halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Rabu, 16 Januari 2013

DARI 99 PUISI SAMPAI REMUUT WANGKO


(Sebuah laporan kegiatan)
26 Desember  dalam tradisi Kristen Minahasa adalah Natal Kedua untuk merayakan hari kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Desa Tondei dalam memperingati hari besar seperti Pengucapan Syukur, Natal, dan Tahun Baru mempersiapkan segala sesuatu untuk hari-hari ini. Boleh dikata hari-hari itu adalah hari pemborosan. Makanan dan minuman yang berlimpah, pakaian serba baru dan mahal, ratusan kendaraan modar-mandir, polusi suara akibat petasan, dan kembang api di malam hari. Masyarakat modern pada umumnya memang tergiur dengan kesenangan berpesta dari pada esensi hari besar itu sendiri.
Malam 26 Desember 2012 dengan diprakarsai oleh Iswan Sual maka Sanggar Tumondei Minahasa Selatan menggelar acara baca puisi berantai (estafet) di Batu Lutau Tondei. Walaupun hanya dihadiri oleh tujuh orang saja tapi kegiatan ini berhasil membacakan puisi sebanyak 99. Menurut Iswan Sual yang juga pionir Gerakan Tumondei bahwa kegiatan ini bermaksud untuk menciptakan suasana baru di hari raya. “Daripada torang cuma sibuk pasiar deng motor ato mabo-mabo lebe bae torang beking acara berkesan baru deng positif’. Dia juga menambahkan bahwa puisi berjumlah 99 yang dibacakan itu sesuai dengan usia desa Tondei. “Nanti ki’i klo so sratus taon brarti sratus puisi yang torang mobaca” tuturnya dengan bersemangat. Proses pembacaan puisi di batu lutau ini hanya diterangi oleh lilin saja yang dipasang melingkar di sekitarnya dan di atas batu itu. Jumlah lilin yang dipasang juga berjumlah Sembilan sesuai dengan angka mistis suku Minahasa.
Kegiatan ini dimulai sekitar pukul 06.30 sore sampai 10.30 malam dengan pembacaan puisi secara bergantian. Suara-suara yang menghentak sebagai wujud ekspresi dari puisi yang dibacakan sempat mengundang perhatian warga desa di sekitar tempat itu. Kemungkinan mereka berpikir kami sedang melaksanakan ritual dengan membacakan mantra-mantra yang tak henti-hentinya. Prasangka ini wajar karena masyarakat di desa ini telah memeluk agama Kristen dan menjadi fanatik walaupun praktik iman mereka kurang. Memang agama modern cenderung mekanistik, rutinistik, dan kehilangan ruh yang sangat signifikan dalam ajaran moralnya. Agama modern adalah peleburan dari tradisi kepercayaan tua dari berbagai budaya kepercayaan. Tetapi ketika dia bergandengan dengan imperialisme maka agama modern menjadi pemangsa kepercayaan kuno yang merupakan protipe dirinya sendiri.
Dua hari setelahnya yaitu pada 28 Desember 2012 diadakan pertemuan di balai desa (BPU) Tondei Dua untuk membahas kelanjutan Sanggar Tumondei yang telah dideklarasikan pada 20 Oktober lalu. Iswan Sual memulai kegiatan itu dengan ceramah panjang mengenai kebudayaan Minahasa dan kondisinya saat ini. Sesudahnya yang dibahas adalah dasar organisasi beserta strukturnya. Setelah melalui proses diskusi maka semua yang hadir sepakat untuk menjadikan nuwu in tua[1] sebagai asas organisasi. Dengan pertimbangan organisasi ini memang bergerak khususnya dalam usaha menggali, meneliti, mengkaji, dan melestarikan kebudayaan tua Minahasa. Walaupun memang  tak lupa juga mengkaji budaya secara umum.


Dalam kegiatan ini pula semua yang hadir sepakat untuk menggunakan istilah-istiah yang khas Minahasa dalam organisasi. Misalnya istilah seperti konferensi, kongres, rapat umum anggota, atau musyawarah besar diganti dengan istilah Remuut Wangko. Bahkan dalam struktur organisasi menggunakan istilah yang sesuai dengan sistem pemerintah minahasa dahulu. Ini didasarkan pada pemikiran bahwa usaha yang terbatas hanya dengan menulis tidak terlalu efektif. Oleh karena sejarah dan kebudayaan hanya akan diketahui oleh orang-orang yang gemar mencari tahu dan membaca saja. Jadi seharunya budaya tua minahasa harus dibiasakan kemabali untuk mengingatkan masyarakat secara holistik atau menyeluruh. Ini sinkron dengan pendapat umum bahwa budaya menyangkut kebiasaan masyarakat.
Tonaas Wangko

Tonaas

Si ma’patic
 

Tua in lukar
 

Meweteng
Struktur organisasi diganti dengan istilah dalam bahasa minahasa untuk membiasakan kembali istilah-istilah pemerintahan di minahasa yang hamper punah dan kehilangan esensinya. Diyakini bahwa sistem pemerintahan Minahasa mempunyai ruh kultural yang sangat berbeda dengan sistem pemerintahan organisasi dewasa ini yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ini akan mengingatkan kembali bahwa sebuah jabatan adalah amanat sosial yang harus dijalankan. Dalam organisasi modern tonaas wangko sama dengan ketua umum, tonaas sama dengan ketua, si ma’patic sama dengan sekretaris yang merangkap bendahara, tua in lukar sama dengan ketua departemen, meweteng sama dengan kordinator bidang.
Sebenarnya ada keinginan mengunjungi Batu Lutau pada Pergantian Taon[2] , menggelar Festival Kaliye, dan juga ada rencana di Tahun Baru 2013 akan diadakan kegiatan untuk memeriahkan hari besar itu dengan arak-arakan badot[3] atau wolai[4].  Yang terakhir ini adalah kebiasaan  semacam figura di desa yang telah hilang ketika memasuki abad-21. Tetapi oleh karena sang pionir gerakan ini mengalami halangan maka kegiatan itu tidak dapat dilaksanakan. Sejak tanggal 30 Desember 2012 sampai tanggal 2 Januari 2013 Iswan Sual harus menemani ayahnya yang terkena strok ringan yang dibawa ke rumah sakit Malalayang.
Gunung Sinonsayang



[1] “…Sapakem si kayo’ba’an anio, tana’ ta im baya! Asi endo makasa, sa me’em si ma’api, wetengan e pa’tuusan, wetengan eng kayo’ba’an! Tumani e kumeter, mapar e waraney, akad se tu’us, tumow on tumow tow!...” (secara bebas diterjemahkan, “…Dengan ini kami nyatakan, dunia in adalah tanah air kita semua! Bila pada suatu saat, burung telah memberi tanda yang pasti, bagilah tanah ini hai kamu pemuka masyarakat pemb  eri contoh! Bukalah wilayah pertanian baru, hai kamu pemimpin pekerjaan! Kuasailah wilayah, hai prajurit perkasa, agar keturunan kita dapat hidup dan memberi hidup!”…) diambil dari buku Minahasa. Dari amanat Watu Pinawetengan sampai gelora Minawanua karya Bert Supit. Jakarta. Sinar Harapan. 1986.
[2] Pergantian Taon adalah masa transisi habisnya hitungan kalender tahun berjalan dan akan berganti ke hitungan kalender yang baru. Orang Tondei akan mengunjungi tempat pekuburan untuk menyelakan lilin bagi keluarga mereka yang telah mati. Ini adalah ziarah ke tempat orang-orang mati untuk mengenang kehidupan mereka oleh karena tahun sudah berganti lagi. Situasi di pekuburan akan sangat ramai sekali sampai menjelang fajar oleh karena seluruh penduduk desa selalu berusaha untuk mengunjungi keluarga mereka yang telah tiada. Sebagai suatu penghormatan dan wujud rasa bahwa mereka terus dikenang. Dan juga ada desas desus yang beredar di kalangan masyarakat bahwa jika tidak ada orang atau keluarga yang membersihkan kubur atau memasang lilin maka arwah orang yang sudah mati itu akan bergentayangan di rumah keluarganya.
[3] Sejumlah orang menggunakan topeng yang terbuat dari mafafa kelapa ataupun tewasen dan berjalan sepanjang kampung serta menyelami warga desa.
[4] Sama seperti badot tapi sejumlah orang ini melakukan semacam skenario berburu monyet (wolai). Ada beberapa orang yang berpakaian seperti pemburu; menggunakan lars (sepatu yang dipakai di hutan) dan membawa senapan angin. Sementara orang lainnya yang lebih banyak jumlahnya badan mereka dibungkus dengan gomutu sementara wajah, tangan, dan kaki mereka digosok dengan arang. Mereka bertingkah layaknya seperti monyet. Memanjat setiap pohon yang mereka lihat dan tak lupa juga menyalami orang-orang desa. Ada yang tertawa terhibur tapi ada juga yang ketakutan khususnya anak-anak.

KALIYE


(Permainan rakyat Tondei sampai tahun 1990-an)
Kaliye adalah permainan rakyat tradisional yang bertujuan hanya sebagai hiburan semata. Oleh karena itu permainan ini akhirnya termarjinalisasi hanya untuk kalangan anak-anak (offspring) – khususnya anak laki-laki. Usia lima sampai empat belas tahun sangat tertarik pada jenis permainan ini. Ini adalah salah satu jenis mainan musiman anak-anak selain kuda-kuda, lulutau (leletau), plinggir, gambaran, skiping, dan lain sebagainya.
Permainan ini terdiri dari manusia (orang), kaliye; terbuat dari  tampurung (cangkang kelapa) yang dibentuk menyerupai segitiga – tetapi bentuknya bisa bervariasi sesuai dengan kemaunan pembuatnya -, dan permentek; terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai alat pemukul (stick) kaliye. Adapun istilah yang dikenal dalam permainan ini yaitu kaliber; jika kaliye dipukul dari garis star dan langsung mengena pada kaliye yang ditanam di tanah, verlak; ini adalah izin kepada pemain yang merasa kondisi tanah tidak memungkinkan untuk memukul kaliye dan meminta untuk memindahkannya di garis star kembali, dan puntel; jika kaliye itu nyasar dan mengena pada seseorang. Dalam hal ini ada juga istilah lef ketika kaliye mengena pada seseorang maka dari kelompok yang sedang bertanding akan berebutan mengujar kata "lef!". Kelompok yang lebih dulu menyerukan kata itu berhak untuk meenempatkan posisi kaliye di mana pun mereka suka. Ada juga istilah untuk menunjukkan kualitas kaliye seperti ta'teles di mana kaliye tersebut melayang tinggi dan ta'tena bila selalu mengenai sasaran.
Kaliye adalah permainan yang melibatkan dua orang atau lebih; biasanya permainan ini dilakukan oleh dua kelompok yang kurang lebih masing-masing memiliki lima anggota. Biasanya untuk menentukan kelompok mana yang lebih dulu memulai akan diadakan ces kaliye yang dilakukan oleh perwakilan dari masing-masing kelompok. Ces kaliye semacam undi atau lempar koin untuk menentukan pihak yang lebih dahulu menguasai permainan. Ces kaliye juga dilakukan untuk menentukan orang-orang yang tergabung dalam satu kelompok. Setiap orang berpasangan untuk melakukan ces kaliye jika kaliyenya terbuka maka dia harus bergabung dengan orang yang juga memiliki kaliye terbuka dan juga sebaliknya.
Jika setiap kelompok anggotanya berjumlah lima orang maka ada lima kaliye yang ditanam berbanjar di atas tanah. Kemudian kelompok yang lainnya akan berembuk untuk membagi sasarannya masing-masing (kaliye lawan harus ditumbangkan). Permainan ini akan berakhir sesuai kesepakatan dari dua bela pihak mengenai jumlah akhirnya. Biasanya  permainan ini menggunakan kelipatan seratus. Setiap kelompok akan berusaha mencapai jumlah yang telah disepakati; misalnya dinyatakan gem spuluh ribu. Jika dari garis star langsung mengena sasaran (kaliber) maka itu dihitung lima ratus. Tetapi jika dari garis star belum mengena dan dilanjutkan sampai mengena pada kaliye lawan maka dihitung seratus. Kalau menggunakan verlak maka walaupun dari garis star langsung mengena sasaran tetap hitungannya seratus. Ketika salah seorang anggota kelompok gagal menumbangkan sasarannya dengan begitu permainan akan berganti pada pihak lawan kelompok.
Biasanya anak-anak ketika tidak puas dengan hasil permainan ini akan mengundang lawan mainnya untuk bakupica kaliye – karena kelompok yang kalah masing-masing akan menggendong lawannya sambil berlari sampai lima kali bolak-balik. Ini untuk membuktikan kaliye siapa yang paling tebal dan tahan cangkang kelapanya. Mereka juga menggunakan ces kaliye untuk menentukan siapa yang akan memulai. Jarak kaliye yang di tanam di atas tanah dengan kaliye satunya kira-kira 3 cm. Anak-anak biasanya membuat kaliye dari tampurung yang difufu[1] tetapi dari tampurung yang hanya dicukur isinya saja.


[1] Cangkang kepala yang telah diasapi (fufu) dalam pembuatan kopra. Cangkang yang sudah diasapi ini biasanya akan mudah rapuh atau terbela.

Kamis, 10 Januari 2013

CARI BANTAL[1]

Suatu tempat di Bolaang Mongondow, 1950-an
                                        
Lexy Sual
Hari hampir gelap dan hujan turun begitu derasnya. Salah seorang perwira TNI memberi kode (gesture) kepada eksekutor untuk mempercepat kerjanya. Puluhan orang diikat di pangkal pohon kelapa dalam keadaan telanjang; mata mereka ditutup dengan kain hitam. Mereka adalah para pejuang yang menuntut desentralisasi ekonomi pada pemerintahan pusat. Menawarkan pemerintahan federalistik dengan tindakan subversif. Mereka disebut pengkhianat NKRI.
Junus Sual, salah seorang yang diikat di pohon kelapa itu sambil menunggu ajal memikirkan kembali dirinya sebelum bergabung dengan Permesta. Postur tubuhnya tidak cocok untuk menjadi seorang pejuang bahkan pada saat itupun dia masih usia sekolah. Umurnya sekitar 13 tahun. Tetapi untuk menambah pejuang maka tentara Permesta merekrut setiap anak lelaki yang sudah cukup mampu menggunakan senjata untuk bergabung. Dalam keadaan perang pemaksaan, penjarahan, dan pemerkosaan menjadi halal. Harga nyawa turun drastis sehingga masalah kecil saja bisa mengakibatkan pembunuhan.
Dia pun teringat pesan seorang kakek tua bernama Hero Timporok. Seorang kakek tua yang terkenal dengan ‘pengetahuan’-nya yang tinggal di desa Tondei. Bukan hanya Permesta yang mengambil wentel padanya tetapi juga TNI.

“Kalo di perang jang ja ba tengo ka blakang ato tiarap.”
“kyapa reen tete?”
“Itu pantangan for tu pegangan qta da kase pa ngana.”

Mengingat akan hal itu membuatnya bimbang dan penuh rasa keraguan akan khasiat dari pegangan (wentel) yang diberikan oleh kakek itu. Dia teringat lagi sebelum pergi orang tua itu mengusap tubuh bagian belakangnya sebanyak tiga kali dan berpesan ketika menghadapi kesulitan hentakan kaki di tanah tiga kali dan bergumam ‘‘kacuali Hero badusta’’.

“Berdoalah! Kau akan menyusul teman-temanmu.”

Dia tersentak. Eksekutor memberi kesempatan untuk berdoa sebelum ditembak mati. Perwira itu mengenakan setelan baju TNI sambil memegang senjata 12,7. Senjata  itu diarahkan kepadanya sebagai orang terakhir yang akan dieksekusi. Dia tak perlu menutup mata lagi karena yang dilihatnya sudah hitam. Terlintas di benaknya untuk mencoba pesan orang tua itu. Dia menghentakan kaki ke tanah dan menyebut nama orang tua itu. Pikirnya dia sedang membuat lelucon untuk dirinya sendiri di ambang kematian. Tetapi tiba-tiba dia merasakan ikatan tali menjadi kendur. Dengan cepat dia mengeluarkan tangannya dari lilitan tali itu membuka tutup mata dan perlahan-lahan bergerak meninggalkan tempat itu. Setelah memastikan perwira ABRI itu tak bisa mendengarnya lagi maka dia berlari ke arah hutan.
Perwira TNI itu merasa bahwa calon orang mati itu masih terikat di pohon kelapa tepat di depannya. Tanpa mempertimbangkan apakah orang itu sudah selesai berdoa atau tidak sang perwira itu menghitung sampai hitungan ketiga sebelum menarik pelatuk sejatanya. Hari sudah gelap, hujan, dan tugas sudah terlaksana. Tentara itu kemudian pergi bergabung dengan kesatuannya.
Sementara itu Junus Sual menggigil di tengah hutan tanpa pakaian dan juga kelaparan. Dia teringat ketika mereka ditelanjangi baju mereka dibuang di dekat tempat mereka dieksekusi. Dalam keadaan gelap gulita dia kembali ke tempat itu. Dia berjalan sambil meraba-raba. Tiba-tiba dia terperosok dan masuk dalam lubang yang luas. Dia meraba-raba. Ternyata lubang itu tempat menampung mayat teman-temannya. Salah satu dari mayat itu masih terasa panas. Baru saja meninggal. Junus menangis di tengah hutan dalam gelap malam dan hujan deras.

Qta mo cari bantal. Biar cuma satu qta musti dapa.”

Junus berusaha keluar dari kuburan teman-temannya. Ada dendam dalam hatinya. Masih teringat kenangan bersama teman-temannya di kesatuan. Canda, tawa, tangis dan jeritan ketika menghadapi musuh di medan perang. Di dekat tempat itu tumbuh pohon mangga yang besar. Firasatnya ada orang di bawah pohon itu. Dia mendekat dan mendapati seorang tentara ABRI yang sedang tidur sambil mendengkur keras. Tentara itu membungkus dirinya dengan kain seperti pada jas hujan. Junus mengangkat benda yang menutupinya. Tangannya mencari-cari sebilah pisau di pinggang tentara itu. Supaya tentara itu tidak terbangun dia pertama kali mengiris tali senjata laras panjang yang melingkar di badan tentara itu. Setelah mengambil senjata itu dia mencari sesuatu yang lain. Ransel. Perlahan dia menarik ransel dari kepala tentara itu yang digunakan menjadi sandaran kepalanya.
Lino, Iswan, Iswadi, Queen, dan Glorya

Pejuang Permesta ini merasa aman sekarang. Menakar berat ransel dia memastikan pasti ada pakaian dan makanan di dalamnya. Sesuai janjinya kepada mayat teman-temannya bahwa dia akan membalaskan dendam walau hanya pada seorang saja maka dia langsung menusukkan pisau di gengamannya ke tenggorokan tentara NKRI itu. Tubuh tentara itu tergunjang ke sana kemari di tanah. Suara dengkurannya keluar dari cela yang dibuat oleh pisau itu. Kali ini suaranya berbeda seperti suara rengekan babi ketika digorok. Junus kembali ke mayat teman-temannya mengatakan pada mereka telah membalaskan dendam dan mengajak arwahnya untuk ikut bersamanya.
Burung berkicau. Panas matahari membangunkan tidurnya. Junus bangun dan bergegas memeriksa ransel yang dibawanya. Dia mendapati sepasang baju tentara dan beberapa ikan kaleng. Ada kebingungan dalam pikirannya hari itu. Tak tahu arah perjalannnya ke mana. Tetapi dia berharap bisa bertemu dan bisa bergabung dengan tentara Permesta di dekat gunung Soputan. Dia memutuskan untuk mengambil rute hutan karena di bagian pesisir pantai telah dikuasai oleh ABRI. Dengan melintasi hutan akhirnya dia sampai di sebuah pemukiman orang Minahasa.

Tompaso Baru, 1950-an

Desa sunyi. Tak ada anak-anak terlihat bermain di pekarangan atau di jalanan. Tak ada wanita yang berdandan. Tidak. Itu sangat berbahaya di masa perang seperti ini. Junus berjalan di tengah perkampungan dan orang-orang melihat dia dengan penuh rasa cemas. Para orang tua memanggil anak-anaknya untuk masuk ke rumah karena takut sesuatu terjadi. Bisa saja tiba-tiba terjadi aksi bakutembak atau pemboman ketika salah satu pihak yang berseteru baik dari TNI atau Permesta datang. Dalam aksi seperti itu pasti ada peluru nyasar yang mengarah ke orang-orang desa. Sudah banyak orang desa yang menjadi korban dalam peristiwa seperti itu. Maka dari itu mereka  sangat was-was jika ada tentara pusat atau tentara permesta datang di perkampungan mereka.
Ukung Tua di kampung itu keluar untuk menyambutnya. Dia diajak ke rumah dan dijamu layaknya tamu besar. Junus bercerita tentang kisah yang dialaminya beberapa hari ini kepada Ukung Tua itu. Dengan begitu masyarakat mengetahui juga bahwa dia bukan TNI tetapi seorang pejuang Permesta. Orang kampung memang menganggap dia TNI karena mengenakan seragam tentara pusat yang bercorak loreng. Karena sudah beberapa hari makan seadanya maka kali ini Junus makan begitu lahap sampai beberapa kali menambah makanan di piringnya. Selesai makan minum dan beristirahat untuk beberapa jam dia berpamitan pada Ukung Tua dan melanjutkan perjalanan mencari kesatuan baru.
Ketika menyusuri perkebunan dia bertemu dengan beberapa anak laki-laki yang disuruh orang tua mereka mencari sayor bulu. Dia bertanya apakah mereka tahu ada persembunyian permesta di dekat situ. Anak-anak ini ragu untuk menjawab. Mereka sudah peka terhadap suasana perang. Situasi perang bukanlah tempat bersandiwara tetapi menuntut kejujuran. Berkata ada tapi pada akhirnya tidak ada atau juga sebaliknya itu tandanya memanggil malaikat kematian. Salah satu anak itu memberanikan diri untuk bicara. Dia mendekat sambil melihat sekitar dia kemudian membisikkan sesuatu dan begegas pergi bersama teman-temannya.
Junus berjalan mencari tempat persembunyian yang dikatakan anak itu. Sesaat dia berhenti dan duduk di atas batu dan mencoba menenangkan hatinya yang gundah. Dia menangis lagi. Teringat akan keluarga. Harapan supaya dapat berkumpul bersama lagi melewati hari-hari normal dan bahagia. Dia juga berharap dapat menemukan seorang gadis untuk diperistri dan hidup bersama keluarga yang dibentuknya sendiri. Tapi dalam situasi seperti ini dia bisa saja mati seketika terkena peluru atau bom dan harapan-harapannya menjadi sia-sia. Junus terbeban akan tanggungjawabnya sebagai seorang anak untuk merawat kedua orang tuanya. Tetapi apa daya perang berkata lain. Dalam situasi seperti ini kita harus menggantungkan segala harapan kita dan terus hidup dalam rasa takut dan teror berkepanjangan. Kita bukan lagi menjadi makhluk bebas tetapi menjadi makhluk tak berharga yang bisa saja mati seperti katak digilas oleh kendaraan bermotor di jalan raya.
Junus beranjak dari tempat itu. Sambil mengusap air matanya dia berusaha mengendalikan dirinya dan bersikap seperti seorang perwira kembali. Dia berjalan tanpa peduli lagi apakah dia akan mati atau akan terus hidup. Pikirnya kalaupun dia mati harus mati secara terhormat layaknya seorang pejuang.
Kira-kira lima puluh meter tepat dihadapannya suara senjata bar, bren, medsen dan 12,7 berbunyi. Ratusan peluru menuju tubuhnya. Dia mengangkat tangan dan senjatanya. Tanda menyerah dan tak ada perlawanan. Ribuan peluru menembus bajunya sehingga terkoyak tak karuan. Dia merasakan kesakitan di tubuhnya. Tapi tak setetes darah pun keluar. Dia terus berjalan maju sambil tersenyum. Kini dia yakin bahwa orang tua itu benar dan tidak main-main. Ternyata Hero Timporok tak pernah berdusta dan meninggalkannya dalam keadaan seperti itu.
Tentara Permesta itu agak heran. Karena merasa usaha mereka percuma dan membuang-buang amunisi maka mereka menghentikan tembakan. Junus Sual mendekat dan berbicara kepada mereka bahwa dia bukan TNI. Awalnya mereka tetap menaru curiga tetapi setelah mendengar keseluruhan ceritanya mereka menjadi percaya dan menerima dia bergabung dengan mereka.

Tondei, 24 Desember 2012

Setelah selesai mengenang heroisme saudaranya, Lexy Sual tersenyum puas mengakhiri ceritanya. Cerita ini sudah berkali-kali ku dengar darinya tetapi entah kenapa kali ini cerita itu mempunyai sensasi yang lain. Seakan cerita itu menjadi hadiah Natal untuk keluarga ketika kami berkumpul bersama. Ada spirit baru dalam cerita ini yang mewarnai suasana Natal tahun ini. Semangat untuk tetap bersama menjalani hari-hari yang penuh ancaman dan teror kehidupan yang berkepanjangan.
Orang skarang banya kata yang suka mo baperang. Oh coba dulu…dorang pe kira kong nda siksa. Mo kerja so nimbole. Apalagi malam-malam jang skali-kali ngna pasang lampu; dorang mo bom!
Para saksi sejarah sangat traumatis dengan perang sehingga mereka tak ingin hal itu terjadi lagi. Mereka hanya berusaha mengenang situasi-situasi itu dan memberikan gambaran akan penderitaan mereka di masa lalu. Sementara penikmat sejarah perang terobsesi dengan heroisme sehingga mendambakan perang itu sendiri. Apalagi para politisi dan politikus revolusioner yang hanya rajin menginterpretasi wacana mereka menganggap perang adalah solusi.
Pejuang Permesta telah membuktikan semangat waraney mereka yang bisa dijadikan preseden setelah leluhur Tou Minahasa berperang sampai pada masa penjajahan Belanda.



[1] Cerita ini adalah kesaksian dari seorang mantan tentara Permesta bernama Junus Sual yang diceritakan kepada Lexy Sual. Penulis merasa terbeban untuk menuliskan kisah ini karena ini mengandung nilai historis, pengalaman, heroisme, dan tragedi. Umumnya para pelaku dan saksi sejarah sangat berapi-api ketika menuturkan apa yang dialami dan disaksikan mereka. Sehingga dalam setiap pertemuan dengan orang-orang (apalagi anak-anak muda) mereka menuturkannya secara berulang-ulang. Tak jarang banyak anak-anak muda yang bosan mendengar cerita-cerita itu dan mengabaikannya begitu saja. Sebenarnya itu adalah tradisi lisan orang Minahasa sebagai metode untuk mewariskan sejarah dan kebudayaan.