halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Jumat, 26 Juli 2013

KAWENG



(Pernikahan yang gagal)
Seisi rumah sungguh bahagia bahkan saudara dan kawan-kawannya pun turut bahagia. Engky akan menikah. Lelaki yang hampir mencapai usia 40an itu akhirnya mendapat jodoh juga. Gadis muda baik-baik, rajin, dan setia. Kedua belah pihak keluarga telah sepakat dalam acara tumantu untuk melangsungkan pesta pernikahan dua minggu lagi. Tanggal sudah ditetapkan dengan gembira orang tua dari calon mempelai laki dan perempuan menyiapkan segala sesuatu. Calon mempelai laki dan perempuan tak diizinkan untuk membantu. Mereka akan dilayani sebagaimana seorang raja dan ratu. Mereka harus memperhatikan kesehatan dan tidak sembarang bepergian. Jatuh sakit atau terkena musibah bahaya akan menggagalkan semua rencana.
Sebenarnya di desa menurut adat ada fase-fase yang harus dilalui oleh seorang pemuda dalam pergaulan sebelum menikah. Dimulai dari muey; ini adalah fase awal bagi seorang pemuda untuk menyatakan cintanya pada seorang gadis yang disukainya. Muey bisa diartikan melamar tetapi langsung pada si gadis. Bisa berhadapan langsung, melalui surat – sayangnya dulu belum ada teknologi digital untuk mengirim sms lewat handphone –  atau dengan perantaraan orang lain. Tumindondor-moweh; setelah diterima oleh gadis maka seorang pemuda wajib memberitahukan hubungan mereka kepada orang tuanya untuk meminta restu. Ini juga untuk mencegah jika si gadis bermain serong maka orang tuanya dapat mengingatkan bahwa dia sudah punya hubungan dengan seorang lelaki. Tetapi hari ini orang tua membiarkan anaknya pacaran dengan siapa saja sambil menilai tingkat ekonomi setiap anak lelaki yang datang. Setelah tahu dengan pasti maka mereka akan merekomendasikan lelaki mana yang pantas untuk anaknya itu. Tumantu/tumerang; fase ini adalah bertemunya kedua belah pihak keluarga untuk menyatakan restu terhadap hubungan anak mereka. Pertemuan ini mengarah pada kesepakatan perkawinan. Tumuruk; jika telah ada kesepakatan antar keluarga maka fase selanjutnya adalah membawa harta kepada orang tua si gadis atau juga disebut ‘antar harta’. Desa ini memang menganut budaya partriarki di mana seakan gadis yang dinikahi dibeli dari orang tuanya. Walaupun mereka memperhalusnya dengan berkata bahwa itu ‘bayar toto’. Sedikit demi sedikit budaya ‘antar harta’ hampir menghilang oleh karena persoalan ekonomi. Dengan berkembangnya jumlah individu maka tingkat persediaan menipis dan tingkat pendapatan menurun. Sekarang dengan modal cinta dan nekat kita bisa menikah dan melanggar tradisi.  Sumampet; pesta pernikahan dahulu sangat meriah dan tak pernah terpikir  kekurangan. Tetapi hari ini pesta pernikahan adalah beban berat yang harus ditanggung tapi kerena gengsi orang tetap akan melaksanakannya walau sesudah itu dikejar hutang.
Menikah mungkin adalah soal komitmen tetapi pada umumnya orang menikah karena dorongan biologis untuk bersetubuh setiap hari. Adat atau tradisi menjadi usang bersama berjalannya waktu sehingga dalam pergaulan anak muda tidak lagi memperhatikan hal-hal itu. Tumindondor-moweh misalnya, kita akan mendapati fase ini tidak lagi dianggap penting; dari muey langsung tumantu. Biasanya karena fase ini dilanggar banyak anak gadis menikah dalam keadaan hamil tua. Dalam hal pengaruh ekonomi maka tumuruk pun sudah sering diabaikan karena persoalan lelaki yang datang tumantu tidak punya modal bahkan pekerjaan tetap. Dia juga mungkin tak memiliki budel[1] karena telah dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perkembangan ekonomi menggeser mengubah ruang masyarakat. Dulunya dalam pergaulan seorang lelaki menyukai perempuan yang memiliki kemampuan kerja yang baik, begitu juga sebaliknya. Tetapi ruang pergaulan hari ini telah merubah perspektif anak muda dalam menilai calon pasangan mereka. Standar penilaian mereka telah bergantung pada seruan berulang-ulang yang mereka tonton setiap hari.
Engky kelihatan bahagia. Dia memeluk dan menggenggam tangan kekasihnya. Baru kali ini dia menyentuh wanita yang ingin dia kawini. Sebelumnya memang dia menyentuh beberapa wanita tetapi itu adalah ibu atau saudara perempuannya. Sungguh dia memang lelaki yang kuper atau tak pernah bergaul dengan para gadis. Sentuhannya sangat kaku dan terlalu banyak embel-embel gerakan. Dia tak menyadari bahwa birahi tidak akan peduli dengan aturan moral ketika mencapai puncak. Dia berusaha sopan membelai kekasihnya. Malam ini birahinya mungkin harus ditangguhkan karena tak lama lagi mereka akan menikah. Bersetubuh sebelum menikah akan mengurangi sensasi pada malam pertama sesudah pernikahan. Tetapi memang pada umumnya perkawinan lebih dulu terjadi daripada pernikahan. Perkawinan sah dilakukan atas dasar cinta sementara penikahan sah apabila orang tua, pemerintah, dan pihak agama merestuinya. Intinya perkawinan adalah soal emosional sementara pernikahan adalah soal konstitusional. Tetapi sebenarnya antara kawin dan nikah memiliki perbedaan yang sangat kabur dalam praktek percakapan masyarakat.
Dia kata so mo kaweng; kalimat tersebut adalah taksa karena memiliki dua kemungkinan pengertian. Kaweng[2] dalam artian persetubuhan atau menggelar sebuah pesta setelah mendaftarkan diri sebagai keluarga pada pemerintah dan gereja.  Kadang kalimat itu juga dinegasi dengan pernyataan bukang kaweng kwa mar nikah. Pada kenyataannya masyarakat memahami makna sebenarnya kata kaweng. Itu mungkin adalah perdebatan dalam filsafat bahasa yang tak harusnya diceritakan panjang lebar.
Gadis yang dipeluk dan dibelainya juga sangat kaku dalam merespon belaiannya. Mungkin memang keduanya belum pernah dibelai sebelumnya. Engky adalah lelaki berumur yang belum pernah pacaran sebelumnya sementara gadis ini masih belia dan langsung dijodohkan. Tetapi gadis ini sama sekali tak menolak untuk dijodohkan karena di desa banyak wanita tua memberi nasihat kepada anak gadis untuk tidak percaya pada cinta. “Ngoni kalo mo cari laki cari yang tau kerja. Biar le laki-laki gaga mar nda tau kerja dia re’e mo kse makang gaga pa ngana. Paling ngana makang bungkil.” Wanita tua memang sudah berpengalaman soal perasaan dan akhirnya mereka menyimpulkan pada akhirnya kebutuhan makan, minum, pakaian, rumah, dan hal-hal materialistik menjadi yang utama ketika sudah menikah. Jadi dijodohkan berarti orang tua telah menilai dan memastikan kebahagiaan rumah tangganya. Perjodohan adalah soal hitung-hitungan harta benda dari kedua bela pihak keluarga untuk memastikan anak mereka tidak akan melarat.
Ayam jantan berkokok saling berbalasan dan matahari mulai menampakkan diri. Engky terbangun di pagi hari untuk pertama kalinya ditemani seorang gadis di ranjangnya. Bahagianya dicampur rasa geli menyadari dirinya baru saja tidur dengan seorang gadis semalaman. Tanpa membangunkan kekasihnya dia langsung pergi untuk mandi. Hari ini mereka harus bersama mengambil foto pre-wedding. Ketika sarapan bersama keluarga mereka diberi sejumlah nasehat oleh orang tua tentang poso[3] sebelum menikah dan pada saat seorang istri dalam keadaan hamil. Walaupun masyarakat pada umumnya telah beragama Kristen tetapi banyak hal dari kepercayaan tua mereka yang masih dipraktikan. Tetapi memang ketika anak-anak mereka ingin tahu lebih dalam tentang itu maka mereka melarang dan menyembunyikannya. Engky memiliki karakter laki-laki pendiam sehingga semua nasehat orang tua hanya direspon dengan anggukan kecil.
Selesai smokol[4] mereka bergegas bersiap-siap. Mereka akan menggunakan sepeda motor ke desa lain untuk mengambil foto sebelum acara pernikahan. Engky agak canggung membonceng kekasihnya karena melintasi perkampungan banyak teman-temannya yang suka mengejek. Mereka adalah kumpulan langkoy pemabuk dengan semboyan SKS (siang kalu siang), KRISTAL (krisis tanpa alasan), tiada hari tanpa botol, atau ACIBOL (anak cinta botol). Engky mengedarai sepeda motor penuh beban karena malu akan mendapat ejekan. Tetapi dia tetap harus menghadapi ejekan itu sesakit apapun hatinya nanti.
“ya…kami sambut bapak engky bersama ibu”.
tekene tu pemuda langkoy da badapa jo re’e.”
nda cocok ngoni dua e.”
Engky tak mau memalingkan wajah pada teman-temannya itu dia hanya mendengar ejekan dan gelak tawa yang diarahkan kepadanya. Memang pemuda di desa gemar saling mengejek satu sama lain jadi hal seperti itu sudah biasa. Walaupun terpojok dan terhina hati mereka telah terbiasa dengan hal seperti itu. Tambahan pula ejekan seperti itu juga tak sepenuh hati untuk menjatuhkan kita tetapi sekedar gurauan saja.
                Tiga hari lagi pesta akan segera dilaksanakan jadi kesibukan kedua keluarga semakin nampak dalam mempersiapkan segala sesuatu. Persiapan harus benar-benar matang dan makanan memang harus berlimpah. Oleh karena sekarang ini dalam membuat pesta di desa undangan dua ratus pasti yang akan datang sekitar lima ratus orang. Karena dalam satu keluarga yang diundang rata-rata berjumlah lima orang (papa, mama, dan tiga orang anak). Belum lagi ditambah dengan si rongit-rongit[5] kampung yang adalah kumpulan tamu tak diundang.  Beras berkarung-karung telah dibeli dan bumbu (rampah-rampah) sementra disiapkan. Engky mengurung diri di kamarnya dan menolak untuk makan walaupun berkali-kali diingatkan. Dia terus berpikir tentang masa depan keluarganya nanti. Membayangkan tangisan bayi atau pertengkaran dengan istrinya. Dia tak sabar merasakan situasi-situasi dalam rumah tangga. Tetapi bayang tentang ejekan dari teman-temannya menggangu khayalan masa depannya yang indah.
                Sehari lagi pesta akan dilaksanakan. Orang-orang sibuk membantu mendirikan sabua atau todong. Sementara di bagian belakang rumah para ibu-ibu memasak dan membersihkan rampah-rampah sambil berceloteh. Di bagian samping bapak-bapak ribut dengan memotong daging babi, anjing, dan lainnya. Pada hari itu Engky juga masih mengurung diri di kamarnya dia hanya sekali-kali keluar dan mengurung diri lagi. Sang ibu khawatir dan menyuruh orang untuk memanggil calon istrinya supaya membujuk atau setidaknya menemani calon suaminya itu. Calon istri itu pun datang dan langsung menuju pintu kamar. Dia mengetuk begitu lama namun tak juga pintu dibukakan. Mungkin Engky sedang merajut atau berubah pikiran. Ayah dan ibunya juga membantu membujuknya untuk keluar menemui calon istrinya tetapi taka da juga suara menyahut. Mereka enggan memaksanya karena dia harus mempersiapkan  kebahagiaannya. Orang lain pun mulai terusik dengan sikapnya dan membantu membujuknya tetapi hasilnya juga sama; diam dalam kamar.
                Engky telah membuat lelucon untuk mereka. Setidaknya mereka berpikir begitu karena dia juga gemar dengan lelucon di balik sifat pendiamnya itu. Maka disuruhlah seorang mengintip dari jendela kamarnya dan memberitahu apa yang dilakukannya dalam kamar. Orang itu disuruh mengendap-endap supaya jangan sampai diketahui. Mereka terkekeh kecil sambil menunggu berita tentang apa yang terjadi dalam kamar itu.
                “Oh Tuhan!!!”
Semua orang di sekitar terpaku pada teriakan itu. Kurang dari lima detik orang-orang terkumpul mencari tahu apa yang terjadi. Orang yang mereka suruh untuk mengintip kelihatan gelisah sambil mendorong jendela dan mengisyaratkan orang lain untuk cepat bertindak. Orang-orang di situ kebingungan tentang maksudnya. Tetapi akhirnya mereka juga terdorong untuk melakukan apa yang diisyratkannya. Mereka mendobrak pintu kamar. Engky tergantung. Ayah dan ibunya masuk ke kamar dan menangis histeris disusul oleh calon istrinya. Engky telah mati tergantung seperti ayunan.
                Kemarau yang panjang dihapus oleh hujan sesaat. Semua persiapan dan harapan telah berubah menjadi derai air mata. Kebahagian yang sementara dipersiapkan diganti dengan dukacita yang akan berkepanjangan. Orang selalu berpikir kebahagian akan datang kelak tetapi mungkin masa-masa ini adalah kebahagian sementara derita menanti di hari esok.  Yang mereka persiapkan ternyata bukan pesta perkawinan tetapi acara pemakaman. Semua tema pernikahan diganti dengan pemakaman; bukan lagi puade[6] tetapi peti mati. Calon istrinya menangis terisak di samping jenazah. Kadang dia berteriak histeris sampai pingsan. Tetapi calon suaminya telah pergi dan hanya akan kembali dalam ingatannya. Dalam benaknya Engky bukan lagi calon suami tetapi sudah menjadi suaminya sejak mereka saling membelai. Gadis itu menyesal telah menunda untuk kawin di malam itu. Dia berpikir kalau saja malam itu mereka telah kawin maka setidaknya dia akan melahirkan seorang anak keturunan suaminya. Tetapi malam itu kekakuan menghalangi mereka untuk melakukannya.
                Sementara di luar kumpulan pemuda duduk termenung dalam sedih. Mereka tak berani membuat lelucon dalam suasana duka seperti ini. Mereka mulai menyesali telah mengejek teman mereka. Mungkin ejekan itu merupakan factor yang menyebabkan teman mereka bunuh diri sebelum menikmati kebahagiaannya. Mereka terpaku dalam rasa penyesalan.
***
                Malam ketiga setalah kematian. Engky memandangi rumahnya dan mengamati keluarganya yang masih berduka. Dia menyesal meninggalkan mereka. Dia ingin menangis tetapi bisakah roh menangis?
                Erol memegang pundaknya sambil berkata “Mari jo…so nda guna ngana lia-lia pa dorang. Skarang torang so beda dunia.



[1] Harta warisan
[2] Kawin atau nikah
[3] Sesuatu yang tak boleh dilanggar; pantangan.
[4] Sarapan pagi.
[5] Rongit adalah jenis lalat yang selalu mengikuti seekor sapi di mana pun dan kemana pun walaupun si sapi tak menyukai keberadaan mereka tetapi mereka selalu ada.
[6] Pangggung tempat duduk para mempelai serta orang tuanya.

Kamis, 04 Juli 2013

LO’LOK



(REINDANG WU’UK)

Mereka bukan manusia dan hidup hingga ribuan tahun; tubuh mereka pendek dan berambut merah, orang tountemboan menyebutnya lo’lok. Rambut mereka panjangnya bisa ratusan meter dan wajah mereka seperti wajah bayi; mereka tak pernah tua. Mungkin saja mereka adalah kumpulan anak-anak yang tak ingin menjadi dewasa atau dikutuk menjadi anak-anak selamanya. Lo’lok adalah makhluk misterius. Para orang tua selalu mengingatkan anak-anaknya untuk tidak bermain di koso’[1] atau di kuala[2] karena itu merupakan tempat mereka biasanya. Anak manusia akan dianggap bagian dari bangsa mereka karena memilki ukuran tubuh yang sama. Banyak orang yang bertutur tentang kisah-kisah anak yang hilang dibawa oleh lo’lok. Kadang mereka membawa anak-anak masuk ke dalam batu atau ke dunia mereka dan anak itu hanya akan ditemukan oleh orang yang bisa berkomunikasi dengan makhluk itu. Hal seperti ini bisa dikonsultasikan dengan para ma’tengo dan ma’wentel[3].
Suatu senja seorang anak kecil menyendiri di pojok rumah. Dia ketakutan dan tak berani bergerak atau menimbulkan suara. Jika keberadaannya diketahui maka orang di dalam rumah itu akan datang menghantamnya. Erol adalah anak seorang petani. Dia masih berumur 8 tahun. Ayah dan ibunya setiap hari pergi ke kebun yang lumayan jauhnya. Jika ayah dan ibunya tinggal di kebun selama beberapa hari maka anak itu akan dititipkan pada seorang saudara di kampung. Erol sebenarnya adalah anak angkat yang masih memilki ikatan darah. Di desa biasanya anak  yang dilahirkan tanpa adanya ikatan pernikahan ketika mereka terlantar maka saudara dari ibu atau ayah dari anak itu akan memungut atau mengangkatnya menjadi anak. Anak angkat ada yang bernasib baik tetapi ada juga yang sial. Ada dari mereka yang dianggap sebagai anak kandung tetapi ada juga yang hanya diangkat anak dan diperlakukan seperti pembantu rumah tangga.
Seperti anak-anak pada umumnya, Erol suka bermain dan bapontar[4]. Dia juga gemar menantang anak-anak laki-laki lainnya untuk berkelahi. Kebiasaannya berjalan ke segala penjuru kampung untuk mencari anak nakal lainnya supaya bisa diajak berkelahi. Atau juga seringkali mereka berkomplotan mencari buah-buahan di kebun orang. Barombit[5] dilarang keras oleh para orang tua bagi anak-anaknya tetapi mencuri buah-buahan itu lumrah. Yang diaggap paling fatal adalah mencuri uang, kalung, gelang, cincin emas dalam rumah orang; atau juga masuk warung dan menjarah barang dagangannya. Mencuri buah untuk dimakan dianggap tidak terlalu akan membawa masalah. Biasanya pemilik kebun akan memaklumi hal tersebut. Memaklumi pencurian dalam jumlah kecil adalah ciri komunalitas masyarakat desa yang masih tersisa.
Anak-anak juga suka mempertunjukan keahlian mereka. Mereka suka pamer dan mendapat pujian. Obsesi mendapatkan pujian membuat anak-anak sering keluyuran sepulang sekolah dan mencari kawan-kawannya. Erol tahu konsekuensi dari hal ini tetapi dia terbiasa dengan omelan dan cambukan. Demi mendapatkan pujian, omelan dan cambukan tak lagi memiliki arti apa-apa. Dia telah beberapa kali berjanji tak akan mengulang kesalahannya. Seperti banyaknya perjanjian yang dia buat begitu juga pelanggaran yang dilakukan. Dia telah mengambil keputusan untuk tidak pulang. Om dan tante tempat dia dititipkan menanti-nanti dan kelihatan garang di depan rumah sambil memegang cambuk. Erol melafalkan apa yang diajarkan oleh gurunya di sekolah. ‘Di ujung cemeti ada emas’. Cambuk bagi mereka adalah simbol pendidikan tetapi Erol sebenarnya tak begitu mengerti hal itu. Yang dia terima dari cemeti adalah kesakitan yang didorong oleh luapan-luapan emosi.
Hari semakin gelap dan rintik hujan berjatuhan dari senja langit. Anak-anak berlarian bermain di tengah rintik hujan itu. Anak-anak memang tak pernah lelah untuk bermain seakan hidup hanya untuk bermain. Erol ingin bermain tetapi bayang-bayang cambukan mengiang di kepalanya. Dia telah memutuskan untuk tidak pulang. Pikirnya dia akan memuaskan dirinya bermain terus menerus. Dia mulai bergabung dengan kawanan anak-anak kecil itu mereka bermain, salaing mengejar, mendorong, dan tertawa terpingkal-pingkal. Dia sebenarnya tak mengenal teman bermainnya ini tetapi bermain tak mengenal kawan; yang terpenting adalah bermain. Hari semakin gelap. Erol terengah-engah karena kelelahan bermain. Teman-temannya masih asyik bermain. Mereka mulai menjauhi kampung dan kejar mengejar sambil tertawa. Erol berjalan mengikuti mereka dari belakang. Semua anak itu berambut panjang. Tak tahu di antara mereka manakah yang laki dan perempuan.
Semakin jauh mereka dari perkampungan dan anak-anak itu bermain di bawah terang bintang dan rintik hujan. Erol menyadari kini dia berada dekat dengan kawasan ranotelu[6]. Ini adalah jalan yang selalu dilalui olehnya ketika pergi ke kebun bersama ayah dan ibunya. Dia tahu bahwa ada tiga sungai yang harus dilewati. Aliran sungainya deras. Dia teringat ayahnya selalu menggendong apabila melewati sungai-sungai itu. Dia mulai takut sekarang. Kemungkinan dia akan hanyut dibawa arus sungai. Tubuhnya yang kecil tak akan mampu melawan derasnya sungai itu. Sesampai di tepi sungai dia melihat kawanan anak itu berjalan di atas batu melintasi sungai. Mereka terus tertawa. Erol terus mengikuti jalan mereka. Cahaya. Ada cahaya di depannya. Mungkinkah anak-anak itu sekarang akan bermain api? Erol berpikir harus menghentikan mereka karena ayahnya selalu mengingatkan untuk tidak bermain api. Banyak hutan dan kebun terbakar hanya karena ulah anak-anak. Dia melaju menyusul anak-anak itu. Tak di sangkanya cahaya itu ada dalam sabua[7].
Orang yang berada di dalam mendengar langkah-langkah di luar. Sang suami meraih parang yang diletakkannya di dekat tempat berbaring. Kebun yang terletak di dekat hutan seperti ini rawan bahaya baik dari pencurian bahkan ancaman binaang buas. Lelaki bertubuh kekar itu meraih pintu yang terbuat dari bambu. Tangan kanannya mengangkat parang siap untuk diayunkan pada sesuatu tepat di hadapannya. Perlahan-lahan dia menarik pintu. Ketika pintu terbuka lebar lelaki itu berteriak sambil mengayunkan parang. Tiba-tiba tangisan meledak. Hampir saja sang ayah membunuh anak itu. Untung dia cepat mengenali anak di depannya itu. Tangisan anak itu membangunkan sang ibu. Mereka heran mengapa anak ini tiba-tiba dating di malam yang begitu larut.
Sapa reen da antar ngana kamari?” sang ayah bertanya.
Qt pe tamang-tamang.” Erol menjawab sambil terisak.
Kong mana dorang?”
Erol terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba teman-temannya menghilang tanpa pamit. Baru saja dia ingin memperingatkan mereka tetapi ternyata dia telah sampai di tempat ayah dan ibunya. Dia sangat bingung. Orang tuannya memahami fenomena ini. Tak mungkin dia diantar oleh manusia. Pasti roh-roh dari alam gaib yang menuntunnya ke sini. Jarak dari kampung ke perkebunan itu sekitar 9 km. Para tetua sering mengatakan bahwa bukan hanya kita yang hidup di dunia ini; ada yang lain. Kadang mereka suka untuk bergaul dengan kita tetapi kadang juga sering ingin mengerjai kita.
***
Lima belas tahun berlalu. Erol sungguh tak mengingat persis apa yang dialaminya dengan sekawanan lo’lok. Kini dia telah tumbuh dan mulai bergaul. Pergaulannya tak begitu baik karena dalam komunitasnya semua orang suka minum dan bapeknek[8]. Setiap hari hanya seperti itu seakan tak ada masa depan. Orang muda memang selalu ingin menghabiskan waktu dengan bersantai dan tak terlalu peduli dengan masa depan. Suatu ketika mereka sadar bahwa tidak selamanya menjadi muda maka mereka satu per satu menghentikan akvitas yang hanya buang-buang waktu.Dalam komunitasnya terdiri dari orang-orang yang memiliki latar belakang tingkat ekonomi yang berbeda. Biasanya ada bos dalam komunitas itu. Anak orang kaya yang selalu membelikan minum untuk mabuk-mabukan dan keperluan waktu mereka piknik. Ada juga yang bertindak sebagai tukang pukul. Jadi apabila komunitas mereka diganggu atau ada yang mereka tak senangi maka si tukang pukul yang akan mengurusnya. Erol hanya okoy[9] dalam komunitas itu. Apapun yang akan dikerjakan mereka selalu menyuruhnya. Walaupun itu sesuatu yang hina dia juga akan melakukannya kalau tidak dia pasti dikeluarkan dari komunitas itu.
                Bagi orang yang memiliki latar belangkang ekonomi rendah adalah sangat menguntungkan bisa bergabung dengan komunitas ini. Dia bisa menikmati makan dan minum yang lezat, menggunakan fasilitas si orang kaya, dan bergaul dengan cewek dan cowok yang menarik. Tak ada yang mau dikeluarkan dari komunitas ini. Mereka selalu berjanji dalam kemabukan akan menjadi sahabat yang setia sampai mati. Janji-janji itu begitu polos karena memang mereka belum mengenal hakikat hidup. Walaupun di hari-hari berikutnya mereka sering berselisih soal perempuan atau sikap yang menganggap rendah satu sama lain. Mereka meniru konsepsi persahabatan dalam sebuah puisi atau lirik lagu yang mereka dengar. Tetapi sebenarnya mereka tak mengerti betul tentang persahabatan.
                Erol telah jenuh dengan komunitas itu. Dia mulai mengalami krisis dalam hidupnya, mempertanyakan alasan hidup dan penderitaan batin terlahir di tengah keluarga yang kekurangan. Setiap malam dia bermimpi tentang kawanan anak-anak yang terus mengajaknya bermain. Saling mengejar, bercanda, dan tertawa. Dia teringat masa kanak-kanaknya di mana dia tak perlu memikirkan banyak hal tentang kehidupan. Bermain dan bermain, ya, itulah masa yang sangat menyenangkan. Pikirnya bisakah dia kembali ke masa silam dan tetap menjadi anak-anak.
                “Ayo, ikutlah bersama kami.”
                “Di sini setiap hari kami bermain.”
                “Tak ada kedewasaan di sini.”
                “Selamanya kita akan bermain.”
                “Ayo bunuh diri!”
                Ahhh. Erol dihantui mimpi buruk setiap malam. Setiap mimpinya selalu ada kawanan anak-anak yang terus mengajak dia bermain. Di luar kamar dia mendengar ibunya menyuruh dia untuk segera bangun dari tidur dan menimba air. Dia terus memikirkan mimpinya. Selesai menimba air dia pergi ke warung. Dia membeli seikat tali plastik berwarna biru. Ketika keluar dari warung dia berpapasan dengan temannya. Seorang pemuda lansia (langkoy[10]) yang selalu bercanda dengan dia soal jodoh. Katanya Erol juga adalah calon pemuda langkoy.
                “Apa reen itu?”
                “So lia-lia kamari tali.”
                “Mo beking apa e?”
                “Mo pake bagantong…”
                Erol berlalu sambil tertawa sesudah mengucapkan kata-kata itu. Kawannya pun ikut tertawa walau ketinggalan. Ada sedikit rasa terkejut tetapi kemudian dia menyadari Erol hanya membuat lelucon seperti yang mereka lakukan setiap kali bertemu. Pemuda-pemuda desa selalu membuat lelucon mereka sendiri. Sering ada persaingan membuat lelucon untuk dipakai saat mereka berkumpul di warung-warung. Sambil meminum cap tikus[11] mereka mulai mengeluarkan lelucon; sambung menyambung. Ada yang menyindir ada juga yang cabul. Mereka tertawa terbahak-bahak setelah mendengar lelucon yang diceritakan. Cerita yang tidak lucu pun akan mengundang tawa karena ketidaklucuannya.
                Tiba di rumah Erol langsung masuk ke kamar. Dia melihat ke dalam ayunan bayi dan adik kecilnya bermain-main dengan jarinya. Erol tersenyum. Ibunya sedang memasak di dapur. Orang tua ketika bekerja biasanya menghibur diri dengan bernyanyi lagu kesukaannya. Lagu makatana, kalelon, atau lagu-lagu yang top di usia mudanya. Bagi yang memiliki tape atau VCD playerpasti akan segera menyelakannya ketika mereka bekerja. Tetapi untuk memiliki barang-barang semacam itu harus memiliki penghasilan yang cukup. Ibu dan ayahnya tak berminat memiliki barang elektronik karena itu akan menambah biaya hidup. Biaya listrik pasti akan naik dengan adanya barang-barang itu jadi menghibur diri dengan bernyanyi sendiri adalah juga bagian dari penghematan.
                Orok tiba-tiba menangis. Sang ibu berbicara ke arah kamar menyuruh mengayunkan bayi. Bayi itu terus menangis dan semakin menjadi. Ibunya kesal. Erol mungkin tertidur. Berbaring sambil menatap ayunan bayi sama seperti dihipnosis. Perlahan kita akan jatuh tertidur. Ketika bayi menangis kita akan tersadar dan kembali mengayunkan bayi sampai tertidur dan seterusnya kita pun ikut tertidur. Sang ibu tak tega mendengar bayinya terus menangis. Dia masuk ke dalam kamar dan meraih bayinya. Dia membersihkan wajah bayi yang penuh keringat dan air mata setelah itu dia menyusui bayi itu. Dia ingin kembali ke dapur menyelesaikan perkerjaannya. Dua langkah menuju pintu dia pun mulai tersadar ada yang tergantung selain ayunan bayi. Erol tercekik dalam tali plastik yang dibelinya tadi pagi. Ibunya berteriak histeris dan serentak rumahnya dikerumuni tetangga. Orang-orang berdesakan ingin melihat apa yang terjadi dan mulut ke mulut peristiwa itu diketahui oleh seantero kampung.
                Orang-orang kampung mulai berspekulasi dalam menginterpretasi motif bunuh diri itu. Ada yang beranggapan mungkin persoalan harta. Yang lain menganggap itu semacam sensasi. Kawan-kawannya berpikir mungkin ini karena seorang gadis. Hampir dua minggu Erol menjadi topik pembicaraan dan setelah itu dilupakan. Tetapi teman-temannya masih traumatik dan takut berjalan malam atau tidur sendiri apalagi pada malam ketiga setelah kematiannya. Mereka percaya kematian yang tak wajar akan membuat jiwa orang itu merana dan terus akan menjadi hantu. Hantu yang baru biasanya akan mengunjungi semua tempat yang berkesan selama hidupnya dan mendatangi orang-orang yang dekat dengan dia. Kawan-kawannya selalu merinding ketika mengingat tentang dia. Tetapi waktu terus berlalu; siang berganti malam dan seterusnya.
                Hari hampir gelap, rintik hujan berjatuhan, dan kawanan anak-anak saling mengejar. Mereka saling mendorong satu sama lain dan tertawa terpingkal-pingkal. Mereka bahagia dalam kekanakan mereka.


[1] Jurang
[2] Sungai
[3] Memilki kemampuan melihat di masa lalu atau memilki jimat
[4] Keluyuran
[5] Mencuri
[6]Ranotelu dalam bahasa tountemboan terdiri dari kata rano artinya air dan telu artinya tiga; tetapi secara harafiah artinya adalah tiga sungai karena di tempat ini ada tiga sungai berdekatan.
[7] Tempat berteduh di kebun yang biasanya berdinding bulu (bambu) dan beratap dari daun woka atau katu.
[8] Berpiknik .
[9] Orang yang selalu patuh pada perintah dalam keadaan apapun.
[10] Lelaki tua yang belum memilki pacar
[11] Minuman beralkohol khas orang Minahasa