halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Minggu, 03 November 2013

GERAKAN KAUM MUDA MINAHASA KONTEMPORER



GERAKAN KAUM MUDA MINAHASA[1]
        I.            BERBAGAI PERSPEKTIF GERAKAN
Gerakan kaum muda Minahasa bukanlah suatu gerakan tunggal tetapi merupakan gerakan yang terpisah satu sama lain. Gerakan mungkin identik dengan aktivitas social-politik tetapi mungkin juga lebih daripada itu. Oleh karena kaum muda Minahasa hari ini terbagi dalam gerakan-gerakan yang berbeda. Ada yang bergerak dalam bidang politik, budaya (dalam pengertian lokal dan global), ekologi (seperti komunitas pecinta alam), dan lain sebagainya. Gerakan tidak harus dipersempit dalam pengertian politik atau budaya demikian juga dengan perspektif terhadap gerakan kaum muda Minahasa.
Identitas tou Minahasa yang terbagi secara umum dalam identitas keagamaan, sub etnis, wilayah politik, dan roong memiliki perbedaan orientasi gerakan. Orang Minahasa yang memiliki identitas keagamaan tertentu akan terlibat dalam kegiatan (gerakan) organisasi berdasarkan sentiment kepercayaan. Solidaritas sub etnis juga menuntut gerakan yang membawa sentimen sub etnisnya. Begitu juga dengan identitas wilayah politik seperti kabupaten/kota dan perkampungan. Tetapi identitas tou minahasa bisa terbagi lebih banyak lagi; apakah itu menyangkut garis keturunan (vam/marga), ikatan persaudaraan, hobi atau kegemaran yang membentuk solidaritas-solidaritas kelompok. Kita bayangkan saja di suatu perkampungan lingkungan, lorong, atau kompleks bisa menjadi identitas yang menuntut adanya persaingan dengan yang lain. Identitas mungkin adalah sesuatu yang ilusif[2] artinya tetap saja dalam satu identitas kelompok akan terpecah lagi atau digantikan dengan identitas yang lain.
Seorang pemuda Minahasa bisa memiliki beberapa identitas tambahan seperti identitas Kristen, laki-laki, partai politik, mahasiswa, pemuda GMIM, pemuda asal Tondei, anggota sanggar seni, pemuda kompleks/lingkungan/jaga, dan lain sebagainya. Identitas yang tidak tunggal berarti bahwa kontradiksi sama sekali tak terelakkan. Identitas kolektif mendorong solidaritas tetapi setiap orang akan bersolidaritas berdasarkan situasi dan kondisi dan juga bergantung pada respon tentang isu tertentu.
Di universitas mahasiswa Minahasa aktif dalam berbagai organisasi yang secara sadar diketahui berkaitan dengan identitasnya. Misalnya, ada mahasiswa yang menggabungkan diri di organisasi kerohanian tetapi yang lain memilih organisasi paguyuban atau semacam rukun-rukan mahasiswa yang berbasis pada asal daerah yang sama; apakah itu kabupaten, wilayah, dan desa. Aktivitas organisasi seperti kerohanian pada dasarnya berkaitan dengan ritualistic ibadah dan misi pelayanan. Sementara organisasi rukun-rukun mahasiswa hanya sebagai media pertemuan dan menggelar kegiatan-kegiatan yang bersifat temporer. Tidak banyak yang suka mengaktifkan diri terlibat dalam tindakan kritis terhadap masalah-masalah social-politik yang berkaitan dengan identitas yang lebih besar seperti kesukuan.
Ada juga gerakan kaum muda di bidang budaya lewat pendirian organisasi seni budaya sebagai respon keprihatinan terhadap kondisi kebudayaan local yang hampir ditinggalkan. Tetapi berbagai macam organisasi seni budaya juga memiliki orientasi yang berbeda karena ada yang hanya sekedar melestarikan seni budaya dan ada juga yang berorientasi pada perlawanan terhadap globalisasi. Ada yang melakukan komodifikasi budaya hanya untuk kepentingan seremonial dan ada yang menggunakan budaya untuk mempertegas eksistensi identitas local.
Gerakan kaum muda Minahasa kondisinya sporadic dan terkotak-kotak berdasarkan sub-sub identitasnya. Hanya sedikit yang tergabung dalam organisasi yang berorientasi perubahan tatanan social. Ada juga yang tergabung dalam partai-partai politik tetapi justru sangat pragmatis dan tidak memiliki wawasan kebudayaan local atau justru menggunakan wawasan kebudayaan local untuk kepentingan politiknya.
      II.            GERAKAN MINAHASA DAN KONTROVERSINYA
Gerakan Minahasa bisa dimaknai sebagai tindakan subversi terhadap negara karena secara hsitoris Minahasa merupakan wilayah pemberontakan. Permesta/PRRI yang juga banyak diprakarsai oleh orang-orang Minahasa akan menjadi asumsi bahwa gerakan Minahasa  memiliki orientasi pemisahan diri secara politik. Di lain pihak gerakan Minahasa juga akan dituduh gerakan rasialis/tribalisme yang bertujuan untuk mendominasi kekuasaan dan anti suku lain. Sejarah dialetika social telah memberikan klaim negative terhadap gerakan yang berbasis identitas tribal.
Di bidang seni dan budaya gerakan Minahasa mendapat banyak cemooh dari agama modern yang memandang bahwa ada upaya untuk membangkitkan kembali kepercayaan kuno minahasa. Ada ketakutan masyarakat yang telah beragama modern bahwa upaya membangkitkan kepercayaan kuno dengan mistik-mistik yang telah mereka anggap sesat. Orientasi dalam gerekan seni budaya pecah oleh karena tantangan masyarakat pemeluk agama modern. Sehingga banyak organisasi seni budaya yang mengambil jarak dari hal-hal yang berbau pemujaan dan ritual kuno.
Belakangan juga telah muncul organisasi-organisasi semacam paramiliter yang menggunakan tanda-tanda keminahasaan seperti manguni, maesa, dan lain sebagainya. Organisasi semacam ini adalah tindakan defensive yang bertujuan memproteksi masyarakat sukunya. Walaupun akhir-akhir ini organisasi itu juga lebih banyak digunakan untuk kepentingan elite politik. Manuver politik para elite menggunakan premanisme minahasa untuk menghadapi kritik-kritik yang mengancam eksistensi politik mereka. Watak tou minahasa yang garang dimanfaatkan untuk menjaga kepentingan ‘politik’.
Dalam organisasi kampus orang minahasa yang tergabung di dalamnya lebih dipandang sebagai ‘anjing penjaga kepentingan’. Dengan kegarangannya dan status pemilik tanah sering digunakan untuk memproteksi kepentingan organisasi yang berkepentingan di kampus. Isu akan gerakan anak kampung (orang minahasa) dimanipulasi secara intelektual. Rekrutmen organisasi mahasiswa  adalah untuk kepentingan mengintimidasi mahasiswa di organasisasi lain yang berasal dari luar. Citra mahasiswa minahasa dalam organisasi kampus lebih banyak ‘kegarangannya daripada peningkatan intelektual dan perjuangan identitas keminahasaan dalam pergerakan politik (dalam pengertian sebenarnya) dan budaya.
Tou Minahasa hari ini terjaring dalam tradisi perilaku social-politik yang anomali di mana mereka menjadi agen-agen kepentingan yang justru merusak dirinya sendiri. Ketika orang Minahasa sadar akan pendidikan mereka kemudian berlomba masuk universitas tetapi di satu sisi masih dalam kerangka pendidikan yang tidak berbicara pada kepentingan bersama tetapi dalam tradisi anomali. Struktur masyarakat terkait dengan kebobrokan social yang telah dianggap sebagai sesuatu yang sudah semestinya.
    III.            KAUM MUDA DALAM SIMULASI POLITIK
Kaum muda Minahasa yang terlibat dalam organisasi social politik sebagai wadah pembelajaran lebih banyak diajari dengan pragmatisme. Mereka terjaring dalam organisasi-organisasi pengkaderan yang berseteru secara ideologis, agama, dan golongan yang pada hakikatnya adalah kontradiksi-kontradiksi yang tidak pokok. Sebenarnya ada hal yang lebih penting untuk diprioritaskan dalam perjuangan organisasi seperti isu globalisasi, neoliberalisme, dan neokolonialisme yang mengancam identitas tribalnya yang melibatkan eksploitasi manusia dan alam.
Organisasi mahasiswa baik intra dan ektra cenderung pragmatis dan mengarahkan anggota organisasinya dalam perebutan kekuasaan yang tidak proyektif. Artinya perebutan kekuasaan yang hanya untuk mendapat prestis sebagai organisasi yang hebat dalam politik karena mengusai posisi-posisi penting dalam jabatan structural organisasi kampus. Tetapi program-programnya tidak jelas dan yang terpenting bagi mereka adalah popular sebagai aktivis kampus.
Istilah seperti aktivis atau idealis mungkin menjadi tren sehingga mahasiswa dengan kesadaran/keinginan untuk populer menggabungkan diri dalam organisasi-organisasi perjuangan mahasiswa. Akhirnya ketika mahasiswa dengan kesadaran pop terakumluasi dalam organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra maka muncullah kontradiksi-kontradiksi yang tidak pokok. Lebih parah lagi adalah perseteruan politik di tingkatan mahasiswa telah meniru praktik politik elite. Maka kemudian yang diproduksi oleh organisasi-organisasi perjuangan tak jauh beda dengan generasi sebelumnya yang dijiwai oleh praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ideologi. Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi-organisasi kampus cenderung lemah dalam pemahaman ideologi. Landasan praktik politik dan organisasinya adalah pragmatisme sehingga menyepelekan persoalan seperti globalisasi dan neokolim. Sehingga tak heran banyak mahasiswa yang tidak kritis terhadap persoalan seperti aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan swasta yang notabene menyengkut kepentingan modal asing. Jangankan bicara soal perhitungan ekonomi mengenai aktivitas perusahan tambang masalah kerusakan lingkungan pun tak menjadi soal.
Politik. Pragmatisme politik yang secara tidak sadar dilakukan oleh tou minahasa muda dianggap sah-sah saja oleh karena kurangnya pemahaman ideologi. Sehingga tak jarang identitas kemudaan, kultur, agama, golongan bisa juga digunakan dalam hal mempengaruhi masyarakat dalam perebutan kekuasaan dalam pemilukada/pemilu. Politik yang tidak dilandaskan pada ideologi yang jelas akan terombang-ambing dalam kepentingan yang dikuasai modal. Demokrasi, misalnya, yang adalah sistem pemerintahan oleh karena tidak adanya pemahaman yang utuh oleh penyelenggaranya maka justru berubah menjadi plutokrasi. Masyarakat kita kenyataannya lebih dikendalikan oleh kekayaan. Money politik dan relasi social berupa ikatan darah meruntuhkan konsepsi tentang hal-hal ideal.
Organisasi. Kaum muda yang tergabung dalam organisasi-organisasi mempelajari politik praktis. Walaupun definisi organisasi bersifat kolektif tetapi pada praktisnya organisasi sering menjadi kendaraan pribadi orang berpengaruh atau elite. Keterampilan berorganisasi hanyalah sarana untuk memanipulasi demokrasi dan penguasaan massa. Dewasa ini organisasi tak lebih dari mesin pencetak pragmatisme.
Organisasi kepemudaan secara menyeluruh terstruktur dan berkorelasi dengan pemerintah, parpol, ormas; sehingga gerakan pemuda sedikitnya juga dipengaruhi oleh isu-isu  dari high level politic. Belum adanya kemandirian dari kaum muda untuk merumuskan keadaan dan merubahnya secara proyektif dan futuristik. Kaum muda sering terprovokasi isu hangat dan bertindak reaksioner. Tak jarang kaum muda sering menjadi tumbal dari banyak revolusi dan gerakan sosial lainnya.  Organisasi kepemudaan yang sebenarnya juga adalah wadah simulasi politik jika tidak diarahkan pada praktik politik yang baik maka dia juga akan menjadi mesin reproduksi social yang menghasilkan kader-kader yang tidak ideal.
    IV.            GERAKAN MINAHASA DI PERSIMPANGAN JALAN
Gerakan Minahasa pada akhirnya akan berada pada titik pilihan mengenai cara dan tujuannya. Oleh karena identitas minahasa yang taksa akan mempengaruhi strategi dan capaian yang akan diproyeksikan. Apakah gerakan Minahasa adalah gerakan kebangkitan intelektual atau gerakan politik yang didorong sentiment agama, suku, ras, wilayah adalah persimpangan gerakan itu sendiri. Tou Minahasa dengan karakter individualisme primitive[3] selalu ingin menjadi pahlawan atas gerakan dan tak mau untuk tunduk pada instruksi golongan-golongan perjuangan tertentu.
Ketika Minahasa dimaknai sebagai identitas suku saja maka kita mungkin menjadi ahistoris karena Minahasa juga adalah kesepakatan untuk bersatu melawan imperialisme. Gerakan Minahasa harus mampu melakukan upaya pendamaian terhadap kontradiksi-kontradiksi yang bukan pokok. Kalau masyarakat terpecah dalam egoisme sub identitas tanpa melihat musuh besar seperti imperialisme ekonomi dan budaya maka gerakan yang sporadic justru adalah celah yang akan membuat seluruh masyarakat dan alamnya tereksploitasi.
Gerakan Minahasa harus menjadi mediasi untuk mendamaikan konflik-konflik internal agar supaya persatuan untuk melawan musuh pokok. Cara dan strategi berjuang bisa saja berbeda apakah itu dalam konteks perjuangan budaya, politik, intelektual dan lain sebagainya; tetapi tujuan harus sama dan itu perlu untuk dirumuskan bersama (maesa). Fragmentasi gerakan Minahasa di satu sisi adalah kekayaan yang variatif tetapi di sisi lain mungkin adalah kelemahan gerakan itu sendiri.
Perbincangan dengan dr. Bert Adrian Supit di sela Kongres Kaum Muda Minahasa mengenai pemerintahan NKRI dan neoliberalisme

“…Sapakem si kayo’ba’an anio, tana’ ta im baya! Asi endo makasa, sa me’em si ma’api, wetengan e pa’tuusan, wetengan eng kayo’ba’an! Tumani e kumeter, mapar e waraney, akad se tu’us, tumow on tumow tow!...” (secara bebas diterjemahkan, “…Dengan ini kami nyatakan, dunia in adalah tanah air kita semua! Bila pada suatu saat, burung telah memberi tanda yang pasti, bagilah tanah ini hai kamu pemuka masyarakat pemberi contoh! Bukalah wilayah pertanian baru, hai kamu pemimpin pekerjaan! Kuasailah wilayah, hai prajurit perkasa, agar keturunan kita dapat hidup dan memberi hidup!”…[4]



[1] Materi ini disampaikan dalam Kongres Kaum Muda Minahasa pada 1-3 November 2013 di Kora-Kora dalam sesi V dengan tema Kaum Muda Bergerak.
[2] Amartya Sen dalam bukunya yang berjudul Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas memberikan gambaran tentang bagaimana identitas itu bisa berubah-ubah. Misalnya dalam hidupnya dia pernah menyaksikan seorang Hindu yang membunuh seorang Muslim dalam suatu kerusuhan padahal sebenarnya keduanya juga memiliki identitas yang sama sebagai buruh miskin dan bahkan mungkin sesama orang India.
[3] Saya membedakan individualisme menjadi individualisme primitive dalam masyarakat tribal dan individualisme modern dalam masyarakat kapitalis. Individualisme primitive berkaitan dengan egoisme individu dalam mempertahankan hidupnya. Dalam proses seleksi alam individu didorong untuk mempertahankan eksistensinya sendiri (survival of the fittest). Sementara individualisme modern berkaitan dengan pemuasan kebutuhan ekonomi sehingga individu mengakumulasi harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Menurut saya komunalisme didahului oleh individualisme primitive yang akhirnya dalam proses seleksi alam individu merasa penting untuk menaklukkan alam, menjaga eksistensi spesisnya, dan menghalau ancaman dari makhluk lain. Tou Minahasa sampai hari ini menganut individualisme primitive; itu bisa dilihat dari kegarangannya, sorot mata yang sinis, dan ungkapan sapa ngana sapa qt.
[4] Dipetik dari buku Minahasa. Dari amanat Watu Pinawetengan sampai gelora Minawanua karya Bert Supit. Jakarta. Sinar Harapan. 1986.

Materi LKMM Universitas Negeri Manado



GENERASI MUDA DAN MASALAH NASIONAL[1]
Oleh
Iswadi Sual[2]
        I.            GENERASI MUDA DALAM POLITIK NASIONAL
Dalam sejarah pergerakan nasional generasi muda memainkan peran yang cukup signifikan dalam merubah tatanan social politik. Walaupun tidak semua dalam keterlibatannya benar-benar menghasilkan cita-cita gerakan itu sendiri. Generasi muda (pemuda) selalu identik dengan pelajar dalam politik nasional dimulai dari Boedi Oetomo, perumusan Sumpah Pemuda, Revolusi ’66, gerakan di tahun 70/80’an, sampai pada reformasi ’98. Keterlibatan mereka berpengaruh dalam setiap fase perubahan politik di Indonesia dan sesudahnya mereka juga menjadi korban politik rezim baru.
Generasi muda di satu sisi dikenal dengan semangat berapi-api, agresivitas, intelektual tetapi di lain sisi cenderung reaksioner, tidak proyektif, dan sering jadi korban dari kepentingan politik elite. Lebih banyak generasi muda mudah terprovokasi dengan isu-isu politik dan kemanusiaan sehingga potensi pemberontakan selalu ada pada orang-orang muda. Para pelajar dan mahasiswa mungkin banyak yang bereuforia dengan sebuah sajak seperti mahasiswa takut dosen, dosen takut dekan, dekan takut rektor, rektor takut menteri, menteri takut presiden, dan presiden takut mahasiswa. Sajak tersebut mengandung kontradiksi structural di mana penguasa tertinggi takut pada struktur yang paling bawah. Tetapi itu berkaitan dengan potensi generasi muda yang mudah terprovokasi melakukan pemeberontakan.
Tetapi, mengapa generasi muda? Dalam tema social politik belakangan ini yang sering menjadi topik pembahasannya adalah tentang ‘peran generasi muda’ dalam memprakarsai perubahan baik dalam bidang social budaya dan social politik. Apa sebenarnya yang bisa diandalkan dari generasi muda? Generasi muda diharapkan mampu merubah tatanan social dengan semangat mudanya. Generasi muda dipandang sebagai tunas-tunas muda yang belum terkontaminasi dengan tradisi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ada harapan bahwa generasi baru dapat memutus tradisi korup dan mampu menciptakan tatanan baru; tatanan yang berbicara tentang kesejahteraan bersama.
Para pemuda dan pemudi mungkin harus lebih selektif dan proyektif lagi dalam melakukan gerakan karena jika tidak maka mereka terus akan menjadi alat para elite politik dalam konradiksi-kontradiksi politik borjuis. Namun, kali ini yang harus kita pikirkan adalah apakah generasi muda hari ini masih memiliki kesadaran, semangat, dan cita-cita mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur atau justru telah terseret dalam permainan politik borjuasi dengan semangat akumulasi modal dan individualismenya. Sejak pembantaian yang dimulai tahun 1965 – banyak orang-orang idealis telah terkubur, bungkam, dan traumatic -  maka terjadi degradasi dan dekadensi nasional. Pragmatisme mulai mengakar dan memperkuat kultus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Relasi social yang begitu kompleks melibatkan hampir seluruh masyarakat dalam kebobrokan sosial[3].
Apakah generasi muda saat ini masih bisa diharapkan dalam merubah tatanan social yang penuh dengan kebijakan pro modal asing; tidak berpihak pada kesejahteraan nasional, pengaruh budaya pop, dan berbagai realitas artificial yang mendominasi pemikiran dan perilaku mereka. Ini adalah pertanyaan sekaligus tantangan bagi generasi muda itu sendiri yang dianggap mampu dan bertanggung jawab untuk kelangsungan bangsa dan negaranya. Bukankah generasi muda hari ini lebih pro status quo dan anti memperbincangkan persoalan social, politik, dan ekonomi bangsa dan negara; bukankah mereka lebih suka clubbing, happy party, dan mengkonsumsi segala produk yang disaksikan dalam realitas artificial sehari-hari di berbagai media. Mereka telah terserap dalam ruang-ruang kerja yang membuat mereka menjadi budak di tanah sendiri. Mengutip kata-kata Sri-Edi Swasono[4] bahwa bukannya menjadi Master (tuan) di tanah sendiri tetapi menjadi Master of Ceremony (MC) yang mengatur keleluasaan agenda neoliberalisme dengan diundangnya investor asing untuk masuk ke negara dan memberi mereka kenyamanan.
Soekarno telah merumuskan konsepsi bangsa dan Negara kita untuk mendamaikan pertentangan-pertentangan internal dalam rangka mengusir para imperialis. Di lain sisi juga bukanlah gerakan untuk menjadikan diri kita fasis tetapi menempatkan posisi bangsa dan Negara kita pada kemanusiaan di mana tak ada lagi exploitation de l’homme par l’homme et exploitation de nation par nation. Dia juga telah menyerukan program nation and character building dalam rangka merekonstruksi etos masyarakat kita dengan memformulasikan kebudayaan nasional yaitu kebudayaan Indonesia. Bagi Soekarno persatuan (gotong royong) adalah syarat mutlak untuk membangun bangsa dan negara ini.
      II.            KONTRADIKSI YANG TIDAK PERLU
Indonesia memiliki masyarakat yang heterogen sehingga konflik internal selalu sensitive terjadi di berbagai daerah. Identitas kesukuan mungkin adalah hal paling awal dan primitif dalam pertentangan social tetapi Indonesia adalah masyarakat yang multi-identitas. Secara umum identitas yang memicu pertikaian adalah identitas suku, agama, dan ras; lebih dari itu juga terjadi kontradiksi-kontradiksi dalam skala lebih kecil.
Devide et impera merupakan strategi imperialis untuk menaklukkan bangsa yang besar oleh karena persatuan adalah ancaman. Sejarah pergerakan di Indonesia yang bersifat kedaerahan terbukti tak mampu mengalahkan penjajah. Dengan adanya persatuan maka penjajahan (setidaknya) bisa ditaklukkan dan kita bisa mendirikan negara sendiri dengan pemerintahan yang mandiri. Kesadaran akan nasib yang sama di bawah imperialisme telah mendorong solidaritas masyarakat dan mendamaikan kontradiksi-kontradiksi walaupun hanya sesaat. Faktanya kemudian ketika musuh bersama telah dikalahkan maka terjadi lagi pertentangan antara masyarakat itu sendiri. Sentiment ras, suku, agama, dan ideologi diangkat kembali. Pertentangan kelas kian menampakkan diri dan eksploitasi terhadap bangsa sendiri menjadi lumrah.
Ketika dunia traumatic dengan penjajahan yang mengorbankan banyak orang menderita, kelaparan, dan mati maka isu humanisme membawa pengaruh pada perkembangan imperialisme. Penjajahan kemudian dipersempit menjadi penjajahan ekonomi dan budaya sebuah model penjajahan gaya baru atau yang sering disebut neokolonialisme/neoliberalisme (nekolim). Dalam model penjajahan gaya baru ini politik memecah bela masih tetap digunakan untuk mencegah persatuan masyarakat. Maka konflik internal masyarakat harus terus dipelihara bahkan diintensifkan untuk mengaburkan eksistensi neokolonialisme. Kontradiksi-kontradiksi agama, suku, golongan, ideology dan lain sebagainya kian marak di samping terjadi eksploitasi besar-besaran atas kekayaan alam kita. Konflik politik yang tak berkesudahan dan pendidikan nasional yang tak mampu menciptakan kemandirian bangsa terus berlanjut. Ketika masyarakat berkonflik akumulasi modal terus berproses.
Realitas sosial bangsa kita menunjukkan bahwa ada yang salah dalam negara ini karena sebenarnya bangsa ini telah kembali pada kontradiksi-kontradiksi lama. Para pendiri bangsa ini telah memformulasikan konsepsi negara kita yang berusaha mendamaikan kontradiksi yang tidak pokok dalam melawan kapitalisme dan imperialisme tapi justru hari ini konflik memecah belah persatuan makin marak. Kapitalisme telah menjadi ukuran segala sesuatu sehingga banyak konsespi pendiri bangsa ini yang mulai digerogoti. Tendensi pendidikan yang mengabdi pada kepentingan ekonomi kapitalis dan regulasi yang pro modal asing.
Generasi muda hari ini yang telah terkotak-kotak dalam identitas kesukuan, agama, ras, dan lain sebagainya juga asyik berkonflik. Keinginan untuk mendominasi satu sama lain menjadi prioritas dalam aktivitas organisasi politik. Yang paling parah ketika mereka bermain politik maka mereka juga mengambil keuntungan dengan mengorbankan orang lain. Krisis yang dihadapi negara kita adalah krisis multisegi yang sebenarnya berakar dari ketidakpercayaan satu sama lain dengan keinginan untuk menjadi superior di antara yang lain. Organisasi kepemudaan baik di tingkat kampus sampai masyarakat luas kebanyakan telah berafiliasi dan mewarisi konflik-konflik yang tidak seharusnya. Dalam aktivitas politiknya peningkatan kualitas intelektual dan kesadaran nasional bukanlah isu utamanya tetapi bisa saja digunakan untuk embel-embel kepentingan. Pragmatism mungkin lebih mendominasi aktivitas mereka sehingga reproduksi social berada dalam lingkaran setan.
Konflik-konflik masyarakat harus diminimalisir untuk melihat persoalan lebih besar yang sementara mengancam eksistensi masyarakat itu sendiri. Fundamentalisme agama juga sangat mempengaruhi politik dan budaya masyarakat kita. Persaingan kepercayaan yang berusaha saling mendominasi juga mendorong kolusi dan nepotisme dalam politik. Tak jarang juga ada pemanfaatan pihak-pihak asing untuk membantu kinerja mereka. Ketika masyarakat terseret dalam arus konflik internal maka mereka dibutakan. Pengendalian konflik bisa saja secara langsung maupun tak langsung. Pengendalian secara langsung bisa dengan pembiayaan atau dukungan sementara pengendalian tidak langsung adalah menyebar wacana yang terus mendorong terjadinya konflik.
Identitas-identitas kolektif adalah berpotensi besar menjadi konflik apabila disulut dengan sentiment-sentimennya. Identitas kolektif yang mendorong solidaritas mekanis adalah perseteruan yang tidak melibatkan rasionalisme tetapi berkaitan dengan ide-ide absolut yang dipercayai suatu komunitas masyarakat. Agresifitas yang spontan merupakan cerminan dari sentiment keimanan. Identitas agama dengan keyakinan yang berbeda akan menjadi benturan social. Identitas kolektif juga pada akhirnya selalu menjadi bahan permainan dari pragmatism politik.
    III.            IMITASI POLITIK
Konsepsi bangsa dan negara ini merupakan eksternalisasi dari para founding fathers yang berangkat dari keadaan objektif di masanya.  Di samping konsepsi-konsepsi itu dirumuskan dari keadaan tetapi juga mengandung unsur-unsur futuristik bahwa ide-ide itupun harus diinternalisasi secara berkesinambungan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Tetapi memang dalam sejarah bangsa dan negara kita terjadi banyak pengkhianatan terhadap ideologi negara. Doktrin negara dimanipulasi untuk kepentingan rezim sehingga memunculkan generasi bangsa dekaden. Akar pragmatisme justru adalah menyangkut kegagalan program nation and character building. Ketika karakter bangsa ini tak selesai dibangun maka kemampuan memahami bangsa Indonesia juga tidak menyeluruh dalam masyarakatnya.
Dewasa ini praktik politik yang tidak sehat hampir menyeluruh terjadi di semua kalangan. Baik muda ataupun yang tua semuanya serba pragmatis; yang tua beraksi dan yang muda menirunya. Dalam proses reproduksi social kultus korupsi, kolusi, dan nepotisme terus diproses. Ini kemudian yang menjadi pertanyaan di awal tulisan ini tentang apakah kita bisa berharap sebuah perubahan dari generasi muda. Persoalan hari ini generasi muda juga telah banyak meniru praktik politik elite. Isu-isu identitas kolektif dimanfaatkan untuk kepentingan perebutan kekuasaan walau hanya dalam low level politic. Bahkan yang terparah adalah ketika ada money politic dan politik Machiavellian.
Banyak organisasi kepemudaan hari ini yang tidak memprioritaskan pembangunan ideologi terhadap kader-kadernya. Yang justru marak adalah pengkaderan politik dan organisasi sehingga karena tidak adanya ideologi kemudian menjadi pragmatis dan ‘realistis’. Pro status quo dan konservatisme menjadi tumpuan para elite politik kita hari ini. Para pemuda digiring pada iming-iming status politik yang serba elit. Ketika para pemuda telah diperlengkapi dengan teknik manajemen konflik dan manajemen isu dan tidak disertai dengan ideologi kebangsaan yang kuat maka mereka akan keranjingan berkonflik dan menyampingkan kepentingan bersama. Program politik terjebak terus pada usaha mempertahankan kekuasaan daripada proyek kesejahteraan bersama atau setidaknya menyikapi isu-isu social dan memberikan solusi yang berwawasan kebangsaan.
Praktik politik elite yang telah terstruktur membuat tatanan sosial yang kompleks sehingga masalah satu terkait dengan masalah lain dan seterusnya. Mencari oknum manusia untuk memutus patologi sosial mungkin agak sulit karena mungkin yang salah adalah landasan etos masyarakat yang tidak lagi pada nilai-nilai yang dibangun semasa melawan imperialism seperti dulu. Masyarakat yang telah tersistemisasi dalam praktik tidak sehat telah menganggap kesalahn-kesalahan sebagai sesuatu yang wajar. Dosa-dosa birokratis dianggap tradisi yang sudah seharusnya karena telah diproduksi berulang-ulang. Sehingga upaya untuk mengkritisi dianggap tindakan ‘melawan’ pemerintah. Warisan rezim orde baru yang militeris memang selalu mengidentikan tindakan kritis dengan subversi terhadap negara. Persoalan semacam itu masih tetap ada walaupun di era reformasi saat ini.
    IV.            REVIVAL NILAI-NILAI LUHUR BANGSA?
Dialetika di dalam masyarakat Indonesia menuntut banyak perubahan dalam doktrin kebangsaan dan kenegaraan. Mungkin kalau dulunya adalah upaya penyeragaman untuk membentuk identitas kebangsaan hari ini adalah upaya mengakui perbedaan sebagai identitas bangsa. Ketika internasionalisme dan nasionalisme telah mewujud dalam konflik-konflik besar dan menjadi using maka yang muncul adalah ide tentang lokalitas. Pemusatan menjadi sesuatu yang kuno sehingga terjadi desentralisasi dalam berbagai hal.
Desentralisasi pemikiran menuntut tidak terpusatnya kekuasaan ekonomi, politik, dan budaya. Yang menjadi marak hari ini adalah wacana-wacana identitas local sebagai sebuah perjuangan akan eksistensinya. Kesatuan (uniter) tidak lagi menjadi patokan tetapi kesatuan dituntut harus terdiri dari yang terpisah-pisah. Hampir semua daerah di Indonesia telah mengalami kesadaran akan mempertahankan eksistensi identitas local di tengah-tengah arus modernisasi. Walaupun para budayawan tahu bahwa tak ada jalan lain selain berasimilasi dalam laju perkembangan zaman. Sentiment identitas local tidak banyak didorong oleh kesadaran akan perlawanan terhadap hegemoni budaya asing (imperialisme budaya) tetapi justru karena wacana-wacana yang diimpor. Wacana tentang identitas lokal tak lebih dari sekedar pemuasan akan rasa ingin tahu dan komodifikasi wacana. Secara tidak sadar para budayawan telah melakukan komodifikasi wacana kebudayaan.
Nilai-nilai luhur bangsa dalam konteks keindonesiaan yang beragam lebih banyak didasarkan pada cirri masyarakat komunal dan feudal. Oleh karena perkembangan masyarakat Indonesia tidak menyeluruh sama. Ada yang sudah mengenal sistem pemerintahan kerajaan dan yang lain tidak. Bahkan ada yang lebih primitive yang belum disentuh oleh modernitas barat sehingga identitas keindonesiaan harus diakui keberagamannya. Membangkitkan kembali nilai-nilai luhur bangsa harus diproyeksikan kembali dalam konteks keberagamannya sehingga tidak ada tuduhan upaya dominasi nilai-nilai suku tertentu dalam konteks identitas bangsa Indonesia. Dalam konteks yang berbeda ini kita tetap menghadapi musuh yang sama yaitu imperialisme. Menurut Lenin, imperialisme adalah fase tertinggi dari kapitalisme (imperialism is the highest stage of capitalism); ketika eksploitasi dalam negeri telah sampai pada titik penghabisannya maka para kapitalis harus memperluas aktivitas modalnya ke negara-negara lain. Kesejahteraan dalam system ekonomi kapitalisme selalu akan mengorbankan manusia yang lain untuk dieksplotasi. Selebihnya alam pun menjadi objek eksploitasi dalam semangat akumulasi modalnya.
Konsteks masyarakat hari ini yang cenderung individualis yang juga ditopang oleh lajunya perkembangan masyarakat kota telah membuat nilai-nilai luhur (yang sifatnya kolektif) menjadi sekedar wacana dan teks-teks mati. Isu tentang identitas local tak lebih menjadi topic-topik pemuasan dalam mencari kenikmatan intelektual. Membangkitkan kembali nilai-nilai luhur bangsa harus disertai oleh ketegasan arah politik bangsa dan negara ini. Artinya harus ada kesadaran akan kondisi yang dihadapi bersama dan mampu mengidentifikasi persoalan-persoalan pokok agar tidak terjebak dalam pertentangan-pertentangan yang hanya merugikan bangsa Indonesia sendiri.
      V.            REDEFINISI DAN KE ARAH INTEGRITAS
Perubahan social hari ini mungkin harus dimulai dari redefinisi nilai-nilai; kita harus memaknai kembali dasar-dasar negara kita sehingga kesadaran politik warga negara benar-benar diarahkan demi kemajuan bersama. Oleh karena ada banyak kesalahan dalam pendefinisian konsep-konsep kenegaraan kita yang akhirnya membawa masyarakatnya dalam pragmatism berpikir dan berperilaku. Bukankah semangat kemerdekaan kita didasarkan pada prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kebersamaan, dan mufakat dalam upaya mewujudkan masyarakt yang adil dan makmur?
Politik hari ini secara tidak sadar didefinisikan sebagai sarana untuk melakukan hegemoni dan penimbunan kekayaan dan itu mewujud dalam politik praktisnya. Di satu sisi masyarakat yang berangkat dari persoalan social yang ditentukan oleh politik itu sendiri telah mengambil jarak terhadapnya. Ada rasa muak untuk mendiskusikannya apalagi terlibat di dalamnya. Masyarakat menjadi apatis dan apolitis. Seharusnya ketika politik didefinisikan sebagai upaya untuk menciptakan tatanan sosial yang baik demi kemajuan bersama maka masyarakat diharapkan bisa berpartisapasi dalam politik.
Ketika masyarakat tidak secara sadar dalam kehidupan bernegaranya maka kondisi hidupnya yang dieksploitasi oleh sistem akan diterima sebagai nasib. Orang yang hidup dalam negara demokrasi tapi tak mampu mendefinisikan demokrasi tak bisa berbuat apa-apa ketika ditimpa oleh ketidakadilan sosial. Hari ini masyarakat tidak bisa merumuskan keadaan tentang apakah penyelenggaraan ini sudah demokratis atau justru jauh dari pengertian istilah itu. Bukankah masyarakat kita kenyataannya menganut plutokrasi daripada demokrasi? Masyarakat kita lebih senang dengan money politik daripada terlibat dalam mendiskusikan program-program yang berbicara tentang solusi masalah-masalah sosial dan mengawal kontrak-kontrak sosial dalam bentuk janji-janji politik dalam pesta demokrasi.
Generasi muda yang mungkin terbeban dengan masalah sosial harus berani mengambil langkah untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Mendefinisikan kembali istilah-istilah politik yang telah kabur dan tidak mendapat kepercayaan lagi dari masyarakat serta memberikan pencerahan tentang cara berpolitik yang benar. Tetapi yang terpenting juga adalah bagaimana generasi muda menjadi contoh berpolitik yang benar. Bukan hanya mengejar kekuasaan; mendominasi situasi tetapi bagaimana menunjukkan kebijakan politik yang sesuai dengan dasar-dasar negara ini.


[1] Tulisan ini disampaikan pada Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa pada Kamis, 01 November 2013 yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Manado.
[2] Penulis lahir di desa Tondei pada 19 Oktober 1988 dari keluarga Sual-Tombuku, anak terakhir dari tujuh bersaudara. Sekarang ini aktivitasnya sebagai care taker Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER) Minahasa.
[3] Baca tulisan saya yang berjudul Strukturasi Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di iswadisual.blogspot.com.
[4] Dosen Ekonomi di Universitas Indonesia (UI); dia pernah menyatakan menolak teori-teori liberalisme ekonomi diajarkan di universitas. Menurutnya ekonomi Indonesia harus berasaskan kekeluargaan sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD 1945. Universitas harusnya mengajarkan teori ekonomi yang berakar pada kepribadian bangsa sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa (founding fathers).