenaran demi kepentingan yang juga terkait dengan relasi social; apakah itu soal teman, keluarga, saudara, dan sebagainya. Dalam praktik korupsi terjadi pengabaian kebenaran demi mendapatkan harta untuk memperkaya diri dan keluarga. Praktik nepotisme adalah upaya menjahit hubungan-hubungan keluarga dalam birokrasi. Praktik kolusi adalah mengorbankan orang lain demi sebuah kepentingan pribadi dan kelompok. Dari perspektif subjek yang diuntungkan dalam pengabaian kebenaran mereka menganggap tak ada masalah dengan dilanggarnya prinsip-prinsip tertentu karena mereka telah merasakan kesenangan yang bersifat segera. Keluarga koruptor merasa tidak adil ketika ayah mereka dipenjara selama lima belas tahun karena dalam kesadaran mereka bahwa ayah mereka adalah orang baik yang bertanggungjawab terhadap keluarga dengan memberikan penghasilan yang melimpah.
Pengabaian terhadap prinsip-prinsip kebenaran juga dipengaruhi oleh tekanan ekonomi yang bersifat segera. Pendapatan perbulan yang tak mencukupi kebutuhan akan mendorong pragmatism dalam masyarakat. Orang akan memilih menipu demi mendapat makan daripada jujur dan mati lapar. Keinginan dan nafsu yang tak bisa dikendalikan akan membuat orang ingin menempuh cara apa saja untuk memuaskannya. Seorang anak kecil akan menangis sekuatnya untuk memaksa orang tua memenuhi keinginannya tetapi orang dewasa akan melakukan berbagai maneuver rasional untuk memenuhi keinginannnya. Seorang wanita, misalnya, yang terhipnosis dengan mode terbaru akan berdagang kelamin untuk mendapatkan barang-barang yang diinginkannya. Keberadaan dalam kapitalisme modern ditentukan oleh daya beli. Jika Descartes meyakini bahwa keberadaan ditentukan oleh kesadaran berpikir  (cogito ergo sum) maka dalam kapitalisme modern dengan bantuan simulacrum (symbolic exchange) keberadaan ditentukan oleh daya beli (economic exchange)[6]. Ketika kebutuhan membumbung dan pendapatan kurang maka segala sesuatu yang berpotensi menghasilkan akan dieksploitasi.
Idealisme politik banyak yang terdistorsi oleh masalah kebutuhan sehingga pengkhianatan terhadap idealism lumrah terjadi. “Sampai kapan kau akan bertahan dengan idealisme?”



[1] Plato adalah temanku tetapi aku lebih berteman dengan kebenaran.
[2] Plato. Hari-hari terakhir Socrates; Euthyphro, Apology, Crito, Phaedo. Diterjemahkan dalam versi Bahasa Inggris oleh Hugh Tredennick & Harold Tarrant; versi Bahasa Indonesia oleh Eleonora Bergita. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. 2003.
[3] Roger Bacon, Opus Majus, Pars I, cap. v. For Plato says, "Socrates, my master, is my friend but a greater friend is truth." And Aristotle says that he prefers to be in accord with the truth, than with the friendship of our master, Plato. These things are clear from the Life of Aristotle and from the first book of Ethics and from the book of secrets.”
http://en.wikipedia.org/wiki/Amicus_Plato,_sed_magis_amica_veritas
[4] Adian, Donny Gahral. Rasionalitas Kerjasama: Sebuah teori rekonsiliasi social. Koekoesan. Depok. 2013.
[5] Lihat Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya Makna. LKiS. Bandung. 2012.
[6] Lihat Baudrillard, Jean. The Consumer Society: Myth and Structure. Sage Publications. London. 1998.