halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Sabtu, 16 Maret 2013

KOMENTAR UNTUK PERADABAN MINAHASA




(Sebuah laporan perjalanan bersama Pierre Moret)

Pierre Moret di Watu Lutau Tondei

“Bangsa Eropa datang dengan dalih membawa peradaban dan demokrasi. Bangsa kalian telah beradab jauh sebelum penetrasi kolonialis. Kampanye demokrasi dari eropa dan negara-negara kapitalis adalah ironi karena justru mereka mendukung pemerintahan diktator di beberapa negara”. Pierre Moret

26 Februari. Saya, Bung Frits, Iswan Sual, dan Yanli Sengkey menunggu di Bandara Internasional Sam Ratulangi kurang lebih dua jam. Menunggu Pierre Moret dari Prancis. Ini pertama kali kunjungannya di Minahasa jadi ada rasa was-was bagaimana membuat kesan ketika bertemu untuk pertama kalinya. Bagi orang timur etika menjamu tamu sangat sensitive karena mungkin tradisi orang timur yang religious. Selang beberapa saat setelah menerka-nerka ada pesawat yang baru saja tinggal landas kami mengamati seluruh sudut bandara dan akhirnya berpapasan dengan sosok manusia yang ubanan, jangkung, dan bergaya turis. Kami menghampirinya dan setelah saling menyapa diputuskan untuk mencari tempat makan malam terlebih dahulu. Dalam perjalanan, di dalam mobil kami berusaha mengakrabkan diri. Pierre mengatakan bahwa dia bisa berbicara dalam beberapa bahasa dan menceritakan perjalanannya di Jawa, Makasar, dan Toraja. Makan malam akhirya di Wisata Bahari, sebuah restoran elit yang menghabiskan delapan ratus ribu rupiah hanya untuk enam orang walaupun makanan yang kami pesan hanya sedikit dan sederhana. Kami juga mendiskusikan agar turis Prancis yang terlibat dalam gerakan kiri ini bisa menjadi pembicara dalam diskusi dengan mahasiswa. Setelah selesai kami mencarikan penginapan dan sesudah itu sayadan Yanli tidur di rumahnya Bung Frits.
01 Maret. Pierre dan Iswan datang di sekretariat LMND Minahasa dengan menggunakan sepeda motor. Orang-orang yang ada di sekretariat kaget dengan kunjungan mendadak ini. Setelah mendapat suguhan kopi Pierre mengutarakan keheranannya dengan apa yang dia lihat sepanjang di atas sepeda motor. Dia heran kenapa terlalu banyak gereja yang dibangun dan bukannya sekolah atau rumah sakit. Menurutnya itu masih lebih baik daripada membangun terlalu banyak gereja.
02 Maret. Saya, Yubu, Marxis, Junaidi Rawis (yang disebut Pierre sebagai Ho Chi Minh), Dina Mondong (yang disebut Pierre sebagai Chinesse girl), Iswan, Jonathan Worotitjan, dan Michael Tular berjalan kaki dari terminal Tomohon sampai puncak Gunung Mahawu. Melelahkan tetapi setidaknya ini memupuk kebersamaan dan kedekatan. Kawah dan pemandangan tanah Minahasa memberi kesejukan dan mengobati rasa lelah. Banyak pendaki gunung menganggap bahwa mencapai puncak gunung adalah suatu penaklukan terhadap gunung itu. Sebenarnya kita yang menaklukkan gunung atau gunung yang menaklukkan kita. Saya kira itu soal sensasi saja. Ketika mencapai puncak kami bertemu beberapa kenalan lama dan juga ada turis Prancis yang sempat terlibat pembicaraan dengan Pierre.Tak lama kami memutuskan untuk turun ke kota dan mencari tempat makan dan warung kopi. Di warung kopi kami berdiskusi panjang tentang masalah sosial.
04 Maret. Saya bangun kira-kira pukul 09.00 dan mengajak beberapa kawan untuk mempersiapkan ruangan diskusi. Sementara kami mempersiapkan ruang tiba-tiba Pierre dan Iswan masuk dalam ruangan. Sambil tersenyum mereka menyapa kami. Saya sendiri terperangah dengan kedatangan mereka yang terlalu cepat. Padahal diskusi dijadwalkan dimulai pukul 11.00 sesuai dengan undangan yang telah di-share via facebook. Denni Pinontoan, Fredy Wowor, Hendra Mokorowu, dan Kalfein Wuisan (tamu khusus dari Mawale Movement) tiba setengah jam sesudah itu. Dengan kedatangan mereka yang dini maka diskusi tentang peradaban ini pun dimulai tepat waktu. Iswan bertugas sebagai moderator dan interpreter. Fredy dan Denni memberikan pengantar diskusi dengan memaparkan peradaban Minahasa. Setelah itu Pierre menanggapinya dengan menganalisa dan memberikan komentar kritis tentang isu sejarah ketika penetrasi Eropa di Indonesia. Diskusi berlangsung sampai lima jam. Tetapi karena situasi diskusi yang aktif maka walau berjam-jam pun tak terasa dan keinginan untuk berpartisipasi tetap ada. Setelah selesai diskusi kami diundang untuk makan di kafe Dharma Wanita FBS UNIMA oleh dekan. Di sini pun diskusi berlanjut sekitar tiga jam. Ketika hari hampir gelap kami mengundang Pierre untuk mengunjungi sekretariat S. S. Tolu melihat ornamen dan hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Minahasa. Setelah itu dilanjutkan menikmati secangkir kopi di sekrtariat LMND Minahasa.

05 Maret. 10.00 kami (Jonathan, Satriano Pangkey, Septian Paat, Jun, Alpon, Epeng, dan saya) menjemput Pierre dan Iswan di Highland Resort Tomohon. Hari ini kami berencana mengunjungi situs-situs budaya yang ada di Minahasa tetapi Pierre lebih memprioritaskan kunjungan ke Tondei – karena kebetulan juga di sana ada situs budaya. Ada yang menarik dalam perjalanan hari ini. Pierre memberikan sumbangan sebesar Rp 2000 untuk kantin pengumpulan dana yang biasanya ada di pinggir jalan. Tetapi dia tidak tahu untuk apa sebenarnya sumbangan itu. Setelah seratus kilometer mobil kami menjauh dia bertanya sumbungan itu akan digunakan untuk apa. Iswan mengatakan padanya bahwa itu untuk membangun gereja. Pierre sungguh menyesal memberikannya karena dia berpikir lebih baik itu untuk biaya sekolah atau rumah sakit. Di pelabuhan Amurang kami sempat singgah membeli beberapa ikan segar dan mengambil beberapa foto. Ketika sampai di Tondei kami mempersiapkan makan siang sebelum berjalan ke situs budaya (Batu Lutau). Waktu makan siang ada juga yang menarik ketika ayah berbicara dengan Pierre menggunakan bahasa Tountemboan yang sama sekali tidak dimengerti oleh orang Prancis ini. Hal yang sama juga terjadi ketika kami berjalan melintasi desa dan bertemu dengan tokoh masyarakat (Lumapouw), dia berbicara dengan Pierre menggunakan bahasa Tuontemboan. Sungguh percakapan yang tak biasa ketika dua orang berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda dan tak saling mengerti. Tetapi keduanya tertawa. Mungkin ini pengaruh perjumpaan pertama bagi orang Tondei dan Prancis di dekat Batu Lutau. Hari ini adalah hari terakhir kami bersama dengan Pierre karena besoknya dia akan kembali ke Prancis tetapi karena terkesan dengan situasi di Minahasa dia berjanji akan datang lagi tahun depan.