halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Jumat, 27 Desember 2013

SEMANGAT KEMINAHASAAN DAN PERSOALAN IDENTITAS[1]



(Sebuah catatan terhadap kondisi generasi muda)
Oleh
Iswadi Sual

Sejarah berkaitan dengan identitas (jati diri) individu maupun komunitas masyarakat tertentu. Kehilangan ingatan akan masa lalu (amnesia) juga adalah kehilangan jati diri. Jika seseorang tidak ingat lagi siapa orang tuanya, tempat di mana dia lahir dan lingkungan dia dibesarkan maka seseorang itu akan kehilangan pijakan. Sama halnya dengan suatu bangsa yang tidak ingat lagi akan sejarah tentang siapa leluhurnya, tanah leluhur dan budaya leluhur maka bangsa itu akan kehilangan pijakan untuk masa depan. Hal ini juga yang dihadapi oleh bangsa Minahasa hari ini di mana sebagian besar masyarakat atau generasi muda telah mengalami amnesia sejarah dan kebudayaan Minahasa. Apakah generasi muda saat ini masih mengenal leluhurnya? Apakah mereka mengetahui peristiwa-peristiwa penting di tanah adat ini? Apakah mereka masih memiliki kemampuan menerjemahkan nilai-nilai budaya lokal dalam konteks modern? Apakah juga mereka mengenal gagasan-gagasan Ratu Langi dan tonaas-tonaas lainnya?
Sejumlah pertanyaan menyangkut identitas keminahasaan mungkin akan membuat generasi muda sekarang bingung karena kurangnnya referensi ataupun memang apatis jika diperhadapkan dengan masalah kebudayaan sendiri. Karakteristik Minahasa hari ini tidak harus berpijak pada situasi yang sudah terkondisikan tetapi harus ada usaha mencari karakter asli Minahasa untuk dijadikan pijakan dalam kehidupan yang diperhadapkan dengan tantangan global hari ini.
Generasi muda Minahasa praktisnya dalam arus globalisasi merasa inferior terkait persoalan budaya lokal sebagai jati dirinya. Superioritas budaya pop sangat mendominasi baik pola pikir maupun perilaku generasi saat ini. Rasa percaya diri untuk mengangkat budaya Minahasa dalam persaingan global memang masih kurang. Dalam usaha penyesuaian gaya hidup maka banyak sekali kearifan local yang telah dilupakan dan ditinggalkan. Padahal dalam lingkup globalisasi yang dibutuhkan adalah daya saing dan bukan hanya sekedar terbawa arus saja. Orang Minahasa hari ini telah menjadi sedemikian pragmatis dalam menghadapi berbagai hal. Kebobrokan tatanan sosial diakibatkan oleh hilangnya tumpuan etos budaya masyarakat.
Globalisasi yang kemudian identik dengan berbagai terminologi seperti neokolonialisme, imperalisme, kapitalisme transnasional, dan lain sebagainya ternyata memiliki dampak terhadap persoalan identitas bangsa khususnya di negara-negara yang dikategorikan Dunia Ketiga. Walaupun globalisasi diikuti dengan kampanye semangat perdamaian dunia lewat keterbukaan tetapi pada kenyataannya terjadi hegemoni ekonomi yang berpengaruh dalam berbagai sektor; baik itu dalam hal politik, budaya, pendidikan, media, dan lain sebagainya. Yang paling nyata adalah perilaku masyarakat yang terkooptasi oleh gaya pop yang dipengaruhi oleh media massa  Media menjadi standarisasi perilaku masyarakat dari cara berbicara, berpakaian, sampai kepada apa yang harus dikonsumsi.
Tou Minahasa khususnya yang masih muda tidak harus berada dalam lingkup konsumerisme tetapi harus produktif dalam berbagai hal. Tetapi intinya kemudian adalah landasan yang kuat terhadap kebudayaan Minahasa itu sendiri. Modernitas harus disambaut dengan akar budaya yang kuat agar supaya identitas Minahasa tidak memudar dalam persaingan global. Konsumsi masyarakat hari ini yang dianggap gaya hidup standar perlu disadari dipengaruhi oleh budaya bangsa-bangsa yang memiliki daya saing tinggi yang ditunjang oleh  kemampuan berpikir (sumber daya manusia). Banyak budaya local hari ini yang telah diangkat menjadi budaya internasional; walaupun telah banyak dimodifikasi tetapi kekhasan budaya local itu tetapi ada. Kita bisa mendapati hal-hal demikian dalam music, sastra, fashion, dan teknologi.
Etos budaya Minahasa yang semakin memudar harusnya menjadi tanggung jawab generasi muda untuk membangkitkannya lagi. Semangat kerja mapalus dan sifat pemberani waraney harusnya menjadi tumpuan dalam menghadapi modernitas. Harusnya generasi muda Minahasa tidak malu untuk mengglobalkan kearifan lokal kita. Rasa cinta akan kebudayaan sendiri harus ditumbuhkembangkan disamping menerima modernisasi. Artinya generasi muda tidak harus terjebak pada tradisionalisme ataupun terbawa arus modernisasi. Etos kerja mapalus dan semangat waraney baiknya menjadi tumpuan generasi muda dalam berpikir dan berperilaku untuk menciptakan tatanan masyarakat yang maju tetapi dilandasi nilai-nilai asli budaya Minahasa. Generasi muda perlu menemukan kembali jati diri ke-Minahasa-an dalam upaya mengangkat nilai-nilai budaya asli.
Rasa rendah diri (inferior) harus ditepis untuk membangkitkan kepercayaan diri (superior) kita untuk mengangkat identitas kolektif. Kita harus sadar tentang potensi kita dan memanfaatkannya dalam persaingan global sehingga identitas kolektif (Minahasa) memilki posisi tawar dalam skala internasional. Saya kira ini juga yang dilakukan oleh bangsa dan negara lain. Generasi muda Minahasa harus lebih produktif dalam berbagai bidang yang diisi dengan nilai-nilai budaya. Produktivitas yang dilandasi dengan prinsip maesa (Minahasa), matuari, dan mapalus serta semangat waraney mungkin adalah solusi kemajuan kita bersama baik generasi sekarang maupun selanjutnya. Menumbuhkan rasa persatuan, persaudaraan, dan kerja sama antar Tou Minahasa dalam pembangunan.
Kebanggaan terhadap kebudayaan sendiri bukan untuk menciptakan etnosentrisme, chauvinisme, ataupun nasionalisme sempit. Tetapi bangga menjadi diri sendiri juga adalah hak yang disertai kewajiban untuk menghormati yang lain. Generasi muda Minahasa harus berani keluar dari rasa inferioritas dan bangkit untuk bersaing. Oleh karena era globalisasi selain persaingan ekonomi juga adalah persaingan budaya. Yang menentukan adalah kesiapan generasi muda apakah memiliki daya saing menghadapi kondisi saat ini. Revitalisasi ataupun revival nilai-nilai kebudayaan Minahasa adalah kunci untuk menghadapi masa sekarang dan masa yang akan datang. I yayat u santi!!!





[1] Disampaikan dalam kegiatan Dialog Budaya Minahasa Akhir Tahun di Langowan yang diselenggarakan oleh Kerukunan Warga Langoan (KWL) se-JABOTABEK pada 27 Desember 2013.

Rabu, 18 Desember 2013

SURAT KEPADA DR. BERT ADRIAN SUPIT



Yang saya hormati dr. Bert. A. Supit

                Setelah pertemuan di rumah anda yang bertujuan membahas Protokol Minahasa saya memiliki keterbebanan untuk menjelaskan soal konstalasi gerakan di Minahasa. Walaupun saya sangat menyadari bahwa anda lebih berpengalaman dalam soal gerakan terutama dalam melihat realitas politik di Indonesia. Tetapi dengan dasar pemahaman saya hari ini saya akan mencoba untuk memaparkan analisa saya terhadap kondisi yang ada. Di mana dalam pertemuan di rumah anda ada ketidakmengertian soal tujuan pertemuan itu sendiri. Dari segi pemahaman terhadap protocol itu sendiri. Tetapi ada kemungkinan bahwa mereka mengerti tetapi tidak bersepakat untuk membuat protocol. Yang lain bicara soal bagaimana membuat petisi atau manifesto yang menurut saya sangat berbeda dengan protocol sebagai kesepakatan bersama untuk dijalankan untuk Minahasa dalam totalitasnya; baik dari segi politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Artinya dalam pertemuan itu ada kesenjangan antara orang-orang yang hadir. Walaupun menurut saya yang hadir pada waktu itu adalah para intelektual dengan disiplin ilmu dan profesionalitas masing-masing yang sebenarnya diharapkan mampu merumuskan Minahasa ke depan dari berbagai aspek. Situasi pertemuan waktu itu menurut analisa saya mengecewakan beberapa orang. Pendeta Tangkudung waktu itu menuntut sakralisasi yang artinya keseriusan karena kesan yang lain tidak serius dalam pertemuan itu. Sementara dosen sejarah yang hadir waktu itu sebenarnya sudah bicara soal esensi protocol di mana dia membaginya dalam dua kategori yaitu kategori visi dan misi (atau protocol dalam kategori landasan ideal dan praktis). Dan gerakan Minahasa itu akan dilakukan dengan metode each one teach one sehingga terjadi yang namanya silent revolution. Tetapi akhirnya, yang mengecewakan, moderator justru di ujung pertemuan itu membantah usulan-usulan itu dengan argumentasi yang tidak mendasar dan kurang taktis menurut saya. Yang lain hanya merespon pertemuan itu dalam perspektif ‘pragmatis’.
                Saya telah membaca makalah dan buku yang sudah anda berikan pada saya menyangkut pemikiran anda yang dilandaskan pada Ratu Langi yang kemudian menurut anda Gubernur SULUT S. H. Sarundajang juga menjadikannya landasan dalam disertasinya. Tetapi saya kira dalam pertemuan-pertemuan dengan anda juga menyinggung bahwa konsep Ratu Langi tidak bukan tanpa kritik tapi bisa dimodifikasi. Dalam buku van Klinken yang menguraikan soal Ratu Langi saya mendapati bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh Inazo Nitobe (Bushido), William James (Pragmatisme), Karl Haushofer (konsep Geopolitik), dan juga keadaan waktu itu tentunya. Konstruksi pemikiran Ratu Langi tentunya dilahirkan dalam zamannya dan S. H. Sarundajang justru melakukan rekonseptualisasi terhadap pemikirannya yang berbasis geostrategi. Saya akan mencoba mengkritisi semua ini agar supaya pertemuan-pertemuan berikutnya kita lebih akan mengerucut membahas soal Minahasa.
                Ratu Langi yang terpengaruh oleh Bushido-nya Inazo Nitobe menjadikan dasar perjuangannya berangkat dari kebudayaan etnik. Bushido secara sederhana bicara soal etos masyarakat Jepang yang berangkat dari Budhhisme, agama Sinto, yang dulunya menjadi etika perang bagi para samurai. Tetapi aplikasi Bushido kemudian diterapkan bukan hanya dalam perang samurai tetapi secara meluas yaitu pada totalitas perjuangan masyarakat Jepang. Di mana semangat itu merasuki dunia pendidikan, pemerintahan, dan budaya. Tetapi dalam konteks masa Ratu Langi dia belum berhasil merumuskan etos masyarakat Minahasa[1] dalam konsepsi seperti Bushido yang merasuki segala aspek masyarakat. Padahal kita memiliki etos masyarakat komunal seperti Mapalus dan juga semangat Waraney. Mapalus merupakan ciri masyarakat Minahasa untuk membangun bersama; kerja kolektif yang displin. Sementara waraney adalah karakter prajurit yang sifatnya pemberani, jujur, disiplin (patuh pada tonaas – tou-taas/tou-ngaas atau teterusan), serta memiliki jiwa patriotis untuk tanah dan masyarakatnya. Sekiranya etos mapalus dan semangat waraney ini menjiwai pemerintahan dan pendidikan kita maka masyarakat Minahasa yang berkepribadian dan kesejahteraan bisa terwujud. Dalam buku sejarah Minahasa saya pernah membaca soal kesepakatan di Watu Pinawetengan yang kemudian disebut Nuwu in Tua:
“…Sapakem si kayo’ba’an anio, tana’ ta im baya! Asi endo makasa, sa me’em si ma’api, wetengan e pa’tuusan, wetengan eng kayo’ba’an! Tumani e kumeter, mapar e waraney, akad se tu’us, tumow on tumow tow!...” (secara bebas diterjemahkan, “…Dengan ini kami nyatakan, dunia in adalah tanah air kita semua! Bila pada suatu saat, burung telah memberi tanda yang pasti, bagilah tanah ini hai kamu pemuka masyarakat pemberi contoh! Bukalah wilayah pertanian baru, hai kamu pemimpin pekerjaan! Kuasailah wilayah, hai prajurit perkasa, agar keturunan kita dapat hidup dan memberi hidup!”[2]
Secara sederhana saya melihat bahwa dalam kesepakatan itu ada fungsionalisasi masyarakat menjadi tiga golongan yaitu: pertama, golongan pemberi contoh (walian-agama/religi) yang membentuk etos moralitas masyarakat. Walaupun dalam konteks waktu itu masyarakat Minahasa masih dalam kepercayaan aslinya dan belum bersinggungan dengan Kekristenan. Tetapi hari ini harusnya semua agama yang ada di tanah Minahasa harus menjadi panutan yang berpihak pada prinsip Minahasa. Kedua, golongan petani (tonaas); dalam konteks masyarakat Minahasa dulunya yang disebut oleh Belanda bergboeren petani harus mampu menyuplai kehidupan masyarakat. Jadi sederhanya dalam soal ekonomi golongan ini memiliki tanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan pokok masyarakat. Ketiga, golongan golongan ksatria. Golongan ini bertanggung jawab untuk menjaga keamanan di wilayah masyarakatnya. Fungsionalisasi masyarakat ini bukan seperti pembagian kasta/kelas sosial seperti pada masyarakat feudal tetapi pembagian tugas demi keamanan dan kesejahteraan bersama. Jika bisa dikatakan negara Minahasa/Malesung memiliki struktur inti sebagai berikut.
1.       WALIAN : merupakan pemimpin adat, kepercayaan/agama.
2.       TONAAS : merupakan kepala walak, wanua, ahli pertanian.
3.       TETERUSAN : pimpinan perang.
4.       POTUASAN : sebagai penasihat.[3]
Nuwu in tua adalah kesepakatan yang lahir dari suatu kondisi di mana masyarakatnya harus hidup dalam ancaman eksternal (imperialisme) sehingga persatuan itu adalah syarat untuk kelangsungan masyarakat. Fungsionalisasi masyarakat adalah langkah taktis dalam perjuangan hidup tou Minahasa pada waktu itu demi apa yang dimaksud dalam kalimat terakhir; tumow on tumow tow (hidup untuk member hidup). Dalam slogan si tou timou tumou tou – saya pikir dipetik dari nuwu in tua dan dimodifikasi - yang identik dengan pemikiran Ratu Langi dimaknai oleh masyarakat hari ini secara ahistoris. Oleh karena banyak slogan kedaerahan justru dimaknai dalam konsep-konsep modern yang luas. Harusnya slogan-slogan itu harus ditelusuri landasan atau pijakan di mana dia lahir. Gerakan budaya Minahasa hari memang harus melakukan rekonstruksi terhadap mitologi, sejarah, tradisi dan kesenian. Saya kira anda juga pernah menyebut remitifikasi dalam buku anda soal bagaimana membangkitkan semangat Minahasa itu sendiri. Tetapi gerakan budaya juga harus berbarengan dengan proyek politik.
                Pragmatisme William James dijadikan Ratu Langi untuk menjembatani Minahasa ke modernitas barat. Kebudayaan tradisional yang kuat yang dilandasi oleh identitas etnik tetapi juga membuka diri pada perkembangan zaman. Ide Ratu Langi untuk modernisasi Minahasa patut diapresiasi tetapi kemudian perubahan dan pembalikan budaya yang revolusioner membutuhkan kekuatan politik. Ini dibuktikan di Jepang melalui restorasi Meiji yang dilegitimasi oleh kaisar, revolusi kebudayaan Turki oleh Mustafa Kemal Ataturk, dan revolusi kebudayaan Cina di bawah pemerintahan Mao Tje Tung (Mao Zedong). Di eropa, kebudayaan Kristen sangat di pengaruhi oleh kebijakan kaisar Konstantin yang membuat Kristen menjadi agama negara; bahkan sampai pada reformasi Cluny sebagai upaya mengkristenkan Eropa. Di sini kita melihat bahwa melakukan pembalikan kebudayaan membutuhkan kekuatan politik. Masyarakat Minahasa sekarang ini yang ‘pragmatis’ yang dipengaruhi budaya pop akan sangat sulit untuk menerima ide-ide. Setiap masyarakat akan berperilaku sesuai dengan sistem yang ada. Karl Marx menganggap bahwa perilaku kapitalisme yang menyebabkan sebagian masyarakat tereksploitasi bukanlah kesalahan mereka tetapi kesalahan sistem dan oleh karena itu sistem harus dirubah. Kekuatan politik itulah yang akan menggerakan masyarakat ke etos kerja yang berlandaskan nilai-nilai budaya Minahasa. Kebudayaan masyarakat bukanlah muncul serentak dalam benak semua individu tetapi dari individu ke sosial. Kebudayaan adalah hasil konstruksi pikiran manusia menyesuaikan dengan alam tempat tinggalnya. Kebudayaan  adalah kata majemuk dari kata budaya dan budaya berarti ‘pikiran’ dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata budh. Kebudayaan yang dihasilkan oleh pikiran senantiasa bergerak dari particular menuju universal.
                Menuju Minahasa yang modern pada dasarnya harus dilandasi oleh kebudayaan lokal yang kuat agar supaya identitas cultural kita menjadi landasan perilaku politik, ekonomi, dan pendidikan. Kondisi masyarakat Minahasa hari ini sangat memprihatinkan di mana masyarakat dikuasai oleh budaya pop, konsumerisme, dan politik praktis yang mengejar keuntungan pribadi. Sistem social kita dipengaruhi oleh kapitalisme global yang merusak politik, hukum, pendidikan, ekonomi rakyat, media, agama dan lain sebagainya.  
                “…., saat ini dunia tengah didesain dengan agenda global menuju terbentuknya pasar global yang terkuasai. Tentu, di sini yang berkuasa sekarang bukan lagi para politisi atau negarawan, tapi para bos besar pemilik modal. Aparat pemerintah, militer, politisi, kaum cendekiawan, ornop, dan kelas menengah hanyalah agen-agen local kapitalis transnasional ini. Segala usaha dikerahkan untuk merealisasikan agenda global mereka. Strategi dan konsep disususun untuk memuluskan jalan ini. Segala rintangan dan potensi perlawanan akan dihabisi jika perlu. Tidak peduli itu demokrasi, HAM, masyarakat sipil, kelompok bersenjata, agama, bahkan Tuhan sekalipun.”[4]
                Dalam buku anda beberapa kali saya mendapati anda mengkritisi soal posisi agama yang apatis terhadap persoalan social. Di mana fungsi kenabian (profetik) tidak ada lagi dalam gereja bahwa gerakan liberation theology banyak ditentang oleh aliran-aliran gereja tertentu. Saya kira jelas bahwa dalam sistem yang dipengaruhi oleh kapitalisme agama tidak akan menjadi apa-apa selain legitimator sistem yang disebut oleh Marx sebagai candu karena mengkhotbahkan bahwa persoalan-persoalan manusia telah ditakdirkan Tuhan. Agama kini menjadi sarang kapitalisme dengan semangat akumulasi modal dan menciptakan tingkat kesejahteraan di kalangan pemuka agama sementara sebagian besar jemaatnya melarat.
                Konsep geopolitik Karl Haushofer yang juga diadopsi oleh Ratu Langi menyangkut posisi Minahasa di wilayah Asia Pasifik harus diperbincangkan secara serius oleh karena anda telah melakukan sinkretisme antara pemikiran Ratu Langi dan S. H. Sarundajang yang menurut saya mungkin tidak sinkron. Ketika Ratu Langi menulis tentang setiap bangsa berhak menentukan nasib sendiri itu sebenarnya dipengaruhi zaman pada waktu itu yang anti terhadap penjajahan (imperialisme) sehingga kemerdekaan bangsa adalah topic dunia waktu itu. Geostrategi pada dasarnya dirumuskan dari geopolitik. Geopolitik Minahasa menyangkut ruang hidup, luas dan batas-batas wilayah serta potensi alam yang akan melandasi strategi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sesuai dengan pengaruh Karl Haushofer, Ratu Langi berbicara soal Pan-Minahasa di Sulawesi yang disebut auctor intellectualis. Ini berkaitan dengan sentiment regionalisme etnik/nasionalisme etnologis. Van Klinken menulis bahwa Ratu Langi sering melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan ekonomi kolonial, namun dia tidak pernah menjadikan argument ekonomi sebagai bagian daya tarik nasionalismenya (Klinken 2010 : 154). Hal ini membuat saya kemudian bingung soal geostrategic yang dirumuskan oleh S. H. Sarundajang yang dilandaskan pada pemikiran Ratu Langi. Harus di akui bahwa saya memang kekurangan literature tentang tulisan-tulisan Ratu Langi. Tetapi ketika untuk pertama kalinya saya bertemu dengan anda di Kora-kora untuk membahas disertasi S. H. Sarundajang saya juga adalah salah seorang yang tidak sepakat secara penuh dengan konsep geostrategi itu. Tujuannya mungkin sudah baik tetapi dalam hal penerapannya harus bertahap dan melihat prioritas.
                Forum pada waktu itu menginterpretasi bahwa konsep geostrategi Sarundajang menganggap adalah titipan neoliberalisme (kapitalisme global). Minahasa memang harus membuka diri terhadap dunia modern tetapi dia harus siap secara mental budaya kolektif. Sederhananya kita menutup diri sebagai persiapan untuk membuka diri. Agar supaya di kawasan asia pasifik, Minahasa bukan hanya menjadi pasar tempat berdagang tetapi bagaimana menjadi penguasa perdagangan itu sendiri. Keterbukaan ekonomi yang tidak dilandasi oleh kemandirian produktivitas akan mengarahkan masyarakat kita menjadi konsumen saja. Artinya dari segi sumber daya manusia kita sudah siap lebih dulu baru kemudian melakukan keterbukaan di bidang ekonomi. Yang menurut saya bahwa perjuangan Minahasa harus diawali dengan perubahan di bidang politik, pendidikan, dan budaya. Kapitalisme global sangat tidak menghargai soal adat dan budaya karena yang terpenting bagi mereka adalah akumulasi modal. Jadi pada dasarnya interpretasi Sarundajang terhadap Ratu Langi mungkin agak berbeda oleh karena dalam epilog bukunya pun jelas mengakui bahwa hal itu adalah rekonseptualisasi. Sarundajang tidak menjadikan landasan budaya sebagai praktik ekonominya. Kita punya etos mapalus yang bisa dijadikan landasan konsep dan praktik ekonomi kita. Minahasa tidak mengenal strata kelas social karena ciri masyarakatnya adalah komunal. Berkaca dari masyarakat Cina bahwa sistem ekonomi mereka yang kapitalistik dengan sistem politik komunis telah mampu mengangkat derajat bangsa mereka di dunia internasional walaupun sejarah perjuangannya penuh dengan suku duka[5]. Cina mampu dalam bidang politik, teknologi, ekonomi, dan budaya mereka banyak dikonsumsi oleh masyarakat dunia seperti film, produk elektronik dan obat-obatan, bahkan pemikiran-pemikiran Cina kuno; Sun Tzu (Strategi Perang), Confusius, Tao Te Ching, dan lainnya. Cina memiliki hak veto di PBB padahal republik mereka didirikan pada tahun 1949 sementara Indonesia pada 1945.
                Dalam perpektif saya, Ratu Langi memiliki pandangan sinkretis terhadap tradisionalisme Minahasa dan modernisme barat. Ratu Langi memiliki visi yang hebat tetapi itu berangkat dari kondisi zamannya. Hari ini saya kira kita perlu memodifikasi pemikiran-pemikirannya dalam mewujudkan Minahasa yang memiliki martabat, berwawasan luas, adil, dan makmur. Ratu Langi sendiri saya pikir anti terhadap dogmatisme.
                “Dogmatisme adalah kematian setiap pikiran yang hidup, setiap hal yang memiliki jiwa dan berkembang di dalam pergaulan manusia. Opini-opini dan pemikiran-pemikiran manusia berubah sesuai tuntutan-tuntutan masa yang berubah” (Menara, 23-6-1934)
                Ketika anda menyinggung soal keberhasilan bangsa Israel membangun negara mereka saya pikir kita harus berusaha menelusuri perjuangan mereka. Bagaimana mereka memproyeksikan negeri yang tandus       itu – tetapi disebut tanah perjanjian yang berlimpah susu dan madu – menjadi hijau dan mampu menghasilkan. Saya sempat membaca bagaimana orang Yahudi belajar di Yeshiva dengan metode yang mereka ciptakan sendiri tidak seperti metode yang digunakan negara lain. Proyeksi Negara Israel dirumuskan secara serius dengan mempertimbangkan berbagai aspek baik politik, ekonomi, budaya, teknologi, dan lainnya. Yang uniknya juga masyrakat Israel adalah masyarakat plural tetapi dengan keterikatan etniknya mereka mampu bersatu. Walaupun juga gerakan zionisme juga telah mengabaikan prinsip kemanusiaan di Palestina. Yang saya harapkan adalah bagaimana semua elemen gerakan Minahasa membuat protocol sebagai proyeksi Minahasa ke depan. Segala aspek gerakan harus kita rangkul tetapi yang pasti mereka punya semangat dan bisa percayai. Perbedaan harus kita akui tetapi kebersamaan harus tetap ada dan gerakan kita harus didasarkan pada prinsip-prinsip moral dan kemanusiaan.
Saya kira mengenai konstalasi gerakan kaum muda Minahasa saya sudah sempat mempresentasikannya di Kora-kora soal gerakan yang sporadis yang dipengaruhi oleh multi-identitas dan landasan berpikir antara yang tradisionil dan modern bahkan yang sinkretis. Apalagi yang dipengaruhi oleh semangat dekonstruksi; pada dasarnya metode dekonstruksi adalah upaya untuk keluar dari dogmatism tetapi implikasinya jauh daripada itu yaitu kemudian menghancurkan landasan-landasan ideologis. Saya pikir dekonstruksi tak lain juga adalah destruksi (postmodernisme) yang telah diproyeksikan oleh kapitalisme global di mana arah pemikirannya anti modernitas sehingga menggiring para inteletktual untuk kembali berpikir tradisionil dan menghindari proyek-proyek berskala besar seperti pengembangan nuklir dan lain sebagainya. Kapitalisme global ingin merusak perjuangan-perjuangan lewat dekonstruksi ide-ide apalagi yang berkaitan dengan sosialisme. Ketakutan negara-negara kapitalis besar adalah bangkitnya negara-negara yang mandiri secara ekonomi dan intelektual sehingga menyaingi kekuasaan yang ada. Walaupun mungkin lahirnya postmodernisme memang tidak berkaitan dengan upaya meminimalisir gerakan social yang berujung pada persaingan antar negara. Tetapi metode dekonstruksi memang sangat mempengaruhi dunia seni dan budaya di mana di antaranya ada pemikir seperti Julia Kristeva, Jacques Derrida, dan Jean Baudrillard.
Gerakan kita hari ini saya kira anda juga bersepakat adalah peacefull movement kita tidak harus melakukan revolusi berdarah yang telah memakan banyak korban. Tetapi bagaimana kita merumuskan gerakan damai yang simultan dari berbgai aspek. Kita tidak perlu mencontoh revolusi-revolusi yang menelan biaya dan korban (baik fisik maupun psikis) tetapi marilah kita mewujudkan tatanan masyarakat seperti yang dimaksudkan oleh Benni E. Matindas:
“Negara yang sebenarnya adalah pranata yang dibuahkan oleh prestasi peradaban manusia untuk tujuan-tujuan fitriahnya, yang diselenggarakan dengan nilai-nilai keadilan dan kebersamaan yang kemudian mengkristalkan kesadaran mengenai mutlaknya azas keadaulatan rakyat…. tujuan kehidupan bernegara tidak boleh dirumuskan dengan kegandrungan memajang teori-teori ataupun ideology segagahnya; ia harus sesuai fitrah manusia berkenaan dengan kebutuhannya sebagai individu di tengah masyarakat bangsanya maupun pergaulan antar bangsa-bangsa. Sementara azas-azas penyelenggaraan negara cukup ditujukan saja pada pengutamaan azas keadilan, azas kebersamaan atau persatuan demi pembesaran daya, dan azas kedaulatan rakyat.”[6]
Buku yang berjudul negara sebenarnya oleh Benni E. Matindas adalah upaya untuk mencari alternative bahkan ingin mengembalikan hakikat negara. Yang harusnya dapat menjamin kebutuhan dan keamanan dan bukan seperti apa yang terjadi selama ini demi sebuah ideologi aparat pemerintah membunuh masyarakat yang tidak menyetujuinya; demi ideologi terjadi perang saudara padahal semua menginginkan kesejahteraan. Kita harus mampu menepis egoisme-egoisme berpikir kita untuk mewujudkan gerakan social yang menjunjung tingga azas kebersamaan dan menjamin hak-hak kita.
Saya mengenal dr. Bert. A. Supit baru beberapa bulan dan tidak sama dengan orang-orang yang lain yang sudah dua tiga tahun bahkan sudah belasan tahun. Tetapi saya sangat mengerti jalan pikiran anda dan kendala-kendala dalam gerakan yang menghalanginya. Saya berterima kasih telah menularkan semangat ke-Minahasa-an melalui pribadi, pemikiran dan buku-buku yang telah anda berikan pada saya. Saya akan terus membawa ide-ide ke-Minahasa-an dalam perjuangan hidup  dan semoga cita-cita tentang Minahasa yang berdaulat sebagai bangsa akan terwujud; cepat atau lambat namun pasti. Anda mungkin tidak akan melihatnya begitu pun dengan saya tetapi harapan kita pasti akan mewujud karena kita telah meletakkan dasar-dasar harapan itu untuk diperjuangkan generasi selanjutnya. Hidup itu singkat (vita brevis).
Mengakhiri surat ini saya ingin mengutip beberapa kalimat dari roman Bintang Minahasa karya H. M. Taulu:
“…janganlah kita menaruh benci lagi kepada bangsa yang senenek moyang dengan kita! Seboleh-bolehnya kita harus bekerja bersama-sama akan membersihkan tanah air kita daripada musuh. Jangan mengatakan ia orang Tonseak, ia orang Tolour, ia orang Tombulu, ia orang Tontemboan, melainkan mulai saat ini kita harus pandang, bahwa kita semua bersaudara, kita bangsa “Minaesa”, artinya : bangsa yang telah menjadi satu.”


Tondano, 18 Desember 2013




Iswadi Sual
(…dari atas bukit Tampusu dalam masa penantian Mesias -Sang penyelamat- di tanah Minahasa)


[1] Sebelumnya disebut Malesung.
[2] Dipetik dari buku Minahasa. Dari amanat Watu Pinawetengan sampai gelora Minawanua karya Bert Supit. Jakarta. Sinar Harapan. 1986.
[3] Sejarah Minahasa. Disitir dari buku Sekilas Sejarah Desa Pontak Dan Perkembangannya oleh M. F. Lumenta 1989 (editing oleh Iswadi Sual: 2011)
[4] Petras & Veltmeyer. Imperialisme abad 21; diterjemahkan dari Globalization unmasked : imperialism in 21st century. London. Zed book Ltd. 2001. Versi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Kreasi wacana. Yogyakarta. 2002
[5] Lihat karya Wibowo, I. Negara dan Masyarakat: berkaca dari pengalaman Republik Rakyat Cina. Jakarta. Gramedia. 2000.
[6] Lihat Matindas, Benni E. Negara sebenarnya. Jakarta. Widyaparamita. 2005.